๐ƒ๐ž๐ฆ๐ข ๐€๐ฅ๐š๐ฌ๐š๐ง ๐Š๐ž๐ฌ๐ž๐ก๐š๐ญ๐š๐ง ๐„๐ฉ๐ข๐ฌ๐จ๐๐ž ๐Ÿ‘๐Ÿ’

 


 Tepat pukul satu siang, setelah sekalian menjemput Bayu, aku pun sampai di rumah. Barulah setelah itu aku mempunyai kesempatan untuk membaca secarik kertas yang tadi diberikan oleh pak Rudi.

“Bu, saya mohon maaf untuk semua yang saya lakukan, mohon buka blokir nomor saya. Ada yang mau saya bicarakan”

Hanya begitu saja isi kertas tadi. Sebenarnya aku tidak begitu memperdulikannya karena teringat kejadian gimana dia dulu. Tapi setelah kupikir-pikir, dan atas tindakannya juga tadi yang membatalkan laporan bullying anakku secara tiba-tiba serta perubahan sikapnya tadi akhirnya aku luluh juga. “Hmmm… atau dia takut fotonya kusebar ya” gumamku dalam hati, mencoba untuk berpikir apa yang terjadi. Tapi aku tetap pada pendirianku. Toh juga dia bisa pakai nomor lain kalau benar-benar ingin menghubungiku. Nomorku kan nggak ganti.

Dua hari kemudian ketika aku menemani suamiku di lahan, sekitar jam 10 pagi tiba-tiba pak Rudi datang bersama pemilik agen pupuk yang biasa mensuplay kebutuhan sawah suamiku. “Nah ini pak Rudi, kebetulan pak Hadi ada di sini” kata seorang laki-laki yang kukenali sebagai pemilik Agen pupuk. Aku sangat terkejut sekali melihat kedatangan pak Rudi yang juga kemudian membuat dadaku berdegup kencang. Bagaimana tidak, pak Rudi ini mencari suamiku. “Sial, harusnya aku kemarin menghubunginya, ga bakalan begini jadinya” gerutuku dalam hati.

Mendengar namanya disebut, suamiku kemudian beranjak mendekati kedua orang yang baru saja memarkir sepeda motornya. Tampak suamiku berjabat tangan dengan pak Rudi kemudian bercakap-cakap. Daripada penasaran dengan apa yang mereka bicarakan, aku lalu mendekati mereka.

“Loh… bu… ooo jadi ibu istrinya pak Hadi ini ya?” tanya pak Rudi ketika aku sudah di dekat mereka. “Iya pak, ini isteri saya” jawab suamiku. “Ini pak Rudi mas… bapaknya Roy yang kemarin ada masalah sama Doni dan Irfan” kataku. “Oh.. begitu ya… wah pak Rudi, saya mohon maaf pak” kata suamiku. “Oh, nggak apa-apa pak Hadi. Hanya masalah anak-anak. Kemarin lusa sudah selesai kok. Ya kan bu?” jawab pak Rudi sambil menanyakannya padaku. Aku hanya mengangguk menjawabnya.

Kemudian pembicaraan kami hanya berkisar di masalah pupuk saja. Pak Rudi bilang kalau ingin benar-benar memastikan kalau yang dikirimkan atas permohonan baru kemarin memang betul-betul digunakan petani, bukan dijual lagi atau disalah gunakan. Tak lama setelah itu, pak Rudi bersama agen kemudian pamit pulang.

Di situ aku semakin bertanya-tanya tentang sikap dan kelakuan pak Rudi yang menurutku sangat aneh. Sangat berbeda dengan yang pertama kali aku bertemu dengan dia atau bahkan setelahnya yang mencoba merayuku dengan kata-kata yang tidak mengenakkan hati. Dalam dua jam kemudian kuhabiskan waktuku hanya untuk memikirkan itu sampai tiba waktunya menjemput si Bayu anakku. “Ayo Nuk, jemput Bayu” ajak suamiku, mengagetkanku dari lamunan.

Sesampainya di rumah, setelah makan siang suamiku pun kembali ke lahan dan akupun menyempatkan mengurus bisnis onlineku sebentar. Sekitaran jam setengah dua, aku kembali kerumah dan mendapati si Bayu anakku sudah tertidur. Akhirnya siang itu kuputuskan untuk membuka blokir di nomor WA pak Rudi. Bagaimanapun aku masih penasaran dengan perubahan sikapnya yang sangat drastis. Tak lama setelah aku mengirimkan text WA, dia pun merespon meminta ijin untuk meneleponku. Dari pembicaraannya, ia sepertinya benar-benar minta maaf dan ingin berbicara empat mata denganku. “Terserah ibu, kapan dan di mana… saya manut. Tolong nanti saya dikabari dulu” katanya mengakhiri pembicaraan kami di telepon.

