Aku mengetuk kamar ke dua gadis anak Codet pelan. Tidak berapa lama pintu dibuka oleh Rani. Harus kuakui gadis ini cukup cantik dan paling menonjol adalah dadanya yang besar mengingatkanku dengan Marni walau dada Marni lebih besar karena sedang menyusui bayi.
Aku duduk di kursi yang menghadap ke arah ranjang. Rini terlihat sedang asik membaca novel. Merekapun sudah berganti pakaian yang entah dia dapatkan dari mana. Seingatku semalam mereka hanya memakai pakaian dan membawa tas kecil yang biasa dibawa seorang wanita. Jadi aku yakin mereka tidak membawa pakaian kecuali pakaian yang mereka pakai.
"Dari mana kalian dapat pakaian baru?" tanyaku heran.
"Beli di pasar, dianter Pak Supir." kata Rani. Dia terlihat lebih tenang dat pada semalam. Mungki karena dia mulai mempercayaiku.
"Tadingnya saya datang ke Club memang mau bertemu dengan Kang Ujang, tapi malah dicurigai dan ditangkap anak buah Kang Ujang. Mereka nganggap saya mata mata yang dikirim buat memata matai." kata Rani menjelaskan.
Berarti mereka sengaja datang mencariku untuk minta perlindungan dan diantarkan menemui Mang Karta. Ada permainan apa Mang Karta dengan Codet?
Kenapa semua masalah ini datang bertubi tubi dan aku tidak bisa menikmati apa yang telah aku dapatkan. Harta dan jabatan peninggalan Pak Budi tidak membuatku nyaman. Wanita wanita yang mengelilingiku justru .membelengguku. Bahkan sex yang begitu diagung agungkan oleh para pemujanya, hanya mampu memberiku kenikmatan beberapa menit.
"Kok diam, Kang? Apa kang Ujang juga tidak percaya pada kami?" tanya Rani
Aku hanya menatap gadis cantik, berbeda sekali dengan wajah ayahnya yang buruk. Kenapa pulang Codet menyuruh anak anaknya mencariku? Apa benar untuk balas dendam atas kematian ayahnya seperti kecurigaan Bu Dhea.
Jelas jelas aku tidak terlibat dengan kematian yah mereka, bahkan aku tidak kenapa ayah mereka mati. Itu bukan urusannku. Aku hanya anak bau kencur yang dipaksa menghadapi situasi sulit seperti ini. Perlahan aku menggelengkan kepala berusaha membuang beban yang kurasakan.
"Kang Ujang juga benar benar tidak percaya kepada kami?" kata Rani sambil berusaha mendengar isak tangisnya yang mungkin akan pecah.
Hal yang tidak terduga terjadu, Rani tiba tiba membuka pakaiannya hingga bugil dan Rini mengikuti jejak kakaknya. Yang membedakannya adalah, Rani tidak berusaha menutupi ketelanjangannya. Sedangkan Rini masih berusaha menutupi dada dan selangkangan dengan ke dua tangannya.
"Apa maksud kalian?" tanyaku. Pertanyaan bodoh yang tidak perlu jawaban.
"Kami akan menyerahkan keperawanan kami sebagai bukti bahwa kami butuh pertolongan, Kang Ujang." kata Rani dengan suara yang kembali tegas. Kebulatan tekad yang luar biasa. Sebegitu luar biasakah masalah yang mereka hadapi sehingga harus menyerahkan keperawanan mereka.
"Kenapa kalian minta perlindungan? Memangnya nyawa kalian terancam? " tanyaku heran. Entah kenapa kontolku tidak terusik dengan tubuh indah ke dua gadis itu.
"Iya, Ayah menyuruh kami ke Kang Ujang karena nyawa kami terancam. Cuma Kang Ujang dan Pak Karta yang bisa menyelamatkan nyawa kami." Rani menatapku dengan penuh harap.
Entah keberanian dari mana, Rini yang sejak kemarin hanya diam tiba tiba menghampiriku dan meraih tanganku yang terkulai di sandaran kursi. Tanganku ditempelkan ke memeknya yang tanpa bulu. Gerakan tangannya begitu kaku dan canggung.
