𝐋𝐚𝐮𝐭𝐚𝐧 𝐁𝐢𝐫𝐚𝐡𝐢 𝐏𝐚𝐫𝐭 𝟕

"Jadi gitu, Ukh. Nanti kita ganti-gantian aja buat isi content-nya. Kak Sella bisa di bagian skin care yang halal misalnya. Kak Dinda di bagian fashion yang anggun tapi tetep sesuai syari'at. Terus Ustadzah bisa isi content-content seputar hijrah gitu deh." Kata Fani yang menjelaskan sambil menggebu-gebu.

Kami baru saja menyelesaikan taklim Liqo' kami. Dan seperti biasa, setelahnya kami ngobrol-ngobrol kesana kemari. Fani menjelaskan soal project sosial medianya yang sudah beberapa minggu ini juga kami diskusikan bareng. Fani ini memang anaknya semangat sekali. Dia paling muda diantara kami, baru lulus kuliah beberapa bulan lalu. Diantara kami, hanya Fani yang masih single. Yang kami tau, dia sudah di-khitbah oleh teman satu kelasnya. Karena Fani ini anak yang paling muda dia juga yang paling banyak punya ide-ide baru yang kekinian. Rencananya kami akan membuat akun di YouTube dan Instagram yang isinya seputar tips-tips untuk akhwat dan ummahat di luar sana.

"Boleh juga idenya, Ukh. Lebih cepat lebih baik." komentar Ustadzah Azizah. "Kita perlu lebih banyak bikin konten yang semacam ini, jadi penyeimbang buat konten-konten hedon yang makin banyak kita lihat di sosmed kita."

"Iya, Ustadzah. Nanti sore juga rencananya mau ada rapat ikatan alumni, bisa Ana share juga sih disana, semoga ada yang tertarik dan mau bantu-bantu. Syukur-syukur bisa dapat sponsor, hihihi.." timpal Fani.

"Yaudah yuk, cabut. Keburu siang dan panas nanti di kolam renang." ajak Adinda. Kami memang sebelumnya merencanakan akan berenang setelah ini.

"Sella, nggak jadi ikutkah? Renang itu sunnah lho." tanya Ustadzah Azizah.

"Emm.. Enggak Ustadzah, tadi Mas Bagas ngasih kabar kalau mau ketemu sama kliennya terus minta Ana nemenin karena kliennya juga ditemenin istrinya." jawabku menjelaskan.

"Ohh yaudah. Itu namanya taat sama suami, pahalanya lebih gede.." balas Ustadzah Azizah.

Kami pun kemudian berlalu meninggalkan serambi ini. Aku menuju parkiran ke arah mobilku. Aku masuk mobil di kursi penumpang bagian depan, sambil memasang muka jutek.

"Udah selesai Liqo' nya, Dek" ditanya seperti itu aku hanya diam.
"Kita jadi ke Taman Kota kan ini? Sudah ditungguin Mas Bagas kan?" tanya Mas Diki mengonfirmasi. Ya, lelaki yang duduk di sampingku di kursi pengemudi ini adalah Mas Diki. Setelah semingguan aku mencoba menghindar, sosok ini datang lagi.

Pagi tadi ketika aku bersiap akan jalan menuju tempat ini, tiba-tiba datang Mas Diki di depan rumah. Dengan gaya basa-basi khasnya kali ini alasannya adalah mengembalikan gamis dan mukenaku yang tempo hari ketinggalan di rumahnya. Aku meminta Mas Diki segera pergi karena takut kepergok tetanggaku kalau aku berduaan dengan lelaki lain di depan rumahku.

Tak mau pergi, Mas Diki lalu malah memberiku pilihan masuk ke dalam rumah melanjutkan ngobrol atau dia mengantarku. Tentu saja aku menghindari berduaan dengannya di rumahku. Aku tak mau pengalamanku sebelumnya dengan dia di rumahku terulang. Akhirnya aku membiarkannya mengantarku taklim membawa mobilku. Tapi ternyata Mas Diki malah menungguku di mobil sampai selesai Liqo'.

"Masih merengut aja sih, Dek.." katanya memecah keheningan sambil menjalankan mobil. Aku diam saja tak membalasnya. Aku masih sok jutek, mataku kuarahkan ke depan memandang jalan yang tak berujung.

Tiba-tiba tanganku dipegang, lalu diarahkan ke celananya. Begitu pandanganku yang reflek kuarahkan juga ke celananya, aku terkejut. Penis Mas Diki sudah keluar dari celananya entah sejak kapan. Aku lalu membuang muka, tapi tanganku diarahkan memegang penis itu. Tanganku hanya kudiamkan di atas penis coklat berurat itu yang masih setengah tegang. Mataku sesekali melirik penisnya, entah kenapa ada rasa penasaran juga. Seminggu yang lalu penis ini sempat mengobrak-abrik vagina dan mulutku.

"Ada yang kangen nih sama kamu, Dek.." kata Mas Diki.

Tanganku kemudian digerak oleh tangan Mas Diki sehingga sekarang aku mengocok penisnya. Selang beberapa menit kemudian tanpa kusadari tanganku dengan sendirinya bergerak mengocok penisnya. Tangan Mas Diki sudah berpindah ke pahaku. Mas Diki mulai mengelus-elus pahaku dari luar gamis merah mudaku. Pandangannya masih fokus ke depan menyetir mobil.

"Ini kan kamu lagi jalan sama aku, Dek. Kamu inget kan harus apa?" tanya Mas Diki retoris.

"Mas, ini kan di jalan, Mas.. Wong aku juga mau ketemu Mas Bagas lho. Nggak mungkin aku lepas dalamanku, Mas.." kataku. Mas Diki hanya memberi isyarat jari ke arah dada dan selangkanganku.

Entah dihinggapi setan apa, beberapa saat kemudian aku sudah melepas bra dan celana dalamku yang lalu diambil olehnya. Sekarang aku hanya memakai gamis merah muda dan jilbab hitam, tanpa dalaman apapun selain kaos kakiku. Tanganku lalu digenggamnya dan kembali diarahkan ke penisnya. Tanpa diminta, aku langsung memulai mengocok penisnya.

"Ughhh.. Alus banget tanganmu, Dek.." kata Mas Diki sambil berusaha fokus menyetir mobilku. "Pakai ludahmu dong, Dek."

Aku lalu meludah di tanganku, kemudian kupindahkan tanganku kembali ke penisnya. Tanganku mulai memegang penisnya pelan-pelan, lalu kugerakkan naik turun mengocok penisnya. Aku remas-remas lembut kepala penisnya dengan tangan kananku, dan kukocok-kocok batang penisnya dengan tangan kiriku. Buah zakarnya tak lupa aku main-mainkan.

