𝐋𝐚𝐮𝐭𝐚𝐧 𝐁𝐢𝐫𝐚𝐡𝐢 𝐏𝐚𝐫𝐭 𝟑𝟐

"Beneran nggak lama-lama lho ini, Mas.." kataku.
Mataku memandang ke depan, menyaksikan jalanan yang dibelah oleh mobil yang dikendarai si pengemudi yang duduk di sampingku ini.

"Iya, aku janji.." katanya, "Kamu minta pulang, aku langsung puter balik nih.."

Hening. Tak ada satu kata yang keluar dari mulutku, juga mulutnya. Aku masih canggung bagaimana harus bersikap ke Mas Diki ini. Dulu dia teman dekatku, sahabatku malahan. Meskipun ada hal yang tak pantas dilakukan oleh kami yang bukan mahrom ini, aku masih menganggapnya sebagai sosok yang bisa kuajak berbicara dan ngobrol saat kurasa tak ada telinga lain yang bisa mendengarkanku.

Akan tetapi, itu semua berubah saat dia tiba-tiba menghilang di saat dimana aku paling membutuhkannya. Saat blackmail yang ternyata didalangi oleh Pak Broto terhadap diriku beberapa saat lalu. Semua berawal dari aksi cabul kami di Taman Kota yang tentunya aku menyalahkan Mas Diki. Dan di saat kritis seperti itu, orang ini malah hilang ditelan bumi. Dan saat ini dia muncul kembali.

"Makasih ya.. Dah mau tak ajak.." katanya memecah kesunyian.

Aku masih diam tak bersuara.

"Mau kemana sih emang..?" tanyaku bernada sedatar mungkin.

"Kan udah aku kasih tau.. Aku mau jelasin semuanya.." katanya.

"Iya, tapi kamu belum kasih tau tujuan kita sekarang ini kemana?" balasku.

Dalihnya untuk menjelaskan semuanya itu, entah bagaimana membuatku bisa ikut saja. Sudah hampir satu jam perjalanan kami habiskan di jalanan ini. Kusadari jalanan di depan mobil ini makin menyempit, hanya muat dua ruas mobil saja.

"Eh, ini kan ke arah pantai, Mas.." kataku.

"Iya.. Nggak lama lagi harusnya.." balasnya.

Mobil in pun berhenti dan terparkir. Sampingnya nampak ada bangunan seperti rumah tapi sendirian saja. Sementara di samping-sampingnya terdapat kebun-kebun yang ditanami semak liar. Namun, di depan rumah ini langsung terdapat hamparan pasir pantai yang tak jauh dari situ beradulah deburan ombak laut dengan indahnya.

Rumah di pinggir pantai ini nampak rapi terlihat dari sisinya. Dengan banyak pohon-pohon di sekitarnya membuatnya kian teduh.

"Pakai ini dulu, Dek.." kata Mas Diki.

"Masih aja ya..?" balasku saat Mas Diki menyodorkan cadar.

Dulu ketika beberapa kali kita jalan bareng, aku memakai cadar. Agar wajahku tak diketahui terutama oleh akhwat dan ummahat yang kukenal.

Kamipun turun dari mobil. Mas Diki berjalan duluan menuju rumah di samping termpat mobil ini terparkir. Akupun hanya mengikuti dari belakangnya. Meski rumah di pinggir pantai ini nampak terpencil, tapi ternyata dari depan bangunan ini terlihat begitu indah dan terawat.

"Eh, udah nyampe, Nang..?"

Ada sosok lelaki tua yang menyambut kami di depan rumah.

"Iya, Mbah.. Assalamualaikum.." kata Mas Diki.

"Kumsalam.." jawab si lelaki sepuh itu.

"Kenalin ini Sella, Mbah.. temenku.." kata Mas Diki, "Dek, ini Mbah Muji.."

Aku memberi isyarat salam di depan dadaku, sebagai seorang muslimah yang tak menjabat tangan non muhrim-ku. Mbah Muji juga sepertinya paham. Sorot matanya yang sepuh menunjukan kewibawaannya di sisa umurnya itu.

"Udah saya siapin di pendopo ya, Nang.." kata Mbah Muji.

"Nggih, Mbah.. Maturnuwun.." kata Mas Diki.

"Saya permisi dulu kalau gitu, Nang.." lelaki sepuh yang memang pantas dipanggil Mbah itu lalu berlalu. Meski tua, namun masih terlihat aktif di usia senjanya, terlihat dari langkahnya yang nampak tegas dan bertenaga.

"Kita makan dulu yuk, Dek.." kata Mas Diki sambil jalan ke sebelah rumah ini, yang ternyata ada gazebo kecil di sisinya.

Di tengah pendopo dengan ornamen kayunya yang nampak njawani dan terawat ini ada meja yang sudah terhidang makanan. Perutku langsung berbunyi melihat makanan yang tersaji itu. Perjalanan yang cukup panjang dari rumahku ke pantai yang berada di ujung selatan ini cukup membuat perutku keroncongan.

"Kesukaanmu ini, Dek.. Seafood.." kata Mas Diki, "Asli dari laut kalau ini, Hehehe.."

"Emang ada gitu yang nggak asli dari laut..??" balasku menimpali.

Yang lalu dibalas dengan kekehan oleh Mas Diki. Tak tau mengapa, aku sudah menganggapi obrolannya. Kasihan juga sejak tadi perjalanan di mobil Mas Diki aku diamkan saja.

Tak menunggu lama, aku dan Mas Diki pun langsung menyantap makanan yang sudah disiapkan Mbah Muji tadi.

"Hiiihh.. Makanmu masih banyak aja ya..?" seloroh Mas Diki yang melihatku mengambil porsi yang cukup banyak.

"Yo ben to.. weekk.." balasku. Mas Diki memang tau ukuran porsi makanku. Sejak dulu aku tak pernah jaim kalau makan dengannya.

"Di sini aku tinggal selama beberapa bulan terakhir, Dek.."

Kata Mas Diki di sela-sela aktifitasnya melahap sepiring makanan di hadapannya. Nampaknya Mas Diki memulai penjelasannya.

"Kamu sempet cari aku ya di kontrakanku dulu.. Itu aku udah nggak disana lagi.." lanjutnya.

"Begitu kamu kirimin aku video yang jadi penyebab kamu di-blackmail itu, aku langsung bikin rencana. Aku tau kalau masalah bakalan serius. Aku sengaja menghilang, nggak bisa dicari, nggak bisa dihubungi. Tujuannya ya biar Broto dan anak buahnya nggak bisa melacak keberadaanku."

"Aku harus pergi sementara waktu, demi untuk menyelamatkanmu.."

Mas Diki melanjutkan ceritanya. Aku hanya diam mendengarkan. Makananku sendiri sudah habis, dan kami masih duduk-duduk saja di gazebo ini.

"Aku nggak nyangka aja,Mas.." kataku membuka suara.

"Aku nangis pas terima video itu.. Aku tau aku harus cerita ke kamu, karena ya cuma kamu yang bisa aku kasih tau. Nggak mungkin aku cerita ke Mas Bagas. Aku makin kalut pas tau kamu nggak bisa dihubungi.." kataku

"Makanya aku kesini, mau jelasin ke kamu.. dan minta maaf ke kamu" kata Mas Diki.

"Oohh.. maafku cuma seharga seafood doang nih berarti.." kataku dengan nada bercanda.

"Hehehe.. buatmu, apapun akan kulakukan, Tuan Putri.." kata Mas Diki.

"Terus kok kamu bisa gitu bawa polisi ke hotel buat nangkep Pak Broto?" tanyaku.

"Pekerjaanku sekarang salah satunya jadi konsultan buat cyber crime di sini. Dari situ aku punya banyak kenalan polisi. Dari situ juga aku punya banyak kenalan reserse. Itu awalnya sih. Selanjutnya aku tinggal cari kesalahannya Broto untuk aku jadiin pressure point." kata Mas Diki.

"Ternyata dia ini serius. Serius di dunia hitam. Banyak bisnis haramnya meskipun tampangnya seolah kaya ustad. Dan yang paling fatal, dia ini deket sama narkoba. Dari situ sebenarnya nggak cukup sulit sih. Yang aku lakukan hanya menunggu momen yang tepat sambil aku sembunyi di sini." lanjutnya.

"Kamar hotel yang digrebek itu, di sebelahnya lagi ada pesta sabu buat temen-temennya Broto. Yang kalau telat dikit, mereka akan ikut nggarap kamu waktu itu, Dek." katanya.

"Untung aja aparat waktu itu langsung gerak cepat karena sudah ada laporan penyalahgunaan narkoba, dan ada bukti langsung. Saat itu kamu sudah dua hari dikurung sama Broto pas itu."

"Jadi.. Maaf ya Dek, kalau kemarin tiba-tiba aku ngilang.." kata Mas Diki, "Maafin aku juga karena itu semua berawal dari saat aku nemuin kamu di Taman Kota waktu itu.."

Aku diam tak membalas penjelasannya lagi. Aku tau bagaimana harus merespon ceritanya itu.

...

"Jalan yuk ah.." kata Mas Diki tiba-tiba sambil beranjak bangun.

"Eh.. Jalan kemana?" tanyaku.

"Ke pantai situ, dong.." balasnya.

"Eh, basah nanti bajuku, Mas.. Nggak bawa ganti aku.." kataku. Aku sebenarnya sangat ingin bermain air. Sudah lama sekali aku tidak main ke pantai. Terakhir aku ke pantai bersama teman-teman Liqo' ku sekitar enam bulan yang lalu.

"Ya nggak usah main air.. Di pinggirannya aja.." kata Mas Diki, "Udah sampai sini, mosok nggak liat pantainya.."

Akupun lalu ikut beranjak bangun, dan berlalu menuju hamparan pasir pantai yang terbentang menantang dengan cantiknya itu. Tempat ini dengan semua keistimewaannya memang menawarkan keindahan pantainya yang khas yang tak dimiliki tempat lain di negeri ini.
"Kamu tau dah berapa lama aku di kota ini, Dek?" tanya Mas Diki.

"Eh.." aku tak tau arah pertanyaannya itu. Apa hubungannya denganku? Kami berdua sedang menyusuri pinggiran pantai ini, dan pertanyaan itu seolah tak ada hubungannya sama sekali.

"Sembilan tahun aku tinggal di Jogja.. Sembilan tahun juga aku sudah mengenalmu, aku jatuh hati padamu selama sembilan tahun itu juga.. Aku inget banget kamu pakai seragam sekolahmu yang putih-putih itu.. Dan aku langsung jatuh hati sama kamu sejak saat itu.." kata Mas Diki.

Ucapannya itu begitu absurd. Aku tak paham kemana arah obrolannya itu.

"Apaan sih, Mas.. Kok jadi ngomongin masa lalu?" kataku sambil kami berdua masih berjalan di pinggir pantai.

"Berkali-kali aku nembak kamu, Dek.." lanjutnya, "Pas aku nembak kamu, pas kamu lagi deket sama lelaki lain.. Terakhir kali aku nembak kamu pas kita KKN.."

"Haishh.. Kamu ceweknya juga kan gonta ganti.." balasku agak sewot juga.

"Hehehe. Bola-bali ditolak kamu, bikin aku sempet down juga.. Aku punya banyak temen cewek ya karena lifestyle anak Mapala biasanya kaya gitu.." katanya, "Kukira aku bakal bisa move on.. Tapi ternyata enggak.. Terbawa lagi sosokmu ke hatiku begitu aku ketemu sama kamu.."

"Jadi ya, aku cuma bisa nunggu aja sampai saat aku siap buat ngelamar kamu" kata Mas Diki, "Sampai tibalah waktunya aku lulus, aku yang tampang pas-pasan ini, baru-baru aja mulai kerja dan mengumpulkan kepercayaan diriku... Dan lagi-lagi aku keduluan, waktu itu sama suamimu.."

"Mas.. Kamu dari semua lelaki harusnya tau aku nggak pernah lihat dari rupa atau harta.." kataku.

"Hehehe, iya.." kata Mas Diki, "Tetep aja.. Kamu udah mentereng dengan segudang pencapaianmu sebagai seorang ukhti di LDK. Sedangkan aku anak Mapala yang doyannya naik gunung, apa kata orangtuamu kalau aku datang tiba-tiba melamarmu. Apalagi aku harus bersaing dengan orang yang lebih mapan dari aku yang waktu itu aku bar wae lulus kuliah dan baru kerja.."

"Satu-satunya yang bisa aku lakuin, ya aku tetap tegar di hadapan kamu.." lanjt Mas Diki, "Aku inget kamu langsung cerita ke aku pas kamu dilamar suamimu. Karena aku nggak cukup tangguh untuk melamarmu.. Aku cuma bisa kasih support ke kamu untuk terima lamaran itu.. Senajan nangis getih ning atiku, Dek."

Aku tak bergeming untuk sesaat.

"Apa alasanmu putus sama cewek-cewekmu, Mas?" tanyaku.

"Simpel.. Karena mereka bukan kamu, Dek. Hubunganku sama mereka bukan hubungan hati.. Hati ini sudah ada yang punya, dan itu kamu.. Semakin aku coba melepasmu, malah hati ini seolah jadi makin berharap bersamamu." kata Mas DIki.

Aku terdiam lagi mendengar penuturannya.

"Aku nggak tau harus jawab apa, Mas.. Aku cinta sama suamiku.. Mungkin memang waktu dan takdir kita yang nggak tepat.." kataku berusaha untuk tak melukai perasaannya.

"Hehe, aku ngerti kok.." kata Mas Diki, "Aku cerita ini bukan buat mengambil hatimu, karena hatimu sudah punya orang lain.. Inget pas kamu nginep di tempatku selama tiga hari dan kita enak-enak bareng itu? Hehe.. Aku akui itu barulah salah satu usahaku buat merebutmu. Berharap aku bisa mencari celah untuk masuk ke hatimu meski kutau itu sia-sia.."

"Tapi sekarang ini aku enggak mencoba mengambil hatimu.. Apalagi setelah kejadian sama Broto kemarin, itu menyadarkanku. Kamu dan suamimu malah makin lengket kan." kata Mas Diki, "Mungkin itulah kualitas dirimu yang bikin aku jatuh hati. Kamu orangnya nggak mudah menyerah pada gemerlap dunia beserta semua kenikmatannya. Tapi Itu juga yang membuka mataku dan aku jadi tau kalau cintaku padamu ini sia-sia.."

"Eh, kamu cinta aku, Mas?" tanyaku.

"Hehe, mungkin salahku juga karena aku yang nggak pernah ungkapin cintaku, Dek. Tapi mosok kamu nggak tau sih, Dek? Kan aku nembak kamu berkali-kali. Kamu juga harusnya aware kalau kamu kuperlakukan spesial dari yang lain. Dan, iya aku cinta sama kamu. Sejak lama, aku nggak tau kapan tepatnya. Aku mencintaimu hingga sampai di kondisi yang bikin aku sadar kalau aku harus membiarkanmu bahagia, meski itu bukan denganku." kata Mas Diki.

