Aku terhentak mendengar nama Bi Narsih, bagaimana mungkin wanita yang aku kenal bisa terlibat dalam sebuah rencana besar. Apa mungkin Bi Narsih yang menyebar photo mesum Pak Budi?
Bu Dhea masih tergeletak di meja kerjaku, pahanya terbuka lebar mempertontonka belahan memeknya yang membuka dan dari dalamnya perlahan mengalir pejuhku. Bu Dhea mengambil cairan pejuhku dan menelannya dengan lahap. Bu Dhea menatapku menggoda.
"Bu Dhea gak bohong kalau Bu Narsih yang mengaturku ke Gunung Kemukus? Apa dia juga yang menyebarkan photo photo Pak Budi?" tanyaku semakin penasaran.
Bu Dhea duduk di meja, kakinya kirinya menginjak sandaran tangan kursi yang aku duduki sehingga memeknya tepat menghadapku.
"Bu Narsih tidak terlibat dengan masalah photo, karena Bu Narsih dan Pak Budi sudah membuat kesepakatan untuk menyerahkan semua Club dan bisnis prostitusi ini ke Kang Ujang. Tadinya Pak Budi sudah berniat mundur dan menyerahkan semuanya ke Dhea, tapi Dhea menolaknya.' kata Bu Dhea, jari kakinya membelai kontolku yang sudah kembali masuk sarangnya.
Kubiarkan saja jari kaki Bu Dhea membelai kontolku. Pikiranku lebih tertuju, bagaimana jadinya kalau waktu itu Ningsih ritual dengan pria lain lalu hamil. Bukankah rencana untuk menikahkan Ningsih denganku akan berantakan. Rencana yang cenderung ke arah judi.
"Kenapa Bu Dhea tidak mau mengambil alih bisnis hitam Pak Budi?" tanyaku heran. Bisnis yang sangat menggiurkan dengan jumlah uang yang besar.
"Dhea tidak punya kemampuan berada di pucuk pimpinan. Kang Ujang akan segera tahu bisnis macam apa yang sekarang Kang Ujang jalani." kata Bu Dhea, turun dari meja. Segera dia memakai celana dalamnya setelah melihatku tidak merespon godaanya.
Hei, bagaimana dengan nasib Ratna setelah kematian Codet? Tiba tiba aku teringat dengan gadis yang sudah menjadi anak tiriku.
"Bu Dhra tahu di mana rumah Codet?" tanyaku ke Bu Dhea yang mau membuka pintu.
Wanita itu berbalik ke arahku, lalu diciumnya bibirku dengan bernafsu sementara tanganya meremas kontolku. Wanita yang hyper sex dan tidak pernah puas. Membuatku bergidik ngeri.
"Kang Ujang tentu menginginkan anak gadis Codet yang cantik cantik, kan?" tanya Bu Dhea dengan kerling matanya yang binal. Bu Dhea mengangkat telpon lalu memencet tombolnya.
"Bawa burung burung ke ruangan Bos, !" Bu Dhea memberi perintah ke seseorang.
"Setiap penguasa yang mati terbunuh oleh lawan lawannya, maka daerah kekuasaannya akan menjadi milik orang yang mengalahkannya. Termasuk anak dan istrinya bisa kita ambil kalau orang yang mengalahkannya menginginkannya." kata Bu Dhea menjelaskan tanpa kupinta.
Aku tidak begitu mengerti apa yang dikatakan Bu Dhea. Baru saja aku mau bertanya, Bu Dhea sudah mulai menjelaskan.
"Codet punya 3 orang anak gadis yang, semuanya sudah kita amankan. Sekarang tergantung Kang Ujang mau dijadikan apa mereka. Bisa saja mereka kita pekerjakan di Club." kata Bu Dhea.
Ratna, pasti salah satunya Ratna. Hatiku bergetar mengingat gadis yang sempat kuanggap sebagai adikku. Lalu kenapa ke 3 gadis itu sekarang ada di sini? Apa yang terjadi, sebenarnya? Teka teki yang tidak pernah bisa kutebak.
Baru saja aku mau kembali bertanya, suara ketukan dipintu menghentikan niatku. Bu Dhea mempersilahkannya masuk.
Tiga orang pria berwajah sangar msuk dengan masing masing membawa seoran gadis dan salah satunya tepat seperti dugaanku adalah Ratna yang sekarang menjadi anak tiriku. Aku segera menghampiri Ratna yang menunduk ketakutan.
"Ratna, kamu tidak apa apa? " tanyaku lembut. Ratna mengangkat wajahnya melihat ke arahku lalu langsung memelukku.
"A Ujang, tolong Ratna !" kata Ratna menangis dalam pelukanku.
Bu Dhea menatapku heran. Beberapa saat kami saling bertatapan dengan pikiran berbeda. Ahirnya Bu Dhea berhasil mengendalikan dirinya, dia menyuruh ke 3 pria itu untuk menunggu di luar.
"Apa maksudnya, Bu Dhea?" tanyaku setelah ke 3 pria itu keluar.