Kudengar Mas Diki mulai mengerang keenakan. Penisnya yang digenggamanku makin keras menjulang. Aku masih melanjutkan kocokan penisnya di tanganku makin cepat. Sambil sesekali penis ini aku urut ke atas dan ke bawah. Entah mengapa, kurasakan vaginaku mulai membasah. Melihat penisnya kukocok-kocok ini membuatku terangsang. Ketika mobil ini melambat karena polisi tidur atau karena lampu merah, aku sempat agak was-was. Kaca mobilku lumayan terang dan transparan, membuatku khawatir ada yang memergokiku dengan lelaki yang bukan suamiku.

Tak terasa kami sudah sampai di parkiran Taman Kota, Mas Diki lalu memarkirkan mobilku di sisi pojok belakang. Aku masih mengocok penisnya. Kuurut-urut naik turun batang penisnya, kupijat-pijat buah zakarnya. Penis berurat Mas Diki makin mengeras, kepala penisnya memerah mengkilap.

"Ughh.. Udah nggak kuat aku, Dek.." sambil berkata seperti itu tangan Mas Diki lalu memegang kepalaku yang berbalut jilbab hitam ini lalu mengarahkan kepalaku ke batang penisnya. Gerakannya yang lumayan cepat itu membuatku tak berdaya langsung menundukkan kepalaku ke arah celananya.

"Mass, aku dah ditungguin Mas Baga...." belum selesai kata-kataku, sedetik kemudian mulutku sudah tersumpal penis Mas Diki. Kepalaku dipegangnya, lalu digerakkan naik turun memompa penisnya. Sudah sekian kali mulutku merasakan penisnya, tapi rasanya mulutku yang kecil ini belum juga terbiasa. Otot-otot wajahku dipaksa melebar untuk menerima semua batang penisnya agar masuk ke mulutku. Rongga mulutku serasa penuh sesak dipenuhi batang penisnya

"Ugghh, kangen seponganmu aku, Dek.. Udah seminggu pejuhku nunggu mulutmu ini.. Ughh,.. Seddot yang kenceng, Dek.. Ugghhh…" erang Mas Diki sambil masih memegang kepalaku. Pinggulnya naik turun, membuat penisnya naik turun di dalam mulutku. Aku yang pasif ini hanya bisa pasrah sambil menyedot-nyedot batang penisnya. Gesekan batang penisnya di dalam mulutku terasa makin lancar seiring dengan banyaknya ludah yang membantu.

"Glok.. Glokk.."
"Clop.. Clopp.. Clopp.." suara wajahku yang bertumbukkan dengan pinggulnya memenuhi sisi-sisi ruang mobil SUV-ku. Vaginaku kurasakan makin basah karena terangsang. Hisapanku pada penisnya juga makin menguat. Pipiku mengempot sambil terus menyedot-nyedot penisnya.

"Clop.. Cloopp.."

"Ugghh.. Aku keluarr, Dekk… Ughhh.." Mas Diki menekan kepalaku
"Glup.. Glupp.." mau tak mau aku menelan semua semprotan sperma yang keluar. Aku tak ingin ada yang menetes di mobil atau gamisku, bisa-bisa Mas Bagas curiga nanti. Ada sekitar 5 menit aku menghisap-hisap penisnya dengan kuat. Memastikan isi penis ini terkuras habis. Buah zakar Mas Diki juga aku remas-remas.

"Slurp.. Sluurppp.." Aku melepas kuluman mulutku pada penisnya setelah kupastikan tak ada lagi sisa sperma yang keluar dari ujung lubang kencingnya.

"Mas, siniin dalemanku.." kataku

"Weh, enggak nho. Aku kan masih disini, jadi kamu nggak boleh pakai dalaman, Sayang."

"Hah? Nanti Mas Bagas curiga, Mas.."elakku berargumen.

"Enggak. Kamu duduk disamping Mas Bagas aja, jadi nggak bakal keliatan."
"Kamu boleh ambil dalamanmu ini 30 menit lagi, aku tunggu di pendopo yang ada di belakang taman melati. Oke, Dek? Yaudah aku cabut dulu.." Lalu Mas Diki seenaknya saja membuka pintu mobil dan pergi berlalu entah kemana. Aku bertekad ini terakhir kalinya aku dimesumi Mas Diki. Aku harus bisa menolak permintaannya seandainya dia meminta hal yang aneh-aneh.

Aku pun turun dari mobil setelah merapikan baju gamis dan jilbab hitamku yang agak lecek. Aku pergi ke tengah taman, dimana suamiku sudah menungguku di sana.

Karena promosinya, Mas Bagas sekarang sudah jarang ke luar kota. Hanya, jabatannya yang sekarang mengharuskan dia sering ketemu dengan klien. Pagi tadi aku diminta Mas Bagas untuk menemaninya menemui salah satu kliennya. Kata Mas Bagas kliennya ini membawa istrinya jalan-jalan ke Taman Kota dan ingin ngobrol soal pekerjaan dengan Mas Bagas. Dia juga meminta Mas Bagas mengajak istrinya sekalian agar nanti bisa menemani istrinya (si klien) jalan-jalan kalau bosan mendengarkan pembicaraan pekerjaan suami-suaminya. Akupun mengiyakan saja karena jam ketemuannya setelah selesai Liqo'. Karena pagi tadi Mas Bagas harus ke kantor dulu, kamipun janjian di Taman Kota. Aku mengendarai mobil kami, dan Mas Bagas menggunakan jasa ojek online.

Sambil berjalan, dari jauh kulihat Mas Bagas di tengah taman. Aku pun agak mempercepat langkahku. Aku lupa bahwa aku tak memakai dalaman sama sekali. Ketika aku setengah berlari, kurasakan putingku bergesekan dengan bahan gamisku. Gesekan ini perlahan membuatku sedikit bergairah. Ditambah vaginaku yang masih agak basah karena terangsang tadi di mobil. Putingku mulai mengeras di balik gamis ini.

"Assalamu'alaykum.."

"Wa'alaykumussalam, Umi. Sudah selesai Liqo' nya, Umi? Sini duduk di samping Abi." kata suamiku.

"Iya, sudah Abi." aku lalu duduk bersimpuh di tikar di samping suamiku.

"Umi habis makan es krim ya? Itu masih ada sisa dikit di bibirnya."

Degg. Spontan aku terkejut, sperma Mas Diki masih ada yang tertinggal di bibirku. Aku lalu berkilah mengiyakan pertanyaan Mas Bagas itu, sambil kuseka bibirku yang tipis ini dengan lidahku.

Kulihat di depanku ada sosok laki-laki diapit dua orang wanita yang juga mengenakan gamis dan jilbab lebar seperti yang kupakai.