"Aku bertekad untuk mengakhiri usahaku untuk memilikimu. Dan sekarang aku ngajak kamu kesini cuma sebagai ungkapan perpisahan.." lanjutnya

"Eh, perpisahan..? Maksudnya..?" tanyaku.

Entah ini apa dan bagaimana, kurasakan secuil rasa di dadaku berontak saat Mas Diki bilang ini adalah perpisahan. Aku memang pernah punya perasaan sama Mas Diki tapi itu dulu sekali. Setelah Mas Bagas menjadi suamiku yang sah, aku menutup hatiku dan hanya melabuhkannya pada suamiku.

Kebingunganku nampaknya disadari oleh angin pantai yang bertiup sepoi-sepoi. Kerudung syar'i yang aku pakai ini pun berkibar-kibar akibat tiupan angin.

"Ini sudah saatnya aku move on, Dek.. Kamu tau kan aku tipe orangnya ngeyel sebenarnya.." kata Mas Diki.

"Aku punya temen-temen deket.. Mereka aku ceritain soal kamu.. Tapi tenang aja, aku nggak pernah sebut namamu kok.." ujarnya, "Aku ceritakan hampir semua tentangmu, Dek.. Keindahanmu, kesempurnaanmu.. Dan banyak keluarbiasaanmu yang aku sadar nggak bakal bisa aku miliki.."

"Temen-temen deketku selalu nyuruh aku move on sejak lama.. Tapi aku selalu ngeyel, bahwa kelak suatu hari aku bisa dapetin kamu.. Temen-temenku selalu bilang kalau aku harus mampu keluar dari friendzone atau apapun yang kamu buat ini.. Tapi aku ngeyel ke mereka kalau kamu itu worth it buat aku perjuangkan.. Dan seperti Merapi yang tak pernah ingkar janji, aku berusaha dengan segala daya upayaku untuk memperjuangkanmu.." lanjutnya

"Tapi kini sudah saatnya aku sadar dan berdamai dengan takdir. Sudah cukup aku jadi figuran di kisah hidupmu, dan mulai jadi pemeran utama di kisah hidupku sendiri.." kata Mas Diki.

"Sekali lagi maaf kalau aku hadir di hidupmu, di hidup kalian.. Aku yang pertama kali bikin kamu kenal sama dunia permesuman.. Gara-gara aku, kamu mungkin merasa berdosa sama suamimu.. Maaf kalau aku jadi penyebab kekacauan di hidupmu kemarin. Aku sadar buat move on, aku nggak bisa lagi deket-deket sama kamu lagi, Dek.."

"Eh?" ujarku singkat.

"Kebetulan sebentar lagi, aku mungkin dipindahtugaskan di luar kota.." kata Mas Diki, "Aku memang pendatang di kota ini. Kota ini selalu istimewa di hatiku. Dan alasan keistimewaan nya ada padamu, Dek. Dan penugasan ini, mungkin isyarat kalau aku juga harus move on, dari kota ini, dan dari kamu.."

"Kamu yang membuatku termotivasi untuk tegak berdiri.. Kamu adalah alasan aku bisa hepi.. Kamu juga kadang menjadi sebab yang bikin hidupku sepi." kata Mas Diki.

"Tuhan menciptakan Jogja saat sedang jatuh cinta.. Aku kira ungkapan itu memang benar.. di kota ini aku baru merasakan cinta sedalam ini.." lanjutnya

"Eh, lhaa.. malah nangis og piye.." timpalnya tiba-tiba.

Perkataan Mas Diki itu menyadarkanku bahwa entah sejak kapan mataku mulai berair. Ternyata aku bisa sesedih ini juga akibat ucapan-ucapannya itu.

"Jangan nangis dong.. Aku ki mau ngajak kamu seneng-seneng e kesini.."

"Aku nggak tau harus ngomong apa, Mas. Aku nggak tau sedalam itu perasaanmu.." kataku, sambil menahan nafasku yang sesenggukan, "Iya aku tau dulu kamu naksir aku.. Aku nggak nyangka aja kalau sampai sekarang ternyata masih dan bahkan sejauh itu.. Aku juga minta maaf kalau aku nggak bisa membalas perasaanmu. Hatiku sudah punya suamiku, Mas.."

"Iya aku ngerti kok.." kata Mas Diki, "Bisa dan pernah jatuh hati sama kamu itu merupakan keindahan yang tak terkira buatku. Itu sudah cukup bagiku untuk jalani hari-hariku. Semua yang aku lakuin ini hanya caraku buat bikin kamu bahagia, meski itu dari sisi gelapku. Kamu hanya cukup tau kalau namamu yang selalu terukir di hatiku dan di setiap doaku."

"Jogja itu tempatnya Pulang, Angkringan dan Kenangan. Dan kenangan indah ini yang akan aku ingat seumur hidupku. Kadang kita punya keinginan tapi dikalahkan oleh semesta yang punya kenyataan.." kata Mas Diki.

Untuk sesaat hanya keheningan yang terdengar. Aku terdiam tak membalasnya, berusaha menahan air mataku yang entah kenapa tak henti-hentinya deras mengucur.

"Aiiihhhh.." jeritku tiba-tiba. Mas Diki tanpa diduga membuatku geli dengan menggelitikkan jarinya di pinggangku.

"Mas!! Eee.. Kok nggelitik sih.." kataku protes. Tiba-tiba juga tangisku berhenti.

"Eh.. Aiihh.." jeritku lagi saat Mas Diki kembali menggelitik. Kali ini diikuti tawa geli. Aku memang orang yang sensitif apalagi saat pinggangku digelitik seperti ini..

"Hehehe.. Gitu.. Ketawa dong, jangan nangis.." kata Mas Diki diikuti kekehannya.

"Tak bales lho.." kataku yang diikuti usahaku untuk coba meraih pinggangnya dan berusaha gantian membuat geli. Tapi ternyata Mas Diki lebih gesit untuk menghindar dariku.

Entah kenapa, kami tiba-tiba larut bercanda setelah tadi untuk sesaat aku merasa sedih. Dan untuk sesaat aku bermain-main kejar-kejaran dengan Mas Diki di pinggiran pantai dengan berlatar deburan ombak laut selatan ini. Hingga tiba-tiba,

Cbyaaar..

"Heeehhh.. Teles kathok ku, Dek.." kata Mas Diki.

Tak tau darimana, ombak besar tiba-tiba sudah datang saja dan beradu membasahi celana Mas Diki, yang saat itu berdiri terlalu dekat dengan air laut akibat aku kejar-kejar tadi.


------
------​

"Kamu tunggu di dalem aja, Dek.." kata Mas Diki, "Aku nunggu disini aja, sambil nunggu celanaku kering sebentar.."

"Di dalem ada kamar mandi kalau kamu mau bersih-bersih.."kata Mas Diki lagi.

"Tenang aja aku nggak akan masuk, kok.. Hehehe.. Aku janji memekmu aman dari kontolku kali ini, hehehe.." lanjutnya bercanda sekaligus mesum, tipikal karakternya.

Mas Diki lalu duduk di sofa yang ada di teras depan rumah ini, sambil memandangi hamparan laut yang tersaji tepat di muka bangunan rumah berukuran sedang ini. Akupun lalu masuk ke rumah, berniat untuk bersih-bersih. Banyak sekali pasir yang menempel di badan dan bajuku yang harus aku bersihkan.

Di sisi dalam rumah ini ternyata cukup terawat. Rumahnya tak begitu besar, namun indah dan estetik. Ada dua kamar, masing-masing memiliki kamar mandi dalam. Akupun bergegas masuk ke salah satu kamar ini.

------
------​

Hari sudah semakin sore. Pancaran mentari menyemburatkan cahaya indahnya yang malu-malu turun di ufuk timur. Aku perlahan berjalan menuju pintu luar rumah ini setelah selesai mandi dan bersih-bersih. Aku masih mengenakan pakaianku seperti semula, hanya tak lagi memakai cadar. Toh, tak ada siapa-siapa juga disini.

Tepat di depan pintu, kulihat Mas Diki yang sedang duduk di kursi panjang. Di teras ini ada dua kursi yang satu kursi panjang dan yang satunya kursi yang berukuran single. Namun view laut bisa dilihat dari sisi kursi panjang. Mas Diki nampaknya tau kalau aku berada di ambang pintu.

"Eh, sini duduk sini, Dek.." katanya.

Aku sesungguhnya sudah tak marah lagi kepadanya. Padahal tadi pagi saat aku pergi, aku masih menggerutu seolah tak sudi berpasan dengan Mas Diki. Namun setelah semua penjelasannya seharian ini yang kudengarkan, aku jadi sedikit memahami kenapa dia begitu saja menghilang kemarin.

Aku memang tak pernah berprasangka buruk sebelumnya kepadanya. Sepanjang aku mengenalnya, dia memang tak pernah sekalipun punya niat menyakitiku. Terlebih setelah tadi dia menjelaskan semuanya, semuanya seperti lebih jelas. Yang sesekali membuatku jengkel padanya adalah otak mesumnya yang kadang nggak ketulungan.

"Kok sarungan kamu, Mas?" kataku menanggapi obrolannya.

"Iya.. tadi Mbah Muji kesini nganter makanan.. Sekalian nawarin celanaku buat diangin-angin di dapurnya, biar cepet kering.. Makanya aku pakai sarung sekarang.." kata Mas Diki

"Kamu dah mau makan, Dek?" tanya Mas Diki.

"Masih agak kenyang, Mas.." jawabku

Aku lalu duduk di kursi panjang ini, bersebelahan dengan Mas Diki. Bisa kulihat cahaya mentari sore yang menawan akan berlabuh di ujung laut sana.

Mas Diki tiba-tiba memegang tanganku. Namun aku tarik tanganku lepas. Aku masih sadar kalau dia bukan muhrimku.

"Maaf ya, Dek.. Kamu belum bisa pulang dah sore gini.." kata Mas DIki.

"Iya, Mas.. Kan celanamu basah.. Dikeringin aja dulu nggakpapa, biar kamu juga nggak sakit.." balasku.

"Bagus banget ya sunset nya?" kata Mas Diki

"Eh, iya.."

Di kursi ini, pandangan kami langsung tertuju ke horizon di ujung barat sana. Cahaya mentari sore yang mulai berubah menjingga, menghiasi sang bintang raksasa yang mulai surut turun di ujung laut sana.

"Eh, emang tempat ini punya siapa, Mas?" tanyaku.

"Rumah ini? ini punya temen deketku.. Aku sebelumnya emang sering kesini sih kalau pas pengen menyendiri.. Mbah Muji itu yang ngerawat tempat ini.. Beliau udah tak anggap kaya bapakku sendiri.. Belum lama istrinya wafat, jadi aku sekalian tinggal disini nemenin dia.." kata Mas Diki.

"Ooh.. Kalau kamu disini berarti kamu nggak kerja, Mas?" tanyaku lagi.

"Di posisiku sekarang, aku bisa kerja dari remote, nggak perlu ke kantor.. Lagian kerjaanku kan seringnya madepin laptop.. Makanya aku memilih kesini beberapa waktu ini.." jawab Mas Diki.

"Ooh.. Ngapain aja kamu disini, Mas?" tanyaku.

"Ya ngapain aja yang bisa aku lakuin.. Aku kadang ikut Mbah Muji ngelaut kalau pas lagi selo dan nggak banyak kerjaan.." jawabnya.

"Oo.. pantes kamu jadi iteman gitu.." selorohku.

"Hahaha.."tawa Mas Diki terkekeh-kekeh.

Untuk beberapa saat selanjutnya kami melanjutkan ngobrol sambil ditemani hari yang beranjak senja. Rasanya sudah lama memang kami tak bertemu, kami pun saling bercerita banyak.

Di ujung sana matahari semakin turun dan mau tenggelam. Semakin petang dengan warna jingga yang melukis senja. Aku yang semakin tak canggung ini masih terus bercerita dua arah dengan Mas Diki berlatar hari yang semakin sore.

Jarak duduk kami makin berdekatan tak tau sejak kapan dan, tiba-tiba, Mas Diki kembali memegang tanganku. Untuk kali ini aku tak menolak, entah karena sudah merasa nyaman atau bagaimana.

Selama beberapa saat kami terdiam. Aku tak berani melihat Mas Diki, pandanganku kuarahkan ke depan, menyaksikan siluet sore yang menawan di ufuk sana. Kontras dengan beberapa detik lalu saat kami asik mengobrol, kini hening menyelimuti teras rumah ini.

"Makasih ya, Dek.." kata Mas Diki membuka suara.

"Buat apa, Mas?" balasku.

Untuk beberapa waktu, Mas Diki terdiam sebelum berujar kembali,

"Semuanya..." katanya.

Lalu tangannya beralih menyentuh daguku, dan ditolehkannya wajahku, hingga mau tak mau mata kami saling terkait. Mata lelakinya tegas menatapku.

Dan entah mengapa, dipandangi seperti itu malah membuatku malu. Layaknya seorang perempuan yang sungkan akan tatapan lelaki. Pipikupun ikut bersemu merah.

Lalu, tanpa kuduga, Mas Diki memajukan wajahnya. Sebagai seorang wanita normal, untuk sepersekian detik aku tau apa yang akan dia lakukan. Aku bingung tak tau harus meresponnya seperti apa, apakah aku harus menghindar dan bangkit?

Kebingungan itu membuatku diam untuk sesaat. Lalu sudah kurasakan bibir Mas Diki mengecup pipiku pelan. Alhasil itu malah membuat pipiku yang putih ini makin bersemu merah. Tak lama, lalu bibirnya bergeser menuju bawah hidungku. Menyadari aku tak memberi penolakan, Mas Diki lalu mulai mengecup sisi atas bibirku.

Bibirnya lalu perlahan turun mulai tepat menyentuh bibirku. Langsung bisa kurasakan bibir kasar khas lelaki itu menyentuh bibir halusku. Aku masih diam saja, entah mengapa aku tak bisa menolaknya, namun aku juga tak melawannya.

Hingga sekian detik selanjutnya bibirnya tanpa kenal lelah melumat terus bibirku yang masih pasif saja. Namun usahanya melumat bibirku itu lama-lama membuatku luluh juga. Mataku terpejam. Dorongan dari dalam diriku memaksa bibirku untuk tiba-tiba bergerak, hingga mulutku terbuka.

Mas Diki makin semangat, dan terus melumat bibirku. Mungkin menyadari aku yang mulai luluh, bibirnya mencumbu bibirku bergantian atas dan bawah. Air liurpun mulai keluar membasahi peraduan dua mulut ini. Dan akupun seolah pasrah mengikuti arah bibirnya yang menjelajahi setiap sudut bibirku.

