𝐋𝐢𝐤𝐚 𝐋𝐢𝐤𝐮 𝐊𝐞𝐡𝐢𝐝𝐮𝐩𝐚𝐧 𝐏𝐚𝐫𝐭 𝟏𝟕

Nathan duduk di ruang kerjanya. Meja jati di depannya dipenuhi berkas-berkas dan dokumen yang belum terselesaikan. Komputer menyala, menampilkan daftar tugas yang terus bertambah. Di sampingnya, tumpukan berkas penting membuatnya semakin bingung. Setiap detik berlalu, suara ketikan keyboard bergantian dengan desahan frustrasi. Dia memeriksa jam di dinding, waktu terus berjalan. Terkadang, ia menggosok pelipisnya, mencoba menghilangkan rasa pusing. Nathan berpikir tentang tenggat waktu yang mendekat. Ia merasa terjepit di antara tugas-tugas yang menumpuk.

Nathan duduk di ruang kerjanya, merenungkan posisi barunya sebagai pimpinan. Tanggung jawab itu terasa berat. Dia melihat berkas-berkas yang menumpuk, mengingat setiap tenggat waktu yang mendekat. Dalam benaknya, rasa penyesalan muncul. Dia berpikir jika dia tahu seperti ini, mungkin ia tidak akan menerima tawaran dari Maya. Namun, semua telah terjadi. Ia tidak bisa mengubah keputusan itu.

Tiba-tiba, ponselnya berdering dan menoleh ke arah ponsel yang tergeletak di meja. Dia melihat nama Livia muncul di layar. Dalam hitungan detik, ia meraih ponsel itu dan menekan tombol sambung. Suara dering berhenti, dan sambungan terjalin.

“Ya. Livia …” sapa Nathan dengan nada tenang.

"Nathan, aku... Mafkan aku…" suara Livia terdengar gelisah.

"Ada apa?" Nathan langsung merasakan ketegangan di suara Livia.

"Aku didatangi anak buah Ricko hari ini. Mereka menanyai tentangmu," jawab Livia, suaranya bergetar.

Nathan terdiam sejenak, mencoba mencerna informasi itu. "Mereka menanyakan identitasku?"

"Aku tidak bisa menolak permintaan mereka. Mereka menekanku untuk memberitahu siapa kamu," lanjut Livia, merasa berat hati.

Nathan menghembuskan napas dalam-dalam. "Livia, tidak apa-apa. Jangan merasa bersalah. Kamu tidak melakukan kesalahan."

Livia menghela napas, tetapi masih terdengar khawatir. "Nathan, aku merasa mereka berniat tidak baik padamu karena kejadian kemarin."

Nathan tersenyum meskipun Livia tidak bisa melihatnya. "Livia, jangan khawatir. Aku bisa menanganinya. Ini bukan pertama kalinya aku menghadapi masalah seperti ini."

“Berhati-hatilah, Nathan … Selalu waspada,” ujar Livia penuh pengharapan.

“Baik Tuan Putri,” canda Nathan.

“Kamu ini masih saja bisa bercanda! Bye …” ucap Livia dan langsung memutuskan sambungan telepon.

Nathan merenung sejenak. Dia mengingat apa yang dikatakan Livia kemarin. Semua perkataannya kini terasa benar. Masalah ini memang berpotensi berlanjut ke arah yang lebih besar. Namun, Nathan tidak ingin terjebak dalam pemikiran itu. Banyak pekerjaan yang harus diselesaikan di hadapannya. Fokus pada hal-hal yang dapat dia kontrol adalah prioritasnya.

Dengan tegas, Nathan mengalihkan perhatiannya kembali ke layar komputer. Dokumen dan laporan menunggu untuk ditelaah. Setiap detik berharga. Dia mengambil napas dalam dan mulai mengetik. Suara ketukan jari di papan ketik mengisi ruangan. Nathan merasakan semangat kembali. Dalam hatinya, dia tahu bahwa masalah di luar sana tidak boleh mengganggu kinerjanya. Tugas yang ada di depan jauh lebih penting daripada berpikir tentang ancaman yang belum pasti.

Tiba-tiba, pintu ruangannya diketuk dari luar. Suara ketukan itu memecah konsentrasi Nathan. Dia menghentikan pekerjaannya dan memanggil orang di luar.

"Masuk," serunya.

Pintu terbuka, dan seorang pria paruh baya melangkah masuk. Pria itu membungkukkan tubuh sejenak sebelum melanjutkan langkahnya ke arah meja kerja Nathan. Nathan mengenali pria itu. Dia adalah Pak Djoko, kepala HRD.

Nathan tersenyum dan berkata, "Silakan duduk, Pak Djoko."

Pak Djoko mengangguk dan mengambil tempat di kursi depan meja Nathan. Ekspresinya serius, seolah terkejut dengan pemanggilannya. Pak Djoko mengangguk sekali lagi dan mengambil tempat di kursi depan meja Nathan. Pemuda itu kemudian memperhatikan wajah Pak Djoko, mencoba menilai suasana hati pria itu.

“Jangan terlalu tegang, Pak … Santai saja …” kata Nathan sambil tersenyum.

“Oh, Baik Tuan Muda … Kiranya ada apa sehingga saya dipanggil Tuan Muda?” tanya Pak Djoko dengan suara sedikit bergetar.

“Saya ingin meminta bantuan Anda,” terang Nathan masih dengan senyumannya.

Pak Djoko menatapnya dengan penuh perhatian. “Tentu, Tuan Muda. Apa yang bisa saya bantu?”

Nathan menghela napas sejenak, lalu melanjutkan. “Saya perlu seseorang yang bisa membantu pekerjaan saya. Seseorang yang ahli di berbagai bidang.”

“Ahli seperti apa yang Tuan maksud?” tanya Pak Djoko, merasa penasaran.

“Saya ingin Anda mencarikan pegawai di lingkungan perusahaan ini. Seseorang yang berpengalaman dan memiliki keahlian, terutama dalam manajemen dan kepemimpinan juga kalau bisa sebagai sekretaris. Saya benar-benar kerepotan bekerja sendirian,” jelas Nathan.

Pak Djoko mengangguk. “Jadi, Tuan Muda mencari wakil yang dapat mendukung Anda dalam menjalankan tugas sehari-hari?”

“Ya,” jawab Natha singkat sambil mengangguk.

“Kami baru saja akan melakukan seleksi sekretaris untuk Tuan Muda,” ungkap Pak Djoko.

“Aku bukan hanya memerlukan sekretaris, tapi lebih dari sekretaris. Aku tidak butuh seseorang yang hanya mempunyai kemampuan sekretaris saja. Aku butuh seseorang yang bisa mengambil alih beberapa tanggung jawab dan bekerja sama denganku. Orang yang mampu membuat keputusan yang baik dan memimpin tim dengan efektif. Kalau perlu ada keterampilan-keterampilan lain yang menunjang kerjaku, itu akan lebih baik lagi,” kata Nathan.

“Apakah Tuan Muda sudah memiliki kandidat tertentu?” tanya Pak Djoko.

“Belum, tetapi aku percaya Anda memiliki wawasan yang baik tentang orang-orang di perusahaan ini. Aku ingin Anda membantu memilih kandidat yang tepat,” jawab Nathan dengan tegas.

Pak Djoko merenung sejenak. “Saya akan mulai mencari dan mengevaluasi pegawai yang memenuhi kriteria tersebut. Apakah ada kriteria tambahan yang Tuan Muda inginkan?”

Nathan berpikir sejenak. "Mungkin juga seseorang yang memiliki keahlian di bidang informatika. Aku perlu orang yang paham teknologi untuk mengelola data dan informasi."

“Baik, Tuan Muda. Saya akan segera mulai pencarian ini,” kata Pak Djoko, terlihat bersemangat.

Nathan merasa lega mendengar respon positif dari Pak Djoko. Kepala HRD itu kemudian berdiri setelah percakapan selesai. Tanpa banyak bicara lagi, dia memberikan anggukan kecil kepada Nathan dan segera menuju pintu. Nathan mengamati punggungnya saat Pak Djoko melangkah keluar ruangan. Pintu tertutup dengan lembut, meninggalkan Nathan sendirian. Setelah itu, Nathan menghela napas dan kembali menghadap layar komputernya. Pekerjaan menunggu. Dokumen yang terbuka perlu diperiksa, angka-angka harus diverifikasi, dan rencana yang belum selesai harus segera diselesaikan. Dia menyesuaikan posisinya di kursi, kemudian mulai fokus pada tugas-tugas yang ada di hadapannya, melanjutkan rutinitasnya tanpa gangguan.

Nathan terkejut ketika mendengar suara ribut dari luar ruang kerjanya. Awalnya terdengar samar, namun suara itu makin jelas. Seseorang berteriak-teriak, meneriakkan nama “Denis” disertai makian kasar. Suara itu semakin mendekat hingga akhirnya terdengar tepat di depan pintunya. Tiba-tiba, pintu ruang kerja Nathan terbuka dengan keras. Hantaman itu membuat daun pintu terlepas dan hancur berkeping-keping di lantai. Serpihan kayu berterbangan, sebagian mengarah ke Nathan. Untung saja, dengan reflek cepat, Nathan menangkis serpihan-serpihan tersebut sebelum mengenai dirinya. Dia terdiam sejenak, menatap kekacauan yang baru saja terjadi, sambil mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi.