"Kenalin ini klien Abi, namanya Pak Broto barusan sampai juga bareng sama…." Mas Bagas tidak melanjutkannya kalimatnya, mungkin karena tidak tahu siapa kedua wanita yang ada di samping Pak Broto. Takut salah menyebut istri padahal mungkin bukan istrinya.

"Hahaha.. Pak Bagas dan Bu…"

"Sella, Pak" kata Mas Bagas menyahut.

"Pak Bagas dan Bu Sella, saya Broto dan kenalin ini istri-istri saya, Faizah dan Ditta. Saya memang kalau jalan kemana-mana biasa bawa kedua istri saya yang cantik-cantik ini." kata Pak Broto menjelaskan. Kuperhatikan, Pak Broto ini memandangiku dengan tatapan aneh. Seperti seolah-olah menelanjangiku. Tatapan matanya melekat ke arah dadaku yang memang agak membusung walau tertutup gamis dan jilbab lebarku.
"Pak Bagas ini kan sudah mapan, bisa lah ikutin jejak saya ini." kata Pak Broto melanjutkan sembari merangkul kedua istrinya.
"Enak lho, Pak. Saya jamin bakal puas sampeyan." lanjutnya sambil menyeringai. Mas Bagas hanya diam sambil sedikit tersenyum mendengarnya.

Singkat cerita, dari penjelasan Mas Bagas, Pak Broto ini berusia 47 tahun. Dia adalah pengusaha yang bisnisnya bermacam-macam. Mulai dari property, media, minimarket, sampai tour travel juga dimiliki. Skalanya sudah nasional bahkan beberapa sampai merambah ke luar negeri.
Istri pertamanya bernama Faizah. Kutaksir usianya sekitar 30an tahun, dan istri mudanya, Ditta, kutaksir sekitar 20tahunan. Keduanya sama-sama cantik, bahkan cantik sekali. Walaupun menggunakan gamis dan jilbab lebar, aku mampu menebak kalau kedua istrinya ini memiliki postur tubuh yang ideal apalagi Ditta, karena mungkin masih muda, bahkan lebih muda dariku. Ketika aku memandang kedua istrinya nampaknya ada sesuatu yang aneh dari pandangan mereka. Entahlah aku juga tak tau.

Mas Bagas dan Pak Broto lalu mulai ngobrol serius. Ada rencana dari Pak Broto untuk membuka cafe, makanya dia membutuhkan kontraktor. Mas Bagas lah akhirnya yang beruntung mendapatkan proyek ini. Aku yang tak terlalu tau soal pembicaraan mereka berdua kadang hanya melamun saja. Tujuan ku disini memang menemani Suamiku karena permintaannya.

Sekitar 20menit berbincang-bincang, aku teringat aku harus mengambil dalamanku yang sedang ada di tangan Mas Diki. Aku lalu izin kepada Mas Bagas untuk ke kamar kecil, sekaligus mencari cemilan karena perutku lapar. Ditta ternyata juga beranjak dari duduknya karena harus mengambil sesuatu yang ketinggalan mobilnya.

Kamipun berjalan berdampingan, meninggalkan rerumputan ini.
"Ukhti Ditta, sudah berapa lama nikah sama Pak Broto? Kayaknya masih muda banget." tanyaku memecah keheningan.

"Baru setengah tahun, Umm.." jawabnya singkat.

"Ooh.. Iya.. sudah isi kah, Ukh?"

"Belum.." jawabnya masih singkat.

"Oooh.. Iya.. semoga lekas isi ya, Ukh.. Ana sendiri sudah dua tahun nikah dan kami juga masih ikhtiar sampai sekarang."

Ditta hanya diam tak menjawab atau merespon. Kuperhatikan, ada yang aneh dengan sorot matanya. Seperti nampak kosong tak berarah.
Kamipun akhirnya terpisah. Aku berjalan menuju taman melati, Ditta berjalan menuju parkiran.

Kulihat Mas Diki sedang duduk di pendopo yang paling ujung. Pendopo ini tidak begitu luas, hanya sekitar dua kali dua meter. Pendopo ini tidak memiliki pintu di bagian depan tapi memiliki dinding yang tingginya sekitar setengah meter di sisi kanan, kiri, dan belakang. Aku lalu menghampiri Mas Diki.

"Mas, mana dalamanku? Aku nggak nyaman ini.."kataku sambil melanjutkan sok jutek padanya.

Tanpa menjawab apapun Mas Diki lalu menarikku ke samping belakang pendopo ini.
"Aku dah kangen sama badanmu ini, Dek.." katanya yang dibarengi dengan gerak tangannya mengangkat baju gamisku.

“Iiiih, Mass!” Kataku setengah menjerit terkejut saat telapak tangan Mas Diki menelusup kedalam pahaku dan mulai bergerak-gerak pelan disekitar vaginaku yang tanpa tertutup dalaman apapun ini. Akupun reflek menutup mulutku agar suara jeritanku tadi tidak terdengar oleh orang lain.

"Hsshhh.. Mmmpphh.. Mass tadi kan di mobil udah.. Hmmpph.." desisku.

"Tadi kan aku yang keluar, sekarang giliranku yang bikin kamu enak.." kata Mas Diki melanjutkan permainan tangannya di vaginaku makin intens.

"Ohh.. Ahhh.. jangaann mass.. nantii dilihat orang.. oouuugghhh" protesku yang setengah-setengah ini ketika aku juga melenguh menikmati permainan jarinya di daerah sensitifku ini. Aku masih tetap berusaha mendorong tubuh Mas Diki ke belakang, namun harus kuakui kalau usahaku ini hanyalah setengah hati saja.

Tubuhku yang masih berbalut gamis dan jilbab syar'i ini seketika menggeliat-menggeliat ketika kurasakan rasa nikmat di vaginaku. Mas Diki memepetkan badannya ke badanku sehingga badanku tersandar di dinding samping pendopo tempatku berdiri.

Tangan Mas Diki dengan lincahnya memainkan vaginaku. Tubuhku semakin tenggelam dalam kenikmatan seksual saat vaginaku “digeledah” oleh permainan tangan Mas Diki.
Aku hanya bisa memejamkan mata dan menengadah menikmati rangsangan tangannya.
"Shhhh… Hmmmppphhhh… ssshhh.." desisku yang makin nyaring.

"Sssstttt.. jangan beriisikk Dek, nanti ada orang yang kesini.." katanya

"Shh Maas.. Udahh Mass, ada suamikuuhh.." pintaku tiba-tiba yang teringat bahwa saat ini kami sedang berada di alam terbuka dan ada suamiku tidak jauh dari sini.

Tak digubrisnya, tangan Mas Diki masih terus-terusan mengobrak-abrik vaginaku
"Kalau kamu nggak berisik, masih aman kok, Dek.." Ucap Mas Diki yakin.