Cppphh..Smmoocchh.. Sslllrrppp..

Malahan, tak kusadari tubuhku kini ikutan memanas. Hal yang harusnya tak boleh kubiarkan terjadi. Mulutku tak lagi kaku dan mulai mengikuti permainan bibirnya.

Mas Diki juga nampaknya tau perubahan gelagatku ini. Bibirku kini mulai ikut membalas melumati bibir hitamnya. Mas Diki yang tau kalau aku sudah mulai membalas lumatan itu lalu memindahkan tangannya menempel di pahaku.

Tangannya perlahan lalu mulai mengelus-elus pahaku. Meski aku memakai gamis dan celana legging, namun sentuhan tangan lelakinya itu langsung sontak mampu membuat darahku darahku berdesir. Selama beberapa saat tangannya mengelus-elus pahaku semakin lama semakin intens.

Menyadari tak ada tanda penolakan dariku, tangan kirinya itu perlahan naik dari pahaku. Kemudian bergeser ke arah pinggangku dan mulai mengelus-elus pinggangku dari luar baju gamis syar'i yang kupakai.

Sambil bibir kami masih saling berciuman, tangannya kemudian terus naik menuju dadaku. Tangannya lalu menyelusup ke balik jilbab syar'i yang kupakai ini. Menyadari hal ini membuat degup jantungku makin meninggi. Tangannya lalu berhenti di dadaku.

Dari luar baju gamisku ini kemudian tangan kirinya mengusap lembut dadaku. Aku bisa merasakan usapan dan rabaan itu meski tubuhku masih berlapis gamis dan beha yang kupakai. Dadaku semakin bergemuruh mendapati jamahan lembut tangan lelakinya itu.

"Shhh.. Mmmass.. katanya tadi janji nggak mau mesumin aku?" kataku sesaat setelah melepas ciuman kami.

"Salah.. Aku janji nggak akan ngentotin memekmu.. Memekmu itu cuma boleh dipakai sama suamimu.. Tapi bukan berarti aku nggak bisa main-main yang lain kan.. Masih banyak yang bisa aku lakuin ke kamu, hehe.." kata Mas Diki.

Tanpa menunggu jawaban dariku, lalu bibirnya kembali melumat bibirku.
Tangannya mulai lagi meremas lembut dadaku dari luar bh dan baju gamisku ini. Aku yang bisa merasakan remasan itu yang langsung merasakan birahiku ikutan mulai naik.

"Sshhh.. Tapi Mass.. Ini kita di luar.. Nanti diliat orang.." kataku di sela-sela lumatan bibirnya.

"Sepi kok.. Kita kan juga nggak ngapa-ngapain.. kamu juga masih pakai baju.." katanya memberi alasan.

"Kecuali kamu nggak mau, Dek.. Maka aku akan menghentikan ini semua.." kata Mas Diki saat melepas ciumannya.

Aku diam tak menjawab apapun. Tak mengiyakannya maupun menolaknya. Secuil nuraniku masih berperang melawan akan sesuatu yang seharusnya tak boleh kulakukan ini.

Mendapati diriku yang bimbang ini, Mas Diki kembali melumat bibirku. Tangannya kini mulai berani meremas tetekku dari luar. Remasan itu kurasakan makin gigih dan makin kencang. Tangannya yang berada di balik jilbab syar'i-ku itu lalu dengan cepat menuju resleting gamisku yang memang berada di bagian dada dan langsung dia tarik turun.

Dia turunkan resleting gamisku sampai mentok sebatas perutku. Tangannya lalu kembali naik, dan mulai menelusup masuk ke dalam gamisku. Aku langsung bisa merasakan hangatnya tangan itu bersentuhan langsung dengan kulit tubuhku. Tak berlama-lama, tangannya lalu menuju bh ku.

Dengan cepat dan sedikit bertenaga, Mas Diki menarik ke atas bh ku tanpa melepasnya, hingga bisa kurasakan kedua tetekku keluar terbebas dari sarangnya. Detik selanjutnya, tangannya langsung menyentuh tetek sekalku ini dan mulai meremas-remas lembut.

Aku merasa diriku seperti dikejut saat tangan hangat itu menjamah sisi intim tubuh atasku ini. Birahi kuraskan mulai datang menyelimuti diriku. Tak kusangka birahiku naik secepat ini. Sekejap kemudian aku baru ingat kalau tadi pagi aku sempat terbakar birahi, namun belum tuntas.

Iihh.. Mas Bagas sih tadi pakai matiin telefonnya. Gerutuku dalam hati.Kini imbasnya syahwat di dalam tubuhku menghangat dengan mudah dengan jamahan tangan lelaki bukan muhrim di sampingku. Bahkan sebenarnya birahiku sudah naik sejak pahaku dielus-elus oleh tangannya dari luar gamisku tadi.

Meski tubuhku masih terbalut gamis dan jilbab syar'i, namun tangan Mas Diki mampu menjamahku langsung dari balik jilbab syar'iku. Aku mulai melupakan hakikat seorang istri yang tak boleh menikmati ini semua, seiring benakku yang ikut terisi syahwat akibat remasan tangan Mas Diki.

"Ssssshh.." desisku pelan yang mulai keluar dari mulutku.

Mas Diki lalu memegang tanganku dengan tangannya yang lain, lalu tanganku itu diarahkan menuju ke selangkangannya yang tertutup sarung. Aku langsung bisa merasakan batangnya yang sudah menonjol dari balik sarung, padahal kurasakan belum terasa mengeras.

Entah apakah hanya perasaanku saja, tapi kok sepertinya penisnya itu terasa lebih besar dari yang dulu pernah kurasakan. Birahi yang menyelimuti detik demi detik ini membuat tanganku reflek mengelus-elus penisnya dari luar sarung. Namun, aku masih tak punya nyali untuk lebih berani dari itu.

"Ssshhhh.. Mmmmfffhhhh.." desahanku kini makin berani.

Mas Diki juga semakin aktif menjamah tetekku. Putingku yang sudah mengeras ini lalu ikut disentil-sentil menggunakan jarinya. Tak pelak itu membuatku menggelinjang nikmat. Putingku yang adalah titik sensitifku membuat tubuhku semakin diliputi nafsu.

Dengan dua jarinya, lalu putingku itu ia pilin-pilin. Tubuhku seperti tersengat listrik merasakan permainan jarinya itu. Sesekali puting kerasku ini ditariknya, membuat tubuhku semakin menggelinjang. Mulutku tak lagi malu-malu mendesah di tengah teras yang terbuka ini.

"Sssshhh.. Mmmffhhh.. Hoouuuhhhh.."

Gelombang klimaks itu perlahan kurasakan makin mendekat. Tangan kanannya makin liar menjamah tetekku bergantian kanan dan kiri. Hanya dengan tangannya itu dia mampu membuatku menggeliat kenikmatan. Mataku kadang terpejam ikut menikmati alur permainan penuh dosa ini.

"Pentilmu masih sensitif aja, Dek.." kata Mas Diki di tengah jamahan tangannya.

Tangannya meremas bongkahan tetekku yang masih tertupi jilbab syar'i ku ini dengan kuat-kuatnya. Nafsuku sudah berada hampir di garis akhir. Aku tak habis pikir ternyata tubuhku menyerah semudah ini pada nafsu hanya dari jamahan satu tangannya.

"Hoouuuhhhh.. Sssshhh... Aaaaahhhhhhhhhhhhh.."

Aku menjerit pelan saat kurasakan tubuhku bergetar merasakan orgasme. Tubuhku tersentak-sentak meski pelan karena posisiku yang duduk di kursi panjang ini. Namun kurasakan cairan orgasmeku keluar membanjir di bawah sana.

Mataku terpejam kuat beberapa detik saat gelombang puncakku datang. Tanganku tak sengaja meremas penis Mas Diki yang masih tertutup sarung hingga bisa kurasakan tekstur penis itu. Aku tak tau apakah Mas Diki kesakitan atau tidak saat tangangku meremas kuat batangnya itu.

Untuk sesaat nafasku tersengal-sengal. Degup jantungku makin cepat, seolah baru saja mencapai garis finis lari maraton. Setelah tadi pagi aku gagal orgasme, ini adalah orgasme pertamaku hari ini. Orgasme di sore hari, di teras ruang terbuka disaksikan oleh mentari yang mulai tenggelam.

"Hehe.. Gantian, Dek.. Juniorku yang dipuasin.." kata Mas Diki.

Dengan masih lemas dan nafas tersengal-sengal, tanganku lalu melepas ikatan sarung di pinggang Mas Diki. Kemudian, aku singkap kain sarung itu turun sebatas pahanya.

Sekejap kemudian, langsung terlihat batang penis Mas Diki yang ternyata tak ditutupi apa-apa dibalik kain sarung itu. Batang gelap yang ukurannya nampak besar dan panjang meski belum sepenuhnya menegang. Kulihat urat-uratnya mengitari sekeliling batang itu.

"iih.. Kok kayaknya lebih gede, Mas.." responku tiba-tiba saat kulihat penisnya

"hehe.. Kemarin-kemarin habis aku sekolahin, Dek.. Makanya tambah gede.." jawab Mas Diki.

Mataku masih tak lepas dari memandangi selangkangan Mas Diki. Tak tau kenapa, melihat batang itu malah membuat darahku kembali berdesir. Padahal belum lama tadi aku baru saja orgasme. Beberapa kejap kedepan, aku masih diam menatap nya selangkangan itu.

Mas Diki lalu memegang tangan kiriku. Tangan kiriku itu terus diarahkannya untuk kembali memegang penisnya. Seketika terasa kulit penis gelapnya itu menyentuh kulit halus tanganku. Tanganku masih diam untuk sesaat.

Hingga beberapa waktu kemudian, batang itu perlahan mulai dielus-elus oleh halusnya kulit tanganku. Aku lalu memberanikan diri untuk memegang batang itu. Kupegang dengan telapak tanganku yang tak mampu mengitari batang itu sepenuhnya.

"Iya, ini penisnya ini memang lebih besar daripada yang terakhir aku pegang." gumamku dalam hati.

Batang itu masih kuelus-elus semakin lama semakin naik temponya. Tanganku tak lagi malu-malu untuk memainkan batang yang tak halal buatku itu. Hingga beberapa saat kemudian, penis Mas Diki itu pun bertambah tegang

Satu tangan kiriku ini tak bisa memegang semua penisnya. Lalu, dorongan syahwatku membuatku menggerakkan tangan kananku untuk ikut menggenggam penis Mas Diki. Aku lalu membuat posisi dudukku bergeser menyerong menghadap Mas Diki yang berada di sisi kiriku. Aku tak lagi menyender di kursi.

Aku terus memberikan servis handjob ini ke penisnya. Batang gelap itu makin lama makin mengeras saja. Bisa kulihat urat-uratnya semakin nampak jelas menghiasi batang itu.

"Urrgghhh.." erang Mas Diki.

Mas Diki kulihat sudah menyandarkan badannya di kursi panjang ini, menikmati nikmatnya kocokan halus tanganku di batang gelapnya.

Aku sendiri merasakan jantungku berdegup kencang. Ada secuil perasaan rindu akan penis ini memang, penis kedua yang pernah aku rasakan. Meski kali ini penis Mas Diki ukurannya lebih besar dari sebelumnya, entah diapakan olehnya.

"Urrgghh.. Enak banget kocokanmu, Sayang.." erang Mas Diki.

'Sayang'. Entah kapan terakhir kali aku mendngar ucapan itu dari Mas Diki. Aku makin cepat memainkan batangnya. Kugunakan tangan kananku untuk mengocok naik turun di batang gelap itu. Tangan kiriku kini ikut bermain-main di kepala penisnya yang mengkilap.

Beberapa kali pantat Mas Diki menggeliat, seolah makin kelojotan merasakan kocokan tanganku, yang sesekali juga lubang kencingnya itu aku elus-elus dengan lembutnya jemari tangan kiriku.

Aku lalu beralih ikut memainkan buah zakarnya. Sementara tangan kananku yang mengocok batangnya itu kugerakkan makin cepat. Kurasakan makin keras batang penisnya itu. Batang gelap itu rasanya sudah tegang maksimal, urat-uratnya makin terlihat dan terasa di genggaman telapak tanganku, penis paling berurat yang pernah kulihat dan kurasakan.

Aku lalu membetulkan posisiku menyandar di bahu Mas Diki. Entah mengapa aku malah ikutan larut di permainan syahwat terlarang ini dan malah mencoba membuat nyaman posisi dudukku. Aku makin menempel di dada Mas Diki. Penis itupun makin mendekat ke mukaku. Bisa kulihat cairan precum yang meleleh dari lubang imut di tengah kepala jamur itu.

Saat kugeser dudukku ini, kurasakan ternyata vaginaku geli dan mulai gatal saat aku memainkan penis Mas Diki ini. Aku yang sudah selesai orgasme tadi kini seperti bangkit didera birahi perlahan. Kocokan tanganku makin cepat naik turun di penis gelap itu.

Slop.. slop.. slop..

Penisnya semakin keras dan kurasakan berdenyut semakin cepat. Yang tak kukira batang itu malah seolah menggodaku sehingga gairahku makin meninggi. Seiring birahiku yang semakin naik, mataku semakin lekat menatap penis Mas Diki.

"Dia kangen sama bibir seksimu, Dek.." kata Mas Diki di sela erangannya.

"iiihh.. Apaan sih.." responku agak jual mahal.

Mas Diki sepertinya tau aku memandangi penisnya itu. Meski sok jual mahal, tapi gairahku entah mengapa malah malah semakin meninggi. Kata-katanya tadi seolah memintaku untuk menyentuh batang itu dengan bibirku. Seolah terhipnotis, kemudian Aku menurunkan kepalaku mendekat ke arah selangkangannya.

Hingga sekejap kemudian bibirku menyentuh ujung jamur gelap itu. Kucium kepala penis Mas Diki, sambil tangan kananku masih mengocok batang itu semakin cepat. Aku sempat menoleh melihat ekspresi Mas Diki. Mukanya memancarkan perasaan nikmat saat tadi penisnya aku cium.

Aku lalu kembali menurunkan wajahku. Kepala penisnya kucium lagi untuk kedua kalinya. Kali ini sentuhan bibirku tepat menuju lubang kencingnya. Birahi yang menggelora di tubuhku seolah mendorongku untuk lebih berani.

"Urrrggghhh.." erang Mas Diki "terus Dek.. enakk.. uurrgghh.."

Aku lalu menjulurkan lidahku hingga aku mulai menjilat-jilati kepala penisnya.

Kurasakan penis itu semakin menegang dan mengeras. Bahkan kurasakan denyutan pembuluh darah di batang kelelakiannya itu semakin jelas di genggamanku.