Nathan menatap pintu yang hancur, serpihan kayu berserakan di lantai. Di ambang pintu, seorang pria berpakaian pangsi, dengan golok terhunus di tangan, berdiri sambil mengacungkannya ke arah Nathan. Matanya liar, penuh kemarahan. "Denis! Mana Denis? Anjink!" teriaknya sambil mengayunkan golok ke udara.

Nathan tetap tenang meskipun suasana tegang. "Denis sudah tidak bekerja lagi di sini," ujar Nathan dengan suara yang tegas namun terkendali. "Saya yang menggantikan posisinya sekarang."

Pria itu semakin murka. "Bohong! Saya tahu Denis ada di sini. Dia pengecut, kabur dari tanggung jawabnya! Saya datang untuk menantangnya, duel sampai mati!" teriaknya sambil mengayunkan golok lebih keras, membuat para staf di luar ruangan semakin panik.

Nathan mencoba menenangkan orang tersebut. "Dengar, saya bisa membantu menyelesaikan masalah ini. Denis sudah tidak di sini, tapi kita bisa bicarakan ini baik-baik."

Namun, orang itu seolah tak mendengar. Tatapannya semakin liar, tubuhnya bergetar seperti dikuasai amarah yang tak terkendali. "Kamu kaki tangan Denis, ya? Kamu pasti tahu di mana dia! Jangan pura-pura bodoh!" teriaknya sambil melangkah maju ke dalam ruangan.

Nathan mengangkat tangannya perlahan, mencoba meredakan situasi. "Kamu salah paham. Saya tidak ada urusan dengan Denis, tapi saya yang bertanggung jawab di sini sekarang. Tolong, tenang ……."

Sebelum Nathan sempat menyelesaikan kalimatnya, pria berpakaian pangsi itu menyerang dengan goloknya. Serangan itu bukan sembarang serangan, gerakannya cepat dan penuh tenaga, seolah ada kekuatan mistis di balik setiap ayunannya. Nathan melompat ke samping, menghindari tebasan pertama yang hampir mengenai bahunya. Golok itu meluncur sangat deras dan menghantam meja kerja Nathan. Suara kayu yang terbelah terdengar menggelegar, serpihan dan debu beterbangan di udara. Meja itu terbelah menjadi dua, bagian atasnya runtuh seketika, menghantam lantai dengan suara keras. Nathan terpaku sesaat, melihat meja yang biasanya menjadi pusat kendalinya kini hancur berkeping-keping.

Pria itu melanjutkan serangannya, mengayunkan golok dengan gerakan yang sulit diantisipasi. Nathan dengan cepat menghindar, namun pria itu seperti memiliki ilmu kanuragan, tubuhnya bergerak lincah dengan kecepatan yang tidak biasa. Setiap serangannya semakin ganas, dan Nathan dipaksa bertahan dengan reflek yang tajam.

"Berhenti! Kamu salah orang!" teriak Nathan, mencoba menghentikan serangan tersebut, namun pria itu tidak peduli.

"Aku akan habisi semua orang yang melindungi Denis!" teriak pria itu dengan suara menggema, wajahnya menyala dengan kebencian, seolah terlahir dari kegelapan yang mengerikan.

Orang itu melesat mendekati Nathan, gerakannya begitu cepat sehingga seolah-olah dia menghilang dari pandangan sejenak. Dalam sekejap, goloknya berkelebat dengan jurus-jurus pendek dan cepat, mengurung Nathan dalam serangan yang sangat mematikan. Setiap ayunan goloknya melesat dengan presisi, namun Nathan tetap tenang. Dalam lima menit, semua jurus telah dikeluarkan, tetapi Nathan tak tersentuh sedikit pun oleh ujung goloknya yang tajam berkilat-kilat. Ruangan yang dulunya rapi kini berantakan, barang-barang berceceran akibat sabetan golok. Nathan berkali-kali menendang orang itu, setiap tendangan membuatnya terpental dan membentur tembok. Namun, meski berkali-kali terjatuh, orang yang kalap itu tetap berdiri, kembali menyerang dengan marah.

Memasuki menit ke sepuluh, kondisi berbalik. Orang itu mulai terdesak, nafsu serangnya berkurang. Goloknya kini tampak berat, seolah kehilangan tenaga. Pada menit ke dua belas, saat Nathan bersiap, dia melihat celah. Dengan kecepatan yang mengejutkan, kaki kanan Nathan menendang pinggang orang itu yang terbuka. Terdengar suara melenguh pendek saat tubuhnya terdorong ke samping. Belum sempat menguasai diri, serangan beruntun Nathan datang lagi.

“Akh!” teriak orang itu, suaranya tertahan saat serangan itu mengenai dirinya.

Dalam sekejap, saat orang itu kehilangan keseimbangan, Nathan meluncurkan Ajian Brajamusti level terendah. Serangannya tepat mengenai dada orang itu. Tubuhnya roboh ke lantai, darah segar menyembur dari mulutnya. Napasnya tersengal-sengal, dadanya teramat sesak, sulit untuk bernapas. Dalam keadaan terdesak, orang itu bersimpuh, memegangi dadanya dan sesekali batuk, darah segar mengalir dari mulutnya.

Nathan berdiri kokoh di depan orang yang baru saja dilumpuhkannya. Dalam suasana tenang, dia menatap wajah marah yang kini berlumuran darah. "Anda telah merusak tempat kerjaku," katanya tegas, suaranya tetap tenang. "Anda harus menanggung konsekuensinya." Nathan melanjutkan, "Sangat disayangkan sikap Anda itu. Kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah." Dia mengamati reaksi orang itu, berharap sedikit ketenangan dapat meredakan situasi. Namun, amarah di wajah lawannya masih jelas terlihat.

Orang itu menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan emosi. "Denis adalah penyebab kemarahanku," ujarnya, suaranya penuh beban.

Nathan mengangkat alis. "Denis? Apa hubungan Denis denganku? Ini kantorku, bukan miliknya."

Pak Adnan, dengan mata yang memerah karena amarah dan kelelahan, berusaha bangkit dari lantai. "Dia membeli tanahku tiga tahun yang lalu. Lima milyar! Tapi sampai sekarang, tidak sepeser pun uang yang kuberikan untuk keluarga datang dari dia. Sesuai perjanjian, dia harus membayar paling lambat lima bulan, tapi sekarang? Tiga tahun berlalu dan dia menghilang begitu saja!"

Nathan menarik napas panjang, mencoba memahami situasinya. "Tunggu," katanya, mengangkat tangannya sejenak, "Anda mengatakan Denis membeli tanah Anda tapi belum membayar?"

"Ya!" seru Pak Adnan dengan frustrasi, "Aku sudah menunggunya terlalu lama! Itu tanah satu-satunya warisan keluargaku. Aku berjuang untuk itu!"

Nathan menatap Pak Adnan lebih dalam. "Tapi, kenapa Anda datang ke sini? Apa yang membuat Anda berpikir Denis ada hubungannya denganku?"

Pak Adnan menggeram, suaranya mulai melemah namun tetap penuh emosi. "Aku pikir ini kantor Denis... Aku datang ke sini karena di dokumen tanah itu tertulis alamat ini! Aku kira kau bekerja sama dengannya atau bahkan menyembunyikannya."

Nathan mengerutkan kening, lalu menjawab tegas, "Ini adalah kantorku, Pak. Denis telah berhenti dan aku yang menggantikannya.”

Pak Adnan menghempaskan dirinya ke kursi yang sudah rusak di tengah ruangan yang berantakan. "Aku tidak punya pilihan lain. Aku butuh uang itu. Keluargaku menderita, Nathan. Tiga tahun ini sangat berat. Aku hanya ingin hakku."

Nathan memandang Pak Adnan dengan lebih lembut. Meski tadi terjadi perkelahian yang memanas, sekarang dia melihat pria di depannya bukan lagi sebagai ancaman, tapi sebagai seseorang yang putus asa. "Baik," kata Nathan pelan, "Aku tidak tahu soal masalah ini sebelumnya. Tapi jika Anda datang dengan cara yang lebih tenang, kita bisa bicara baik-baik."

Pak Adnan menunduk, menahan rasa malu. "Saya terlalu marah... terlalu kecewa..."

Nathan berjalan mendekat, duduk di hadapan Pak Adnan. "Aku mengerti. Begini, aku tidak ingin Anda pulang dengan tangan kosong. Aku berjanji akan membantu Anda. Aku akan bicara dengan Denis. Kalau perlu, aku akan menanggung beban itu dan membayar hak Anda. Tapi beri aku waktu untuk menyelesaikannya."

Pak Adnan mengangkat kepalanya dengan tatapan penuh harap. "Kau... kau serius?"

Nathan mengangguk perlahan. "Ya, aku serius. Aku akan coba membantu. Tapi sebelum itu, mari kita mulai dengan perkenalan. Nama saya Nathan." Ia mengulurkan tangan dengan sikap tenang dan penuh niat baik.

Pak Adnan memandang tangan Nathan sejenak, seolah masih terjebak di antara amarah dan rasa malu. Setelah beberapa saat, ia akhirnya menjabat tangan Nathan dengan lemah. "Adnan... Adnan Malik," jawabnya singkat, suaranya masih terdengar berat, namun kini tanpa nada permusuhan.

Nathan tersenyum tipis, mencoba mencairkan suasana. "Senang berkenalan dengan Anda, Pak Adnan, meskipun dalam situasi yang tidak ideal seperti ini."

