𝐃𝐞𝐦𝐢 𝐀𝐥𝐚𝐬𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐬𝐞𝐡𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐄𝐩𝐢𝐬𝐨𝐝𝐞 𝟑𝟔

 Aku masih rebahan di sofa tengah rumahku. Pikiranku masih terbayang-bayang kejadian yang barusan yang kemudian lambat laun tapi pasti, memerintahkan cacing-cacing di dalam perutku untuk meronta meminta asupan pengganti energi yang barusan terkuras banyak lumayan banyak oleh permainan yang penuh kenikmatan. Tapi aku masih mager sekali. Waktu masih menunjukkan pukul setengah sepuluh, masih lama buat si Bayu anakku untuk pulang sekolah. Rencana ke tempat pak Rudi pun jadinya batal gegara ban bocor tadi dan kejadian yang menyertainya.

Waktu pun berjalan, masih dengan keadaan yang hampir sama. Yang berubah hanya lah si Made yang memutuskan menikah. Dan dengan itu, harus kuhentikan hubungan dengannya dan praktis hanya dengan pak Kandar yang terus rutin memenuhi kebutuhan batinku. Selama hampir beberapa waktu tidak ada yang bisa diceritakan selain rutinitas itu. Dengan mas Hadi, suamiku sendiri aku juga tidak bisa berharap banyak, ya faktor Usia lah yang membuatnya berserah pada takdir, meskipun minimal dua hari sekali dia harus di “tab” untuk kesehatan prostatnya. Untunglah dia juga sangat mengerti. Memang di usiaku yang masih di pertengahan tiga puluhan, masih getol-getolnya, katanya. Tapi lingkup pergaulan kami yang hanya itu-itu saja membuat ya begini-begini saja. Paling ya tawarannya jatuh di Herman, suaminya si Inah pembantuku atau bekas anak buahnya dulu yang sering disambatinya pijat.

Pak Rudi pun juga demikian, masih dalam lingkup pertemanan tidak lebih dari itu. Aku pun belum bisa mengorek informasi kenapa dia bisa berubah 180 derajat dengan kelakuannya dulu. Yang kudapat, dia sangat berhutang budi dengan papaku. Oh ya, kondisi papaku juga semakin baik meski masih dibilang jauh dari sempurna. Dan secara rutin dua minggu sekali aku pulang kampung hanya untuk melihat perkembangan kondisi papaku, biasanya sih hanya dengan anak-anakku, mas Hadi seringnya juga nggak ikut karena kerjaan atau hal-hal lain. Tapi itu bukanlah masalah, kadang-kadang ketika malas nyopir sendiri, aku juga minta tolong untuk diantarkan si Herman.

“Oh iya Mas, nanti ada omong-omong tentang rencana pernikahan Dito loh. Kayaknya beberapa bulan lagi acaranya. Waktu terakhir Ninuk pulang, mama sempat cerita” kataku ketika pamit pada suamiku sewaktu akan berangkat ke Malang. “Iya Nuk, tapi di sini juga nggak bisa ditinggal. Kita manut wis nanti acaranya gimana” jawab suamiku. Memang bener sih, rencana pernikahan adikku baru sekitar dua bulanan lagi, tapi persiapannya benar-benar membuat ribet juga. Untungnya juga kita dari pihak laki-laki, aku ga bisa bayangin kalau di pihak perempuan, gimana riwehnya.

Walhasil, aku membawa beberapa stel kain untuk dijahitkan sebagai seragam ketika acara nanti. Sebenarnya mamaku menawari untuk dijahitkan di Malang di tempat langganannya, tapi aku menolak. Masak di kotaku ga ada penjahit. Hanya saja aku bingung di mana, seumur-umur aku belum pernah menjahitkan di kota ini. Kalau pun membuatkan baju, ya biasanya di Malang, selebihnya ya beli jadi, bukan beli kainnya.

“Nuk, cuma kalau penjahit langgananku hanya khusus pria. Kalo cewek aku ga tahu” kata suamiku ketika aku menanyakan ini mau dijahitkan di mana. Akhirnya hanya suami dan anak-anakku yang sudah dibawa ke tukang jahit. “Besok lusa aja bu, nanti tak antar sekalian” jawab bu Bambang ketika aku tanya apa dia punya penjahit langganan. Beres dah.. apa kata besok lusa, pikirku.