Aku lalu membuka bibirku dan mencoba memasukkan kepala penisnya itu ke mulutku. Ukuran penisnya yang jauh membesar daripada saat terakhir kali aku merasakan penisnya, membuatku cukup kesusahan. Bibirku harus mangap ekstra lebar untuk memasukkan batang itu, bahkan hanya sebatas kepala penisnya saja.

Tangan kananku kembali mengocok batang gelap itu dengan cepat, sembari kepala penisnya bersarang di dalam bibirku. Tangan halusku ini merasakan batang itu makin menghangat. Kepala penisnya yang berada di dalam bibirku makin membesar, dan tak lama mulai berkedut cepat.

"Uuurrggghh.. Keluar aku, Sayang.." erang Mas Diki.

Aku yang mendengar itu langsung mempercepat kocokan tangan kananku di batang penisnya, tangan kiriku ikut memijat biji zakarnya, membantu si kental di dalamnya untuk keluar. Bibir ******* ini juga membantu dengan hisapan dan empotan kuat di kepala penisnya.

"Uuuuuuuuurgghh..." erangnya panjang sambil pantatnya sedikit ia naikkan.

Crot.. crott.. crottt...

Semburan demi semburan keluar dari ujung lubang kencing nya. Mili demi mili cairan kental itu langsung tertelan masuk melewati mulutku. Tangan kananku kini kugunakan untuk memijat-mijat batang penisnya.

Entah apa yang merasukiku, aku seolah tak mau menyisakan setetespun air mani yang keluar dari batang gelap ini. Bibirku masih menyelimuti kepala penis Mas Diki selama beberapa saat, seolah bersabar menunggu isinya tuntas keluar semua.

Kurasakan begitu banyak lahar kental yang mengalir kutelan masuk ke kerongkonganku. Begitu merasakan spermanya itu, rasanya seperti rasa yang kuingat. Sperma Mas Diki adalah sperma yang pertama kali dulu kutelan.

Ketika aku pastikan isi batang ini habis terkuras, kemudian kuangkat wajahku. Penis itupun lepas dari mulutku.

"Kok tumben cepet, Mas?" kataku.

Sambil kulihat dirinya yang kini nampak lega setelah klimaksnya itu. Badannya ia senderkan di sandaran kursi panjang yang kami duduki ini.

"Eh, tapi kok masih gede aja sih ini.."

Mas Diki tak menjawab apa-apa dan hanya memasang senyum, menyunggingkan alisnya.

Tanganku yang masih memegang batang penisnya itu menyadari kalau penis itu belumlah menunjukkan tanda-tanda lemas. Kepala penisnya yang mengkilap akibat air liurku itu masih membulat tegang, belum ada tanda mengkerut seperti penis yang baru saja memuntahkan isinya.

Mas Diki lalu sedikit memajukan badannya. Tangannya lalu ia gerakkan berpindah menuju gamisku. Tangan itu menyelusup kembali masuk menuju dadaku. BH ku yang sedari tadi tertarik ke atas, membuat tangannya langsung bersentuhan langsung dengan kulit dadaku.

"Hehe.. Dulu pertama kali kamu nelen pejuh, kamu emoh-emohan lho.." katanya, "Sekarang doyan pejuh kamu ya, Dek.."

Aku tak merespon kata-katanya tadi, tapi mukaku malah memerah, menandakan ada benarnya apa yang dikatakannya tadi. Kata-katanya yang sedikit menyiratkan ejekan itu dibarengi dengan tangannya yang perlahan mulai meremas tetekku dari belakang.

"Beruntung banget ya suamimu.." lanjut Mas Diki.

Degg.. Mas Bagas..!!!

Ya tuhan! Aku lupa sosok suamiku. Sedari tadi aku larut dalam permainan birahi terlarang ini hingga syahwatku membuatku sejenak melupakan kekasih halalku yang saat ini sedang dinas keluar kota mencari nafkah. Rasa penyesalan langsung menyeruak. Batinku berperang hebat.

Bisa-bisanya aku seolah dengan relanya bermesum dengan lelaki bukan muhrimku. Bahkan air maninya tadi kutelan semua dengan kesadaran dan keinginanku. Saat benakku berkecamuk ini, tangan Mas Diki malah terus-terusan meremas tetekku.

Kurasakan tangannya memijat dan meremas lembut tetekku bergantian kanan dan kiri. Entah sejak kapan, posisiku kini sudah duduk dipangku oleh Mas Diki. Dari belakang seperti itu, Mas Diki makin leluasa memainkan tangan kirinya di sekelumit tetekku meskipun aku masih memakai gamis dan jilbab syar'i ku yang mulai kusut ini.

"Hmmhh.. Sssshh.." mulutku mulai mendesis perlahan.

Tangan kanannya dari belakang ia gerakkan menyibak jilbab syar'i ku sebatas leherku. Mas Diki lalu makin mendekat, hingga bisa kurasakan hembusan nafasnya yang hangat di tengkuk ku. Seolah menggodaku, Mas Diki menggoda tengkukku dengan meniup-niupnya pelan

"Houuhhh.." desisku.

Aku mulai lagi dilanda birahi yang perlahan bangkit. Kedua tangannya kini ia gunakan untuk fokus meremes tetekku kanan dan kiri.

"Sshhh.. Mmhaasss.." desahku yang mulai terdengar keras

Mas Diki memijat dan meremas bulatan besar yang membusung di dadaku. Tangannya semakin aktif bermain-main di sana. Putingnya yang dengan sendirinya ikut mengeras ini tak luput dari jamahannya meskipun hanya satu tangan.

Detik demi detik, rangsangan yang diberikan oleh Mas Diki membuat birahiku makin menanjak menjelajah setiap jengkal syahwat di tubuhku. Secuil akal sehatku masih menolak ini semua, masih terbayang sosok suamiku yang kuhianati lagi.

"Kamu seksi banget pas lagi sange gitu, Dek.." katanya tepat di telingaku.

"Cukup, Maass.. Tubuhku milik suamikuuhh.. Uuhh.." sanggahku diikuti desahan di tengah deraan birahiku.

Ada perang yang terjadi di benakku saat ini. Antara menyerah pada kenikmatan atau mempertahankan kehormatanku sebagai seorang istri dan seorang akhwat yang harusnya teguh menjaga iman.

"Yakin mau udahan?" tanyanya menggodaku sambil meniupkan nafasnya di leherku

Sambil berucap seperti itu, Mas Diki tak menghentikan aktifitas tangan kirinya. Bahkan tangannya makin aktif menjamah tetekku yang walaupun hanya satu tangan kirinya, namun bergantian meremas dan memijat bongkahan besar dan bulat kanan dan kiri di dadaku ini.

"Ssshhh.. Houuhhh.." desahku makin nyaring.

Aku tak membalas pertanyaannya itu. Malah hanya desahan demi desahan yang keluar dari mulutku. Seolah menandakan bahwa aku sudah takluk pada nafsuku sendiri. Kuakui Mas Diki memang pandai mengayun dan mengalun nafsuku hingga membuatku terbuai melupakan jati diriku dan pasrah pada syahwatku.

Mulutnya kini ia gunakan untuk menciumi leher dan tengkukku. Gamisku yang sudah terbuka resletingnya ini membuatnya makin leluasa. Bibir tebalnya bergeser ke arah kiri menuju pundakku. Jamahan mulutnya itu memberiku rasa geli, yang bercampur rasa nikmat akibat remasan tangan kirinya di tetekku.

"Hssshh.." desahku

Aku yang seudah terbuai nafsu kian tinggi ini lalu makin bersandar di dada Mas Diki. Ini membuat tangan kanannya bisa melingkar melewati bawah lenganku dan ikut hinggap di dadaku. Tangan kanannya itupun menyusul menyusup ke balik gamis dan bra yang kupakai dan mulai meremasi tetekku yang sebelah kanan.

"Hhmmpphhh.." desahku seketika.

Jadilah kini tetekku dijadikan bulan-bulanan oleh kedua tangannya. Birahipun semakin menggelora di dalam tubuhku. Jantungku berdegup makin cepat. Selama beberapa waktu kedua tangannya bermain-main di bongkahan besar yang masih tertutupi jilbab di dadaku ini. Putingku yang makin mengeras ini ikut dipilin-pilinnya membuatku merem melek keenakan.

Tangan kirinya kemudian ia pindahkan dari tetekku. Tangan itu lalu keluar dari balik gamis yang kupakai. Ia turunkan menuju perut sambil mengelus perutku dari luar gamisku.

Makin turun hingga tangannya itu sampailah di selangkanganku. Dari luar gamisku tangannya lalu ia tekan hingga kurasakan vaginaku disentuhnya meski dari luar gamis. Di saat itu aku tiba-tiba menyadari bahwa celana dalam yang kupakai ini telah basah.

Orgasme yang tadi kualami membuat celana dalamku itu basah kuyup. Bahkan kurasakan celanan legging yang kupakai sebagai dalaman gamis juga ikut basah. Mas Diki kemudian mulai menggesek-gesek selangkanganku ini dari luar gamisku.

Tak lama, tiba-tiba gamis sisi bawahku ini ditariknya lalu disingkap. Sehingga kini terlihat celana panjang sebagai dalaman yang kupakai. Tak mengambil waktu lama, Mas Diki langsung menyelipkan tangannya masuk ke balik celana yang kupakai dari sisi perutku.

Dan sekejap kemudian, tangan kiri itu bersentuhan langsung dengan celana dalamku. Aku seolah pasrah saja mengalami ini semua akibat birahi yang menggejolak karena tangannya yang lain tak menghentikan rangsangannya di gunung kembarku dan masih memilin-milin putingku.

"Shhh..Mmmmffhhhh.."

Aku mendesah hebat seiring satu tangannya yang bermain di selangkanganku. Meskipun aku memakai cd, namun basahnya celana dalamku itu membuat sentuhan tangan Mas Diki semakin sensitif. Apalagi aku memakai celana dalam tipis yang biasa kugunakan untuk tidur saat tadi pagi aku buru-buru memakai baju sebelum membukakan pintu rumah untuk mas Diki.

"Mmmmmffhhh.. Shhhh.. Mmmhaass.." desahku

Tangannya tiba-tiba menyingkap celana dalamku tepat di sisi yang menutupi bibir vaginaku. Seketika itu pula tangan itu kurasakan menempel langsung ke kulit vaginaku. Lalu, dengan telunjuknya, kurasakan Mas Diki mulai menggesek-gesek belahan bibir vaginaku perlahan.

"Ssshhh.. Mmasshh.. Udaahhh.. sshh.." ujarku di tengah desahanku.

Tapi tentunya itu tak dihiraukannya. Dan aku juga tak serius menolak ini semua. Tangan Mas Diki terus digesek-gesekan di liang surgawiku ini. Sementara tangan kanannya ikutan makin liar memainkan tetekku. Bisa kurasakan lendir kenikmatan keluar dari celah vaginaku.

Bibirnya juga masih bermain-main di pundakku yang telanjang akibat sisi atas gamisku yang kian tersingkap. Rasa geli bercampur nikmat membuat simpul-simpul syarafku dituntun untuk menaiki jenjang birahi yang perlahan makin memuncak.

Syahwatku semakin meninggi seiring detik yang berjalan mengisi sore ini. Aku benar-benar melupakan akal sehatku yang seharusnya menolak ini semua. Cairan pelumas dari liang senggamaku yang kini melumasi jari Mas Diki itu menjadi saksi bahwa tubuhku sesungguhnya ikut menikmati.

Hingga selama beberapa saat tubuhku menjadi sasaran rangsangannya itu, gelombang orgasme kurasakan mulai datang mendekat. Tubuhku kini menyandar makin pasrah di tubuh Mas Diki di belakangku.

Mas Diki lalu berbisik "Bajumu dilepas aja, Dek.. nanti lecek lho.."

Aku tak bergeming. Saat ini syahwat setan membelungguku dan kini aku sedang larut oleh nafsu.

"Kamu nggak bawa baju ganti, kan.. nanti bajumu lusuh gimana? Dilepas aja ya.." bisik Mas Diki lagi.

Aku sebenranya tau kalau permintaannya itu adalah cara halusnya untuk melihat tubuh telanjangku.. Lagi.. untuk kesekian kali.. Meski begitu, gelombang orgasme yang hampir datang kurasakan ini membuatku tak bisa dengan tegas menolaknya.

"Ssshhh.. Hmmmmppphh.. Hhggghhhh.." aku masih mendesah untuk sesaat

"Tapi, Mass.." kataku membuka mulut,"Ini kan di luar.."

"Sshhh.. Nanti ada yang ngerekam lho, Mas.., terus aku diculik lagi.." kataku.

"Dan aku yang akan menyelamatkanmu lagi, Sayang.."

Selesai berucap seperti itu bibirnya langsung menghampiri pipiku, akupun refleks menengok. Dan seketika itu, bibir kami menyatu kembali. Bibir tebalnya itu kembali melumat bibirku yang seksi dan sensual.

Untuk beberapa menit kemudian, kami saling berciuman. Bunyi kecipak ikut keluar dari peraduan bibirku akibat air liur yang saling tertukar.

"Dilepas aja bajunya ya, Dek?.. Sini aku bantu.." kata Mas Diki, di tengah french kiss yang kami lakukan.

"Mmmhh.. Terserah kamu, Mas.." jawabku.

Menyadari aku yang semakin pasrah pada birahiku ini, Mas Diki lalu mendorong pelan tubuhku untuk maju berdiri, hingga aku pun kemudian berdiri membelakanginya.

Seketika itu juga gamisku yang sudah terbuka sedari tadi akibat jamahan Mas Diki ini turun jatuh hingga sebatas betisku. Tubuh atasku kini tertutupi jilbab syar'iku sebatas dadaku, dibaliknya ada bra yang sudah tertarik ke atas tak lagi menutupi tetek montokku.

Dari belakang, kurasakan tangan Mas Diki memegang pinggangku. Tak menunggu waktu lama, sisi atas celana leggingku lalu dipegang dan mulai ditarik turun. Perlahan senti demi senti semakin turun hingga lepas melewati telapak kakiku bersamaan dengan gamisku yang mengatung di tumitku.

Gamis dan celanaku itu lalu ditaruhnya di kursi yang berada di samping kursi yang diduduki oleh Mas Diki. Tubuhku kini hampir telanjang. Celana dalamku masih mnutupi selangkanganku, menemani braku yang sudah tak berfungsi sebagaimana layaknya.

Jilbab syar'i yang kupakai ini sesekali berkibar-kibar karena angin sore yang sepoi-sepoi meniup di teras rumah ini. Tubuh ataskupun menjadi terkadang nampak di ruang terbuka ini. Namun angin sore ini juga memberi suasana semilir di tubuhku yang hampir telanjang.