Pak Adnan menundukkan kepalanya sedikit, merasakan rasa malu kembali menyeruak. "Maafkan aku... aku tidak tahu harus ke mana lagi. Aku kira ini kantornya Denis, dan kau bekerja dengannya. Aku hanya ingin uangku kembali."

Nathan mengangguk, memahami latar belakang kemarahan pria itu. "Aku mengerti. Tapi seperti yang aku katakan tadi, ini bukan kantor Denis, dan aku tidak bekerja sama dengannya. Aku bisa bantu Anda mencari dia atau setidaknya mencari solusi lain."

Pak Adnan menghela napas, merasakan sedikit beban berkurang. "Aku terlalu tergesa-gesa, terlalu penuh emosi. Namamu Nathan, ya? Maafkan aku, Nathan... aku benar-benar sudah putus asa."

Nathan menatap pria itu dengan simpati. "Tidak perlu minta maaf lagi, Pak Adnan. Aku bisa mengerti. Situasi seperti ini memang bisa membuat siapa pun frustasi. Sekarang, mari kita coba pecahkan masalah ini bersama. Anda ceritakan semuanya dari awal, dan aku akan lihat apa yang bisa aku lakukan."

Pak Adnan mengangguk pelan, matanya mulai terlihat lebih tenang, meski masih ada rasa lelah dan sakit di dalamnya. "Terima kasih, Nathan... terima kasih karena mau mendengarku."

Nathan duduk di kursinya yang rusak, memikirkan kesepakatan yang baru saja dicapai dengan Pak Adnan. Ia berjanji untuk membayar uang tanah dalam waktu satu minggu setelah berbicara dengan Denis. Ruangan yang berantakan membuatnya merasa tidak nyaman. Setelah Pak Adnan pergi, Nathan melihat dua pegawainya berdiri di ambang pintu yang sejak tadi melihat kejadian. Nathan menginstruksikan mereka untuk memanggil cleaning service dan petugas perbaikan.

Setelah pegawainya pergi, Nathan mengamati layar komputernya yang retak. Sebagian besar pekerjaan yang sudah ia lakukan hilang, dan ia merasa frustrasi. Ia menggelengkan kepala, mengingat semua waktu yang terbuang sia-sia. Meskipun merasa lelah, ia tahu bahwa ia harus mengulang semua pekerjaan yang hilang. Ketika petugas kebersihan tiba dan mulai membersihkan, Nathan memutuskan untuk pulang.

Nathan keluar dari ruang kerja dan berjalan cepat menuju lift. Ia menekan tombol panggil lift, menunggu dengan sedikit gelisah. Begitu pintu lift terbuka, ia masuk dan menekan tombol ke basement. Lift bergerak perlahan, dan angka di panel layar menurun. Ketika pintu lift terbuka di basement, Nathan melangkah keluar dan menuju tempat parkir.

Ia melihat mobilnya terparkir di sudut. Nathan membuka pintu mobil, duduk di kursi pengemudi, dan memasukkan kunci ke kontak. Mesin mobil menyala dengan suara yang familiar. Ia melajukan mobil keluar dari basement, melalui ramp yang menanjak. Perjalanan menuju rumah Maya terasa sepi, hanya suara mesin dan sesekali deru angin yang terdengar. Nathan berfokus pada jalan, menghindari pikiran yang mengganggu.

Setelah beberapa waktu, Nathan tiba di rumah Maya. Ia memarkir mobil di garasi dengan rapi. Setelah keluar dari mobil, ia menutup pintu dan berjalan menuju pintu masuk rumah. Di dalam, suasana terasa hangat dan nyaman. Nathan menyusuri lorong, melintasi beberapa foto yang tergantung di dinding. Ia mencari Denis, menyadari bahwa ia perlu segera berbicara.

Nathan tiba di bar mini yang terletak di sudut ruang tamu. Di sana, ia menemukan Denis duduk sendirian, memegang gelas. Suasana di sekitar bar terasa tenang, dengan lampu lembut yang menerangi ruangan. Nathan mendekat dan memilih untuk duduk di sebelah Denis. Denis tidak mengalihkan pandangannya dari gelas. Nathan duduk diam sejenak. Ia melihat wajah Denis yang serius. Suasana hening menyelimuti mereka.

"Denis, ada apa denganmu?" tanya Nathan, memecah keheningan yang menggelayuti.

Denis menghela napas panjang, suaranya pelan saat dia menjawab, "Hidupku sudah berakhir, Nathan."

Nathan terkejut. "Maksudmu, kenapa bisa begitu? Apa yang terjadi?"

Denis menunduk, mengerutkan dahi. "Aku merasa seperti sudah tidak diperlukan lagi oleh Maya. Dia tidak memberiku perhatian seperti dulu. Seolah aku sudah menghilang dari hidupnya."

"Jadi, apa yang sebenarnya kamu inginkan, Denis?" Nathan bertanya, berusaha memahami.

"Aku ingin semuanya kembali seperti dulu," jawab Denis, suaranya bergetar. "Aku ingin Maya percaya padaku lagi. Semua terasa lebih mudah saat dia ada di sampingku."

Nathan mendengarkan dengan seksama. "Jadi, kamu ingin kembali ke posisi semula, kan? Seperti saat kamu dan Maya masih saling mengerti?"

Denis tidak menjawab. Dia malah mengalihkan pandangannya, menatap kosong ke luar jendela. Pandangannya tampak jauh, seolah berusaha mencari jawaban di antara hiruk-pikuk kehidupan di luar sana.

Nathan melanjutkan, "Kalau itu yang kamu inginkan, aku bersedia mengundurkan diri, Denis. Jujur, pekerjaanku sekarang ini sangat tidak cocok bagiku. Aku merasa kurang menjiwai."

Denis tiba-tiba menoleh ke wajah Nathan, matanya lebar. "Apa katamu?"

Denis tampak bingung, raut wajahnya memperlihatkan ketidakpastian. Nathan melanjutkan, menegaskan pendiriannya. "Aku serius, Denis. Jika itu yang kamu inginkan, aku akan memberikan posisiku kembali kepadamu. Aku ingin kamu bahagia, dan jika itu berarti aku harus mundur, aku akan melakukannya."

Denis terdiam, matanya mulai berkaca-kaca. "Tapi, Nathan... Bukankah itu keputusan besar? Kamu telah berjuang keras untuk mencapai posisi ini. Aku tidak ingin membuatmu menyesal."

Nathan tersenyum lembut. "Jangan khawatir tentang aku. Selama ini aku sudah merasa tidak cocok dengan apa yang aku lakukan. Melihatmu menderita seperti ini lebih menyakitkan. Jika kembalinya posisimu bisa mengembalikan senyum di wajahmu, aku akan melakukannya tanpa ragu."

Denis menggelengkan kepalanya, terlihat tidak percaya. "Kau benar-benar akan melakukan itu untukku?"

Nathan mengangguk dengan tegas, menatap Denis dengan penuh keyakinan. "Ya, Denis. Aku benar-benar akan melakukannya untukmu. Tapi ada satu hal yang perlu kamu ingat: jika kamu ingin mendapatkan kembali posisimu, kamu harus mengubah sikapmu yang arogan. Ingat, itulah salah satu alasan mengapa Maya memberhentikanmu dulu."

Denis terkejut mendengar kata-kata Nathan. "Sikap arogan? Aku... aku tahu itu adalah masalahku, tapi aku sudah berusaha untuk berubah."

"Perubahan sejati tidak datang dalam semalam," kata Nathan. "Kamu perlu menunjukkan bahwa kamu benar-benar berkomitmen untuk memperbaiki dirimu. Jika kamu ingin mendapatkan kembali kepercayaan Maya, kamu harus membuktikannya dengan tindakan. Tunjukkan bahwa kamu bisa menghargai orang lain, bukan hanya dirimu sendiri."

Denis menggigit bibirnya, mengingat kembali semua kesalahan yang pernah ia buat. "Aku tahu aku sering bersikap egois. Kadang-kadang, aku merasa tertekan dan itu membuatku bertindak di luar batas."

"Aku mengerti itu, Denis. Kita semua mengalami masa sulit. Tapi kamu harus ingat bahwa hubungan yang sehat dibangun di atas saling menghargai. Jika kamu ingin Maya kembali, kamu perlu memperlihatkan bahwa kamu bisa menjadi sosok yang lebih baik. Bukan hanya untuknya, tapi juga untuk dirimu sendiri."

Denis menatap Nathan, menyadari bahwa sahabatnya itu berbicara dengan ketulusan. "Jadi, jika aku berusaha untuk memperbaiki diriku, kamu benar-benar akan memberiku kesempatan lagi?"

"Ya, aku akan memberimu kesempatan. Tapi ingat, ini adalah proses yang membutuhkan waktu. Kamu harus sabar dan konsisten," jawab Nathan. "Berhentilah melihat dirimu sebagai yang paling penting, dan mulailah melihat orang lain di sekitarmu. Dengan cara itu, kamu tidak hanya akan mendapatkan kembali Maya, tetapi juga kepercayaan orang-orang di sekelilingmu."

Denis mengangguk, mulai merasa semangat baru tumbuh dalam dirinya. "Baiklah, Nathan. Aku berjanji akan berusaha. Ini adalah kesempatan kedua yang tidak akan aku sia-siakan."

