"Apa, Pak Budi?" tanyaku terkejut. Hal yang masuk akal. Berarti yang memberi kios dan modal cukup banyak ke Mas Gatot adalah Pak Budi. Yang jadi pertanyaanku adalah, untuk apa? Agar Lilis mau melakukan ritual denganku. Mungkin ini jawaban masuk akal. Tapi kalau ini jawabannya berarti tidak ada hubungannya dengan BIG BOS yang menurut kecurigaan Mang Karta adalah ayahku.
Kepalaku rasanya mau pecah dengan pikiran dan argumenku. Semuanya menemui jalan buntu. Apa lagi kematian Codet sudah menutup jalanku untuk mengetahui siapa dalang semua ini.
Kutinggalkan Mas Gatot dan Mbak Wati yang mengomel karena hasratnya tidak tersalurkan.
Jam di tanganku menunjukan angka 15:00. Aku masuk ke dalam wartel menelpon Bu Dhea mengabarkan tidak akan masuk kerja. Malu juga minta ijin tidak masuk kerja di hari ke duaku. Tapi tidak apalah, kan aku bosnya.
Kepalaku benar benar tidak mampu berpikir lagi. Aku lebih cocok jadi bos Mie Ayam. Tidak perlu berpikir yang rumit rumit. Tinggal ngitung Mie habis berapa kilo, ayam berapa kilo dll. Simple, tidak seperti sekarang. Kepalaku mau pecah.
Ahirnya aku sampai rumah tanpa aku sadari. Ternyata sebingung bingungnya aku masih ingat rumah. Tapi aku tidak langsung pulang melainkan ke rumah kontrakan ibuku.
Ibuku terlihat sibuk menurunkan barang dagangannya dari gerobak di bantu adik tertuaku. Aku segera membantu mereka. Ibuku tidak banyak berkomentar, melihat wajahku yang terlihat kusut. Selalu begitu dari dulu, Ibu akan membiarkanku saat wajahku terlihat kusut. Toh pada ahirnya aku akan bicara mengeluarkan unek unekku.
"Kamu dari mana? Gak pulang ke rumahmu?" itu pertanyaan yang tadi dia ucapkan dan aku menjawabnya dengan gelengan kepala.
Selesai memberskan semua peralatan berjualan aku pulang. Aku berpikir bagaimana cara bertanya ke Lilis tanpa menyinggung perasaanya. Karena aku yakin, Lilis juga adalah korban.
Apakah aku juga korban setelah aku mendapatkan banyak keuntungan dari semuanya. Entahlah. Otakku sudah tidak mampu lagi berpikir.
"Aa kenapa?" tanya Ningsih yang membukakanku pintu.
Aku tersenyum lalu mengecup bibirnya yang hangat dan terlihat selalu basah. Kutangkul pundaknya berjalan ke ruang keluarga, Lilis tanpak asik memeriksa tumpukan bon bon Toko Agen Sembako yang bertumpuk.
"Lilis waktu diajak Pak Budi ke Gunung Kemukus kenapa mau?" tanyaku sambil duduk di hadapannya.
Sejenak Lilis menatapku. Heran dengan pertanyaanku yang tiba tiba.
"Karena kata Pak Budi yang akan jadi pasangan Lilis, A Ujang." kata Lilis sambil meneruskan memeriksa bon bon yang bertumpuk.
"A Ujang gak kerja?" tanya Ningsih menyenderkan kepalanya ke pundakku.
"Kata Bu Dhea gak usah tiap hari datang, semua urusan sudah ditangani Bu Dhea." kataku berbohong.
"Aa kok jadi kepikiran kita bisa ketemu di Gunung Kemukus ya?" kataku mulai memancing Ningsih.
"Lilis jadi heran, kenapa A Ujang nanya masalah gunung kemukus?* tanya Lilis menatapku penuh selidik.
" Heran aja dengan nasib Aa yang ajaib, dari seorang penjual Mi Ayam keliling tiba tiba punya istri secantik Ningsih dan sebentar lagi akan menikahi wanita secantik Lilis. Dari seorang penjual Mi Ayam tiba tiba jadi Bos Club malam terkenal di Jakarta." kataku. Pikiran melayang .asa masa sulit jadi kuli bangunan di Jakarta, tidur di bedeng berdesakan dengan berlas kardus. Meningkat jadi penjual Mi Ayam, tinggal di rumah petakan bersama beberapa orang. Tidur masih beralaskan kardus.
