"Kenapa Bi Narsih harus mencelakai Pak Budi? Kalau memang benar dia akan mengadukan Bi Narsih ke Mang Karta, kenapa Bi Narsih harus takut? Bukankah bibi tidak melakukan kesalahan?'" tanyaku heran. Bagaimana bisa wanita yang kukenal sangat keibuan bisa berubah menjadi kejam.
"Maafkan Bi Narsih sudah menjadikan kamu boneka. Semuanya Bibi lakukan untuk menyelamatkanmu dari orang yang ingin mencelakai kalian.." kata Bi
Narsih berusaha mengelak dari pertanyaanku tentang Pak Budi.
Bi Narsih menatapku, berusaha menenangkan hatiku lewat tatapan matanya seperti yang selalu dilakukannya padaku saat aku gelisah. Tapi saat ini aku tidak mau tunduk. Aku harus menemukan semua jawaban dari teka teki ini.
"Baiklah kalau kamu pengen tahu kejadian yang sebenarnya. " Bi Narsih terdiam, berusaha mengumpulkan keberanian untuk mengungkap sebuah kebenaran yang mungkin sangat sulit buatnya.
"Tidak ada alasan apapun buat Bibi mencelakai dan menghancurkan Pak Budi. Satu satunya tujuan Bibi adalah kamu terjun ke dunia hitam sebagai Big Bos untuk mengadapi Dia." kata Bi Narsih sekali lagi mengatakan tentang dia.
"Dia itu siapa, Bi? Apa dia itu ayahku?" tanyaku cepat sebelum Bi Narsih kembali berubah pikiran.
"Ya, Bibi yakin, orang itu adalah ayahmu. Walau semua orang tidak tahu siapa dia, karena dia selalu bergerak di belakang layar, tidak pernah muncul. Alasannya kenapa Bibi yakin Dia itu adalah ayahmu, satu satunya Club malam yang tidak pernah diganggu adalah Club malam Pak Budi. Tapi Pak Budi membuat sebuah kesalahan fatal yang membuat Dia marah. Tahu resikonya kalau Dia marah?" tanya Bi Narsih yang kujawab dengan gelengan kepala.
"Dia tidak akan segan menghancurkan orang itu dan juga keluarganya. Aku tidak mau keluargamu hancur dan juga keluarga kita. Sangat banyak yang dipertaruhkan di sini. Makanya sebelum itu terjadi, bibi menyusun rencana menghancurkan Pak Budi lewat orang tuanya. Dan tepat dugaan Bibi, tidak perlu turun tangan langsung, Pak Budi mati bunuh diri." kata Bi Narsih. Jadi benar Pak Budi mati bunuh diri seperti yang dikatakan Pak Polisi dan buku tulisan di buku Diarynya.
Lalu kenapa ayahku harus bersembunyi di balik layar? Apa yang sebenarnya ditakuti olehnya sehingga dia menjauh dari keluarganya. Apa benar orang itu adalah ayahku? Atau hanya dugaan Bi Narsih saja. Kepalaku seperti mau pecah memikirkannya.
Andai saja aku sekarang masih jadi penjual Mie Ayam keliling, mungkin hidupku akan tetap tenang. Kalaupun ada yang bikin aku pusing, julanku sedang sepi sehingga keuntungan yang aku dapatkan kecil dan pas pasan buat makan saja.
Aku menatap Bi Narsih dengan perasaan campur aduk. Siapa dia sebenarnya? Aku seperti tidak mengenalnya.
"Kamu marah karena Bibi jadikan boneka?" Bi Narsih menatapku tajam.
Aku tidak menjawab. Mataku menerawang jauh. Pikiranku kosong. Entah apa yang akan terjadi, aku sudah tidak perduli lagi. Aku hanya ingin Ibuku, istri istriku dan adik adiku bahagia.
Aku juga tidak marah ke Bi Narsih, mungkin dia melakukannya benar benar demi kebaikanku. Mengorbankan Pak Budi, walau itu sangat mengerikan dan licik. Apa mungkin seperti inilah dunia hitam. Untuk bisa bertahan hidup, kita harus menghalalkan segala cara. Siapa kuat, dia akan menjadi pemenang.
Hausnya aku tidak berada di tempat yang sekarang. Tempat yang tidak cocok buatku. Tempat yang hanya akan membuatku menjadi kejam dan licik. Mungkin aku belum menjadi kejam maupun licik. Tapi suatu saat aku akan menjadi seperti itu. Hanya tinggal menunggu waktunya saja semua itu pasti terjadi.