Nathan tersenyum, merasakan semangat baru di dalam diri Denis. Namun, dia tahu ada langkah lain yang harus diambil. "Denis, aku rasa sudah saatnya aku menemui Maya. Aku akan menyatakan pengunduran diriku secara resmi."

Denis terkejut. "Kau akan menemui Maya? Dan memberi tahu dia tentang pengunduran dirimu? Apa kau yakin itu langkah yang tepat?"

Nathan mengangguk mantap. "Ya, aku yakin. Aku ingin dia tahu bahwa aku bersedia mengundurkan diri demi kebaikanmu. Dan aku rasa, yang paling tepat adalah aku merekomendasikan kamu sebagai penggantiku."

Denis terlihat bingung dan cemas. "Tapi, bagaimana jika dia tidak mau menerimaku lagi? Bagaimana jika semua ini sia-sia?"

"Denis, kamu tidak akan pernah tahu jika tidak mencobanya. Jika kamu ingin mendapatkan kembali kepercayaan Maya, kamu harus berani mengambil langkah ini. Dan aku akan ada di sampingmu untuk mendukungmu, bahkan saat aku tidak lagi berada di posisi ini," jawab Nathan dengan penuh keyakinan.

"Dan jika Maya melihat betapa seriusnya kamu untuk berubah, dia mungkin akan memberikanmu kesempatan. Dia mengenalmu, Denis. Jika kamu menunjukkan bahwa kamu telah memperbaiki sikapmu, aku percaya dia akan mempertimbangkanmu," tambah Nathan.

Denis mengusap wajahnya, tampak berjuang dengan perasaannya. "Tapi, jika ini tidak berhasil, aku akan merasa sangat buruk. Apa yang akan aku lakukan jika Maya menolakku lagi?"

Nathan menatapnya dengan penuh pengertian. "Setiap proses perubahan pasti ada risikonya. Tapi ingat, Denis, tanpa usaha, kamu tidak akan pernah bisa mendapatkan apa yang kamu inginkan. Jika kamu ingin menjadi orang yang lebih baik dan mendapatkan kembali hubunganmu dengan Maya, ini adalah langkah yang harus diambil."

Denis menghela napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. "Oke, jika kamu yakin ini yang terbaik, aku akan mendukungmu. Aku hanya ingin memastikan kamu tidak merasa terbebani dengan keputusanku."

Nathan tersenyum, menepuk bahu Denis lagi. "Tidak perlu khawatir. Kita akan melalui ini bersama. Mari kita bicarakan dengan Maya, dan aku akan menjelaskan semuanya. Siapakah yang lebih baik untuk menggantikan posisiku daripada orang yang sebenarnya pantas untuknya?"

Denis mengangguk, merasa sedikit lebih tenang. "Baiklah, Nathan. Aku akan berusaha sebaik mungkin. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini."

Nathan dan Denis berjalan bersama menuju ruang kerja Maya di rumahnya. Sepanjang perjalanan, Denis merasakan kebesaran hati Nathan. Ia merasa bersalah atas sikap arogan yang pernah ditunjukkannya. Penyesalan mengisi pikirannya, membuatnya merenungkan tindakan masa lalu yang telah merusak hubungan dengan Maya. Rasa bersalah itu semakin dalam saat ia menyadari betapa besar pengorbanan Nathan untuknya. Denis tidak dapat mengabaikan perasaan bahwa dirinya telah menyakiti orang-orang yang peduli padanya.

Mereka melewati ruang tamu yang nyaman, melihat berbagai foto keluarga yang tergantung di dinding. Denyut kehidupan rumah itu mengingatkan Denis pada kenangan indah bersama Maya. Tak lama kemudian, mereka tiba di depan pintu ruang kerja Maya. Nathan berhenti sejenak dan menghela napas. Ia mengetuk pintu dengan lembut. Suara panggilan terdengar dari dalam. Nathan membuka pintu dan membiarkan Denis masuk terlebih dahulu, lalu ia menyusul. Maya memandang kedua pria itu dengan tatapan heran, seolah sedang mempertanyakan kedatangan mereka.

Nathan berdiri di hadapan Maya, mengumpulkan keberanian. Dengan suara yang tegas namun tenang, ia berkata, “Maya, aku sudah memikirkan matang-matang tentang keputusanku. Aku tidak menjiwai pekerjaanku sebagai asisten pribadimu. Perasaan ini sudah ada sejak beberapa waktu lalu. Aku merasa pekerjaan ini tidak sesuai dengan jati diriku, dan itu membuatku tidak bersemangat setiap hari.”

Maya tampak agak terkejut, tetapi ia tetap tenang. Ia bertanya, “Apa penyebabnya, Nathan? Kenapa kamu merasa tidak menjiwai pekerjaan ini?”

Nathan menghela napas, mencoba menjelaskan dengan jujur. Ia menyatakan bahwa ia tidak tahan pada tekanan tanggung jawab yang dibebankan padanya. Terkadang, tuntutan pekerjaan membuatnya merasa terjebak. Menurutnya, beban yang harus ia tanggung terlalu berat untuk dihadapi. “Setiap keputusan yang aku buat terasa seperti beban di pundakku. Aku merasa tidak bisa memberikan yang terbaik,” ujarnya.

Maya mendengarkan dengan seksama. Ia mengangguk, mencoba memahami perasaan Nathan. “Nathan, kamu harus belajar menahan tekanan itu. Ini adalah bagian dari perkembangan dirimu. Setiap pekerjaan pasti memiliki tantangannya. Jika kamu menghindar, kamu tidak akan bisa tumbuh.”

Nathan merespons dengan penuh kesadaran. Ia mengerti bahwa belajar menahan tekanan adalah bagian penting dari karier. “Aku akan belajar di belakang layar, tetapi saat ini, untuk mengemban tanggung jawab itu sepenuhnya, aku merasa tidak sanggup. Aku perlu waktu untuk menemukan kembali diriku sendiri.”

Maya mengangguk, menyadari bahwa keputusan ini bukanlah hal yang mudah. Namun, saat ia akan menjawab, perhatian Maya beralih ke Denis yang berdiri di samping Nathan. Ia menanyakan kehadiran Denis di ruang kerjanya langsung kepada Denis. “Denis, apa yang membuatmu datang ke sini bersama Nathan? Apakah ada yang ingin kamu sampaikan?”

Denis merasa jantungnya berdegup kencang saat semua mata tertuju padanya. Ia berusaha menenangkan diri untuk menjawab pertanyaan Maya.

Nathan menyadari bahwa Denis masih kaku dan ragu untuk berbicara, sehingga ia memutuskan untuk memulai percakapan. "Maya," ujar Nathan, "Aku yang menyarankan Denis untuk bertemu denganmu hari ini. Ada sesuatu yang penting yang ingin ia bicarakan denganmu."

Maya tidak melepaskan pandangannya dari Denis. Matanya menyipit sedikit, memancarkan rasa penasaran dan ketegasan. "Apa yang ingin kamu bicarakan, Denis?" tanyanya tanpa basa-basi.

Denis tampak gugup. Ia tergagap saat memulai kalimatnya, suaranya terdengar pelan dan tidak yakin. "Tadi... tadi aku berbicara dengan Nathan, dan... dan dia menawarkan posisinya kepadaku."

Maya mendengus halus, menggeleng sedikit. "Tidak semudah itu, Denis. Tidak mudah bagimu untuk menduduki posisi itu lagi. Apa yang membuatmu berpikir aku akan memberimu kesempatan kedua?"

Sebelum Denis sempat menjawab, Nathan menyambar dengan tegas. "Aku rela memberikan posisiku kepada Denis, Maya, tapi dengan syarat. Denis harus mau menghilangkan kesombongannya. Dia sudah paham bahwa sikap itu yang merugikannya selama ini. Aku yakin dia pantas mendapatkan kesempatan kedua. Dan kalau dia mengulangi kesalahannya, kamu bisa memberhentikannya lagi tanpa ragu. Tapi aku yakin Denis sekarang menyadari kesalahannya."

Maya menatap Denis lagi, kali ini lebih lembut namun tetap tajam. "Apakah benar kamu ingin mengubah sikapmu, Denis? Apakah kamu siap menghilangkan arogansimu dan menjadi lebih baik?"

Denis menelan ludah, lalu mengangguk dengan mantap. "Aku berjanji, Maya. Aku tidak akan mengulangi kesalahanku lagi. Aku akan belajar dari semua kesalahan masa lalu. Aku tidak mau mengecewakan siapa pun lagi, terutama kamu."

Maya diam sejenak, menatap Denis, lalu akhirnya tersenyum kecil. "Baiklah, Denis. Aku setuju kamu menduduki posisimu kembali. Dan Nathan, kamu akan menjadi wakil Denis."

"Yes..." Denis bergumam pelan, jelas menunjukkan kegembiraannya.

Namun, Nathan segera protes, wajahnya berubah bingung. "Tunggu, tunggu. Kenapa aku dilibatkan lagi? Aku melepaskan posisiku karena aku tidak ingin bekerja lagi! Bukannya itu sudah jelas?" ujarnya dengan nada frustasi.

Maya menatap Nathan dengan senyum penuh pengertian. "Tadi kamu bilang ingin belajar di balik layar, Nathan. Ini waktunya. Kamu bisa belajar dari Denis. Posisi ini akan menjadi peluang yang bagus untukmu."