Aku masih menikmati rangsangan dari tangan Mas Diki, padahal baru beberapa waktu belakangan aku bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan ini, namun sekarang aku kembali jatuh kedalam lubang syahwatku sendiri.

“Mmmphh.. Ahhhhhh…!” desisku sambil setengah menjerit saat tangan Mas Diki mulai menyentuh dan memainkan klitorisku yang tersembunyi di balik vaginaku.

“Awwh... masshhhh... .. geliiihhh.. ahhh... oohh..” Aku semakin meracau kenikmatan karena permainan jari tangan Mas Diki di klitorisku ini. Vaginaku terdengar semakin becek dengan bunyi kecipak cairan cintaku yang beradu dengan permainan tangan Mas Diki. Cairan vaginaku ini bahkan meleleh keluar membasahi pahaku.

"Enak nggak Dek memekmu diginiin?" kata Mas Diki masih terus mempermainkan vagina dan klitorisku.

“Ooohhh… Mashhh.. enakkk.... oohh…mmmpphh…” gumamku dengan mata sayu setengah terpejam.

“Nungging dong, Dek..” ucap Mas Diki sambil membalikkan dan menekuk badanku kedepan lalu menunggingkan pantatku.
Aku yang hanya seperti kerbau dicucuk hidungnya langsung saja menuruti perintah Mas Diki. Tanganku segera mencengkeram sisi pendopo tempatku berdiri ini dan menopang tubuhku saat tangan Mas Diki menarik pinggangku ke belakang. Mas Diki langsung menyibakkan gamisku.

"Cplek.. Cplek..!!" Terdengar suara becek vaginaku saat tangan Mas Diki menepuk-nepuk permukaan vaginaku ini.

"Wiih.. Udah becek banget kamu, Dek.." komentar Mas Diki.

“Awwwwhh.. masshhhh... pelaannhhh” kataku merintih saat merasakan satu jari tangan Mas Diki memasuki vaginaku dengan cepat. Setelah memastikan bahwa jarinya sudah masuk sepenuhnya kedalam vaginaku, Mas Diki segera menggerakkan jarinya tersebut maju mundur dengan cepat sehingga membuatku menyerah menjerit-jerit penuh kenikmatan.
"Oohhh... Maasshh.... oouugghh....Hhmmp.." Desahanku terhenti karena mulutku dibekap oleh Mas Diki.

"Jangan kenceng-kenceng desahnya, Dek.." Ucap Mas Diki. rupanya dia masih sadar akan situasi saat ini dimana kami sedang berada di tempat terbuka dan ada suamiku juga tak jauh dari sini.
Tubuhku terguncang-guncang akibat sodokan-sodokan jari Mas Diki di selangkanganku. Aku hanya bisa menikmati permainan jari-jari Mas Diki dengan terus menerus mendesah meski tertutup oleh bekapan tangan Mas Diki.

Mataku makin tampak sayu. Aku pun merasakan tanda-tanda akan mencapai orgasmeku, badanku mulai menggelinjang kegelian begitu hebat saat Mas Diki terus-terusan mengorek-ngorek bagian sensitifku ini.

"Maashhhh.... aakkkuuu.. udaahhhhh... mauuu" desisku lirih

"Ooooooouuggggghhhhhh.. Keluaarrhhhhhhhhhh…" ucapku melolong dengan mataku membelalak serta seluruh otot tubuhku menegang dan punggungku melengkung ke atas. Vaginaku mengeluarkan air kencing yang cukup banyak mengucur membasahi rerumputan ini. Rupanya aku mengalami orgasme disertai dengan squirt yang begitu deras. tentu saja dengan jari Mas Diki yang masih menancap di vaginaku dan merasakan tangannya tersiram oleh air seniku.

“Wiihh, hebat ngecrotmu, Dek! sampai kencing berdiri begini kamu..” Ucap Mas Diki, sedangkan badanku masih tertungging lemas di sisi pendopo ini. Nafasku ngos-ngosan memburu seperti orang yang habis berolahraga. Dadaku naik turun memompa oksigen yang nampak masih kurang.

Sadar akan situasi, Mas Diki tak memberikan waktu lama untukku mengambil nafas,

"Kita lanjutin ya, Dek.." Ucap Mas Diki sambil mengeluarkan penis coklat berurat miliknya yang sudah menegang dari balik resleting celananya.
Diolesinya penis itu dengan cairan vaginaku yang masih tersisa di telapak tangannya sambil sesekali mengurut penisnya. Mas Diki sesekali juga mencolek-colek vaginaku untuk mengambil cairannya untuk digunakan sebagai pelumas penisnya.
Mas Diki lalu segera memegang pinggangku sambil memosisikan kepala penisnya dibibir vaginaku.

"Aaahh.. Mmmhhhh..!!!" tanpa sadar aku merintih lumayan keras saat kepala penis Mas Diki mulai memasuki rongga vaginaku.

"Plakkk.." Mas Diki menampar pantatku sambil berusaha mendorong penisnya masuk. Walaupun sudah berkali-kali dimasuki penisnya, liang vaginaku masih merasakan sesak kesempitan. Vaginaku masih menjepit erat batang coklat berurat yang berusaha masuk ini.

"Aaahh... pelaann Mmaass.. Hhmmmppphh!!" desisku. Aku yang berpakaian khas akhwat solehah ini harus takluk sekali lagi dibawah syahwatku sendiri. Lagi-lagi pengaruh nafsuku lebih besar daripada akal sehatku. Bahkan aku mulai menggoyangkan pantaku pelan-pelan seolah-olah sedang menikmati liang vaginaku dikorek-korek oleh penis Mas Diki.
"Ssshhhh.. Oogghhh... enakkkk.." kataku sambil mendesah.
Kali ini aku benar-benar sudah seperti seorang wanita jalang yang haus akan nafsu, aku benar-benar sudah melupakan status dan kondisiku saat ini. Bahkan aku tidak habis pikir bisa-bisanya aku menikmati permainan yang seharusnya dituntaskan dengan secepat mungkin ini.

"Uuuggghh.. Goyanganmu kok makin manteb, Dek.. sering main sama suamimu ya.." ucap Mas Diki
"Plak.. Plakk.." sesekali Mas Diki menampari pantatku ditengah genjotan penisnya hingga kini pantatku yang putih bak pualam inipun mulai memerah
"Uuugggghhhh.. Dasar akhwat binal.. suami di deketnya tapi malah ngentotin kontol lain.. Ugghhh.."