Pahaku lalu kurasakan dipegang oleh Mas Diki dari belakang. Rasa geli akibat sentuhan langsung tangan lelaki itu lalu membuatku sontak menoleh ke belakang. Mas Diki memegang pahaku lalu ditariknya mendekat kembali ke tubuhnya yang masih duduk.

Bibir Mas Diki lalu mulai menciumi pinggangku. Itu menambah sensasi geli yang merambah syarafku. Bibirnya ia gerakkan menyusuri pinggulku, membuat pinggulku sedikit menekuk, menampakan dimple of venus yang kumiliki di pinggulku. Bibir Mas Diki tak luput bermain-main di situ juga.

Aku memejamkan mata, serasa menikmati kecupan bibir dan remasan tangan Mas Diki. Wajahku yang menghadap ufuk timur tempat mentari mulai terbenam ini memerah menahan birahi yang semakin mendera tubuhku

Sambil tangannya meremas-remas lembut paha telanjangku, ciuman Mas Diki lalu diarahkan turun menuju bokongku yang putih membusung ini. Meski mengenakan celana dalam, namun kecilnya cd yang kupakai ini tak bisa menyembunyikan pantat ******* yang kini jadi bulan-bulanan bibir Mas Diki.

Beberapa kali bibirnya itu meninggalkan kecupan yang sedikit memerah di kulit pantatku yang putih pualam itu. Tak lama, bibirnya kembali naik ke pinggangku, dan bergerilya di sisi samping kiri pinggangku. Sontak itu membuat pinggangku menggeliat pelan karena geli-geli nikmat yang kurasakan. Aku bisa merasakan kini pantat hingga pinggulku basah akibat ludah Mas Diki.

Mas Diki lalu memindahkan tubuhnya, berdiri. Tubuhku lalu ia dudukkan di kursi panjang. Hingga kini tubuh Mas Diki berdiri di depanku. Badannya masih mengenakan kaos, namun sisi bawahnya telanjang setelah sarungnya terlepas tadi.

Penisnya yang mulai mengembang lagi itu sejajar dengan posisi wajahku yang berjarak beberapa puluh senti saja. Mataku mau tak mau langsung terkunci memandangi batang gelap itu. Pipiku memerah seketika, tak tau mengapa aku malah kembali bernafsu memandangi penisnya.

Mas Diki lalu menundukkan tubuhnya. Untunglah, setidaknya dia tidak menyadari mukaku yang memerah ini. Mas Diki lalu menyingkap jilbab syar'i yang kupakai. Perhatiannya sedari tadi fokus tertuju ke bongkahan yang membusung di dadaku ini. Sesaat kemudian, jilbabku telah disingkap melewati samping pundakku.

Tubuh atasku kini tak terhalang apapun di hadapan Mas Diki. Bra yang kupakai yang tak lagi menghalangi bongkahan putih montok di dadaku ini membuat mata Mas Diki nanar menatap area dadaku. Mata lelaki bukan muhrimku yang seharusnya tak kuijinkan untuk sekedar mengintip organ dalamku.

Tak puas hanya memandanginya, lalu Mas Diki semakin menurunkan tubuhnya. Wajahnya mengarah lurus menuju dadaku. Bibirnya segera mendarat di sisi atas dadaku. Kecupan demi kecupan kembali dia sarangkan tepat di sisi bawah leherku ini.

Meski masih ada bra yang terlintang di atas dadaku ini, tak menghalangi bibir dan lidahnya menjamah daerah itu. Sensasi geli bercampur nikmat menjalari tubuhku. Lidah Mas Diki yang basah air liur itu membuat dadaku basah mengkilap. Jilatan dan kulumannya lalu turun menuju gunung kembar milikku.

"Shhhh.. Ouuuhhhh.."

Desahan kembali keluar dari mulutku saat tetekku yang makin sensitif ini merasakan jilatan dan kuluman bibirnya. Tangan Mas Diki juga ikut meremas lembut di sisi kanan dan kiri bongkahan putih membusung ini yang membuatku makin terangsang keenakan.

"Hmmmhh.. Shhhh.." desahku.

Ciumannya menjamah seluruh sisi tetekku bergantian kanan dan kiri. Kadang bibirnya mengecup kuat membuatku menggelinjang dan meninggalkan noda yang walaupun tak nampak jelas namun terlihat kontras memerah di atas putihnya kulit tetekku.

Teteku kini mulai mengkilap akibat sapuan demi sapuan lidah Mas Diki. Termasuk putingku yang makin sensitif ini sesekali dijilatnya yang tentunya membuat tubuhku serasa panas dingin didera birahi. Mas Diki lalu kembali menurunkan wajahnya.

Sapuan lidahnya dan kecupan-kecupan bibir tebal hitamnya itu lalu berpindah turun dari dadaku menuju perutku. Lidahnya terus menyapu sambil sesekali
Ia masukkan ke mulutnya untuk mengambil ludahnya lagi, untuk kemudian dia keluarkan lagi menjilati perutku. Jilatan itu tak berhenti sampai pusarku yang sesekali membuatku kegelian dan mengangkat perutku.

Tubuhku merasakan sensasi berbeda saat diperlakukan seperti ini. Belum pernah ada sebelumnya yang menciumi hampir sekujur tubuhku seperti ini, atau tepatnya menjilatinya. Oleh suamiku sendiri sekalipun belum pernah. Tapi sekarang Mas Diki seolah tak bosan-bosannya memberikan ciuman dan jilatannya sejak tadi di sisi belakang tubuhku sampai kini sisi depan tubuhku dan bermain-main di pusarku.

"Hmmhh.. Geellii, mmass.. Sshhh.." desahku.

Kemudian, ciuman bibirnya lalu ia turunkan dan kini berada di pahaku. Untuk sesaat pahaku menjadi bulan-bulanan bibir dan lidahnya. Sebelum jilatannya makin ia turunkan. Tubuhnya semakin menunduk seiring sapuan mulutnya yang turun melewati lututku.

Rasa geli yang menjalari tubuhku ini membuat birahiku ikut meninggi. Kurasakan vaginaku gatal tak karuan. Satu sisi liar di tubuhku seolah menginginkan sapuan lidahnya itu bermain-main di vaginaku yang entah mengaa seolah butuh pelampiasan nafsu ini. Namun secuil harga diri yang masih nyata di benakku membuatku masih tak kuasa memintanya.

Lidah basahnya itu lalu lanjut menjalari betisku sebelah kanan. Semakin turun hingga kini lidahnya berhadapan dengan kaus kaki yang masih menutupi sebagian betis bawahku. Mas Diki lalu mengangkat kaki kananku dan perlahan melepas kaus kakiku itu. Begitu juga dengan kaki kiriku, hingga kini telapak kakiku yang seharusnya menjadi auratku sudah tak terhalang apapun.

Jilatannya lalu kembali dia lakukan di betisku yang sudah telanjang ini dengan masih mengangkat kaki kananku. Diciuminya betisku hingga tumitku, lalu menuju telapak kakiku.

"Hmmhhhh.. Gelii, masshh.." kataku sedikit mendesah.

Mas Diki terus fokus menciumi kakiku. Seumur hidupku belum pernah ada yang menciumi kakiku seperti ini. Perlakuannya itu membuatku serasa diperlakukan secara spesial. Besutan syahwat semakin mendera tubuhku yang makin melupakan akal sehatku.

Kaki kananku yang saat ini diangkat ini, membuat tubuhku bersandar di sandaran kursi panjang ini. Kakiku diangkat hampir sejajar dengan perutku membuat Mas Diki berlutut di teras di depanku ini. Bibirnya yang bermain di sisi bawah telapak kakiku itu lalu menjalar naik.

Slllrrrppp.. Smoocchhh.. Slllrrpppppppp..

Jari-jari kakiku lalu dia jilat-jilat dan hisap menggunakan bibirnya. Mulai dari jari kelingking kaki kananku, lalu bergeser satu-satu hingga berakhir di jempol kakiku. Mas Diki lalu dengan kuatnya menghisap jempol kakiku ini.

"Houhh.. Diapain, mmaasshh.. Geliii.. Hhmmmhhh.." desahku.

Slllrrrppp.. Smoocchhh.. Slllrrpppppppp..

Syahwat yang menyelimutiku ini membuat seluruh tubuhku semakin sensitif terhdap rangsangan yang dilakukan Mas Diki. Aku merasakan vaginaku tak henti-hentinya mengeluarkan lendir demi lendir kenikmatan. Mataku terpejam menikmati buliran demi buliran birahi ini.

Kurasakan ciumannya lalu berpindah dari kakiku dan bergerak maju melewati betisku dan menuju pahaku. Makin maju hingga hampir menuju selangkanganku. Mas Diki lalu membuka kedua pahaku. Aku segera membuka mataku dan melihat ke arah depanku.

Mas Diki nanar menatap selangkanganku yang baru saja dia buka ini. Aku memang masih mengenakan celana dalam thong-ku. Namun beceknya vaginaku membuat kain tipis itu pastilah ikut basah juga. Dan saat ini pastilah Mas Diki bisa melihatnya dengan jelas.

Aku sudah tak bisa lagi menutupi diriku yang sudah terangsang hebat sedari tadi ini. Rasa malu yang tadinya aku jaga kini tak lagi aku pedulikan. Aku seolah sudah pasrah pada nafsu syahwatku atas perlakuan dari lelaki yang padahal bukanlah sama sekali mahromku.

Mas Diki dengan menggunakan tangannya lalu menarik turun celana dalamku. Entah setan darimana yang menyuruhku, aku lalu mengangkat pantatku. Kulakukan untuk memudahkan usahanya melepas celana dalamku sebagai pelapis terakhir di liang surgaku yang seharusnya hanya kuberikan untuk suamiku.

Pahaku kemudian ditariknya mendekat ke tubuhnya. Betisku kini berada di pundak Mas Diki. Selangkanganku tepat berada di pinggir kursi panjang ini. Wajah Mas Diki yang hanya berjarak beberapa senti saja dari selangkanganku itu kemudian dia gerakkan makin mendekat.

"Hooouuuhhhh.. Shhh.."

Aku mendesis panjang saat merasakan hembusan nafas Mas Diki di belahan bibir vaginaku. Sensisitifnya liang kemaluanku ini ternyata disadari oleh Mas Diki yang kembali meniupkan nafasnya di vaginaku. Aku bisa merasakan tubuhku hampir di ambang klimaks kenikmatanku setelah sedari tadi tubuh ini dirangsang oleh lidahnya.

"Aku kangen memekmu ini, Dek.." kata Mas Diki.

"Sshhhh.. Mmmffhhh… Uddaahhh, Mmass.." pintaku setengah hati.

Mas Diki lalu mulai menempelkan mulutnya di sisi selangkanganku. Diciuminya lipatan selangkanganku itu. Bibirnya menjelajah sekelumit selangkanganku makin ke tengah beradu berlawanan dengan bulu-bulu halus yang menumbuhi selangkanganku ini.

Mulutnya lalu makin terpusat di bibir vaginaku. Lidahnya kurasakan menjulur dan mulai menjilati sisi kanan kiri garis belahan vaginaku yang makin membuatku belingsatan. Aku tak kuat lagi menahan kenikmatan yang membawaku perlahan meninggi ini.

"Ssssshhh.. Hhhggghhhhh… Hmmpphh.. Aahh.." desahku.

Slllrppp.. Slllrpppp..

"Houuuhhh.. Mmasshh.. Jangannhh disituuhh.. Shhh.." desahku.

Pantatku menggeliat hebat saat Mas Diki menghisap kuat bibir vaginaku. Hisapannya itu membuat tubuhku serasa melayang. Membersamai klimaksku yang datang menjelang.

Slllrrrppp.. Slllrrrpppplll..

"Hhs.. Mmassh.. Aaaaaaaaaahhhhhhhhhhh.. Ooooouuuuuuuuhhhhhh…" desahku kencang.

Crrtt.. Crrtttt.. Crrrtttt..

Pantatku terangkat makin tinggi saat klimaksku datang mendera. Pahaku menjepit kepala Mas Diki yang menjadi sasaran semburan cairan orgasmeku. Pinggulku menyentak-nyentak selama beberapa kali. Permainan lidah dan bibir Mas Diki sedari tadi itu akhirnya membawaku ke gerbang puncakku yang kedua kali ini. Hanya beberapa kali hisapan di vaginaku namun itu mampu mengantarku pada orgasmeku.

Mataku kupejamkan sambil menikmati momen tertinggi kenikmatan yang kudapat ini. Aku melupakan sejenak jatidirku sebagai seorang istri sekaligus seorang akhwat, dan kini larut dalam kubangan nafsu birahi dengan seorang lelaki yang sesungguhnya bukanlah siapa-siapaku.

Saat nafasku sedang tersengal-sengal ini, tiba-tiba kurasakan bibir vaginaku disapu oleh benda lunak nan basah. Ketika kubuka mataku sedikit, Mas Diki ternyata kembali menenggelamkan wajahnya di selangkanganku.

"Ssshhh.. Uddaaahh, Mmas.." desisku pelan tak bertenaga.

Tapi tentunya kata-kataku itu tak diindahkannya.

"Hehe.. Aku masih kangen memekmu ini, Dek.. Masih gurih aja rasanya.." kata Mas Diki.

Lidahnya lalu memulai lagi beraksi di vaginaku yang banjir cairan orgasmeku barusan.

"Sssshhh.." aku mendesis pelan dengan sisa-sisa tenagaku.

Momen paska orgasme seperti ini memang membuat vaginaku semakin sensitif. Rangsangan sekecil apapun pasti berbuah nafsuku yang ikut terpantik. Dan celakanya kini Mas Diki menggunakan sapuan maut itu kembali, menjilati celah bibir liang surgawiku.

"Mmffhh.. Sssshhh.." desahku.

Jilatan daging basah tak bertulang itu dilakukannya searah dengan garis belahan bibir vaginaku. Naik turun lidah itu menyapu membuat pantatku lagi-lagi menggeliat saat aku belum sepenuhnya bangkit dari lemasnya orgasmeku barusan.

Namun Mas Diki sepertinya tak peduli. Tak memberiku kesempatan istirahat dan malah menggerakkan lidahnya semakin intens di vaginaku. Kurasakan lidahnya sesekali mencoba menguak celah vaginaku, namun tak begitu dalam karena memang sempitnya liang vaginaku.

Meski begitu, itu cukup membuat pantatku menggeliat saat lidah Mas Diki menggesek-gesek sisi dalam labia vaginaku. Tak lama, permainan lidah Mas Diki lalu kurasakan semakin turun dari selangkanganku menuju garis pantatku. Sapuan lidahnya membuat sekujur tubuhku terasa geli.

Makin turun hingga lidahnya ikut bermain-main di lubang pantatku. Aku tak bisa memungkiri kenikmatan yang kudapat ini dengan menggeliat-geliatkan pantatku seirama dengan gerakan-gerakan sapuan lidahnya itu. Lidahnya sesekali naik lagi menjamah vaginaku, lalu turun lagi menyusuri belahan pantatku.