Nathan menghela napas panjang, jelas merasa jengkel. "Maya, aku tidak pernah bermaksud menjadi wakil siapa pun. Aku sudah memutuskan untuk mundur, bukan untuk terjebak lagi dalam tanggung jawab. Aku pikir aku sudah cukup jelas soal itu."

Maya tersenyum tipis, tidak terpengaruh oleh protes Nathan. "Kamu bisa mengeluh sesukamu, Nathan, tapi aku rasa ini kesempatan baik untukmu. Kamu bisa belajar, bukan hanya dari pekerjaannya, tetapi juga dari Denis. Kalian akan bekerja sama dengan baik."

Nathan memutar matanya, jelas merasa kalah dalam argumen itu. "Baiklah... tapi jangan salahkan aku kalau aku tidak terlalu antusias."

Maya menahan tawa kecil, merasa percakapan mereka sudah selesai. Ia merapikan beberapa dokumen di mejanya, lalu memandang keduanya. "Kalau begitu, aku rasa sudah cukup. Kalian bisa keluar sekarang dan mulai mengatur semuanya."

Denis dan Nathan saling bertukar pandang sebelum akhirnya mereka meninggalkan ruangan. Denis tampak puas, sementara Nathan masih sedikit frustrasi, tapi tidak bisa mengelak lagi dari kenyataan bahwa ia tetap terlibat.

Kedua pria itu melangkah keluar dari ruangan Maya. Denis terlihat lebih ringan, seolah beban yang menekan dirinya selama ini perlahan terangkat. Nathan berjalan di sampingnya dengan ekspresi yang masih belum sepenuhnya puas. Saat mereka sudah berada di luar, Denis mendekat dan merangkul bahu Nathan dengan erat. Isyarat itu membuat Nathan menoleh sekilas, sedikit terkejut.

“Kita akan menjadi tim yang kuat,” ucap Denis sambil tersenyum lebar saat mereka berjalan keluar menuju bar mini di ruang tamu.

Nathan tetap berjalan di sampingnya, tapi ekspresinya tidak berubah. Langkah kakinya terasa berat, seiring rasa kesal yang mulai memenuhi pikirannya. "Aku tidak mengerti kenapa Maya harus melibatkanku lagi. Aku sudah jelas bilang aku tidak ingin berada di posisi itu lagi," ucap Nathan, suaranya terdengar sedikit kesal.

Denis melangkah dengan santai, menoleh pada Nathan sambil terkekeh. "Oh, ayolah, kawan. Ini kesempatan bagus buat kita bekerja sama. Kita bisa saling mendukung."

Nathan berhenti sejenak di depan bar, matanya menatap Denis dengan frustrasi. "Belajar? Dari kamu?" Nathan menghela napas panjang sebelum melanjutkan, "Aku mundur karena aku tidak tahan dengan semua tekanan ini. Itu artinya aku terjebak dalam peran yang sama lagi."

Mereka sampai di bar mini, dan Denis dengan cekatan mengambil dua gelas. Sambil menuangkan minuman, Denis tetap tersenyum. "Itu hanya masalah perspektif, kawan. Kau terlalu serius soal ini. Kita bisa menjadikannya pengalaman yang menyenangkan."

Nathan mengambil gelas yang diberikan Denis, tapi alih-alih menyesap minumannya, ia hanya menggenggamnya. "Kau tidak paham, Denis. Ini bukan soal bersenang-senang. Aku benar-benar merasa tidak cocok di sini, dan sekarang Maya justru melemparkan tanggung jawab ini kembali padaku. Seolah semua yang kukatakan tadi tidak penting."

Denis tertawa kecil, menepuk bahu Nathan dengan tangan yang tidak memegang gelas. "Tenang saja, kau hanya perlu sedikit rileks. Lagipula, kau kan bilang ingin belajar di belakang layar. Ini kesempatanmu. Jangan khawatir, aku yang membimbingmu dengan tanpa tekanan apa pun."

Nathan menggeram pelan, jelas kesal. "Ya, dan aku yang akan terjebak dengan semua beban kerja di balik layar itu, bukan?"

Denis masih tertawa saat menyesap minumannya, sementara mereka berdiri di dekat bar. "Beban kerja? Kita bisa bagi-bagi tugas, santai saja. Kita tim sekarang."

Nathan memandang Denis dengan tatapan yang penuh frustrasi, minumannya masih belum disentuh. "Tim? Aku tidak pernah setuju dengan ini. Maya memaksaku masuk ke dalam situasi yang aku ingin hindari."

Denis, tetap tenang dengan senyumnya yang santai, menatap Nathan dengan sedikit heran. "Kau terlalu membesar-besarkan masalah ini, kawan. Kita bisa membuat ini berhasil. Percayalah."

Nathan, yang masih terbakar rasa frustrasi, hanya memutar matanya, merasa makin terjebak dalam situasi yang tak diinginkannya.

"Aku punya kabar menarik. Kau harus mendengarnya," ucap Denis sambil menyesap minumannya, matanya menyiratkan rasa antusias.

Nathan mengangkat alis, sedikit bingung, lalu meletakkan gelasnya di meja bar mini. "Apa sekarang?" tanyanya dengan nada penasaran, meskipun masih ada sisa kekesalan dalam suaranya.

Denis menyandarkan tubuhnya ke kursi tinggi di depan bar. "Pasukan Ricko mundur. Setelah mereka tahu bahwa kau adalah anak kandung Maya, mereka langsung berubah pikiran. Tidak ingin berkonfrontasi dengan ibumu," katanya sambil tersenyum tipis.

Nathan tertegun sejenak, lalu menyipitkan matanya. "Mundur? Karena ibuku?"

Denis mengangguk, wajahnya berubah serius. "Kelompok Handoko tidak mau ambil risiko. Orang-orang di luar sana mengenal ibumu sebagai sosok yang sangat ditakuti. Handoko mungkin musuh besar Maya, tapi dia cukup pintar untuk tidak menantang kekuatan sebesar itu secara langsung."

Nathan menyesap minumannya, sedikit lebih tenang tapi masih ragu. "Aku tahu Maya kuat di dunia bisnis, politik, dan pengaruh, tapi aku tidak menyangka sampai segitunya. Ricko sepertinya tidak peduli pada siapa pun."

Denis tertawa kecil, lalu meletakkan gelasnya di meja. "Yah, ada hal yang mungkin kau belum terlalu sadari. Kekuatan Maya bukan cuma tentang koneksi atau pengaruh. Orang-orang takut padanya karena dua hal: kekuasaan, dan... kanuragan."

Nathan mengernyitkan dahi. "Kanuragan?"

Denis mengangguk serius. "Iya. Maya bukan cuma penguasa bisnis dengan jaringan yang sangat luas. Dia punya ilmu kanuragan tak tertandingi. Orang-orang lama, termasuk Handoko, tahu itu. Dia dikenal sebagai sosok yang tidak bisa dikalahkan dalam pertarungan fisik. Cerita tentang bagaimana dia mengalahkan lawan-lawannya secara langsung sudah jadi legenda di kalangan mereka. Bukan hanya kekuatan politik atau bisnis yang menakutkan, tapi kemampuan kanuragan yang membuatnya tak ada bandingnya."

Nathan terdiam, terkejut dengan informasi ini. "Aku tahu Maya punya kemampuan luar biasa, tapi aku tidak pernah benar-benar menyangka kalau dia... sekuat itu."

Denis tersenyum, lalu menatap Nathan dengan tatapan yang penuh arti. "Kau mungkin belum melihat langsung, tapi mereka yang sudah pernah menghadapinya tahu betul. Handoko dan Ricko tahu kalau mereka tidak hanya melawan pengaruh Maya, tapi juga menghadapi seseorang yang bisa menghancurkan mereka dengan tangannya sendiri jika perlu."

Nathan memandang gelasnya lagi, perlahan mulai mengerti. "Jadi, mereka mundur karena Maya adalah ancaman di semua sisi."

"Benar," jawab Denis dengan tegas. "Membuat masalah denganmu adalah kesalahan besar. Mereka tahu kalau Maya akan melindungimu dengan segala kekuatannya, baik itu kekuatan politik atau ilmu kanuragan. Handoko cukup pintar untuk tidak ingin berurusan dengan itu."

Nathan akhirnya menyesap minumannya, merenungkan semua yang baru saja didengarnya. "Aku tidak tahu harus merasa bangga atau takut dengan kabar ini."

Denis tertawa lagi. "Anggap saja ini keuntungan punya ibu seperti Maya. Kita bisa duduk tenang di sini, menikmati minuman, sementara musuh kita gemetar hanya mendengar namanya. Tak ada yang berani mendekat, kawan. Selama Maya masih berdiri di belakang kita, kita tidak terkalahkan."

Mendengar penjelasan Denis tentang ilmu kanuragan Maya, hati Nathan langsung ciut. Bukan hanya kekuatan politik dan bisnis yang membuat ibunya ditakuti, tetapi juga keahliannya dalam hal yang jauh lebih mendalam dan berbahaya. Ilmu kanuragan Maya, yang tak ada bandingannya, menjadi ancaman nyata bagi siapa pun yang berani menentangnya. Nathan mulai merasakan betapa kecil dirinya di hadapan sosok Maya. Ia selalu tahu bahwa Maya adalah wanita yang tangguh, tetapi ia tidak pernah benar-benar mengerti seberapa besar kekuatan yang dimiliki ibunya.