"Ooohhh.. Sssshhhhhh.. Aaaaahhhhhhh... Mmmaasss.. " balasku yang hanya bisa mendesah menahan nikmat sambil terus menggoyang-goyang pantatku mengikuti irama sodokan penis Mas Diki di vaginaku.
"oouuuuuuhhh.. Ahhh.. Mmasss.. enakk.. eempppp" kataku. Sudah tak kupedulikan kalau saat ini kondisiku sedang berada di tempat terbuka dan baju gamis yang ku gunakan sudah terangkat sampai ke pinggang, Bahkan jilbab lebar ini pun makin kusut karena diremas oleh tangan Mas Diki.

"Plok.. Plokk.." suara pinggul Mas Diki yang bertumbukkan dengan pantat bulatku. Aku masih menggoyang pantatku seirama dengan pompaan pinggul Mas Diki di pantatku.

"Ssssssssshhhhhh.. Ooohhh... Aahhh..." aku mendesah tanpa ragu lagi. Aku bahkan mempercepat goyangan pantatku untuk memainkan penis Mas Diki di dalam vaginaku. Pantatku bergoyang naik-turun menarik keluar sebagian penis Mas Diki sebelum menghentakkan pantatku mundur tiba-tiba sehingga penisnya langsung terbenam dengan cepat ke dalam vaginaku.

“Ugghhh.. Makin jago kamu, Dekk.. Ughh.. akhwat binal pinter muasin kontol..uuuuugghhhh..” oceh Mas Diki penuh kenikmatan saat penisnya merasakan rasa hangat, lembut dan sempitnya rongga vaginaku yang terus memijat penisnya dengan goyanganku yang makin liar. Pinggul Mas Diki juga berayun mengikuti irama pantatku.
Tubuhku dengan binalnya maju mundur menjemput hujaman batang penis Mas Diki ke dalam vaginaku. Pinggulku dicengkeram erat oleh kedua tangannya.

“Oooouuhhh.. Ahhh.. masshhh... enaaakkhhhh... ouuuuhhhhh”, desahku sambil terengah engah penuh kenikmatan, pantatku terus bergoyang memelintir penis Mas Diki dengan vaginaku.
"Ooooohh.. Maaasss.. Aku mmhhauu.. oooh.." pantatku makin liar berayun mengejar orgasmeku yang kembali hadir. Selang beberapa detik kemudian,
"Oooh.. Mmmhaaassss... Pipisss akuuuhh.. Oooohh..." Badanku mengejang-ngejang menahan orgasme. Mataku mendelik menahan kenikmatan yang menjalar di sekujur tubuhku. Tanganku yang memegang sisi pendopo ini juga ikut bergetar merasakan sensasi orgasme dari persetubuhan di taman terbuka ini.

Mas Diki mendiamkan penisnya beberapa saat di vaginaku sambil memberiku waktu menikmati orgasmeku yang kedua hari ini.

Tak lama kemudian, Mas Diki menarikku naik ke pendopo. Mas Diki lalu berbaring di pendopo ini.

"Kamu di atas, Dek.." Mas Diki memberiku perintah. Nafsu birahiku saat ini sudah berada di ubun-ubun. Setelah dua kali diserang orgasme hebat, aku kini layaknya boneka yang patuh pasrah untuk dimainkan sesuka hati. Aku langsung memosisikan badanku di atas badan Mas Diki berhadap-hadapan. Pelan-pelan kusingkap baju gamisku ini ke atas. Lalu sembari memegang batang penis Mas Diki dengan tangan kanan aku mengarahkan dan menuntun senjata keras ini ke gerbang pintu vaginaku sendiri, perlahan aku menempelkan kepala penisnya sedikit, lalu aku mulai menurunkan pinggulku memasukkan penis Mas Diki keliang senggamaku yang masih sempit.

"oooohhh.. hhhmmmppphhm.. Ssshhh.." desisku sambil menarik nafas sebelum memasukkan penis ini lebih dalam. walaupun baru kepala penisnya yang masuk, namun rongga vaginaku serasa penuh sesak mencoba beradaptasi.

Perlahan-lahan, akhirnya penis ini pun ludes seperti sedang dimakan oleh vaginaku, semuanya tenggelam sempurna dan tidak keliatan lagi,
“Heeeeekhh... oooohhh.. penuh memekku,... Mmhaass” rintihku tanpa malu-malu.

"Uugghhhh.. masih sempit aja memekmu, Dek.. ugghhh.." erang Mas Diki.

Lalu akupun mulai menggoyang pantatku maju mundur. Gesekan batang penisnya di liang senggamaku membuat gairahku makin meninggi.

"Oooh.. Aahhhh...,Shhh... Maasss..." Rintihku binal sambil terus menggoyang-goyangkan pantatku maju mundur di atas batang penisnya seperti seorang cowgirl yang sedang menaiki seekor kuda.

Secara refleks kemudian aku menggoyangkan pinggulku memasukkan batang penis Mas Diki ini semakin lama semakin cepat. Mataku merem melek ketika penis keras ini terus mengaduk-aduk liang vaginaku yang mungil.

“Ahhhh.. eeemmhhh.... ahh.. sshhh"
"Ooohh... Sshhhh.. Aaaahhh.. Ooohhh..." aku yang masih mengenakan lebar ini meracau sambil merintih merasakan kenikmatan.

Aku tidak sadar ketika kemudian kedua kakiku yang masih terbungkus kaus kaki krem ini menjepit tubuh Mas Diki semakin kuat saat aku terus menaik turunkan pantatku. Tubuhku berguncang-guncang hebat oleh gerakan ritmis yang begitu bernafsu menunggangi tubuh Mas Diki.

Tangan Mas Diki lalu bermain-main di tetekku dari luar gamisku. Buah dadaku yang masih ranum ini lalu diremas-remasnya. Putingnyapun tak luput untuk dipelintir. Sensasi remasan dari balik gamis ini mau tak mau membuatku makin terangsang. Tak lama kemudian gamisku ini disingkapnya, hingga menyembullah dua bulatan tetekku yang putih mulus ini.

Ketika tubuhku terguncang- guncang, sepasang tetekku yang masih kencang inipun ikut terayun-ayun. Mata Mas Diki melotot melihat tetekku yang telanjang terayun-ayun di depannya ini, tanpa menunggu lama, Tangan Mas Diki pun tak mau diam begitu saja, ia mulai meremas tetekku yang tergoncang-goncang akibat gerakan naik turunku ini, sesekali tak lupa dia memilintir putingnya yang membuatku makin liar menggoyang pantatku.

Puas bermain dengan tangan, Mas Diki pun mengangkat tubuh bagian atas nya ke tubuhku yang membuat wajahnya berhadapan dengan wajahku, kemudian mulutnya tak sabar segera melumat dan mengunyah-ngunyah sepasang gunung kembar di dadaku ini secara bergantian. Sekejap kemudian tetekku yang putih mulus ini sudah dipenuhi cupang-cupang kemerahan bekas gigitan Mas Diki.