"Akang boleh ngambil perawan Rini dan Kak Rani." kata Rini terdengar malu malu tapi keberaniannya mengambil keputusan mengalahkan rasa malunya yang besar.
Aku mulai tergoda, tanganku menyentuh memek seorang gadis perawan yang lunak dan hangat dihiasi bulu tipis yang jarang.
Melihat keberanian adiknya, Rani menarik tanganku. Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, aku berjalan mengikuti kemauanya menuju ranjang.
Tiba tiba ketukan pintu kamar mengagetkan kami.
"Siapa ?" tanyaku sambil menuruh Rani dan Rini memakai baju mereka.
"Saya, Kang.!" kata Pak Supir membuatku menarik nafas lega.
Setelah Rani dan Rini berpakaian, aku membuka pintu kamar
"Ada apa, Pak?" tanyaku.
"Tadi saya nelpon Pak Karta, kita disuruh ke Bogor sekarang. Ada tempat untuk menyembunyikan anak anaknya Codet." kata Pak Supir.
******
Jam 5 sore kami berangkat ke Bogor. Perjalanan yang memakan waktu 4 jam. Sampai gerbang Tol Bogor jam 9 malam. Supir mengarahkan mobil ke alamat yang diberikan lewat telpon. Tentu saja Pak supir lebih tahu alamat yang dituju.
Kami memasuki perkarangan rumah yang besar. Disamping rumah ada jalan dan pintu pagar tinggi sehingga tidak terlihat dari luar. Seseoran berlari membuka pintu sehingga mobil bisa masuk ke dalamnya.
Ternyata di dalamnya ada rumah petakan berjajar saling berhadapan. Ada 10 rumah di setiap sisinya. Totalnya 20 rumah. Tanpa kusadari, hatiku gentar melihat beberapa orang berwajah sangar duduk duduk di teras. Mereka menatap kami seperti melihat sesuatu yang aneh.
Rani dan Rini memegang tanganku kencang. Terlihat wajah mereka yang ketakutan. Tubuh mereka memeluk tanganku meminta perlindungan.
Ternyata Mang Karta mempunyai tempat seperti ini yang seperti sebuah markas dengan penjagaan berlapis. Pak Supir mengajakku masuk salah satu rumah yang berada di tengah.
"Kang Karta nyuruh tunggu di sini. Besok Kang Karta ke sini." kata seorang pria berwjah sangar sambil memberikanku kunci rumah.
Rumah yang aku masuki mempunyai dua kamar tidur yang berdampingan. Perabotannya juga terbilang komplit, di ruang tamu ada kursi dan meja serta tv 21in.
"Kalian istirahat saja di kamar. Kalian aman di sini." kataku. Kata aman sebenarnya aku tujukan untuk diriku sendiri.
"Takut, Kang." kata Rani. Tangannya memegang tanganku dengan erat.
"Kalian aman di sini." kataku berusaha meyakinkan mereka walau sebenarnya aku tidak yakin. Karena aku tidak bicara langsung dengan Mang Karta lewat telepon. Tapi lewat Pak Supir."Temenin tidurnya, Kang." kata Rini gadis berusia 18 tahun yang sempat kuelus memeknya. Kalau saja Pak supir tidak mengetuk pintu, keperawanan dua gadis cantik ini pasti sudah hilang.
"Takut kenapa?" tanyaku heran. Toch rumah ini sudah terkunci. Tapi koncikan bisa didobrak. Entah siapa yang sebenarnya ketakutan. Mereka atau aku.
"Takut diperkosa, Kang. Kang Ujang liatkan, tadi di luar semuanya cowok
" kata Rani gelisah.
"Kalau kalian tidurnya aku temenin, nanti malah aku yang merkosa kalian." kataku berusaha mencairkan ketegangan.
"Gak apa apa kalau yang merkosa Kang Ujang, kan tadi juga Kang Ujang udah ditawarin." kata Rini menunduk malu.
"Kang Ujang kebanyakan ngomong. Emang mau merkosa Rani apa Rini?" tanya Rani menjadi lebih berani.