Tiba-tiba, Nathan teringat kembali pada ritual Sanghyang Jiva, dan saat itu juga, rasa takutnya semakin dalam. Pikiran tentang transformasi Maya menjadi serigala yang memangsa tumbal menghantui benaknya. Ia membayangkan dirinya terjebak dalam situasi yang sangat mengerikan, di mana ia bukan lagi anak kandung Maya, tetapi sekadar santapan serigala jadi-jadian. Kecemasan menyelimuti pikirannya. Bagaimana jika dirinya benar-benar menjadi tumbal? Apa yang akan terjadi pada dirinya? Ketakutan menyebar dalam jiwanya.

“Denis… Apakah yang kamu ketahui tentang ritual Sanghyang Jiva?” tanya Nathan, suaranya dipenuhi rasa cemas. Pertanyaan itu sukses membuat Denis terkejut, keningnya berkerut.

“Kamu tahu dari siapa ritual itu?” tanya Denis, nada suaranya berubah tegang.

“Heni… Heni yang memberitahuku,” jawab Nathan, merasakan ketegangan di udara.

Denis menghela napas dalam-dalam. “Seharusnya Heni tidak memberitahukan kamu tentang ritual itu. Ini sangat berbahaya,” katanya, nada suaranya menegaskan kepanikan yang mulai merayapi dirinya.

Nathan terlihat berusaha tenang. “Tapi Heni percaya padaku. Dia yakin aku bisa mengalahkan serigala jadi-jadian itu,” ujarnya, mencoba meyakinkan diri sendiri.

Denis menggelengkan kepalanya. “Aku tidak bisa menjamin itu. Walaupun aku tahu kamu memiliki ilmu kanuragan tinggi, makhluk serigala jadi-jadian itu sangatlah kuat. Ada seorang yang mempunyai ilmu kanuragan terkuat di negeri ini yang mencoba peruntungan menjadi tumbal hanya karena diiming-imingi uang 10 milyar oleh Maya. Dia ingin menjinakkan serigala jadi-jadian itu. Hanya hitungan detik, dia malah menjadi tumbal. Nasib yang sama juga dialami oleh lima orang lainnya yang memiliki ilmu kanuragan sangat tinggi. Mereka semua berpikir bisa menjadi pahlawan, tetapi dalam hitungan detik, mereka menjadi tumbal dalam ritual itu. Jangan pernah berpikir untuk menjadi tumbal dalam ritual itu. Itu bukanlah jalan yang benar,” kata Denis, menekankan setiap kata yang diucapkannya.

Nathan memandang Denis dengan intens, rasa penasaran dan kekhawatiran bercampur aduk di pikirannya. “Seberapa kuat serigala jadi-jadian itu?” tanyanya, suaranya bergetar sedikit.

Denis menghela napas, mencoba menyusun kata-kata yang tepat. “Serigala jadi-jadian itu bukan sembarang makhluk. Makhluk itu memiliki kekuatan fisik yang luar biasa dan kemampuan untuk mengendalikan elemen. Mereka dapat menghilang dan muncul kembali dalam sekejap. Tidak hanya itu, mereka juga mempunyai kecepatan yang sangat tinggi, sehingga sulit untuk ditangkap,” jelas Denis dengan nada serius.

“Dan jika makhluk itu sudah mencium aroma ketakutan atau kelemahan, dia akan semakin kuat,” tambah Denis, memberikan penjelasan lebih lanjut. “Kekuatannya akan berlipat ganda, membuat makhluk itu hampir tak terkalahkan. Semakin kamu ciut, semakin besar kekuatan yang makhluk itu dapatkan. Itu membuat serigala itu sangat berbahaya, karena ketakutanmu justru menjadi sumber kekuatannya.”

Nathan merenungkan semua informasi yang didapat. Ia menimbang semua risiko dan potensi akibat dari keputusan yang akan diambil. Ketakutan dan kecemasan mulai menggerogoti pikirannya. Dalam sekejap, gambaran serigala jadi-jadian yang mengerikan muncul dalam benaknya. Makhluk itu tidak hanya kuat, tetapi juga bisa memanfaatkan ketakutan. Nathan menyadari bahwa kekuatan Maya tidak bisa dianggap remeh. Keterikatan emosional yang ada di antara mereka menjadi tidak relevan ketika nyawa dipertaruhkan.

Akhirnya, ia sampai pada kesimpulan tegas. Menjadi tumbal dalam ritual Sanghyang Jiva bukanlah pilihan yang bijak. Keinginan untuk membantu Maya harus diimbangi dengan kesadaran akan bahaya yang mengintai. Nathan tidak ingin menjadi bagian dari sesuatu yang dapat merugikan dirinya sendiri. Pemikiran untuk menjadi mangsa serigala jadi-jadian hanya akan mengantarkannya pada petaka.

Tiba-tiba Nathan teringat sesuatu, “Oh ya Denis … Kamu harus membayar tanah yang kamu beli dari Pak Adnan.”

“Pak Adnan? Siapa dia?” Denis heran merasa tidak berurusan dengan seseorang bernama itu.

“Tadi siang, dia datang ke kantorku dengan marah-marah mencarimu. Aku tidak bisa menahannya, dan akhirnya terjadilah pertarungan antara kami. Kantorku hancur lebur, jadi aku pulang siang. Dia mengatakan bahwa kamu pernah membeli tanahnya tiga tahun yang lalu. Kamu berjanji akan membayarnya paling lambat dalam lima bulan. Namun, setelah tiga tahun, kamu tidak pernah membayarnya,” jelas Nathan.

“Mungkin aku lupa. Nanti aku …. Sebentar … Kamu bilang kantormu hancur?” tanya Denis dengan mata melotot.

“Iya,” jawab Nathan santai.

“Ya ampun Nathan … Itu kantorku dan semua berkas pekerjaanku ada di sana! Bagaimana bisa kamu menghancurkannya?” ucap Denis kesal.

“Sorry … Aku gak sengaja …” respon Nathan santai sembari beranjak lalu meninggalkan Denis begitu saja. Denis pun hanya bisa geleng-geleng kepala.

Nathan melangkah menuju kamarnya dengan langkah berat. Ia merasa lelah setelah mengalami pertengkaran yang menguras tenaga. Begitu sampai, ia merebahkan tubuh di atas tempat tidur. Dalam keheningan, pikiran-pikirannya berputar tanpa henti. Tiba-tiba, ingatan akan ayahnya yang hilang menyergapnya. Selama berhari-hari, Nathan tidak mengetahui keberadaan ayahnya. Ketidakpastian itu terus membayangi hidupnya. Ia sering bertanya-tanya tentang apa yang terjadi.

Nathan terbaring di ranjangnya, merasa lelah setelah serangkaian peristiwa yang menegangkan. Sinar matahari yang masuk dari celah tirai menambah suasana tenang di dalam kamarnya. Ia menutup mata, membiarkan keheningan mengalir menenangkan pikirannya. Perlahan, napas pemuda itu mulai teratur dan tubuhnya semakin nyaman di atas kasur. Dalam sekejap, ia terlelap, terasing dari dunia luar yang penuh tekanan.

Entah berapa lama Nathan tertidur namun kini ia merasakan sebuah usapan lembut di pipinya. Sentuhan itu terasa hangat dan membangunkannya perlahan. Dengan sedikit usaha, Nathan membuka mata. Di hadapannya, Maya tersenyum manis. Pemuda itu mengamati wajah Maya yang berseri. Dengan gerakan lembut, Nathan menangkap tangan Maya yang masih mengusap pipinya lalu ia mencium tangan Maya dengan lembut.

“Terima kasih ya, sayang. Kamu sudah mengubah Alex,” kata Maya dengan penuh kehangatan.

Nathan menggumam kecil, setengah tertidur. “Oh…” Ia perlahan bangkit dari posisi tidurnya, lalu bergeser duduk di tepi tempat tidur di samping Maya. “Alex atau Denis?” canda Nathan, matanya masih sedikit sayu, mencoba mengumpulkan kesadarannya.

Maya tersenyum semakin lebar. “Ya, mereka berdua…”

Nathan tersenyum tipis sambil mengusap wajahnya yang masih sedikit mengantuk. “Aku tidak melakukan apa-apa, dia yang berubah sendiri.”

Maya menggelengkan kepalanya pelan, seolah tidak setuju dengan jawaban Nathan. “Bukan cuma dia. Kamu yang selalu sabar dan nggak pernah menyerah. Kamu yang selalu baik sama dia, meski dia keras kepala dan arogan dulu.”

Nathan menatap Maya sejenak, merasa bingung dengan pujian itu. “Aku cuma berusaha bersikap baik, nggak lebih. Semua orang bisa berubah kalau mereka mau.”

“Tapi nggak semua orang punya kesabaran seperti kamu,” kata Maya, masih dengan nada lembut tapi penuh keyakinan. “Kamu tetap baik sama dia, meski aku tahu dia bukan orang yang mudah berubah.”

Nathan tersenyum, merasa sedikit malu dengan pujian itu. “Aku cuma ingin dia tahu, kalau masih ada orang yang percaya dia bisa jadi lebih baik.”

Maya meletakkan tangannya di tangan Nathan, memandangnya dengan penuh rasa syukur. “Dan sekarang lihatlah, Denis atau Alex sudah berubah jadi orang yang lebih baik. Semua karena kamu nggak pernah menyerah.”