Sekitar lima belas menit kemudian aku sudah di atas mobilku untuk menuju ke tempat pak Rudi. Daripada dia sampai nekat kayak tadi pagi untuk menemuiku, lebih baik aku saja yang ke tempatnya. Sekalian biar jelas apa yang dimau orang itu.

Area pergudangan tempat pak Rudi berbisnis masih sama dengan yang pernah kukunjungi beberapa waktu lalu. Terlihat lengang, hanya ada beberapa truk dan segelintir pekerja yang ada. Kulihat pak Rudi juga ada berdiri di tempat pekerja-pekerjanya itu. Karena terlalu jauh, akhirnya aku memutuskan untuk meneleponnya. Kulihat lelaki itu setengah berlari menghampiriku. “Loh bu, kok nggak ngabari dulu? Ayo ayo mari masuk. Jangan takut” sambutnya kemudian membuka pintu ruangannya yang pernah kumasuki dulu.

Ia lalu menceritakan kalau dia sangat kenal baik dengan papaku. Dan bahkan papaku sangat berjasa pada orang itu ketika dia mengalami badai kehidupan. Sepuluh tahun lalu hampir semua keluarganya meninggal akibat kecelakaan pesawat ketika menuju Singapura. Hanya dia dan Roy yang selamat, itu pun gara-gara dia dan anak itu tidak ikut penerbangan itu. Dan sebenarnya Roy itu adalah anak dari kakaknya alias keponakannya. Bisnis pupuk ini juga peninggalan orang tuanya yang turut menjadi korban. Istri dan tiga anaknya pun ikut meninggal secara tragis dalam tragedi itu.

“Beberapa waktu lalu, saya ketemu pak Eko. Dia bilang kalau anaknya ada di kota ini dan suaminya juga bertani. Pak Eko pesan ke saya untuk bantu-bantu anaknya kalau ada masalah pupuk atau apa, dan ketika saya tanya nomor HP nya, ternyata itu punya ibu” jelasnya panjang. “Oalah, ternyata kenal sama papa ku” gumamku. “Sebentar pak” lanjutku. Aku lalu video call papaku untuk memastikan apa yang diucapkan pak Rudi barusan. Dan memang benar adanya, papaku bahkan sampai berpesan pada pak Rudi untuk membantuku. Seperti seorang bapak yang mengingatkan anaknya untuk menjaga dan membantu selayaknya adiknya sendiri.

“Saya mohon maaf atas kejadian kapan hari itu bu” ulangnya lagi. Ia lalu menjelaskan kalau baru itu dia menyentuh seorang wanita setelah kepergian istrinya sepuluh tahun lalu. Entah kenapa dia waktu itu begitu tertarik denganku. Dan tanpa pikir panjang setelah mengetahui aku membawa kondom, dia langsung spontan mengajakku berhubungan badan.

Ia juga sempat berpikiran kalau kedatanganku kala itu benar-benar untuk memperoleh pupuk meskipun dengan segala cara, termasuk seks tersebut sehingga menganggap buruk padaku. Akhirnya semuanya jadi jelas adanya, termasuk ketika dia menceritakan kalau sebenarnya akan melaporkan ke pihak yang berwajib masalah anak-anak di sekolah. Tetapi begitu mengetahui kalau si Doni itu anakku, dia pun langsung membatalkannya.

Sesaat kemudian pembicaraan pun seperti layaknya kakak adik, santai dan kadang-kadang dibumbui dengan candaan. Ia juga memberitahu kalau kapan-kapan suamiku butuh pupuk tambahan, untuk tidak sungkan-sungkan menghubunginya. “Nggak ah pak… nanti harus bawa kondom lagi” kataku bercanda. “Ah… nggak lah bu… ga perlu” jawabnya dengan tersenyum. “Trus, ga pake kondom gitu??” lanjutku dengan muka agak serius lalu tertawa. “Lah, bukan itu maksud saya bu. Ga pakai acara itu udah… aman. Nanti saya usahakan” jawabnya. Pembicaraan kami terhenti ketika HP ku berbunyi. Pak Kandar menelepon dan mengabarkan kalau suamiku kecelakaan, parah dan sekarang dalam perjalanan ke rumah sakit umum

 Beberapa saat aku tertegun setelah menerima kabar yang disampaikan pak Kandar. Seakan ingin meyakinkan kalau ini benar-benar terjadi. “Maaf pak. Saya harus pergi” Pamitku pada pak Rudi. “Loh ada apa bu? Kok sepertinya tergesa?” tanyanya yang tidak kuhiraukan. Lelaki itu kemudian membututiku menuju tempat mobilku terparkir. “Suami saya kecelakaan pak, sekarang ada di rumah sakit. Saya permisi dulu pak” kataku kemudian masuk ke dalam kendaraan roda empatku dan memacunya menuju tempat suamiku dirujuk.