Sllrrppp.. Cuupphh.. Slllrrppppp..

Selama beberapa saat permainan lidah Mas Diki yang menggagahi kemaluanku membuat nafsuku kembali perlahan menghangat setelah orgasmeku sebelumnya. Kurasakan vaginaku kembali mengeluarkan mili demi mili lendir kenikmatannya, membasahi selangkanganku yang bercampur dengan ludah Mas Diki akibat jilatan lidahnya.

Lidahnya lalu kembali turun dan fokus menggelitik lubang pantatku. Kurasakan tangan Mas Diki yang tadinya berada di pahaku, lalu ia pindahkan menuju selangkanganku. Jari-jarinya lalu mulai bermain-main di bibir vaginaku.

"Shhhh.. Hmmmffhhhh.." desahku mulai mengencang.

Lidah Mas Diki seolah makin dalam mengorek-orek lubang anusku, membuatku kembali belingsatan. Ditambah jari-jarinya yang menggesek bibir vaginaku membuat birahiku lagi-lagi semakin meninggi.

Tak lama, tangannya yang lain ikut meraba selangkanganku, dan langsung menuju pantatku. Jemarinya lalu ia gerakkan menuju lubang anusku.

"Aiih.. Sshh.. Diapain itu, Mass??" desahku.

Setelah menjilati lubang anusku, kurasakan jari tangan kirinya itu gantian mengorek-ngorek lubang anusku yang seketika itu juga membuatku merinding hebat dan melontarkan pertanyaan itu ke Mas Diki.

"Kok sempit gini.. lubang ini nggak pernah dipakai suamimu, Dek?"

Pertanyaanku tadi tak dijawabnya, dan Mas Diki malah ganti bertanya sambil mencoba merangsang lubang anusku dengan jarinya.

"Enggak.. nggak aku bolehin.." kataku.

Kini jarinya semakin fokus mencoba membuka lubang sempitku itu, dan berusaha memasukinya. Usahanya cukup pelan dan lembut, sehingga tak membuatku sakit, malah ada rasa menggelitik di anusku.

"Houhh.. Sshh.. Udaahh, Mas.. gelii.." kataku mendesah.

"Cuma Broto aja dong yang pernah pakai anusmu?" tanyanya

"Houhhh.. Shhh.."

Aku hanya mengangguk, tak menjawab dengan kata-kata seiring jemarinya yang terus menggelitik lubang anusku. Jari-jarinya itu lalu mencoba membuka-buka lubang anusku, lalu pelan-pelan satu jarinya dicoba masuk.

"Hhhsss.."

Aku agak meringis menahan rasa ngilu karena usahanya barusan. Mas Diki juga nampaknya mengerti. Lalu Mas Diki memindahkan tangan kirinya ke arah vaginaku. Jarinya lalu mengorek-ngorek lendir dari vaginaku yang tak pelak membuatku kembali menggelinjang keenakan. Aku lega karena Mas Diki menghentikan usahanya menembus lubang anusku dengan tangannya dan kembali mengorek-ngorek vaginaku.

Namun ternyata jarinya dia pindahkan lagi menuju anusku. Rupanya dia tadi mengorek vaginaku untuk mengambil lendirnya. Dan memindahkannya ke lubang anusku untuk dijadikan pelumas bagi jari telunjuknya.

"Sshhhh.. Aiiihhh.."

Aku menjerit pelan saat Mas Diki berusaha kembali memasukkan jari telunjuknya itu ke lubang pantatku. Aku merakan sedikit tekanan, meskipun tak sesakit sebelumnya berkat bantuan cairan vaginaku. Jari telunjuk itu ia cabut lagi, lalu ia tekan lagi berusaha masuk lebih dalam.

"Shhhh,, Mmaasss.." desisku.

Usahanya menarik ulur jarinya itu membuahkan hasil yang kini sudah satu jarinya masuk tertusuk di lubang anusku. Aku tak bisa melihat seberapa panjang jarinya yang masuk, yang jelas kurasakan seolah lubang anusku penuh. Tubuhku panas dingin rasanya. Terakhir kali lubang anusku kemasukan sesuatu adalah saat aku bermain paksa dengan Pak Broto.

Mas Diki lalu menggunakan tangannya yang lain untuk melanjutkan merangsang vaginaku. Aku merasakan itu bisa sedikit mengalihkan rasa ngilu di anusku. Namun rasa ngilu kembali kurasakan saat jarinya yang berada di lubang anusku kemblai ia tekan masuk.

Taulah aku bahwa ternyata belum semua jari telunjuknya masuk di anusku. Mas Diki lalu dengan perlahan kembali menarik sedikit telunjuknya itu, lalu mendorong lagi berusaha masuk semakin dalam di lubang anusku.

"Aahh.. Shh.. Udaah.. Mas.. jangan disitu.." rengekku di tengah desisanku.

Aku sesungguhnya tak ingin bermain dengan lubang belakangku itu karena rasa traumaku akibat perlakuan Pak Broto tempo hari. Masih tergambar betapa aku harus merendahkan diriku saat itu dan dengan terpaksanya aku menyerahkan lubang anusku dengan rasa sakit kepada Pak Broto.

Meski menolak, namun kurasakan sendiri kalau birahiku perlahan semakin naik. Jarinya yang nancep di lubang pantatku itu mulai ia gerakkan keluar masuk. Lambat laun, rasa panas di anusku tak lagi kurasakan seperti tadi. Ditambah Mas Diki juga terus merangsang menggesek-gesek vaginaku, yang turut mengurangi sensasi ngilu di anusku.

"Ouuuhh.. Sssshhh.. Kotor kan itu, Maasshh.."

Kata-kataku itu tak mempan baginya. Mas Diki malah seolah makin asik mempermainkan lubang sempit diantara bongkahan pantatku itu. Permainan jari Mas Diki ini kuakui mampu membuaiku, tak seperti Pak Broto yang juga pernah mengisi anusku. Mas Diki seolah bisa menyesuaikan dengan ritme birahi yang kurasakan.

Selama beberapa waktu kedepan dua titik kemaluanku itu menjadi bulan-bulanan jari-jari Mas Diki. Vaginaku tak henti-hentinya mengeluarkan lendir pelumas karena gesekan di belahan bibir surgawiku itu. Sementara di anusku, jari telunjuknya keluar masuk semakin aktif.

Aku bersandar makin pasrah dengan kepalaku menempel di sandaran kursi diikuti sebagian badanku. Selangkanganku kini merespon dengan menggeliat seolah menyesuaikan gerakan kedua tangan Mas Diki.

"Ssshhhh.. Mmmffhhhhh.. Hhhggghhhh.."

Mulutku kini tak lagi malu untuk mendesah kembali. Rasa terangsang kembali mendera seluruh simpul syarafku membuatku kembali larut menikmati permainan tak selayaknya ini. Tak kusangka birahiku bisa terpantik dengan satu jarinya tertancap di anusku.

Jari telunjuknya bisa kurasakan keluar masuk di lubang anusku semakin dalam. Aku bukannya tak merasakan sakit. Sedikit ngilu masih kurasakan dari lubang anusku yang dipaksa melar ini. Namun sensasi ngilu bercampur nikmat dari vaginaku membuat tubuhku menerima gejolak birahi ini.

Badanku menyandar semakin pasrah dan rileks terrebah di kursi panjang ini. Seolah membiarkan Mas Diki merangsangku di lubang haram yang bahkan suamikupun tak kuijinkan bermain-main di situ dengan dalih ayat-ayat agama. Namun tubuhku sekarang malah menyambut sensasi ini dengan pria yang bukanlah mahromku.

"Ssshhhh.. Mmmffhhhhh.. Hhhhhoouuuuhhh.." desahku.

Entah darimana datangnya, aku merasakan gelombang puncakku akan datang menghampiriku lagi. Tubuhku kini kugerakkan sendiri makin aktif seiring nafsuku yang hampir memuncak ini.

Saat itu, tiba-tiba Mas Diki beranjak bangun dengan telunjuk tangan kirinya masih tertancap di lubang pantatku. Lalu ia memosisikan dirinya berlutut tepat di selangkanganku. Aku kini bisa melihat lagi penis gelapnya, yang kemudian dia arahkan sejajar dengan lubang pantatku.

"Aku masukin kontolku ya, Dek.." kata Mas Diki

"Eh.. masukin kemana, Mas?" tanyaku sambil agak menegakkan bedanku sedikit hingga posisiku agak terduduk.

"Ke lubangmu yang ini lah.." katanya, "Udah rileks nih pakai jariku, sekarang kita ke menu utamanya yaa.."

Sambil berkata seperti itu, jarinya masih mengorek-ngorek anusku makin dalam. Oh, Tuhan, dari posisiku ini, aku bisa lihat bahwa ternyata sudah dua jari ia tancapkan di lubang pantatku, entah sejak kapan aku tak menyadarinya. Yang kurasakan hanya sensasi ngilu yang memenuhi anusku sejak tadi.

"Shh... tapii.. kontolmu gede banget, Mass.." balasku, "Ssshh.."

Mas Diki makin cepat mencolok-colok lubang sempit tempat saluran pembuanganku itu.

"Muat kok.. dicoba dulu ya.." kata Mas Diki.

Aku tak menjawabnya. Aku sedikit takut namun juga bercampur penasaran. Terlebih saat ini aku sendiri sudah hampir mencapai klimaksku lagi ditambah tubuhku merasa keenakan dari sodokan dua jari Mas Diki di anusku.

Menyadari momen kebimbanganku ini, Mas Diki lalu mencabut jarinya dari anusku, dan segera mengarahkan penisnya tepat di pintu lubang anusku. Aku merasakan seolah ada bagian tubuhku yang hilang saat dua jarinya tadi dia tarik lepas.

Penisnya yang menegang itu mulai dia tekan mencoba menembus pintu lubang pantatku. Sempitnya lubang anusku ini membuat penisnya tak bisa langsung masuk, apalagi ukuran penis itu yang jauh dari kata standar.

"Aiihhh.. Udaahhh, Mmas!!.. sakiit.." jeritku.

"Tahan bentar ya, Dek.." jawabnya tanpa mengakhiri usahanya.

"Ssssshhhh.."

Aku kembali meringis menahan rasa ngilu saat penis itu perlahan didorong masuk oleh Mas Diki. Keringat dingin menjalar di tubuhku sebagai refleks dari adanya benda asing yang berusaha membobol lubang sempit itu. Mas Diki yang melihat ekspresi ku ini lalu tak langsung memaksakan kehendaknya.

Mas Diki lalu mencoba menarik penisnya. Kemudian perlahan mendorongnya lagi untuk menembus lubang anusku. Lalu ditariknya lagi, untuk kemudian dia coba masukkan lagi. Aku sendiri masih mencoba menahan rasa ngilu yang menderaku.

"Lepasin, Mass..!! Udaah.. Ssshhh.." erangku lagi.

Mas Diki sejenak menghentikan usahanya. Namun tak menarik penisnya lepas dari anusku. Penis gelap dengan ukuran supernya itu masih sebagian menancap di pantatku. Mas Diki lalu melebarkan pahaku. Di posisi berbaring seperti ini, saat pahaku terbuka membuat ruang di pantatku terasa tak sesempit sebelumnya.

"Biar enak, kamu mainin memekmu juga, Dek.." kata Mas Diki.

Akupun lalu menggerakkan tanganku menuju selangkangangku. Begitu tanganku menyentuh vaginaku, kusadari betapa beceknya vaginaku. Lendir kenikmatan yang bercampur cairan orgasme ku tadi membanjiri selangkanganku. Aku lalu mulai menggesek-gesek bibir vaginaku sendiri.

"Sssshhh.. Hmmmmmfffhhh.." desahku.

Vaginaku yang sensitif ini membuat gesekan jemariku mampu langsung membangkitkan nafsuku. Mulutku kembali mendesah seiring tanganku yang seketika ini juga langsung aktif menjamah kemaluanku sendiri.

Mas Diki lalu memulai lagi usahanya menjebol anusku. Penisnya ia tempelkan sesaat di vaginaku untuk membasahinya dengan lendir vaginaku. Tanganku sedikit ikut membantunya dengan melumuri helm penis itu dengan lendirku sendiri. Lalu Mas Diki mengarahkan lagi penisnya di lubang anusku, sedangkan tanganku kembali memainkan vaginaku.

"Sssshhh.. heeeggghhh.."

Aku menahan nafas sesaat ketika penis Mas Diki kembali ditarik ulur, mencoba menembus sempitnya anusku. Gesekan jariku di vaginaku membuat otot-otot selangkanganku termasuk rektumku menjadi lebih rileks. Hingga usaha penetrasi penis Mas Diki itupun membuahkan hasil!

"Hoooohh,,"

Aku mendesah membuat huruf O di mulutku, saat kurasakan penisnya mulai masuk menembus lubang pantatku. Punggungku kusandarkan di kursi dengan kepala yang masih tertekuk di sandaran kursi. Rasa panas dingin kembali menjalar, saat anusku mulai terisi lagi. Seolah badanku menjadi mampat di semua lubangnya

"Ayo, lanjutin lagi colmeknya,Dek.." kata Mas Diki saat mendapati diriku yang menggelepar ini.

Aku lalu kembali menggesek-gesek vaginaku. Ada benarnya juga mengikuti sarannya itu. Aku mulai dibuai birahi lagi saat jemari halusku ini kugunakan menggesek searah belahan bibir liang surgawiku.

"Sshh.. hhhmmmffhh.."

Sambil menahan rasa ngilu yang teramat sangat ini, mulutku mulai mendesah merasakan syahwat birahi yang juga berbarengan menghampiri.

Cpekk.. Cpeekk.. Cpekkkk..

Banjirnya vaginaku, membuat permainan jari-jariku ini menghasilkan bunyi kecipak nyaring. Tanganku yang kugerakkan semakin cepat ini sesekali bertabrakan dengan selangkangan Mas Diki. Aku yang tadi sudah di ambang orgasme kini mulai lagi dibuai kenikmatan dan bayang puncak itu mulai hadir kembali menghampiri. Gesekan tanganku di vaginaku makin cepat.

Dan disaat itu, Mas Diki kembali mencoba menggerakkan pinggulnya. Penisnya yang sudah mulai bersarang di anusku itu ia dorong perlahan. Anusku masih menjepit kuat batang besar yang belum familiar bagi pantatku ini.

"Sssshhhh.. Hoouuuuhhhh.."

Aku mendesah hebat. Rasa ngilu di anusku yang menjepit kuat batang besar itu membuatku makin liar juga menggesek-gesek vaginaku. Bahkan kelentitku ikut aku mainkan dengan jariku, membuatku merem melek keenakan.