“Mas, biar Bayu aku aja yang antar, setelah itu Ninuk janjian sama bu Bambang mau ke penjahit” kataku pagi-pagi dua hari kemudian. Tapi baru aja ngedrop anakku di sekolahnya, bu Bambang telepon dan membatalkan janjinya karena ada acara dadak’an di kantor pak bambang. “Halah mbak, bisa cari sendiri kok kalo keburu” katanya lalu memberiku alamat dan ancer-ancer tempat penjahitnya berada. “Bilang aja nanti dikasih tahu oleh bu Bambang” katanya sebelum menutup sambungan teleponnya. Setelah kupikir-pikir, aku kemudian memutuskan untuk mencari sendiri penjahit yang diarahkan bu Bambang.

Setengah jam kemudian aku sudah sampai di alamat yang ditunjukkan bu Bambang. Kulihat ada papan nama bertuliskan Heru Tailor, tapi sepertinya masih tutup. Untuk memastikan aku segera menelepon bu Bambang. “Iya bu, benar itu, rumahnya di sebelahnya pas, lewat situ saja kalo belum buka” jelas bu Bambang.

Setelah memarkir sepeda motorku aku segera membuka pagar besi rumah itu yang tidak digembok. Pintu rumah itu terbuka dan munculah sesosok laki-laki berperawakan agak pendek dan hanya mengenakan kaos singlet dan celana pendek. “Permisi pak.. jam berapa penjahitnya buka ya? Ini saya mau jahitkan baju” kataku membuka pembicaraan. “Oh, sebentar bu.. saya buka dulu. Silahkan duduk di sini nggak apa-apa” jawab lelaki itu kemudian mulai membuka rolling door yang rupanya dulu sepertinya itu adalah garasi rumahnya yang dibuat tempat kerja nya.

“Mari bu, silahkan” katanya ketika ia sudah selesai. “Oh iya pak. Ini kainnya, mau dibuat seragam. Kayaknya ada gambar modelnya di dalam” jawabku sambil menyerahkan tas kresek hitam berisi kain bahan. Lelaki itu terlihat mengeluarkan isinya dan seperti melihat-lihat. “Saya ukur dulu ya bu.. maaf, atas nama siapa ya?” tanyanya sambil mengeluarkan buku ukuran dobel folio dan ballpoin.

“Ninuk pak… oh iya saya dikasih tahu bu Bambang untuk kesini” jawabku. “Oh, bu Bambang.. iya iya.. sering kesini bu.. saya ukur dulu ya bu” katanya lagi. Aku lalu berdiri. Agak canggung juga sih, penjahit langganan mamaku di Malang, seorang perempuan, kalau ngukur ya setahuku aku disuruh lepas baju, hanya pake daleman aja. Tapi ini ternyata penjahitnya laki-laki. Tapi ternyata lelaki itu tidak memintaku menanggalkan pakaianku. Beberapa saat kemudian ia sudah mulai melakukan pengukuran.

Semuanya tampak normal sebelum kulihat ada gundukan payung di bagian depan celana pendek yang dipakai lelaki itu. “Ihhh… masak sih?” gumamku dalam hati. Tak ayal kejadian itu mulai menggugah rasa isengku. Tapi terus terang aku bingung mau apa dan gimana caranya. Sebenarnya aku ingin menggoda lelaki itu tapi niat itu kubatalkan. Proses pengukuran begitu cepat selesai sebelum aku punya ide gimana caranya, apalagi beberapa saat kemudian datanglah seorang laki-laki yang membawa sepeda motor, tampaknya dia salah seorang pegawainya mungkin dan langsung masuk. Setelah selesai semuanya aku kemudian pamit. “Kira-kira kapan jadinya pak?” tanyaku. “Oh mungkin sekitar dua mingguan bu, nanti saya kabari kok kalau sudah selesai” jawabnya lalu meminta nomor WA ku. Setelah itu aku pamit pulang. Sebenarnya nggak pulang sih, aku memutuskan untuk ke lahan sawah tempat suamiku berada. Jujur aja kejadian itu membuat birahiku bangkit juga dan ingin segera kulampiaskan. Pilihan satu-satunya ya pak Kandar, pegawai suamiku sendiri. “Loh, ada apa Nuk, kok ga bilang-bilang langsung kesini?” tanya suamiku kaget melihat kedatanganku. Lelaki itu tersenyum ketika mengetahui maksud kedatanganku. Dan akhirnya kita pun main bertiga pagi itu di rumah pak Kandar.