Nathan terdiam sejenak, merasakan kebahagiaan kecil dari apa yang dikatakan Maya. Baginya, dia tidak pernah merasa melakukan sesuatu yang besar, tapi mendengar Maya memuji usahanya, ada perasaan bangga yang tak bisa ia pungkiri.

“Terima kasih,” ujar Nathan akhirnya, suaranya lirih tapi penuh arti.

Maya bangkit dan tanpa berkata-kata lagi dia melangkah keluar kamar. Nathan hanya bisa menatap punggung Maya yang semakin menjauh, sampai akhirnya menghilang di balik pintu. Dia menarik napas dalam dan menoleh ke arah ponsel yang tergeletak di atas meja. Layar ponsel itu menunjukkan pukul 17.15. Waktu terasa bergerak cepat, dan Nathan pun tahu apa yang harus dilakukan. Tanpa membuang waktu, ia segera masuk ke kamar mandi. Air dingin menyegarkan tubuhnya yang terasa kaku. Setelah selesai, Nathan berpakaian dan merapikan dirinya di depan cermin. Ketika semuanya sudah rapi, ia keluar dari kamar, menutup pintu dengan pelan, lalu berjalan menuju tangga yang mengarah ke lantai satu.

Dari atas tangga, Nathan melihat Maya dan Denis duduk di sofa ruang tengah. Keduanya terlihat sedang asyik mengobrol, seolah tidak menyadari kehadirannya. Nathan memperhatikan sejenak, lalu melangkah turun tanpa tergesa. Saat tiba di ruang tengah, dia menghampiri mereka. Maya duduk dengan tenang, sementara Denis tampak bersandar santai di sofa. Nathan mendekat dan duduk di sebelah Maya, posisinya lurus dengan Denis yang berada di sisi depan.

Nathan baru saja duduk di samping Maya, ketika Denis tiba-tiba membuka pembicaraan, "Aku sudah berbicara dengan Maya tentang keinginanmu menjadi tumbal ritual Sanghyang Jiva."

"Aku tidak ingin kamu punya lagi pikiran untuk menjadi tumbal. Itu hanya akan membuat nyawamu melayang sia-sia," ujar Maya, wajahnya serius.

Nathan menahan napas sejenak. "Aku mengerti kekhawatiran kalian, tapi Heni bilang aku mungkin bisa …"

"Kau tidak mengerti apa yang sedang kau hadapi, Nathan," Denis menyela dengan cepat. "Serigala jadi-jadian itu bukan makhluk yang bisa kau lawan hanya dengan keberanian. Bahkan orang dengan ilmu kanuragan terkuat di negeri ini pun tidak bisa bertahan."

Maya menatap Nathan dengan tatapan dalam, seolah mencoba memastikan bahwa Nathan benar-benar mendengar dan mengerti apa yang mereka katakan. "Nathan, kita tidak sedang membicarakan tantangan biasa. Ini bukan tentang menjadi pahlawan atau membuktikan dirimu. Ini tentang nyawa," katanya, kali ini suaranya lebih lembut, tapi jelas memancarkan rasa takut.

Nathan menghela napas, merasa terpojok. "Tapi aku tidak bisa membiarkan ini terus terjadi. Ada sesuatu yang harus dilakukan," balas Nathan, meskipun ia tahu dalam hatinya bahwa setiap kata yang keluar dari mulut Denis dan Maya benar adanya.

Denis bersandar di kursi, matanya masih tertuju pada Nathan. "Kau tidak bisa mengorbankan dirimu hanya karena merasa bertanggung jawab. Lima orang sudah mencoba, dan tidak satupun dari mereka berhasil. Ini bukan pertaruhan yang bisa kau menangkan."

Maya mengangguk setuju. "Heni mungkin percaya padamu, tapi kepercayaan itu tidak akan melawan kekuatan serigala jadi-jadian itu. Semua yang masuk ke dalam ritual itu semua menjadi tumbal. Kami tidak ingin hal yang sama terjadi padamu."

Nathan merasakan ada ketegangan yang semakin memuncak di ruangan itu. Ia tahu bahwa Denis dan Maya sama-sama peduli, tapi di dalam dirinya, ada konflik besar antara rasa takut dan rasa tanggung jawab. Namun, ia juga sadar bahwa mereka berdua tidak akan membiarkannya melangkah ke dalam bahaya yang begitu besar tanpa memperingatkan semua risikonya.

"Aku tidak bisa menjanjikan apa pun," kata Nathan akhirnya, suaranya sedikit gemetar. "Tapi aku akan memikirkan semua ini lagi."

Maya menggenggam tangannya erat, seakan memberikan peringatan terakhir. "Jangan hanya memikirkannya, Nathan. Jangan lakukan ini."

Nathan mengangguk pelan sambil tersenyum. Dia menghargai kepedulian Denis dan Maya, meskipun masih ada sedikit keraguan dalam hatinya. Setelah suasana mulai mereda, mereka bertiga mulai mengobrol tentang hal lain. Topik yang dibahas beralih ke perkembangan bisnis Maya, yang belakangan ini mengalami kemajuan pesat. Maya dengan antusias menceritakan berbagai rencana yang sedang dijalankan, sementara Denis sesekali menambahkan detail mengenai peluang yang bisa dikembangkan lebih lanjut.

Di tengah percakapan, Nathan memanfaatkan kesempatan itu untuk mengutarakan keinginannya. Dengan tenang, dia menyampaikan bahwa dia tidak ingin terlibat lagi dalam bisnis Maya. Alasannya sederhana, dia ingin fokus pada hal-hal lain yang lebih personal. Namun, Maya dan Denis langsung menolak ide itu. Menurut mereka, Nathan masih sangat dibutuhkan dalam berbagai aspek operasional bisnis. Mereka menilai bahwa kontribusi Nathan masih sangat penting, terutama di masa-masa penting seperti sekarang.

Setelah mendiskusikan hal itu, obrolan mereka beralih ke tema yang lebih ringan. Mereka membahas topik-topik umum, seperti rencana pribadi. Percakapan mengalir lebih santai, dan suasana yang semula sedikit tegang perlahan mencair.

Tiba-tiba Denis melontarkan pertanyaan kepada Nathan dengan nada bercanda, "Nathan, kau sudah punya pacar belum?"

Nathan tersenyum lebar, lalu tanpa ragu merangkul bahu Maya yang duduk di sampingnya. "Ini pacarku," jawab Nathan santai, sambil sedikit menggoyang bahu Maya dengan akrab.

Denis langsung sewot dan melotot ke arah Nathan, "Dia ibumu, bego!" bentaknya dengan wajah setengah serius, namun setengah bercanda.

Nathan dan Maya tertawa terbahak-bahak melihat respons Denis yang sewot itu. Sambil tersenyum lebar, Maya melirik Denis dengan tatapan nakal. "Kamu cemburu ya Denis?" tanya Maya sambil mengangkat alis, menambah suasana menjadi semakin menggoda.

Denis terkejut mendengar pertanyaan itu. Dengan wajah memerah, dia tergagap menjawab, "Ti... tidak sama sekali. Hanya saja aku merasa aneh dengan hubungan kalian."

Nathan yang duduk di sebelah Maya semakin tertarik dengan komentar Denis. "Aneh di mana, Denis?" tanyanya, memasang wajah penasaran sambil sesekali mencuri pandang ke arah Maya.

Denis menghela napas, masih mencoba merapikan pikirannya yang terguncang oleh candaan mereka. "Kalian ini... hubungan kalian bukan sekadar ibu dan anak. Rasanya lebih dari itu," jawab Denis dengan nada ragu, tetapi serius.

Maya menyeringai kecil, lalu dengan nada menggoda berkata, "Oh, jadi kamu pernah melihat kami bercinta, ya?"

Denis yang tadinya sudah merasa gugup, kini semakin terpojok oleh pertanyaan Maya. Dia menunduk sejenak sebelum menjawab perlahan, "Ya... pernah."

Maya, yang semakin menggoda, mempererat pelukannya di bahu Nathan. "Dan bagaimana perasaanmu saat melihat aku dan Nathan making love?" tanya Maya, suaranya begitu lembut namun penuh dengan nada menggoda.

Denis menelan ludah. Wajahnya semakin memerah, namun dengan suara yang hampir tidak terdengar, dia menjawab, "Menakjubkan."

“Apakah kamu ingin melihat itu lagi?” suara Maya terdengar lembut namun penuh godaan.

“Oh, ti..tidak … Jangan …” Denis gugup menjawab sambil menundukkan kepalanya, wajahnya memerah.

Maya tersenyum nakal, memperlihatkan bahwa dia benar-benar menikmati momen ini. "Oh, Denis, suatu saat nanti, jika kamu melihat aku dengan Nathan bercinta lagi, jangan sembunyi-sembunyi lagi. Aku tidak keberatan jika kamu menyaksikan kami dari dekat," katanya dengan nada menggoda, seolah mengundang Denis untuk tidak merasa canggung.

Denis yang mendengar pernyataan itu langsung merasa terkejut. Dia berdiri dari duduknya dengan cepat, tidak tahu harus merespons bagaimana. "Kalian ini sudah gila," ujarnya sambil menggelengkan kepala, tetapi ada senyum kecil yang tidak bisa dia sembunyikan di wajahnya.