"Uurrggghhh.. Sempit banget anusmu, Dek.." kata Mas Diki

Mas Diki menarik ulur penisnya yang kurasakan semakin mengeras di anusku. Seiring waktu, kurasakan seolah anusku serasa menyesuaikan dengan ukuran dan bentuk penisnya itu.

"Ssssshhh.. Houuuhhhhh.. Hmmmmfffhhhhh.." desahku.

Mas Diki kembali mendiamkan gerakan penisnya untuk sesaat. Dia memberiku kesempatan untuk mengambil nafas panjang sekaligus makin intens memainkan vaginaku. Ada beberapa menit pause yang dia berikan.

"Aku gerakin kontolku ya, Dek.." kata Mas Diki.

Dan sesaat kemudian, tanpa perlu mendengar jawaban dariku yang sedang bermain dengan vaginaku sendiri, Mas Diki mulai menggerakkan penisnya dengan tempo pelan.

Aku sendiri makin fokus dengan menjamah vaginaku. Rasa ngilu di lubang pantatku kini mulai dianggap normal oleh tubuhku, seiring nafsuku yang detik demi detik menggiringku untuk menuju garis akhir klimaksku lagi.

Cpekk.. Cpeekkk.. Cpeeekkkk..

"Ssshhhh.. Ouuhhhh.. Mmmasshh.. Piiippiiissshhh.. Ooooooooooooouuuuhh.. Aaaaaaaaahhhhhhhhhhhhh.." jeritku melolong.

Crrrtt.. Crrrtttt.. Crrrrrttttt..

Vaginaku mengeluarkan cairan squirt yang langsung menyemprot ke badan Mas Diki. Beberapa kali pantatku kuangkat yang semakin membuat penis Mas Diki juga ikut masuk semakin dalam di anusku. Tapi rasa ngilu tak lagi kupedulikan saat aku mendapatkan orgasmeku sampai terkencing-kencing begini.

"Hoshh.. Hossshh.."

Tubuhku kembali terebah di kursi panjang ini, dengan nafas tersengal-sengal. Mas Diki lalu menarik lepas penisnya dari anusku.

"oohhh.." desisku pelan saat penis jumbonya lepas dari jepitan sempit anusku.

Mas Diki lalu mengangkat kakiku dan memindahkannya ke atas kursi. Kini tubuhku berbaring di kursi panjang ini. Mataku terpejam merasakan tubuhku yang lemas habis ketika energiku terkurasoleh orgasmeku. Mas Diki rupanya cukup pengertian untuk menghentikan permainannya dan memberiku istrirahat.

Kurasakan Mas Diki mencoba meraih punggungku saat aku sedang memejamkan mata ini. Ketika kubuka mataku, ternyata Mas Diki melepas behaku. Jadilah aku kini telanjang bulat, hanya mengenakan jilbab syar'i yang sudah kusut di sana-sini. Tapi aku masih lemas untuk protes dan kemudian kembali memejamkan mataku.

Atau tepatnya aku juga pasrah saja. Aku tak menyangka bahwa aku bisa diantarkan olehnya menuju klimaks dengan anal seks seperti ini. Yang parahnya lagi ini kulakukan dengan lelaki yang bukanlah mahromku. Rasa sesal kembali menyusup ke akal sehatku.

Tapi kemudian kurasakan dadaku disentuh perlahan. Aku buka mataku dan kulihat Mas Diki di atasku sedang bermain-main di dadaku. Dua tetekku ini diremas-remas olehnya. Aku sejujurnya masih lemas saat tetekku dirangsang seperti itu.

Mas Diki seolah gemas saat bermain-main dengan tetek besarku yang membusung indah menantang gravitasi ini. Tangannya memijat-mijat sisi tetekku, lalu kemudian berputar dan berakhir di ujung putingku yang sesekali ia tarik.

"Ssshhh.. Mmass.. Udahhh.. Capekk.." desisku pelan.

Mas Diki lagi-lagi tak bergeming dan masih terus menjadikan tetekku sasaran bulan-bulanan tangannya. Sungguh kontras saat tangannya yang gelap itu menjamah meremas dan memijit kulit tetek montokku yang putih bak pualam ini.

"Susumu masih tetep nggodain banget, Dek.. Aku udah tergila-gila sama toketmu ini sejak kita SMA dulu.. Biar kamu pakai seragam longgar, tetep aja bikin nafsuin.." ceracau Mas Diki sambil tangannya makin liar bermain di semangka kembarku ini.

"Ssshh.. Hmmmmfffhhh.." desahku.

Lama kelamaan akupun malah ikut larut dengan jamahannya. Remasannya itu mampu membangkitkan lagi nafsuku yang sesaat tadi mereda. Mas Diki lalu memutar tubuhku dan tubuhnya, hingga kini posisi kami terbalik. Mas Diki berada di bawah dan aku berada di atasnya dengan posisi menungging.

Wajah Mas Diki diposisikan tepat berada di bawah dadaku. Sehingga tetekku yang besar ini terpampang menggantung indah di hadapannya. Mas Diki lalu mulai menciumi tetekku ini.

"Ouhhhhh.. Shhh.. Mmmassshh.." desahku.

Mas Diki menggunakan tangannya untuk meremas-remas daging tetekku ini. Sesekali tetekku dia tampar-tamparkan ke wajahnya. Kumis-kumis halusnya itu sesekali membuatku menggelitik kegelian. Mas Diki kemudian memasukkan puting kiriku ke dalam mulutnya. Dan detik setelahnya, putingku mulai diisap-isap.

"Ssshhh.. mmmasshh.. Jangan disedoot.. Ouuuuuuuuhhhh.." desahku.

Mas Diki malah mengenyot putingku makin kuat, layaknya bayi yang kehausan yang baru bertemu asupan susunya. Akupun makin menggelinjang. Putingku adalah titikku yang sensitif, dan kini makin sensitif setelah aku didera orgasme berkali-kali tadi.

"Ssshhhhh.. Houuuuhhh.. hmmmhhh.. Eeemmmpphh.." desahku.

Tubuhku tak kuasa menahan birahi saat Mas Diki dari bawah makin kuat menyedot susu kiriku ini. Akupun ambruk di atas tubuhnya. Kurasakan penis kerasnya di bawah sana beradu dengan paha mulusku. Mas Diki masih saja mengenyot dan menyedot tetek besarku yang kiri ini.

Kepalanya malah seolah mendusel-dusel dadaku dan tak peduli kalau aku ambruk di atas tubuhnya. Kenyotannya makin kencang dan Mas Diki nampak makin asik menikmati tetekku. Akupun meresponnya dengan desahan demi desahan seiring nafsuku yang turut bangkit kembali.

Mas Diki lalu bergerak pindah dari bawahku dan menuju belakang pantatku. Aku sendiri masih menungging di atas kursi ini. Meski nafsuku sudah mulai menghangat, sesungguhnya tubuhku masih lemas. Kepalakupun kutaruh menempel di kursi ini.

Dari belakang Mas Diki menarik pantatku hingga posisi pantatku menungging lebih tinggi dari kepalaku yang menempel di kursi. Mas Diki lalu memegang tanganku dan memindahkan tanganku menuju pantatku. Penis kerasnya kurasakan menggesek-gesek belahan pantatku di lubang anusku.

Nampaknya dia ingin melanjutkan permainannya yang tadi terhenti akibat orgasmeku. Di titik ini aku sebenarnya pasif saja karena mendapati diriku yang masih lemas dan capek. Mas Diki menggesek-gesekkan penisnya di pantatku. Kepala jamurnya itu kurasakan mulai menyundul lubang pantatku.

Kedua tanganku yang memegang pantatku sendiri ini lalu kugunakan untuk meremas pantatku, sehingga lubang anusku makin terlihat, seolah memberi jalan bagi penis Mas Diki untuk kembali menikmati pantatku. Entah bagaimana aku bisa melakukan itu.

"Yeeahh.. Spread your ass for me, babe.." kata Mas Diki.

Akupun makin meregangkan pantatku dengan kedua tanganku. Kudengar suara Mas Diki yang meludahi penisnya sebelum kemudian mulai berusaha mendorong penisnya memasuki lubang anusku. Aku tak menyangka kalau aku bisa serendah ini mempersembahkan dan mempersilakan lubang anusku yang seharusnya haram untuk dijamah ini kepada lelaki selain suamiku.

"Oooooooooouuhhh.."

Aku setengah melolong saat kurasakan helm hitam itu menembus perlahan lubang anusku. Kurasakan kembali panas dingin di tubuhku. Otot rectumku menjepit kuat sebagai respon alami saat benda keras ini mulai membelah tubuhku.

"Bokongmu emang nggak ada duanya, bulet dan seksi.. Urrgghh.." erang Mas Diki.

Jlebb..

"Ouuuuhhhh.. Uddaahhh cukup, Massh.." rengekku saat kepala penisnya berhasil masuk dan rasa ngilu teramat sangat yang memintanya untuk menyudahi ini semua.

Mas Diki mendiamkan sejenak penisnya yang sudah tertancap sebagian itu. Mencoba membiarkan celah sempit di pantatku ini agar terbiasa untuk sesaat. Aku yang masih meringis ini juga terdiam dengan jantungku yang berdegup makin cepat.

Mas Diki lalu memindahkan tanganku ke bawah, menuju vaginaku. Jemariku itu langsung dengan refleksnya mulai merangsang sendiri di vaginaku. Ku lakukan itu sebagai penyeimbang rasa ngilu di anusku saat ini.

"Ssshhhhhh.. Mmfffhhhh.."

Aku mendesah seketika saat jemari halus yang selalu kurawat itu menggesek bibir vaginaku dengan perlahan namun cukup intens untuk membuat birahiku naik. Beberapa saat aku menjamah sendiri vaginaku itu membuat selangkanganku kembali rileks.

"Aku goyangin ya, Dek.." kata Mas Diki

Dan saat itu juga kurasakan penis itu mulai ia gerakan masuk makin dalam lubang anusku. Tubuhku serasa seperti terbelah menjadi dua seiring semakin dalamnya penis besar itu masuk.

"Ouuuhh.. Shhhhhh.. Shhh.. Mmmmfffhhhh.."

Campuran antara rasa nyeri akibat gerakan penisnya di anusku dan rasa nikmat di vaginaku ini mau tak mau membuat birahiku merambat naik lagi. Hanya lubang anusku yang disetubuhi sementara vaginaku hanya digesek-gesek seperti inj adalah sensasi persetubuhan yang tak pernah aku dapatkan sebelumnya.

"Hhmmmffffhhh.. Ouuuuhhhhh.. Sssshhhh.." desahku.

Aku kini bisa merasakan setiap lekuk dan urat penis Mas Diki yang bergesekan dengan rongga anusku. Rektumku kini seolah semakin familiar dengan batang gelap nan keras ini yang sedang menggagahi lubang pembuanganku. Tempo gerakan maju mundur Mas Diki yang tak terlalu kencang ini membuat sisi bawah tubuhku itu mulai bisa terbiasa dengan penis besarnya.

"Ssshhhh... Mmffhhhhh.."

Cpekkk.. Cpeekkk.. Cppeeekkkk...

Aku sendiri masih memainkan jariku di vaginaku. Belahan bibir vaginaku makin banyak mengucurkan lendir kenikmatannya, menandakan organ intimku yang menyambut liar rangsangan jemariku ini. Lambat laun, akupun mulai terbiasa dengan anusku yang tersumpal batang besar ini.

Birahiku yang meninggi dan terus meninggi membuatku larut dalam permainan mesum tak halal ini. Mas Diki makin intens menggerakkan pinggulnya maju mundur. Dan naluri syahwatku membuatku mulai ikut menggerakkan pinggulku.

Splok.. Splookk..

Pantatku beradu dengan paha Mas Diki. Gerakan maju mundurnya itu lambat laun berubah menjadi pompaan demi pompaan. Tubuhku entah bagaimana caranya malah kini meraskan kenikmatan saat lubang anusku dipompa seperti ini. Tanganku kini sudah tak lagi bermain di vaginaku.

Aku dengan sendirinya menggerakkan pantatku, menyambut Mas Diki yang sedang menyetubuhi lubang anusku. Jepitan lubang anusku kini bisa kusesuaikan sendiri, membuatku bisa turut menikmati anal seks ini.

"Ouuhhhh..Shhh.. Mmmaasshh.."

Splookk.. Splookkkk... Splookkkkk..

"Urrggghh.. njepit banget anusmu, Dek.. Kasian banget suamimu yang nggak bisa pake lubang sesempit ini.. Urrgggghh.." erangnya.

Aku tak memedulikan ucapannya, karena aku sendiri juga sedang terbuai birahi. Pompaan demi pompaan penisnya di anusku menaikkan nafsu syahwatku jengkal demi jengkal di tangga kenikmatan menuju puncak.

"Ssshhhh..Ouuuhhh.. hmmmpphh.. Eeeemmmpppphhh.."

Splokk.. Splookk.. Splookkkk..

"Sssshhh. Ouuuuuhhhh.. Mmassshh.. Piipiiss lagiiiihh.. Ooooooooooooooohhh.."

Crrrttttt..Crrrtttttt.. Crrrttttttt..

Cairan demi cairan orgasme keluar saat aku menyentakkan pinggulku ke belakang membersamai klimaks yang lagi-lagi datang melandaku. Bermili-mili lendir orgasme itu kurasakan keluar yang juga mengeluarkan semua energi yang kumiliki.

Mas Diki lalu menarik penisnya keluar dari lubang anusku. Aku kembali meringis merasakan benda besar itu ditarik lepas. Seolah sebagian anusku ikut tertarik keluar berbarengan dengan batang lelakinya karena saking kuatnya jepitan lubang anusku. Aku pun kelelahan dan masih menungging di kursi panjang ini.

Mas Diki memberiku jeda beberapa lama untukku bisa mengejar nafasku yang tersengal-sengal. Sebelum kemudian Mas Diki berpindah duduk tepat di depan kepalaku. Posisiku yang menungging membuat kepalaku tepat menghadap selangkangannya.

Mas DIki lalu menggeser duduknya makin mepet ke arahku. Penisnya makin jelas bisa kulihat. Aku tak percaya penis sebesar itu baru saja masuk ke dalam lubang anusku yang sempit. Wajar saja tadi aku merasakan ngilu yang teramat sangat. Namun aku juga tak memungkiri jika aku merasakan sensasi candu akan anal seks barusan.

Memikirkan itu, entah membuatku merinding kembali. Mas DIki kemudian mengangkat daguku, dan langsung memagut bibirku dengan bibirnya.

Cpphh.. Mmhhmm..

Bibir kami beradu satu sama lain. Lidahnya ia keluarkan menjamah masuk ke dalam mulutku, mengusap sisi-sisi dalam bibirku. Aku yang lemas ini hanya pasif saja menerima cumbuan bibir hitamnya itu. Hingga beberapa waktu mulut kami ini ber-frenchkiss, saling bertukar liur.