"Terserah Kang Ujang, ke 3 gadis ini mau diapain. Kang Ujang sekarang yang jadi Bosnya." kata Bu Dhea singkat.
"Siapa nama kalian?" tanyaku ke dua gadis yang berdiri ketakutan. Gadis gadis belia yang cantik, bagaimana mungkin mereka mempunyai ayah berwajah buruk.
"Aku Rani dan ini adikku Rini" kata gadis tertua yang umurnya kuperkirakan 19 tahunan.
"Kalian boleh pergi, aku jamin orang orangku tidak akan ada yang mengganggu kalian." kataku mempersilahkan mereka pergi. Ternyata mereka bukannya pergi, malah ke dua gadis itu memegang tanganku minta pertolongan.
"Tolong kami Kak, kami takut." kata ke dua gadis itu.
"Kalian bisa pulang ke rumah. Atau kalian mau aku antar?" tanyaku.
"Kami gak mau pulang ke rumah, nanti kami akan dijadikan pelacur oleh musuh musuh ayah kami. Ayah kami sudah meninggal, sudah tidak ada yang akan melindungi kami." kata Rani, gadis itu memohon.
"Iya, Kak. Kami mau kerja apa saja buat Kakak, tapi jangan jadikan kami pelacur." kata Rini sambil menangis ketakutan.
Setlah berpki agak lama, ahirnya aku memutuskan untuk menitipkan ke dua gadis itu ke Anis. Setelah itu baru aku pikirkan rencana selanjutnya. Sekarang yang paling penting adalah membawa Ratna ke Anis.
Malam itu juga aku berangkat ke Cirebon mengantarkan Ratna sekaligus menitipkan Rani dan Rini.
Terjadi hal menjengkelkan ketika mobil sudah masuk daerah Cirebon, Rani meminta dicarikan hotel untuk menginap dia dan adiknya. Mereka akan menungguku di Hotel dan ikut pulang ke Jakarta. Padahal mereka sudah kusuruh pulang, tapi mereka memaksa ikut ke Cirebon dan tinggal dengan Ratna. Setelah perdebatan singkat, ahirnya aku menuruti kemauan mereka.
Aku menyuruh Supir sekaligus pengawalku yang menggabtikan tugas Mang Udin untuk sementara waktu. Sedangkan aku memilih naek becak ke rumah Pak Shomad.
*****
Sampai rumah Pak Shomad jam 3 malam. Aku dab Ratna berjalan ke samping rumah, lalu mengetuk jendela kamar Anis perlahan.
"Anis, bukan pintu, ini A Ujang." kataku mengetuk nendela kamar dan memanggil nama Anis beberapa kali.
"Iya, A..!" terdengar Anis menjawab lalu membuka gordyn jendela. Matanya terbelalak melihat Ratna bersamaku.
Aku menuntun Ratna kembali ke depan. Tidak lama Anis membuka pintu dan berteriak memeluk Ratna yang membalas pelukannya. Dari belakang aku melihat Pak Shomad dan istrinya yang terbangun dengan kedatanganku. Mereka terlihat terkejut melihar Ratna yang datang bersamaku.
Pak Shomad menyuruh kami masuk ke ruang keluarga. Lalu memintaku menceritakan bagaimana kejadiannya sampai Ratna bersamaku. Awalnya aku agak ragu bercerita apa lagi kalau sudah menyerempet masalah Gunung Kemukus. Jadi masalah Gunung Kemukus sengaja aku lewati.
"Jadi sekarang kamu sudah menjadi Bos Club malam warisan kakak iparmu?" tanya Pak Shomad takjub dengan nasibku yang dianggapnya sangat beruntung.
"Hati hati. A. " kata Anis yang tampak sangat hawatir mendengar aku sudah menjadi Bos Club malam. Tentunya dia tahu resiko yang aku hadapi karena dia pernah menjadi istri Codet.
"Iya Pak, sekarang Ujang sudah jadi Bos Club malam. Iya, Nis. A Ujang akan selalu hati hati. Nabti sore A Ujang pulang lagi, belom bisa lama lama di sini. " kataku. Wajah Anis terlihat kecewa. Pak Ujang menyuruh kami istirahat. Aku tidur di kamar dulu pertama kali aku menginap, sedangkan Anis menemani Ratna, tentu mereka kangen. Jadi terpaksa aku harus tidur sendirian, gak bisa nidurin istriku.
Ternyata aku salah, tidak lama aku rebahan setelah memakai baju yang sudah disiapkan Anis. Anis mengetuk pintu memanggilku. Segera aku membuka pintu.
"Anis gak nemenin Ratna?" tanyaku heran sekaligus senang.
"Ratna nyuruh Anis nemenin, A Ujang. Sore kan A Ujang sudah pulang ke Jakarta. A, Anis takut." kata Anis memelukku dengan kencang. Rambutnya yang harum membuatku terangsang.
"Takut kenapa, Nis?" tanyaku sambil balas memeluk tubuhnya yang montok.