Denis meninggalkan ruang tengah menuju ruang depan dan tak lama menghilang di balik pintu. Nathan dan Maya terkikik melihat kegugupan Denis yang jelas terlihat. Begitu Denis menghilang dari pandangan, Nathan segera menarik tubuh Maya ke arahnya. Dalam sekejap, bibir Nathan melumat bibir Maya dengan penuh gairah. Maya tak butuh waktu lama untuk merespons. Dia langsung menyambut ciuman itu dengan antusias, mempererat pelukannya pada Nathan. Ciuman mereka semakin dalam, menciptakan gairah yang membara di antara keduanya. Nathan merasakan detak jantungnya semakin cepat seiring tubuh Maya yang semakin erat dalam pelukannya. Maya pun merespons dengan penuh hasrat, tangannya menelusuri punggung Nathan, seolah tak ingin melepaskan momen tersebut.

Maya tiba-tiba melepas ciumannya, “Bawa aku ke kamarmu,” pintarnya mendesah.

Nathan menggendong Maya dengan gaya bridal. Maya mengalungkan kedua lengannya ke leher Nathan. Tanpa perlu diperintah dua kali, Nathan mengangkat tubuh Maya dengan lembut. Ia mulai menaiki anak tangga satu per satu. Dengan cepat, mereka sampai di kamar Nathan. Setibanya di dalam kamar, Nathan meletakkan Maya di atas kasur yang empuk. Begitu tubuh Maya menyentuh permukaan kasur, ia langsung bangkit dan meloloskan semua kain yang melekat di tubuhnya. Nathan pun mengikuti, melucuti seluruh pakaiannya tanpa ragu. Kini, keduanya berada dalam keadaan polos. Nathan kemudian naik ke atas tempat tidur. Tiba-tiba, Maya membanting tubuh Nathan, menjatuhkannya hingga terlentang di atas kasur. Kejadian ini membuat Nathan terkejut.

Belum reda rasa terkejut Nathan, Maya bergerak menaiki tubuhnya. Dengan tubuhnya yang indah, putih, dan mulus, Maya menunggangi Nathan dalam posisi sixty-nine. Vaginanya yang sudah basah dan beraroma semerbak disodorkannya kepada Nathan, menenggelamkan wajah pemuda itu di bawah selangkangan Maya. Nathan sangat terkejut dengan perkembangan situasi yang tiba-tiba ini. Sebelum sempat berkata-kata, mulutnya sudah disumpal oleh vagina Maya yang menindih wajahnya.

"Uhmmm... Ummhh... Ummhhh...”

Bibir Nathan bergerak-gerak mencoba berbicara. Tanpa sengaja, bibirnya bergesekan dan merangsang bibir vagina Maya yang menyumpal mulutnya. Maya yang menikmati pergerakan mulut Nathan langsung menekankan pinggulnya dan bergerak bergoyang, menggesekkan vaginanya ke wajah Nathan, tepatnya ke bagian mulutnya.

“Aaaahhh … Enak sekali mulutmu, sayang …” Maya mendesah keenakan.

Dengan senyum nakal khas Maya di bibirnya, wanita itu berhasil menggenggam kejantanan Nathan dengan penuh percaya diri. Ia menatapnya dengan tatapan penuh hasrat sebelum Maya mendekatkan wajahnya, semakin dekat dengan organ intim Nathan. Setiap hembusan napas panasnya membuat penis tersebut bergetar seolah meronta-ronta ingin lepas dari genggamannya. Maya yang merasa sangat senang mengetahui betapa merangsangnya dirinya bagi Nathan, mulai menciumi ujung kepala penis pemuda itu. Ia mencium dengan penuh khusyuk dan dalam, hingga benang perak dari air liurnya yang mengental terlihat menghubungkan ujung penis Nathan dengan lidahnya di dalam mulutnya, bahkan setelah Maya melepaskan ciumannya.

Nathan yang merasa begitu terangsang di bagian atas dan bawah tubuhnya tak kuasa lagi menahan gejolak nafsunya dan memutuskan untuk menyerah saja dalam permainan cinta Maya dan mengikuti kemana sang wanita ini akan membawa dirinya mengarungi samudra luas hasrat nafsu yang penuh gelombang. Maya mulai memberikan ciuman dan kuluman pada penis Nathan sambil menindihi tubuh sang lelaki dalam posisi sixty-nine.

Oral seks yang diberikan Maya begitu merangsang, dan Nathan yang tak ingin kalah segera membuka kedua bibir vaginanya dengan kedua tangannya. Lubang kenikmatan Maya yang basah itu bergetar menerima hembusan napas Nathan yang menyentuh bagian sensitifnya. Nathan kemudian menciumi klitoris Maya yang telah mengeras, membuat tubuh Maya bergetar dan merapatkan selangkangannya, menghimpit wajah Nathan dengan kedua pahanya yang putih dan mulus. Punggung Maya melengkung ke atas dalam kenikmatan, dan gairah yang dirasakan Nathan sejenak terhenti ketika wajah cantik Maya terangkat, mengeluarkan raungan sensual penuh kepuasan.

Nathan segera melahap vagina Maya yang terbuka lebar, siap menantikan kedatangannya. Ia memasukkan lidahnya yang langsung menari-nari di dalam liang vagina Maya yang ketat, hangat, dan basah. Dengan penuh semangat, lidah Nathan tak henti-hentinya menjilat, menyodok, dan mengaduk-aduk lubang kenikmatan Maya. Sensasi itu membuat tubuh indah Maya bergolak dan menggelinjang di atas Nathan, sambil meraung dengan penuh kenikmatan.

Tak lama kemudian, otot-otot dinding vagina Maya mengalami kontraksi hebat, menggenggam lidah Nathan dengan kuat. Cairan cinta Maya muncrat deras, mengguyur mulut dan wajah Nathan. Dengan teriakan penuh kenikmatan, tubuh indah Maya bergetar hebat di atas Nathan, punggungnya melengkung ke atas seolah mengikuti puncak kenikmatan yang diraihnya. Selangkangannya yang berkedut semakin menekan kepala Nathan, yang tak bisa mengelak karena terhimpit oleh kedua pahanya. Nathan pun menenggak cairan cinta yang melimpah di wajahnya, merasakan setiap tetes nektar cinta Maya yang dituangkan langsung dari tubuhnya, diiringi aroma kewanitaan yang menggoda, semakin membakar birahinya.

Nathan menunggu dengan tenang. Ia sesekali mencium permukaan lembut vagina Maya, menikmati aroma dan kehangatan yang terpancar. Sekitar satu menit berlalu, Maya mulai bergerak dari atas tubuh Nathan. Dengan lembut, ia menjatuhkan tubuhnya di atas kasur, terlentang sejajar dengan Nathan.

Maya yang masih ngos-ngosan mengambil napas. Ia berkata, "Rasanya enak sekali, Nathan. Cepet masukin kontolmu, aku sudah gak sabar lagi."

Dengan penuh semangat, Nathan membelai kedua paha Maya yang sudah mengangkang. Tangan pemuda itu bergerak bersamaan dari selangkangan hingga mencapai bawah lutut, menahan posisi mengangkang Maya dengan mantap. Posisi ini semakin melebarkan paha wanita itu, memamerkan pemandangan lembah yang sudah basah. Nathan membawa penisinya ke hadapan vagina Maya, menempatkannya tepat di depan. Dengan satu hentakan kuat, ia menembus lubang kenikmatan, membawa kejantanannya yang telah membesar melesak masuk hingga membentur pintu rahim maya.

“Aaaaahhh …..”

Tubuh Maya langsung mengalami kontraksi hebat, dan dadanya yang besar semakin membusung ke atas. Kepalanya tertolak ke belakang, mengeluarkan lengkingan panjang yang menggema di dalam kamar. Dalam waktu yang sangat singkat, klimaks kedua yang dialaminya membuat vaginanya semakin licin, dilumasi oleh cairan yang membanjiri seluruh lubang kenikmatan. Sebagian cairan cinta muncrat keluar, membasahi selangkangan mereka yang telah saling beradu.

Perlahan, Nathan mengeluarkan penisnya hingga hanya ujung kepalanya yang tertahan dalam jepitan kuat kedua bibir vagina Maya. Ia kemudian mendorong kembali, melesak masuk hingga membentur pintu rahimnya dalam satu sentakan. Nathan menikmati setiap gerakan, kedutan, dan getaran di sepanjang jepitan dinding vagina yang hangat dan basah. Pijatan otot-otot vagina yang ketat berusaha memerah susu putih kental dari penisnya, membawanya semakin dekat dengan puncak kenikmatan. Selama waktu yang terasa cukup lama, ia memacu penisnya keluar masuk dengan cepat, sementara suara becek yang dihasilkan oleh selangkangan mereka menggema di seluruh ruangan, diiringi erangan Maya yang penuh dengan kenikmatan.

“Kalian benar-benar sudah gak waras …”

Tiba-tiba, terdengar suara yang mengganggu percintaan Nathan dan Maya. Kedua insan itu menghentikan sejenak gerakan untuk menengok ke arah sumber suara. Ternyata, Denis berdiri di ambang pintu sambil bertolak pinggang dan geleng-geleng kepala. Nathan dan Maya saling berpandangan dengan ekspresi tenang kemudian saling melemparkan senyum, lalu kembali fokus pada satu sama lain. Keberadaan Denis tidak menghentikan acara penyatuan tubuh mereka yang nikmat. Nathan melanjutkan gerakannya dengan percaya diri, sementara Maya hanya tertawa kecil, menunjukkan ketidakpeduliannya terhadap kehadiran Denis.

Bersambung​

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

BTemplates.com

POP ADS

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com