Waktu pun berlalu sampai sekitar seminggu kemudian mas Hadi membawa pulang bajunya dan anak-anak yang sudah jadi dari penjahit. “Ini Nuk, sudah jadi, punya kamu kapan?” tanyanya. “Oh, kemarin sih bilangnya sekitar dua mingguan mas” jawabku sesuai dengan apa yang dikatakan penjahitku. “Coba kamu sering tanyakan, jangan gampang percaya sama janjinya penjahit, hehe” kata suamiku. “Iya sih, sampe-sampe ada ungkapan, “janjimu kayak janji penjahit. Molor terus” gumamku dalam hati yang membuatku tersenyum.

“Tapi biar lah mas, nunggu apa yang dijanjikan dulu” jawabku sambil kembali teringat kejadian waktu aku diukur oleh penjahit yang mungkin namanya pak Heru, terlihat dari plang nya, Heru Tailor. “Heh, ngapain kamu kok senyam-senyum sendiri” kata suamiku yang mengagetkanku. Aku lalu menceritakan apa yang kualami beberapa waktu lalu. “nah kan, baru percaya kamu… hehe” sahut suamiku sambil tersenyum. “Ya nggak gitu juga kali mas… mungkin sama yang lain juga gitu” jawabku. Tiba-tiba mamaku telepon dari Malang dan mengabarkan kalau pak Rudi masuk rumah sakit. Beliau memintaku untuk membantunya, kasihan katanya nggak punya saudara. Pun juga suamiku yang langsung mengajakku ke tempat dimana lelaki itu dirawat. “Ayo Nuk, kamu masak nggak inget gimana dulu dia bantu kita trus bantu waktu papa sakit” kata suamiku.

Walhasil sekitar setengah jam kemudian aku dan suamiku sudah berada di rumah sakit yang dimaksud. Ternyata pak Rudi masih di ruang IGD dan kami hanya bertemu wanita setengah baya yang dulu pernah kutemui di rumah lelaki itu. Dari dia juga kutahu kalau pak Rudi sepertinya sakit asam lambung akut, tadi diantar salah satu sopir truk yang merupakan pekerjanya juga. “Trus, Roy gimana bi?” tanyaku. “Di rumah bu, ini tadi saya juga diutus pulang sama bapak untuk urus mas Roy” jawabnya. “Ya udah, bibi pulang saja, biar pak Rudi kita yang urus di sini bi” kata suamiku yang langsung disetujuinya.

“Keluarga pak Rudi Wijaya?” teriak seorang wanita yang berseragam perawat. Aku dan suamiku lalu mendekat. Wanita itu bilang kalau kondisi pak Rudi sudah stabil dan bisa dipindah di ruang rawat inap. Kami pun disuruh mengisi beberapa formulir. “Nuk, coba tanya pak Rudi, nanti minta di ruang kelas apa?” kata suamiku. Aku kemudian segera menuju ruangan yang bersekat-sekat kain seperti kelambu itu. Agak sulit juga menemukannya karena ternaya dia dirawat di bagian ujung, pojok dekat pintu tembusan ke ruang inti Rumah Sakit.

Terlihat lelaki itu terbaring dengan infus menancap di tangan kirinya. “Gimana mas, udah baikan?” sapaku ketika pertama menemuinya. “Eh, kamu Nuk, sama siapa?” tanyanya balik dengan suara yang lemah. “Sama mas Hadi mas…” itu masih urus administrasi, sekalian tanya mau di ruang mana nanti rawat inapnya” jawabku. “Oh, mbak Suti mana Nuk?” tanyanya. “Mbak Suti?? Siapa mas?” tanyaku balik. Ia lalu menjawab kalau Suti itu pembantu yang di rumahnya. “Oh, disuruh pulang sama mas Hadi, biar bisa urus Roy katanya” jawabku. “Oh gitu ya… ini Nuk, bawa dompetku. Sama HP juga, kalo butuh uang buat biayanya. Makasih ya sudah bantuin” kata lelaki itu sambil menyerahkan barang-barangnya. Ia juga memberitahu pin ATM-ATM nya serta password Mobile Banking nya, kalo perlu uang sewaktu-waktu, katanya. “Aku ga pake BPJS Nuk, jadi pake pribadi ya” katanya. Aku pun segera kembali ke suamiku dan mengabarkan kalau pak Rudi sih penginnya di ruang yang bagus, yang sendirian.

“Loh itu HP nya pak Rudi Nuk?” tanya suamiku ketika aku melakukan pembayaran uang muka menggunakan mobile Banking miliknya. “Iya mas, ini tadi dibawakan ke Ninuk… eh mas.. tau nggak saldonya?” kataku ke suamiku. “Berapa Nuk?” tanya suamiku penasaran. “M mas…” jawabku yang hanya dijawab dengan senyuman oleh suamiku. Baru itu juga aku melihat saldo rekening yang sepuluh digit. Kalau puyaku paling mentok hanya puluhan juta aja. “Heh, hati-hati loh, kalo dikasih kepercayaan gitu” kata suamiku mengingatkan. “Iya mas, jawabku.