Sebanarnya jaraknya juga tidak begitu jauh, tapi apabila dalam keadaan genting, perjalanan terasa sangat lama. Setengah berlari aku kemudian menuju Instalasi Gawat Darurat yang ada di bagian depan gedung pemerintah itu. Di depan pak Kandar menyambutku dengan wajah yang tegang. “Gimana pak?” tanyaku. “Masih di ruang ICU bu” jawabnya singkat. Dalam rentang waktu dua jam kemudian, aku isi dengan kekhawatiran yang mendalam. Bagaimana tidak, tak satupun perawat atau dokter menemuiku untuk memberikan penjelasan tentang keadaan suamiku.

“Keluarga pak Hadi?” teriak seorang wanita berseragam putih-putih. Aku langsung menghampirinya. Ia memintaku untuk menandatangani berkas persetujuan tindakan dan memintaku untuk mengurus surat-surat terkait BPJS ku yang memang sudah lama tidak pernah kuurus. “Nggak usah pakai BPJS, pakai mandiri saja, kata seorang laki-laki yang ternyata pak Rudi yang tiba-tiba ada di belakangku. “Oh, baik pak..” jawab perawat itu. “kalau begitu, mohon disiapkan dana “sekian sekian sekian”” lanjut perawat itu yang langsung disetujui oleh pak Rudi. “Tenang bu, biar saya yang urus” kata lelaki itu kemudian berjalan mengikuti perawat tadi.

Setengah jam kemudian pak Rudi muncul. “Gimana pak? Berapa tadi biayanya. Saya memang tidak punya BPJS” kataku. “Ibu ga usah khawatir tentang biayanya, biar saya yang urus bu. Sekarang pak Hadi sudah diambil tindakan operasi, untuk diambil darah yang menggumpal di kepalanya. Semoga lancar ya bu” kata pak Rudi. Malam itu aku, pak Kandar dan pak Rudi menghabiskan waktu di IGD, menunggu hasil operasi suamiku. Tadi kusempatkan telepon Inah, pembantuku untuk urus anak-anak.

Sekitar jam 1 malam seorang dokter dan ditemani seorang perawat menemui kami, menjelaskan bahwa operasi suamiku berjalan lancar. Jadi tinggal menunggu beliau siuman, besok pagi bisa dipindah ke ruang rawat inap sambil menunggu untuk operasi patah tulang kakinya. Lagi-lagi pak Rudi yang menghandel semuanya. Menjelang subuh pak Rudi pamit pulang untuk mengurus Roy, keponakannya. “Semua sudah saya urus bu, nanti bu Hadi tinggal dikabari sama perawatnya kalau pak Hadi sudah dipindah ke ruang rawat inap” kata pak Rudi sebelum pergi. “Iya pak, terima kasih banyak” jawabku. Aku lalu menyuruh pak Kandar untuk pulang juga, mengurus lahan agar semuanya tidak terbengkalai.

Sekitar jam sembilan pagi, suamiku sudah dipindah ke ruang rawat inap. Tak tanggung-tanggung, pak Rudi memilihkan ruang paviliun VIP untuk perawatannya. Menjelang jam 1 siang suamiku sadar tapi masih mengeluhkan sakit di kepalanya. Dokter pun menyarankan untuk memperbanyak tidur agar obatnya cepat bereaksi.

Singkat cerita, hampir seminggu suamiku pindah tidur di rumah sakit. Bantuan-bantuan dari orang terdekat pun kuterima, termasuk dari keluarga pak dokter yang terus mengontrol keadaan suamiku lewat teman sejawatnya sesama dokter spesialis. Dua hari setelah operasi patah tulangnya, akhirnya suamiku diperbolehkan pulang. Pak Rudi yang baru baik denganku, hampir tiap hari datang, bahkan tidak jarang menggantikanku menunggu suamiku ketika aku harus pulang untuk sekedar mandi dan ganti baju.