"Aku mau ke RS dulu, Bi.!" kataku sambil memakai pakaianku yang berserakan di lantai. Tidak perlu meminta persetujuan.
*******
Aku memeluk ibuku dari belakang berusaha menghiburnya agar semua kegelisahannya berkurang. Di hadapan kami Mang Udin masih tergeletak lemah di ranjang rumah sakit.
"Ibu takut, Jang.!" kata Ibu sambil memegang tanganku yang berada di atas dadanya.
"Uwa, Desy pulang dulu, ya!" kata Desy sebelum aku membuka mulut.
Aku melepas pelukanku. Kami menoleh ke Desy yang berdiri di samping kami.
"Iya, makasih ya Des sudah nemenin Uwa." kata ibu memeluk dan kemudian mencium pipi Desy.
Setelah Desy pulang, ibu membuka lipatan kertas berisi tantangan ayahku ke Mang Udin yang kuberikan tadi. Ibu membacanya.
"Ini bukan tulisan ayahmu. Hampir mirip, memang. Tapi huruf a dan m nya berbeda. " kata ibuku.
"Ibu yakin?" tanyaku heran.
"Tentu saja ibu yakin. Dulu waktu pacaran dengan Ayahmu, dia selalu mengirim surat ke ibu. Belasan surat dari ayahmu masih tersimpan sampai sekarang." kata ibuku dengan perasaan gelisah.
Kalau itu bukan tulisan ayahku, lalu itu tulisan siapa? Aku berusaha membayangkan surat yang diberikan ayahku. Tapi aku tidak bisa mencari perbedaan maupun kemiripan dengan tulisan yang di hadapan kami. Karena surat surat ayahku tintanya sudah luntur. Apa benar ayahku masih hidup? Menurut Mang Karta yang mencelakai Mang Udin adalah Gobang. Apa nungkin Mang Karta berbohong?
"Bukan Gobang...!" suara igauan Mang Udin membuat kami terkejut. Kalau bukan Gobang yang mencelakai Mang Udin, lalu siapa.
Tiba tiba Mang Karta masuk dengan terburu buru.
"Kalian tidak apa apa?" tanya Mang Karta membuat kami terkejut daan heran. Kenapa Mang Karta menyakan hal yang tidak perlu ditanyakan.
""Sukurlah kalian baik baik saja." kata Mang Karta menarik nafas lega.
"Memangnya ada apa, Karta? Wajahmu seperti sangat tegang." tanya ibuku.
"Aku mendapatkan ini." kata Mang Karta memberikan selembar kertas ke aarahku. Dengan sigap ibuku mengambil kertas sebelum aku sempat mengambilnya.
"Datanglah ke xxxx, kita selesaikan semua dendam lama.
Ttd Gobang"
"Ini bukanlah tulisan Gobang." kat ibu dengan suara serak. Aku segera merebut surat utu dari tangan ibu dan membacanya.
"Aku tahu yang menantangku bukanlah Gobang. Karena Gobang tidak akan menantangku apa lagi tidak ada dendam di antara kami." kata Mang Karta.
"Jang, rahasiakan ini dari Bibimu, aku akan datang menemui ayahmu untuk mencari tahu siapa dalang dari semua kerusuhan, ini." kata Mang Karta sambil menepuk pundakku.
"Aku ikut, Mang!" kataku. Aku ingin melihat wajah ayahku setelah belasan tahun tidak bertemu.
"Tidak sekarang. Kamu bisa menemuinya setelah semuanya menjadi jelas." kata Mang Karta tegas. Mang Karta meninggalkan kami yang hanya bisa menatap punggungnya.
"Bu, aku mau mengikuti, Mang Karta!" kataku berpamitan kepada ibuku.
"Hati hati, ibu tidak bisa melarang kamu. Kalaupun ibu larang, kamu pasti akan pergi diam diam." kata ibu dengan suara bergetar nenahan tangisnya.
Aku mencium tangan ibu, lalu pergi menyusul Mang Karta yang sudah tidak terlihat lagi. Aku segera mencari tukang ojek untuk mengantarku ke alamat yang tertulis di surat.
Ternyata alamat yang dimaksud adalah sebuah rumah tua yang sudah tidak berpenghuni dan tidak terawat, letaknya lumayan jauh dari jalan raya utama. Rumah utu jauh dari rumah penduduk. Benar benar tempat yang ideal untuk melakukan pertarungan hidup dan mati. Apa di tempat ini pula Mang Udin berduel.