"Rani dan Rini." kataku sambil menarik tangan ke dua gadis itu masuk kamar.
Aku langsung merebahkan tubuhku di ranjang, berusaha menghilangkan rasa kelah setelah menempuh perjalanan jauh. Aku berusaha mengabaikan pikiran buruk terhadap tempat ini.
Mataku terpejam merasakan tubuhku sedikit rilleks dan otot otot ditubuhku mulai mengendur. Kubiarka ke dua gadis anak Codet dengan pikiran mereka.
Spring bed terasa bergoyang ketika Rani dan Rini naik ke ranjang dan tidur di samping kiri dan kananku. Hampir saja aku tertidur kalau saja tidak kurasakan salah satu diantara gadis itu meraba kontolku yang masih bersembunyi di balik celana.
Reflek tanganku meraih tangan yang meraba kontolku dan menoleh ke arah pemilik tangan. Ternyata Rini yang sudah dalam keadaan bugil berbaring di sisi kiriku. Di sisi kananku Rani juga sudah berbaring dalam keadaan bugil. Sebenarnya aku yang mau merkosa mereka atau mereka yang akan merkosa aku.
"Kok kalian pada telanjang?" tanyaku heran.
"Katanya Kang Ujang mau merkosa kami !" kata Rini agresif. Gadis ini lebih agresif dari kakaknya. Rini membuka bajuku dan juga celanaku hingga bugil. Matanya terbelalak melihat kontolku yang masih setengah tegang.
"Ich, gede amat." teriaknya kaget.
"Ich, pasti sakit kalau masuk memek." kata Rani menutup mulutnya.
"Kaya kontol di film bokep." kata Rini memberanikan diri memegang kontolku yang semakin tegang melihat tubuh ke duanya yang bugil.
"Makin gede aja!" kata Rani ikutan memegang kontolku.
Kubiarkan saja ke gadis itu takjub dengan ukuran kontolku yang sudah berhasil menaklukan banyak wanita.
Kulihat Rini membungkuk mencium kontolku dengan bibirnya yang tebal, lidahnya terjulur menjilat, terlihat kaku dan canggung. Mungkin dia ingin praktekan pengetahuannya dari film film porno yang dilihatnya.
"Rini, kok kamu jilatin gitu?" kata Rani yang terlihat risih melihat adiknya yang begitu nekat.
Aku menarik Rani ke pelukanku. Kucium bibirnya dengan bernafsu dan tanganku meremas payudaranya yang besar dan kenyal.
Entah sejak kapan Rini berjongkok dan memegang kontolku yang digesek gesekan di belahan memeknya yang mulai basah.
"Aduhhh sakitttt.!" Rini merintih tertahan saat kontolku merobek selaput daranya. Aku melihat kontolku sudah terbenam di memeknya. Bukan aku yang merkosa, tapi aku yang sedang diperkosa gadis belia itu.
"Rini, gila kamu...!" kata Rani menoleh ke arah adiknya, melihat kontolku sudah terbenam di memek Rini.
"Bukan aku yang merkosa adikmu. Tapi adikmu yang merkosa aku." bisikku di telinga Rani yang menunduk malu melihat kelakuan adiknya yang binal.
Rani mulai terpancing oleh kebinalan adiknya, dia menyodorkan payudaranya ke mulutku yang menyambutnya dengan bernafsu. Payudara terbesar ke dua setelah payudara Marni yang mengeluarkan ASI.
Aku biarkan Rini memacu tubuhku karena aku begitu asik dengan payudara jumbo Rani yang sangat menggiurkan.
Tanganku meraba memek Rani yang mulai basah karena terangsang dan akan memudahkan kontolku merobek selaput daranya.
"Kak Rani, memekku sakit tapi enak...!" kata Rini yang semakin asik memacu tubuhku.
"Mau aku jilatin gak, memek kamu?" tanyaku ke Rani. Wajahnya langsum merah karena malu. Tapi di mengikuti perintahku berjongkok di atas wajahku dan aku melahap hidangan yang tersaji dihadapanku dengan rakus.