Rangsangan ini memberiku tenaga tambahan untuk terus bergerak naik turun dan bergoyang mengaduk-aduk penis yang tertanamn di vaginaku. Tubuhku pun seperti menggelinjang saat kedua puting susuku dihisap dengan kuatnya dan penuh nafsu.

Desahan demi desahan pun keluar dari mulutku
"Ooohhh.... aaaakhhhhh.... eeengghhh" ungkapku penuh desisan. Akupun makin liar menggoyang pantatku meliuk-liuk di atas penisnya.

Aku sudah benar-benar menyerah pada nafsu birahiku. Aku yang seorang akhwat berjlbab lebar ini sedang naik turun menikmati cepatnya batang penis Mas Diki masuk dan keluar, diikuti dengan cepatnya bibir vaginaku melesak ke dalam dan keluar.

Aku hanya bisa pasrah menahan kenikmatan yang luar biasa yang sedang kukayuh lewat penis Mas Diki. Mataku terpejam-pejam saat aku menerima hujaman batang kemaluan Mas Diki ini.

"Ahh.. maauuhhh.. pipiisshhh.... aku Mmhaaass.." desahku sedikit tertahan.

Aku merasakan gelombang orgasmeku mulai mendekat. Akupun semakin cepat menggoyangkan pinggulku ke kiri dan ke kanan, dan mengangkat pinggulku naik turun dengan semangat dan cepat. Mas Diki pun juga semakin mempercepat pompaannya dari bawah.

"Ooh.. Aahhhh... Ohhh... Shhhhh... Hmmmmppphh.. Mmhaaass." Rintihku makin keras. Aku tak lagi memedulikan bahwa kini kami sedang bersenggama di taman terbuka. Jika saja ada yang lewat di depan pendopo ini maka pasti terlihatlah punggung dan pantatku yang sedang bergoyang di atas penisnya.

"Ooohhh... Aahhhh.. oooooohhh.." Aku gerakan pantatku makin liar, kedepan belakang dan memutar-mutar.

"Ohhh.. Ahhh... ahhhh... aku sampai, Mmhaass... Ahh.."
"Oohhh... Ssshhh... Pipiiiss aku, Mass.. Ooohhhh.." Aku menyentak-nyentakkan pantatku makin ke bawah mencoba meraih klimaks maksimalku.

Mas Diki makin meremas tetekku sekencang-kencangnya. Membuatku makin menggelinjang menikmati orgasmeku. Badanku ambruk di dadanya.

Mas Diki masih menaikturunkan penisnya dari bawah. Penisnya masih terasa keras berurat mengisi relung liang senggamaku. Pompaannya membuat dinding-dinding vaginaku bergesekan dengan batang penisnya. Perlahan-lahan gairahku bangkit kembali walapun aku masih terasa lemas. Mas Diki memintaku berputar membelakanginya.

Aku pun mengangguk dan mengerti permintaan Mas Diki ini, aku kemudian beringsut naik sembari bangkit serta berjongkok dengan membelakangi Mas Diki, sambil memegang batang penis Mas Diki dengan tanganku.

Kugenggam penis keras yang belum menunjukkan tanda-tanda akan keluar ini, lalu kugesek-gesekan ke bibir vaginaku. Perlahan-lahan kuturunkan pantatku hingga liang vaginaku kembali penuh sesak oleh penis ini. Sesaat pandanganku melayang terbang melintasi taman ini. Tanganku bertumpu pada lutut Mas Diki.

Dari belakang, kurasakan gamisku diangkat oleh Mas Diki.
"Plak.. Plakk.." tampar Mas Diki di pantatku yang putih membulat ini.

"Eeeenngghhh.....ooohhh.. uhh" vaginaku yang tersumpal penisnya dan tamparannya di pantatku malah membuatku mendesah tak karuan.

Lalu aku pun mulai menunggangi penis milik Mas Diki dengan pelan, menaik turunkan pantatku dengan semangat serta tak lupa untuk memutar pinggulku dengan liar.

Sembari begoyang tanganku berpegangan pada lutut Mas Diki. Pantatku kugoyang dengan liar, kuayun-ayunkan mengikuti naluri syahwatku, seolah-olah badanku ini sudah paham dan tahu betul apa yang harus ku lakukan.

“Ouhhhh... Mmasss.. ssssshhhh... Euhhhhh.... Ahhhh.., ” desahku bergairah sambil terus menggoyang penis Mas Diki didalam vaginaku. Dengan posisi menghadap keluar seperti ini, aku bisa melihat sekeliling taman. Entah kenapa siang ini taman kota ini begitu sepi, membuatku tak ragu lagi untuk mendesah makin keras dan bergoyang makin liar.

"Uuughhh.. Manteb tenan Dek goyanganmu, terussshh.. Ouhhh. ugghhhh...” desahannya ikut keluar.

Aku memacu penis Mas Diki dengan ayunan pantatku, Kadang kunaikturunkan dengan cepat, dan kadang melambat memainkan tempo, pantatku meliuk-liuk diatas batang penis Mas Diki yang coklat berurat ini. Aku yang sehari-harinya berpenampilan dan berperilaku alim ini kini sudah menjadi akhwat binal yang liar yang butuh kenikmatan syahwat terus menerus. Seolah-olah aku sangat menikmati posisi ini, karena aku bisa mengendalikan permainan sesuai dengan ritme yang kumau.

"Aaaachhhh.... Oooohh.... ennaaakkk.." Desahan demi desahanku menandai keluar masuknya penis ini di vaginaku.

Penis ini kurasakan menyodok semakin dalam bahkan sampai menyentuh dasar rahimku hingga membuatku menggelinjang ketika penis ini masuk secara sempurna.

Aku layaknya tak ingin sensasi ini cepat-cepat berlalu, buah dadaku yang sudah menegang maksimun terayun-ayun dengan indah dibadanku ini mulai ku remas-remas sendiri untuk menambah rangsangan dan sensasi nikmat.

Mas Diki pun juga mulai membantu menyodok-nyodok vaginaku, sehingga kenikmatan yang kurasakan semakin bertambah. Sambil menyodok vaginaku, tangan Mas Diki tak tinggal diam dan meremas-remas dan sesekali menampar-nampar pantat bulatku. Malah terkadang dia membantu mengangkat pantatku lalu menurunkannya lagi dengan cepat.

“ahh.... ahhh... Mmmmaasss... Terruusss.. ooohhhh.. ahhh...” desahku setengah menjerit seiring dengan naik-turun tubuhku.