Sekitar jam setengah tiga sore bu perawat mengabarkan kalau pak Rudi sudah dipindah ke ruang rawat inap sesuai permintaan. Aku dan suamiku segera menuju ke tempat yang dimaksud. “Waduh, jadi merepotkan pak Hadi” kata pak Rudi ketika kami berdua masuk ke ruangan itu. Setelah ngobrol sebentar, pak Rudi kemudian tertidur, mungkin karena reaksi obatnya. “Nuk aku pulang dulu ya, mau mandi dulu trus nanti ke sini lagi, biar kalo malem aku yang nunggu jagain di sini.. besok setelah antar Bayu sekolah, gantian kamu yang nunggu di sini ya” kata suamiku kemudian berlalu pulang.

Baru saja aku duduk di kursi ruangan yang bisa kubilang seperti kamar hotel itu, sangat mewah, bahkan untuk yang menunggu atau menjada disediakan ranjang khusus, seorang perawat datang dan menyerahkan data-data pasien. Ia juga meminta fotocopi KTP pak Rudi. “Waduh, kalau fotocopinya nggak ada bu, tapi kalau aslinya ada” jawabku sambil mengeluarkannya dari dompet lelaki itu. “Oh, baik bu, boleh saya pinjam sebentar, biar saya yang memfotocopinya” kata perawat itu kemudian berlalu. Di saat itulah aku menemukan ada foto keluarganya. Kasihan juga lelaki itu, gumamku dalam hati. Menjelang maghrib suamiku datang dan aku kemudian pulang sesaat setelah pak Rudi terbangun.

Keesokan harinya setelah mengantar Bayu ke sekolah, aku segera menuju ke rumah sakit untuk mengantikan shift suamiku menjaga pak Rudi. Lucu juga ketika sekitar jam 9 ada visite dokter, aku dikira istrinya pak Rudi. Pak dokter yang merawat pak Rudi memanggilku “Bu Rudi”. Aku pikir tidak perlu menjelaskan status kami, bakalan ruwet juga, biarin aja.

Kondisi pak Rudi mulai membaik hari itu. Di sana kami isi waktu dengan ngobrol ngalor ngidul. Dan aku baru tahu kalau si Roy itu usianya sudah 16 tahun, hampir tujuh belas bahkan. Kejadian yang menimpa keluarga mereka membuat anak laki-laki itu mentalnya nggak karu-karuan, sempet ga mau sekolah juga beberapa tahun. makanya sekarang dia masih duduk di kelas 2 SMP. “Benernya bisa home schooling mas, biar ga sering jadi bahan bully oleh teman-temannya” kataku memberi solusi, toh kalau masalah dana sepertinya nggak masalah bagi pak Rudi. “Iya Nuk, tapi di sini nggak ada, adanya di Malang atau Surabaya. Ga mungkin juga kan” jawabnya. ‘Masak sih di sini nggak ada?” tanyaku. Bagaimanapun ini juga ibukota karisidenan, ya lumayan besar lah. “Coba nanti aku tanya-tanya mas, mungkin ada” kataku. Lelaki itu juga menceritakan kalau Roy kadang-kadang seperti bingung, sering ngelamun sendiri dan bahkan minta antar ke bandara hanya sekedar untuk melihat-lihat. Mungkin masih berhalusinasi tentang papa mamanya atau adiknya.

Kemudian obrolan kami bertema tentang keluargaku, usaha online yang aku jalani. Anak-anak dan bahkan tentang si Doni, anak pertamaku yang saling bertukar foto mamanya dengan teman sekelasnya. Dan lagi-lagi jawaban dari seorang laki-laki, itu adalah hal yang wajar-wajar saja.

“Oh iya Nuk, nanti Roy sama mbak Suti kesini… gimana ya, enak nggak kalo ada kamu sendiri di sini?” katanya. “Oh.. gitu ya.. ga papa mas, biar nanti aku pulang. Jam berapa mereka kesini?” tanyaku. “Paling ya setelah pulang sekolah. Jam 2 an paling” jawabnya. “Ya udah, nanti aku tak balik dulu” jawabku. Lalu ia ijin untuk istirahat, tidur, mungkin juga karena pengaruh obat yang masuk ke tubuhnya.

BERSAMBUNG
 

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

BTemplates.com

POP ADS

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com