Tiba tiba Rini menekan pinggulnya semakin keras diringi geliat tubuhnya menggapai puncak orgasme pertamanya. Hingga pada ahirnya, gadis belia itu terkapar di sampingku. Nafasnya mulai kembali normal.
"Ayo, Ran. Sekarang kamu masukin kontolku ke memekmu seperti Rini." kataku menyuruh Rani.
"Aku di bawah aja, Kang." kata Rani berusaha menolak mengikuti jejak Rini memperkosa aku.
"Kan kamu yang minta diperawanin...!" kataku.
"Gak apa apa, Kak. Sakitnya cuma waktu masuknya aja. Setelah itu enak banget." kata Rini memprovokasi kakaknya.
Ahirnya Rani mengalah, dia berjongkok dan memegang kontolku terus digesek gesekan ke belahan memeknya yang sudah basah karena jilatanku. Perlahan kontolku mengoyak selaput daranya yang lebih tipis dari milik adiknya.
"Aduh sakittt..!" Rani meringis merasakan benda asing masuk bagian tubuh terdalamnya.
Gadis itu terdiam, takjub dengan benda asing yang berada di dalam bagian terdalam tubuhnya. Matanya menatapku sayu. Perlahan Rani bergerak memacu tubuhku, seperti seorang joki yang belajar menunggang kuda. Gerakannya kaku dan canggung.
Rini agresif mencium bibirku, walau canggung dan kaku. Tapi ciuman seorang gadis yang menyerahkan keperawanannya, terasa nikmat.
Aku telah menjelma menjadi seorang Pangeran yang sedang dilayani hasrat seksualnya oleh dua dayang pilihan. Rani berpacu dengan teratur dan lembut. Kebalikan dari adiknya yang binal dengan sisi liarnya yang mulai muncul.
Hingga ahirnya aku menyerah, tubuhku yerhempas oleh badai kenikmatan yang membawaku ke langit ke 7. Tubuhku menyemburkan beribu benih kehidupan ke dalam tubuh Rani yang menyambutnya dengan rintihan panjang. Ya pada saat bersamaan Rani terhempas oleh orgasme pertama dan terindahnya.
Kami berpelukan menggapai kenikmatan yang hanya sesaat. Kenikmata yang membuat kami mencapai puncak nirwana.
******
Pagi pagi ada orang yang menggedor pintu membangunkan kami yang sedang tertidur nyenyak setelah semalaman mengayuh birahi. Entah berapa kali aku menyemburkan benih benih kehidupan ke dalam tubuh Rani dan Rini secara bergantian sehingga aku kehabisan tenaga dan tidur dalam pelukan dua gadis cantik.
Aku bangun begitu juga Rani dan Rini. Kami segera berpakaian. Aku menyuruh ke dua gadis itu tetap berada di kamar.
Ternyata seseorang membawakan kami sarapan dan kopi. Mereka berpesan agar setelah sarapan aku ke halaman belakang karena akan ada yang harus dibicarakan.
Setelah sarapan akupun pergi ke halaman belakang sendiri. Aku berpesan ke Rani dan Rini untuk tetap di dalam rumah.
Di halaman belakang sudah berkumpul beberapa orang. Kuperkirakan ada dua puluh orang dan mereka semua memakai baju pangsi yang biasanya dipakai untuk berlatih silat.
Beberapa orang di antara mereka sedang berlatih dengan temannya. Tempat ini sperti sebuah perguruan silat. Cuma anggotanya semuanya sudah berumur 30-50 tahun. Berarti aku yang paling muda dibandingkan semua yang hadir.
Begutu melihat kehadiranku, mereka semua berhenti berlatih. Mereka menatapku. Mata mereka terlihat waspada melihat kehadiranku. Kewaspadaanku meningkat hingga ke level tertinggi.
"Ini anaknya Kang Gobang! Apa dia juga sehebat Kang Gobang?" tanya seseorang yang memandangku remeh.
Aku tersinggung mendengar orang itu begitu meremehkanku. Tapi aku juga tidak bisa sembrono memancing pertarungan yerbuka apa lagi harus menghadapi orang banyak yang ahli bela diri.
Bersambung.........