“Nanti administrasinya diurus dulu bu” kata perawat setelah melepas selang infus yang ada di tangan suamiku. “Ini bu, sisa jaminan yang kapan hari diberikan oleh kakaknya bu Hadi kepada Rumah Sakit” kata petugas administrasi sambil menyerahkan berkas termasuk kuitansi-kuitansi pembayaran. “Masih ada dua juta setengah” lanjutnya. Kulihat totalnya, biayanya delapan belas juta lebih. Dan semuanya itu dibayar oleh pak Rudi. Aku segera menelepon lelaki itu untuk memberitahunya. Dia mengatakan baru beberapa hari lagi pulang, dia masih di Jakarta, ada keperluan katanya.

Beberapa hari kemudian, di suatu malam, “Ya tetep harus dibayar Nuk” kata suamiku ketika aku menceritakan semua tentang perawatannya selama di rumah sakit. Pun juga kalau ternyata pak Rudi itu kenal baik sama bapakku. “Iya mas, masih terhitung pinjam. Memang butuh waktu untuk mencairkan deposito kita” jawabku. “Ya udah moga-moga hasil panen nanti lumayan ya Nuk” kata suamiku lagi. “Kapan-kapan, aku anterin ke rumahnya pak Rudi ya, untuk berterimakasih. Kamu tahu rumahnya?” lanjut suamiku. Aku menggeleng berbohong, padahal aku sudah dua kali ke sana dan bahkan pernah sekali berhubungan badan dengan lelaki itu.

Keesokan harinya pak Rudi ternyata datang kerumahku. Entah dapat pikiran dari mana, ia menceritakan kalau semuanya atas permintaan pak Eko yang tidak lain adalah ayahku. “Saya di telp pak Eko untuk cari bu Hadi di UGD pak. Untuk bantu-bantu. Pak Eko baru bisa kesini besoknya” kata pak Rudi. “Oh, jadi begitu ceritanya. Soalnya saya sempet bingung ketika istri saya cerita kalau pak Rudi yang handel biaya rumah sakit semua. Kan kita baru kenal kapan hari, sewaktu di sawah” kata suamiku. Mendengar itu, diam-diam aku sempat WA ke pak Rudi, gimana kalo suamiku tanya papaku tentang hal itu. Dia hanya menjawab, “Aman”. “Maaf pak, untuk uangnya mungkin baru besok saya kembalikan, saya harus mencairkan dulu deposito di Bank” kataku. “Oh, santai saja bu… yang penting semuanya lancar, nanti kalau sempat saja” kata pak Rudi. Ia juga meminta maaf karena tidak bisa ikut mengantar kepulangan suamiku dari rumah sakit.

Dan memang seperti itu tampaknya, setelah pak Rudi pulang, suamiku tampak percaya dengan apa yang diceritakan lelaki itu tadi. Bahkan dia juga mengira kalau dulu datangnya pupuk itu juga sedikit banyak adalah andil dari papaku yang meminta bantuan pak Rudi. “Ninuk tanya papa ya mas?” tanyaku. “jangan Nuk, biar wis.. mungkin bapak malang juga nggak pengen diketahui kalo ini semua bantuannya, kamu inget waktu kita pertama ketemu pak Rudi ke sawah dulu. Dia kan ga bilang kalo sebenarnya kenal sama bapak malang” jawab suamiku. “Iya mas” jawabku lega, sedikit sandiwara yang dibuat pak Rudi rupanya dapat dipercaya.

Malam harinya ketika mau tidur aku menawari suamiku untuk berhubungan intim. “Ya pengen lah Nuk.. tapi ya kayak gini ini ya masak bisa..” jawab suamiku. “Ya kan Ninuk yang di atas terus mas” jawabku. Ia lalu menyetujuinya. Penis suamiku langsung tegak berdiri setelah sebentar saja aku menghisapnya. “Aman ternyata, kecelakaan kemarin tidak mempunyai efek negatif ke kemaluannya” gumamku dalam hati, lega. Tetapi ketika aku menaikinya, ia mengeluh kesakitan di pinggangnya. Berbagai macam gaya telah kucoba, tapi tetap juga masih belum bisa buat suamiku.

Akhirnya aku pun hanya mengocok penisnya sampai dia mencapai klimaksnya. Keesokan harinya pun demikian. “Maaf ya Nuk” kata suamiku. “ga papa biar lah mas… kan mas juga masih kayak gini.. yang penting mas dah dapet. Inget kata pak dokter, mas ini harus rutin keluarnya” jawabku. “Kalo kamu pengen, kamu kan bisa sama Kandar atau Made Nuk” kata suamiku. “Nggak lah mas.. masak mas kayak gini aku main ama orang lain” jawabku. Aku memang bisa aja mengajak kedua orang itu untuk berhubungan badan denganku, tapi melihat kondisi suamiku, aku nggak tega juga. Nggak enak, seperti punya perasaan bersalah atau gimana gitu.

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

BTemplates.com

POP ADS

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com