Smoocchh.. Slllrrpp.. Smochh...

Ciumannya makin lama makin panas saja, menbuatku mau tak mau ikuit membalasnya dengan memainkan lidahku membelit lidahnya. Aku memang tipikal wanita yang suka dicium. Hanya dengan ciuman saja, nafsuku bisa bangkit dengan sendirinya.

Smoocchhh..Cuuppphh..Ssllllrrpppppp..

Air liur kami yang saling tertukar ini sampai-sampai keluar dari mulut kami, dan menetes jatuh ke penis Mas DIki. Setelah beberapa lama, kemudian Mas Diki memegang daguku dan melepas pagutannya. Matanya lalu tajam menatap wajahku. Aku yang masih lemas setelah momen puncakku tadi ini pun hanya membalasnya dengan pandangan sayu.

"Kontholku masih kangen bibir seksimu, Dek.." kata Mas Diki.

Kesadaranku sebenarnya masih setengah-setengah saat ini. Lemasnya tubuhku membuatku tak bisa fokus. Mas Diki nampaknya juga melihat diriku yang seperti ini. Wajahku kemudian diarahkan turun menuju selangkangannya.

Penis dengan helm hitam itu langsung menempel di bibirku. Aku yang masih lemas ini dengan refleksnya langsung membuka bibirku. Mas DIki memegang sisi atas kepalaku yang masih terbalut jibab ini. Kurasakan tangannya menekan kepalaku untuk turun, seolah memberiku instruksi untuk segera menelan batang itu.

Aku lalu membuka makin lebar mulutku. Penis super besar itu tak bisa langsung masuk ke dalam bibir mungilku ini. Aku sedikit mengumpulkan kesadaran ku, lalu fokus membuka katup bibirku. Perlahan, kepala penis hitam inipun mulai menghilang dalam mulutku Senti demi Senti.

Mas Diki masih memegangi atas kepalaku, akupun tak punya jalan lain selain menurunkan kepalaku. Baru sebagian kepala penisnya saja yang masuk, namun rasanya mulutku sudah penuh terisi. Mas Diki menekan kepalaku makin jauh ke bawah.

Kesadaranku mulai kembali sedikit demi sedikit seiring batang penisnya yang masuk makin dalam ke mulutku. Otot-otot mulutku harus menegang ekstra lebar untuk menerima batang hitamnya. Butuh beberapa kali dorongan di kepalaku, hingga kemudian batang itu mulai hilang perlahan-lahan.

Sampai ketika lidahku mengecap penisnya, kurasakan aroma aneh, seperti asam bercampur anyir. Saat itu juga aku baru sadar, bahwa batang ini baru saja masuk ke lubang duburku sebelum aku hisap. Aku langsung panik, memikirkan hal itu membuatku jijik seketika.

"HHMMHHPPP.." Aku menjerit, mencoba untuk berteriak dan melepas penis Mas Diki dari mulutku. Namun pegangan tangannya terlalu kuat di kepalaku.

"HHHMMMPPPPHH..!!" jeritku tertahan. Tanganku memukul-mukul pahanya.

"Urrgghhh.. Jangan dilepas dulu, Dek.. Aku masih pengen ngerasain seponganmu.." katanya.

"Hmmppmmmhh..." balasku masih tersumpal penisnya.

Membayangkan penis itu yang barusan berada di saluran pembuanganku membuatku ingin muntah. Rasa asam dan anyir ini masih melekat, bahkan kini kurasakan tercium lewat hidung juga.

Namun Mas Diki tak memedulikanku. Tangannya memegang kepalaku dan terus menekannya turun menuju selangkangannya. Jilbab yang membalut kepalaku makin kusut saja. Mataku mulai berkaca-kaca saat aku memberontak dalam diamku ini. Ditambah lagi penisnya terus ia paksa membelah mulutku makin dalam.

"Uurggghhh.. ayo, dikit lagi Dek.. biar sampai mentok. Urgghh.." katanya.

Kepalaku ditekannya semakin turun. Kini kurasakan batang itu mulai menyentuh ujung mulutku. Aku hampir muntah dibuatnya, namun tak bisa juga karena mulutku penuh tersumpal batang besar ini. Mulutku menahan sesaknya penis Mas Diki.

Mukaku sampai memerah, menahan nafasku yang sulit kuhela. Mas Diki hanya mendiamkan penisnya memenuhi mulutku sambil memegang kuat kepalaku. Selama beberapa detik ia menahan kepalaku, membuatku sulit bernafas. Mataku sampai membeliak dan hanya menampakkan putihnya bola mataku saja.

"Urrggghhh.." erang Mas Diki.

Aku memang tak suka deepthroat seperti ini. Tak bisa aku nikmati sama sekali. Hingga kemudian, Mas Diki mulai mengangkat kepalaku. Mulutkupun mengeluarkan penis itu tertarik Senti demi Senti. Namun Mas Diki menahan kepalaku lagi sampai sebatas kepala penisnya.

Kepalaku kembali ditahannya. Adanya ruang di mulutku ini membuatku bisa sedikit bernafas, meski masih agak susah. Aku lalu menggunakan tanganku untuk memegang batang penis Mas Diki untuk menarik lepas penis itu. Namun, Mas Diki terlebih dahulu berucap,

"Nggak usah pakai tangannya, Dek.. cukup pakai mulutmu aja.."

Lalu kurasakan dari bawah Mas Diki menekan penisnya ke atas, kembali masuk ke mulutku hingga kurasakan seluruh rongga mulutku terisi penuh oleh penisnya lagi. Dia diamkan selama beberapa detik, sampai mukaku memerah kembali, menahan nafasku. Kemudian dia tarik turun penisnya lagi sebatas kepala penisnya.

Kali ini, Mas Diki tak memberiku kesempatan lama untuk bernafas. Penisnya kembali ia tekan naik. Selama beberapa kali ia lakukan berulang-ulang, memompa mulutku dari bawah. Kepalaku masih dipegang dengan kuatnya.

Glok.. glok.. glok..

Gerakan pinggulnya menyetubuhi mulutku ini makin lama makin cepat. Air liurku banyak yang keluar menetes bercucuran membasahi selangkangan Mas Diki. Bunyi peraduan antara wajah putihku yang masih terbalut jilbab dengan selangkangannya itu menghasilnya suara mesum yang mengisi sore ini.

Air mataku ikut turun menetes saking susahnya aku bernafas, mengalir membasahi pipiku.

Glok.. glokkk.. glokkk..

Aku yang tadinya pasrah karena tangan Mas Diki yang memegangi kepalaku, kini seolah turut menikmati facefuck ini. Perlahan aku mulai bisa mengatur nafasku sedikit demi sedikit saat Aku pasif menerima sodokan penisnya di mulutku. Semakin lama tempo genjotannya semakin cepat, dan serasa penisnya semakin dalam membelah kerongkonganku.

"Urrggghhh.. enak banget ngentotin mulut Ukhti.." erang Mas Diki.

Glok.. glokk.. glookkkk..

Beberapa waktu lamanya mulutku menjadi sasaran pompaan penis besar itu. Hingga kurasakan kepalaku mulai sedikit berkunang-kunang akibat susahnya aku untuk mengambil nafas panjang. Sampai kemudian Mas Diki menyudahi menyetubuhi wajahku ini, dan melepas penisnya.

"Fuaahh.. Hooeekkkk.. Uhukk.. Uhuukk.." aku terbatuk-batuk seketika saat melepas penisnya.

"Mas iiiihh.. itu kan tadi barusan dari pantatku.. Njijiki ah.. Uhukk.. Uhukk..!!" protesku.

Sambil aku memandangi wajah Mas Diki dengan muka cemberut. Namun, hanya dibalasnya dengan senyuman dan kekehan. Mulut dan wajahku yang terbebas ini, lalu kugunakan untuk mengambil nafas panjang-panjang. Mengganti nafasku yang sedari tadi tercekat-cekat.

"Hehe.. biar basah, Dek.. biar anusmu nggak sakit habis ini.." katanya.

Aku melihat penis hitam yang masih mengeras itu memang terlumuri banyak sekali air liurku. Tak kusangka penis yang hampir sebesar pergelangan tanganku ini belum lama tadi mampu memasuki lubang anusku yang sempit. Dan lebih dari itu, barusan batang besar ini ku-deepthroat dan telah menggenjot bibir ******* ini. Aku hampir-hampir tak bisa memercayainya.

Mas Diki lalu menjulurkan tangannya meraih pantatku. Jari telunjuknya dia gunakan untuk kembali menusuk-nusuk lubang anusku.

"Hsss.. Sshhh.."

Mulutku mendesis dengan sendirinya saat anusku dimasuki jari Mas Diki. Jari itu ia masukkan perlahan-lahan hingga tertanam semakin dalam. Aku sebenarnya masih merasakan nyeri. Namun kini entah kenapa, tubuhku seolah memaklumi rasa sakit ini, dan berganti menjadi birahi yang makin menyala.

"Ssshhh.. Hmmfffhh.. Hhsshhh.." desisku.

"Kamu di atas dong sekarang.." kata Mas Diki meminta.

Bagai kerbau yang dicocok hidungnya, akupun lalu memindahkan badanku ke atas pahanya. Posisiku berhadapan dengannya, dengan pantatku tepat di atas selangkangannya.

"Kamu Mas ih.. Nggak pake memekku, tapi pake pantatku.. yo sama aja to.." kataku berkomentar.

"Hehe.. Tapi kamu sekarang ketagihan kan.." lanjutnya.

Aku tak menjawab komentarnya itu. Ada sedikit nada melecehkan. Namun aku tak bisa menafikan pernyataannya itu. Mukaku malah memerah menahan malu. Entah mengapa, aku malah penasaran akan perbuatan Mas Diki selanjutnya.

Aku yang seharusnya bisa menjaga izzah-ku sebagai seorang akhwat dan seorang istri ini, kini sedang memosisikan diriku di atas penis lelaki non-mahromku. Penis besar yang sedang kupegang ini kuarahkan searah dengan lubang pantatku. Lubang yang seharusnya haram untuk digauli, namun semua imanku saat ini telah luruh.

Mas Diki lalu memegangi pinggulku, berusaha menyejajarkan antara posisi pantatku dan selangkangannya. Tangannya kemudian menurunkan pinggulku. Hingga bisa kurasakan batang keras itu menempel tepat di pintu lubang anusku.

"Ssshhh.."

Aku meringis kembali ketika Mas Diki menekan pinggulku makin turun. Kepala jamurnya perlahan memulai usahanya menembus anusku. Pantatku yang seksi ini mulai menempel di paha Mas Diki. Tetekku yang besar membusung ini tak didiamkannya.

Wajahnya yang tepat menghadap melon kembarku ini langsung mencaplok tetekku. Daging kenyal putih inipun kembali menjadi sasaran bibir tebalnya itu. Mulutnya kembali menyusu bergantian di dua tetek besarku.

"Hhhssshhh.. Mmmfffhhhhh.." desisku.

Mas Diki menggerakkan pinggulku naik turun, memainkan tempo agar penisnya mampu masuk pintu lubang anusku. Penisnya yang terlumuri air liurku tadi itu kurasakan masih basah menggesek-gesek lubang duburku. Hingga beberapa kali percobaan, otot lubang pantatku serasa melar menerima penisnya.

"Hooooohhh.. Hhsshhh.." desisku makin kencang.

Kepala jamurnya mulai berhasil bersarang di sempitnya lubang anusku. Otot-otot lubang sempitku ini seolah makin menjepit kepala jamur hitam itu, seiring sedikit demi sedikit batang itu hilang masuk ke dalam duburku.

"Tuuh.. masuk kan.." kata Mas Diki.

Rasa ngilu kembali menjalar sekujur tubuhku. Tangan Mas Diki kembali menggerakkan pantatku naik turun. Akupun lalu mengikuti irama gerakan tangannya itu dengan menaikturunkan pantatku. Penis dengan ukurannya yang jauh dari kata kecil itu perlahan masuk makin dalam di anusku.

"Hmmmff.. Houuuhhh.. Sssshhhhh.."

Mulutku mendesah makin keras seiring penisnya yang seolah makin intens kunaiki ini. Rasa nyeri kembali lagi-lagi membuahkan sensasi birahi yang baru buatku, menjadikan tubuhku seolah tak lagi segan pada rasa sakit akibat anal seks. Tanganku berpegangan ke pundak Mas Diki.

Seiring waktu sore hari yang berjalan, gerakan pantatku di atas selangkangan Mas Diki ini makin luwes. Kakiku yang berada di kursi menjadi penopang utama gerakan naik turun pantat *******. Bahkan tangan Mas Diki tak lagi memegang kuat pinggul dan pantatku, akulah yang menggerakkan sendiri pantatku.

Tangan Mas Diki sesekali membetulkan jilbab syar'iku yang menjuntai menghalangi pandangannya ke arah tetekku yang berayun naik turun ini. Hingga jilbab kusut ini hanya mampu membalut wajahku, hampir-hampir tak lagi bisa dianggap sebagai penutup aurat.

"Ooohh.. Ahhh.. Aahhh.. Shhhhhhhh.. Hmmmmppphh.." desahku.

Spok.. spokk.. spookkk..

Pantatku yang beradu dengan paha Mas Diki menghasilkan bunyi dentuman yang seksi yang mengisi teras rumah dengan cahaya langit sore ini. Mentari yang perlahan mulai turun di belakangku itu menjadi saksi bisu tubuhku yang lagi-lagi menyerah pada nafsu birahi.

Seluruh syarafku terselimuti syahwat yang membuatku rela menyerahkan tubuhku pada lelaki yang kuanggap sebagai teman ini. Titik terendah dalam diriku saat aku menyerahkan lubang yang bahkan suamiku pun tak kuijinkan menyentuhnya. Dan kini aku sedang menggoyangkan pantatku sendiri, mengayuh birahi yang meninggikan nafsuku.

Spokk.. Spoookkk.. Spooookkk..

"Urrgghhh.. Enak banget anusmu, Dek.." kata Mas Diki "tadi pengen udahan, tapi sekarang kamu nggerakin bokongmu sendiri ya.. Urrgghhh.. Dasar lonthe jilbab.."

"Aahh.. Oohhh.. Ahhh.. Sshhhh.." desahku.

Mataku terpejam. Aku seolah menjadi seperti perkataan Mas Diki itu, menjadi pelacur berjilbab ketika aku saat ini malah bisa menikmati rojokan penis keras Mas Diki di lubang anusku. Lubang yang seharusnya tak bisa memberi apa-apa selain rasa sakit, namun tubuhku malah terbalut birahi makin tinggi akibat sodokan penis keras itu.

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.
You will be redirected to the script in

seconds

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com