Tubuhku terlonjak-lonjak dan tertekuk menahan rangsangan yang teramat sangat ini. Secara cepat pinggulku berputar agar batang penis Mas Diki dapat terus mengucek dan mengocok dinding vaginaku. Semakin lama gerakan pinggulku menjadi semakin bervariasi, mulai dari berputar, melonjak, bergoyang, patah-patah bahkan maju-mundur, membuat batang penis Mas Diki seperti dipelintir dan digiling oleh mesin yang sangat nikmat. Entah darimana kudapatkan ilmu syahwat ini.

Dan semakin lama gerakanku ini menjadi cepat, nafasku juga semakin memburu pertanda bahwa gelombang orgasmeku sebentar lagi akan datang kembali.
Mas Diki pun tampak tak kalah menikmati aksi dariku, sambil sesekali menyelaraskan irama goyangan pantat putihku ini.

"Uuuugggghhhh.... rapet banget memekmu Dek, padahal udah sering ngentot.. Uuughhh..” kata Mas Diki berkomentar.

“ssshhhhh.... ouugghhh... aannhhh… aahhhhh” aku hanya bisa melenguh keenakan.

"Uuughhh.. memekmu kok makin njepit, Dek.." erang Mas Diki.

Aku memang merasakan vaginaku yang masih sempit ini semakin menjepit dan memeras batang penis milik Mas Diki semakin kuat.

"Keeellluuuuuuarrrrrrr.... maaashhhhh.... ouuugghhhhhhh" teriakku berbarengan dengan puncak orgasme yang merasukiku. Badanku dengan gamis pink tersingkap ini melonjak-lonjak keras. Aku makin menurunkan pantatku ke arah penis Mas Diki agar benda lonjong tersebut dapat masuk sedalam-dalamnya ke vaginaku. Tanganku bertumpu di lutut Mas Diki menahan badanku yang lemas.

Tubuhku terdiam kaku sejenak karena kehabisan seluruh energinya yang kugunakan untuk meraih puncak kenikmatanku yang keempat kalinya hari ini. Pandanganku lurus menatap ke depan dengan mata sayu, melihat bunga-bunga melati yang bermekaran di depan pendopo ini. Seandainya suasana taman ini ramai, pastilah aksi kami ini akan jadi tontonan yang menarik. Seorang akhwat dengan baju gamis dan jilbab lebar sedang bersetubuh di tempat umum, apalagi kalau tau bahwa lelaki lawan mainnya adalah bukan suaminya. Aku sudah betul-betul menjadi akhwat binal yang tak takut dosa.

Mas Diki lalu mengangkat pantatku hingga penisnya keluar dari liang vaginaku.

"Pakai mulutmu, Dek.. " kata Mas Diki meminta.

Walau tubuhku masih kelelahan karena barusan orgasme tapi aku menurut saja. Aku posisikan diriku setengah merangkak. Badanku ada di samping kaki Mas Diki. Kepalaku sekarang sudah di atas penisnya. Penisnya mengkilap karena baru saja disiram oleh cairan orgasmeku. Ditampar-tamparkannya batang itu ke wajah putih mulusku ini, hingga pipiku sedikit basah oleh cairan cintaku sendiri.

"Jilatin, Dek.." Perintah Mas Diki padaku tangannya mengelus-elus kepalaku dan meremas jilbab lebar yang membalut kepalaku.

Tanganku lalu memegang batang penis Mas Diki yang coklat berurat ini. Siapa yang mengira bahwa benda ini telah berhasil membuatku merasakan kepuasan seksual. Penis yang sudah kugenggam ini lalu mulai kujilat-jilat.

"Uugghhh.. enak Dek jilatanmu.. Teruss, sayang.. Ughhh.." aku masih menjilati penis ini senti demi senti. Mas Diki kulihat hanya mengerang dan merem melek keenakan merasakan kehangatan bibir dan lidahku. Mulutku makin aktif bermain di bawah penisnya.

Buah zakar Mas Diki tepat berada di depan mulutku, dan dengan tanpa merasa enggan sedikitpun, aku menjulurkan lidah mengitari daerah-daerah yang langsung membuat pantat Mas Diki menggelinjang.

"uughh... jilatt disiituuh, Dek .. ouughhh akhwat pinteeerrr.." Puji Mas Diki merasakan mulutku menari-nari dibagian buah zakar di bawah penisnya, sedangkan tangan Mas Diki kulihat juga mengocok-ngocok penisnya sendiri.

Aku menurunkan mulutku makin ke bawah. Mas Diki juga ikut membantu dengan mengangkat pantatnya sedikit sehingga mulutku sekarang sejajar dengan pantat Mas Diki.

Aku lalu menjilat-jilat daerah sekitaran pantat Mas Diki. Ada sensasi lain yang menjalar dalam tubuhku. Aku yang alim yang kesehariannya memakai jilbab syar'i dan selalu menjaga kebersihan ini, sekarang malah melakukan hal yang sangat kotor dan hina, kepalaku yang terbungkus jilbab lebar ini tengah berputar-putar menciumi pantat Mas Diki, dan sekali-sekali lidahku juga keluar untuk menyapu-nyapu bagian sekitar anusnya.

"Uuugh.... teruusss, Dek.." pantat Mas Diki menggelinjang-gelinjang keenakan mendapat servis mulutku yang tengah berada di daerah pantat dan anusnya.

Tangan Mas Diki pun tak tinggal diam. Dadaku diremas-remasnya dari luar gamisku seolah-olah ingin membalas rasa nikmat pada selangkangannya yang sedang dimanja oleh mulutku. Putingku juga ikut diraba dan dipelintir dari luar gamisku ini. Permainan tangannya di tetekku membuatku semakin bersemangat menjilat-jilat dan mencium-cium bagian pantatnya.

Puas bermain di pantatnya, kepalaku berpindah ke atas selangkangannya. Kemudian kujilati batang penis ini, dari mulai batangnya sampai ke kepala penisnya. Begitu bolak balik sampai hingga kurasakan penis Mas Diki telah cukup basah oleh ludahku. Aku lalu membuka lebar mulutku dan mulai menempelkan bibirku ke kepala penisnya. Pelan-pelan batang yang berbulu ini kumasukkan ke bibir mulutku. Mulutku serasa dipaksa untuk mengembang menerima batang penisnya yang keras ini kembali setelah kejadian tadi siang di mobil.

Batang penis Mas Diki kukocok dengan cepat, kepala penisnya langsung kukulum dan kuhisap-hisap lembut sambil sesekali kuemut-emut dengan bibirku. Sesekali aku turunkan kepalaku makin kebawah, hingga kurasakan ujung kepala penis Mas Diki menyentuh pangkal mulutku.

"Ouughh.. ssshhhh... akhwat binal.. makin pinter mainin kontol kamu, Dek... uuugghh" Mendengar desahan Mas Diki, mulutku entah kenapa jadi semakin bersemangat.