Aku masuk pagar dengan cara melompatinya. Di dalam ternyata sudah ada sebuah mobil dan beberapa motor dan salah satunya adalah motor Mang Karta. Apa Mang Karta datang sendiri ke sarang macan? Benar benar tindakan gegabah.
Perlahan aku mengendap ke samping bangunan yang tidak terawat. Aku mengintip lewat jendela yang kotor oleh debu. Kosang dan tidak terdengar apa apa di dalamnya. Aku berjalan semakin ke dalam, mengintip setiap jendela. Hingga ahirnya aku sampai pada pekarangan belakang yang luas dan keadaanya lebih terawat.
Ternyata mereka semua berkumpul di sini. Ada sekitar 20 orang yang kelihatannya seperti dua kubu yang siap bertarung. Beberapa orang diantara mereka aku kenal sebagai anak buah Mang Karta. Tapi aku tidak melihat Mang Karta.
Tanpa sengaja aku menginjak ranting kering yang langsung patah. Suranya terdengar keras membuat kumpulan orang itu menoleh ke arahku dengan kewaspadaan tinggi.
"Siapa itu? Teriak beberapa orang berbarengan bergerak menuju ke arahku. Tidak ada pilihan, aju segera keluar dari tempat persembunyianku.
"Kang Ujang..!" seru orang orang Mang Karta yang melihat kehadiranku.
"Dia, dia anak Kang Gobang.." seru orang orang yang tidak aku kenal.
Mereka kembali pada posisi masing masing, menganggap kehadiranku adalah bagian dari mereka dan bukan sebuah ancaman.
Aku berjalan menghampiri orang orang yang aku kenal dan menyalami mereka satu persatu, ada sepuluh orang yang aku kenal dan temui di tempat persembunyian Rani dan Rini. Orang orang yang pernah ikut menggemblengku dalam pertarungan jalanan.
"Mang Karta mana?" tanyaku yang tidak melihat kehadiran Mang Karta, padahal motornya ada di luar.
'Kang Karta ada di balik pagar itu, sedang berduel dengan Kang Gobang. " kata salah seorang anak buah Mang Karta yang tidak aku kenal namanya.
Aku segera berjalan.ke arah pagar tinggi sehingga aku tidak bisa melihat ke dalamnya. Orang orang yang tidak aku kenal menghadang langkahku, menghalangiku untuk masuk.
Anak buah Mang Karta kompak maju, mereka berdiri di samping dan belakangku, siap bertarung. Sepertinya mereka menunggu aba abaku.
"Gobang, semuanya harus berahir sekarang. Salah satu diantara kita harus mati." terdengar teriakan Mang Karta dari balik pagar. Suaranya keras mengandung ancaman yang menakutkan siapa yang mendengarnya.
Tanpa berpikir panjang, aku berusaha menerobos masuk. Tinjuku bergerak menghantam orang terdekat yang berdiri di depanku. Orang itu jatuh tidak sempat menghindari seranganku yang cepat dan datangnya tiba tiba.
Melihatku yang mulai menyerang, tanpa diperintah, ke 10 orang anak buah Mang Karta bergerak menyerang. Sehingga aku dengan bebas bisa masuk ke dalam pagar.
Ke dua orang yang sedang berhadapan langsung menoleh ke arahku.
"Jang, sudah Mamang bilang jangan ke sini." Mang Karta membentakku marah.
"Jalu....!" kata orang yang samar samar aku ingat wajahnya, apa benar dia ayahku. Wajahnya sangat mirip denganku. Yang membedakan hanyalah kumis, sedangkan aku tidaklah mempunyai kumis. Dan aku tidak merasakan apa apa, Dia seperti sosok asing yang tidak aku kenal.
Belum sempat aku menyadari apa yang terjadi, Mang Karta mebyerang ayahku dengan cepat dan bertenaga. Ayahku mengelak, berusaha menghindari bentrokan langsung.
"Kita bicara baik baik, Karta. Aku tidak pernah mengirim surat tantangan berduel denganmu maupun Udin Tompel." kata Ayahku berusaha menenangkan Mang Karta yang melihat sangat bernafsu menyerang ayahku. Sehingga serangannya tidak terkontrol.