Anis tidak menjawab, dia melepaskan pelukannya dan membuka pakaiannya hingga bugil.
"Takut orang yang sangat ditakuti Codet akan mencelakakan A Ujang." kata Anis sambil membuka seluruh pakaianku. Lalu berjongkok melahap kontolku yang sudah tegang.
Mataku terpejam menikmati lidah Anis yang mengelik menimbulkan rasa geli dan nikmat yang menjadi satu.
"A Ujang tahu siapa yang membunuh Codet?" tanya Anis berdiri menatapku. Tangannya memeluk leherku.
Aku menggeleng, kuangkat tubuh Anis dan meletakkannya di atas kasur empuk. Aku mencium bibirnya dengan mesra. Berusaha mengusir pikiranku yang selama beberapa hari ini terasa kusut. Anis membalas ciumanku dengan mesra. Setelah selesai berciuman, Anis berbisik.
"Anis mencintai Aa." katanya sambil menciumi leherku. Bisikan Anis membuatku sedikit rileks setelah menghadapi berbagai masalah.
Anis tiba tiba mendorong tubuhku yerlentang dan menindihku. Aku kaget dengan kekuatan Anis yang mampu membalikka tubuhku dengan cepat tanpa kusadari. Hanya seorang pesilat tangguh yang bisa melakukannya.
Tiba tiba aku teringat dengan perkataan Bi Narsih yang menyuruh selalu waspada terhadap Anis. Tanpa dapat kucegah kewaspadaanku kembali meningkat.
"A Ujang kok wajahnya jadi tegang begitu?" tanya Anis yang heran melihat wajahku yang menjadi tegang.
"Gak apa apa, cuma kaget Anis bisa ngebalikkin badan Aa dengan mudah. Anis bisa silat?" tanyaku mulai menyelidikinya.
"Setelah bercerai dengan Codet, Anis belajar silat ke Pak Shomad." kata Anis berjongkok di atas kontolku yang masih tegang walau aku sempat kaget. Tanpa pemanasan, Anis masukkan kontolku ke bagian terdalam memeknya yang lembab.
Kembali tubuh dan pikirannku rileks oleh sensasi yang ditimbulkan oleh gesekan kontolku dan dinding memek Anis yang terasa nikmat. Kewaspadaan yang sempat timbul, hilang begitu saja.
"Ennak, A....!" kata Anis terus memacu tubuhku dengan irama yang perlahan, lalu menjadi cepat. Anis begitu pintar memberikan kenikmatan yang berbeda.
"A, Anis gak mau kehilangan A Ujang. Anis gak mau anak kita lahir tanpa seorang ayah..!" kata Anis meraih tanganku agar meremas dadanya yang indah dan sekal.
"Anis hamil?" tanyaku. Aku tidak tahu harus senang atau sedih. Apakah semudah ini aku menghamili seorang wanita? Bisa saja dia hamil oleh pria lain, aku jangan terlalu percaya kepda Anis, itu yang Bi Narsih katakan padaku.
Kupeluk tubuh Anis, lalu aku balikkan seperti tadi Anis membalikkan tubuhku. Sekarang aku yang memacu tubuhnya yang terlentang pasrah.
"Terussss, Aa. Ennak.!" Anis menatapku sayu, tangannya merangkul pinggangku yang memacu tubuhnya.
Hingga ahirnya aku meraih puncak kenikmatan tanpa dapat kutahan lagi. Bendunganku jebol membanjiri lobang yang menyimpan sejuta kenikmatan.
Kami terbaring kelelahan setelah mengayuh birahi yang cukup lama di ranjang sempit yang sebenarnya diperuntukkan untuk satu orang.
"A, hati hati dengan seseoarang yang sangat ditakuti oleh, Codet. Seseorang yang berulang kali berusaha dicelakai tapi orang itu tetap hidup tanpa cedera sedikitpun. Duli Codet pernah berpesan ke Anis, apa bila terjadi sesuatu pada dirinya, Anis disuruh minta perlindungan ke Kang Karta, satu satunya orang yang bisa menghadapinya." kata Anis lagi.
Mang Karta? Kenapa harus meminta perlindunga Mang Karta? Kenapa semua masalah kembali ke orang orang terdekatku.
Tiba tiba Ratna mengetuk pintu dan memanggil ibunya. Kami bergegas memakai pakaian kami. Anis membuka pintu kamar. Ratna langsung masuk tanpa dipersilahkan.
"A Ujang, eh salah. Pak, kata pak Codet kalau terjadi apa apa dengannya, Ratna harus nyari Pak Ujang ngasih surat supaya diberikan ke Pak Karta." kata Ratna.
"Mana suratnya ?" tanyaku. Ada rahasia apa lagi. Kenapa sekarang petunjuk mengarah ke Mang Karta dan Bi Narsih Mang Karta dan Bi Narsih orang orang terdekatku.
Ratna memberikanku sebuah surat yang ditujukan ke Mang Karta.
Bersambung......