"Clop.. Clopp.. Clopp.." suara penis Mas Diki yang keluar masuk dalam mulutku.

Tangan Mas Diki masih memainkan tetekku yang berayun menggantung dari luar gamisku. Bulatan ranum ini diremas-remas dan dipijat-pijat. Putingnya tak luput dari pelintiran dan kadang ditariknya ke bawah, membuatku kadang menggelinjang. Rangsangan ini juga membuatku makin liar menservice batang coklat ini. Kadang penisnya aku deep throat. Kadang kumasukkan ke mulutku sampai hampir separoh dan kemudian kuempot dengan mulut dan lidahku. Empotan bibir dan mulutku ini membuat penisnya makin mengeras.

“Ugghhh.. sepongan akhwat istri orang emang mantebb.. Uggghhh.."

"Hhmmpph.. Hmmmppphh.." kurasakan penis Mas Diki makin mengeras di mulutku.
Tangan Mas Diki berpindah ke atas memegang kepalaku yang terbalut jilbab lebar ini. Pantatnya membantu memompa naik turun hingga penisnya keluar masuk dalam mulutku. Kurasakan tangannya makin erat memegang jilbab hitamku ini, menahan kepalaku agar penisnya masuk makin dalam ke pangkal mulutku

"Glok..Glok..Glok.." mulutku kadang tersedak dan pasrah saja menerima pompaan penis ini .

"Ugghhh.. aku mau keluar, Dek.."

"Glok..Glokk.. Clopp.. Glokk.."
Tak berapa lama kurasakan penisnya berkedut-kedut di dalam mulutku.

"Ugghhhhh.. hhhhh... Keluar, Dek.. Telen!! " Aku rasakan penis Mas Diki menyemprotkan spermanya beberapa kali di mulutku. Tangannya yang masih memegang erat kepalaku membuat air maninya langsung tertelan masuk ke kerongkonganku. Aku menelan semprotan sperma yang keluar dari ujung penis ini sambil tetap mengenyot dan menghisap penisnya dengan kuat.

Sekitar 5 menitan aku hisap-hisap penisnya, aku sedot-sedot ujung lubang kencingnya, memastikan bahwa tak ada lagi sperma yang keluar. Aku yang berbalut gamis dan jilbab lebar ini dengan kesadaran penuh menelan habis sperma lelaki yang bukan suamiku. Mulut dan kerongkonganku rasanya kering dan hanya bisa dibasahi oleh sperma.

Beberapa saat setelah mengisi tenaga kembali, Mas Diki lalu bergegas memakai celananya dan memberikan dalamanku yang tadi dia pegang. Aku masih terduduk di pendopo ini ketika melihat langkah kakinya menjauh meninggalkan taman ini.

Ada rasa lega karena kemesuman ini akhirnya berakhir. Namun ada rasa kehilangan juga di dalam diriku. Aku kini tak lagi menampik bahwa aku menikmati permainan seks yang diberikan Mas Diki, sungguh sangat menikmati.

Aku lalu menuju toilet untuk bersih-bersih. aku pakai lagi dalamanku di balik gamis merah mudaku ini. Kupastikan tak ada sisa-sisa sperma di jilbab dan gamisku. Kupandangi cermin, kubersihkan wajahku yang putih ini. Ada rasa penyesalan yang menghinggapiku ketika aku menatap cermin ini.

Aku sudah dikaruniai nikmat dunia yang lengkap. Sebagai seorang wanita, aku memiliki postur tubuh yang ideal. Sebagai seorang istri aku mendapatkan suami yang tampan, mapan, dan penyayang. Bahkan tak sedikit teman-teman akhwatku yang iri denganku. Perlahan air mata penyesalanku menetes dari lubuk mataku. Aku bertekad aku tak boleh menyerah pada hawa nafsuku lagi. Sudah cukup diri ini berlumur dosa. Aku harus mampu mengabdikan diriku hanya untuk suamiku.

Tak ingin berlama-lama larut dalam pikiran ini, aku segera beranjak menuju ke tengah taman menghampiri Mas Bagas. Ternyata Mas Bagas dan Pak Broto masih ada di tempat mereka tadi.

"Eh, Umi.. kok lama Umi ke toiletnya.?" Tanya Mas Bagas.

"Iya, Abi. Tadi mules, terus sambil cari makan juga, Abi.."

"Oh. iya, Umi. Ini kita juga sudah selesai, kok." Kata Suamiku.

"Oke, Pak Bagas, saya pamit dulu ya. Nanti saya follow up lagi. Assalamu'alaykum.." Kata Pak Broto sambil meninggalkan tempat ini bersama Faizah. Aku tak melihat ada Ditta di sampingnya kali ini, mungkin setelah pergi tadi dia tidak kembali lagi ke taman ini.

Matahari sudah hampir tenggalam, Aku dan Mas Bagas kemudian berlalu pulang ke rumah mengendarai mobil kami.

-------
-------

Suatu malam, ketika Aku dan Mas Bagas bersiap-siap tidur, aku melihat notifikasi-notifikasi di hapeku. Ada tiga chat baru yang muncul. Pesan pertama dari nomor tak dikenal. Aku membuka pesan itu. Kulihat ada tiga file video yang dikirim. Aku klik ketiganya, ternyata filenya cukup besar sehingga butuh waktu beberapa saat untuk loading. Akupun melihat chat baru yang lain terlebih dahulu. Ada chat dari Mas Diki.

Mas Diki: Dek, kemarin itu siapa yang sama Mas Bagas?
Akupun lalu membalasnya
Aku: Itu kliennya Mas Bagas, Mas. Kenapa?

Kuperhatikan Mas Diki masih online dan membaca chatku, namun tidak dibalasnya. Akupun melanjutkan membaca chat yang lain. Ada chat-chat baru dari grup Liqo' ku, beberapa chat dari Fani.

Fani: Assalamu'alaykum, kakak-kakakku..
Fani: tadi Ana habis rapat ikatan alumni...
Ustadzah Azizah: Wa'alaykumussalam, Ukh..
Fani: mau kasih tau aja kalau ada partner yang mau sponsorin kita nih. Dia bisa pinjemin kita alat-alat recording profesional sama kalau mau kita bisa pinjam studio nya gitu..
Fani: besok Ana mau coba follow up dulu.
Ustadzah Azizah: Alhamdulillah, Fani.. Jazakillah khoiir adekku yang cantiikk..
........

Akupun kembali ke chatku yang pertama kubuka tadi, yang mengirimiku file-file video. Aku klik salah satu video itu yang sudah selesai ter-download .

DEGG. Jantungku serasa berhenti berdetak ketika melihat beberapa detik awal video ini.


 

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.
You will be redirected to the script in

seconds

BTemplates.com

POP ADS

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com