Kembali aku melihat pertarungan yang hampir sama dengan mimpiku. Mang Karta menyerang membabi buta sedangkan ayahku lebih banyak bertahan dan tidak berusaha melakukan serangan balasan yang mematikan. Terlihat dari pukulannya yang cepat lalu kecepatannya berkurang setiap kali akan mengenai ayahku.
Aku ingin berteriak agar mereka menghentikan pertarungan ini. Tapi suaraku tidak mampu keluar. Aku tidak rela salah satu diantara mereka akan celaka.
Sebenci apapun aku kepada ayahku, aku tetap tidak rela dia celaka dan aku lebih tidak rela lagi kalu Mang Karta yang akan celaka.
Pertarungan semakin seru saja, Ayahku mulai melawan setelah dirinya terdesak. Sekarang mereka saling baku hantam dengan keras, tidak ada lagi ada yang mau mengalah. Perkelahian antara dua kubu anak buah Mang Karta dan anak buah Ayahkupun sudah berhenti. Mereka malah ikut menonton pertarungan dua jago tua yang sama sama hebat dan s3pertinya seimbang.
Aku melihat pertarungan itu berjalan seimbang, masing masing saling mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Tapi aku bisa melihat, ternyata ayahku lebih unggul sedikit, tenaga dan kecepatan mereka mungkin seimbang. Tapi ayahku bertarung dengan tenang dan tidak terpancing emosinya. Berbeda dengan Mang Karta terlihat seperti terburu buru dan sangat bernafsu mengalahkan ayahku.
Padahal, dalam setiap pertarungan, Mang Karta selalu menasihatiku untuk tetap tenang dan tidak terpancing provokasi pihak nusuh. Tapi sekarang aku justru melihat Mang Karta yang terpancing emosinya. Dia terlihat bernafsu untuk mengalahkan ayahku.
Pukulan dibalas dengan pukulan. Tendangan dibalas dengan tendangan. Tidak ada yang mau mengalah walau aku sudah beberapa kali berteriak agar pertarungan mereka berhenti. Hingga ahirnya, sebuah tendangan keras menghantam dada Mang Karta hingga terjatuh ke belakang. Yang membuatku berteriak ngeri, Mang Karta jatuh menimpa tonggak kayu runcing. Bresss aku melihat darah keluar membasahi perut Mang Karta yang tertembus kayu runcing.
Aku hilang kesadaran, berteriak marah. Melancarkan serangan ke ayahku yang berdiri melihat Mang Karta yang perutnya tertembus kayu runcing. Buk, pukulanku menghantam wajah ayahku membuatnya terhuyung huyun ke samping.
Aku tidak memberinya kesempatan untuk memperbaiki posisinya, seranganku bertubi tubi menghantam wajah da tubuhnya. Tapi ternyata kehebatan ayahku bukanlah omong kosong. Dia tidak terjatuh oleh pukulanku yang bertubi tubi. Bahkan dia bisa membalas pukulanku. Beberapa kali pukulannya mengenai tubuhku. Entah kenapa di tidak memukul wajahku maupun bagian tubuh vital.
Aku benar benar kalah kecepatan dan juga tenaga. Perlahan lahan aku mulai terdesak. Badabku seperti samsak yang biasa digunakan untuk melatih pukulan.
Tapi aku terus berusaha melawan. Aku harus membalas dendam atas kematian Mang Karta yang tergelatak tak bergerak setelah tonggak kayu menembus perutnya. Tidak ada lagi rasa hormat ke ayahku. Sekarang dia adalah musuh besar yang harus aku kalahkan demi Mang Karta yang sudah aku anggap sebagai ayahku.
Aku berusaha bertahan dan juga membalas pukulan ayahku yang selalu bisa menangkis dan menghindari pukulanku dengan mudah, dia bertarung dengan tenang. Berbeda denganku yang bertarung secara membabi buta. Pukulan yang aku kerahkan dengan tenaga penuh membuatku beberapa kali terhuyung oleh tenagaku sendiri.
Hingga ahirnya sebuah pukulan telak menghantam ulu hatiku membuatku membungkuk menahan sakit dan sebuah pukulan susulan menghantam keningku, membuat mataku berkunang kunang. Aku jatuh terlentang.
Aku teringat dengan ibuku, adikku, Ningsih, Lilis, Anis dan beberapa wanita yang rela berbagi kenikmatan duniawi denganku. Perlahan lahan kesadaranku hilang. Ningsih dan anakku nanti bagaimana?.........