Setelah ritual di Gunung Kemukus kehidupanku berubah total.Hanya dalam waktu 4 bulan kehidupanku berubah 180 derajat. Hanya bukan aku yang berubah, bahkan pasanganku Mbak Wati pun kehidupannya meningkat drastis.
"A Budi yang nganjurin Ningsih ke Gunung Kemukus. Katanya bisa menghilangkan semua kesialan Ningsih. Tadinya Ningsih gak mau. Tapi lama lama kepikiran juga sampe kebawa mimpi ketemu kakek kakek yang nyuruh Ningsih ke Gunung Kemukus. Ahirnya Ningsih nelpon A Budi. Ningsih dianter ke Gunung Kemukus sama teman Pak Budi." kata Ningsih menjelaakan.
"Siapa yang nganter?" tanyaku agak cemburu. Pasti cowok.
"Bu apa namanya, Ningsih gak nanya. Orangnya seperti Ayu Azhari." kata Ningsih membuatku terkejut. Berarti Bu Dhea tahu tentang semua ini.
Kulihat Lilis tidak terkejut mendengar keterangan Ningsih, berarti Lilis sudah lama tahu.
"Lilis tahu hal ini?" tanyaku.
"Iya, Lilis tahu. Emangnya kenapa, A? Dari tadi A Ujang nanyain masalah ritual Gunung Kemukus. ?" tanya Lilis merasa curiga.
"Gak ada apa apa. Aa masuk kamar dulu ya, mau mempelajari berkas berkas peninggalan Pak Budi." kataku berpamitan masuk kamar.
Di dalam kamar aku mengambil buku agenda peninggalan Pak Budi .Aku membaca buku agenda peninggalan Pak Budi, mungkin aku bisa menemukan petunjuk di dalamnya. Tpi nihil. Tidak ada petunjuk apapun di dalamnya. Aku hampir putus asa. Satu satunya petunjuk mengarah ke Bu Dhea. Harusnya aku tadi berangkat kerja jadi bisa mengorek keterangan darinya.
Satu satunya cara untuk mengetahuinya adalah berhadapan lanhsung dengan si Dalang dan apa hubungannya dengan semua ini. Kalau aku harus menyelidiki niat Pak Budi yang mengatur aku agar melakukan ritual, kurasa adalah pekerjaan yang sia sia.
Saat aku berpikir ke situ tiba tiba jatuh selembar kertaa bukti tranfer uang sebesar Rp.xxx.xxxz.xxx jumlah yang sangat besar ditujukan untuk Mas Gatot. Juga ada rekening bukti transfer Tuan xxx sebesar Rp.xxz.xxx.xxx ke Pak Budi. Dan itu semua tidak tertulis di berkas pembukuan.
Untuk apa Pak Budi transfer uang sebesar itu ke Mas Gatot? Dan jumlah yang sama ditranfer ke Pak Budi dari Bapak xxx.
Berarti ada seseorang di balik ini semua. Lalu siapa? Ayahku? Sungguh tidak masuk akal bagi logikaku yang memandang segala sesuatu dengan lugas. Dan sekarang aku berhadapan dengan teka teki yang tidak aku pahami.
*****
Keesokan harinya aku menemui Bu Dhea di Club. Tekatku sudah bulat untuk memberikan bukti transfer ke Bu Dhea.
"Bu Dhea tahu tentang ini?" tanyaku memperlihatkan bukti transfer yang aku temukan.
Bu Dhea menelitinya, lalu menggelengkan kepalanya.
"Saya gak tahu. Kang" kata Bu Dhea singkat.
"Bu Dhea tahu siapa yang ngirim uang ke mendiang Pak Budi?" tanyaku lagi.
"Kalo dari namanya seperti kenal, Kang. Tapi sudah lama jadi agak lupa." kata Bu Dhea yang terlihat heran dengan pertanyaanku.
"Sebenarnya ada apa, Kang?" tanya Bu Dhea yang tiba tiba sudah duduk di pangkuanku dengan 2 kancing bagian atas kemejanya yang terbuka sehingga aku bisa melihat gundukan payudaranya yang putih.
"Bu, saya lagi pengen konsen." kataku menolak dengan halus saat Bu Dhea mencium kuping belakangku. Entah kenapa aku tidak terpancing dengan godaan Bu Dhea.
Padahal tanpa digodapun setiap pria akan terangsang melihat kemolekan dan kecantikannya. Tapi sekarang pikiranku tertuju dengan teka teki yang tidak aku ketahui jawabannya. Aku tidak terbiasa berpikir sesuatu yang rumit.
"Kamu sedang berpikir tentang penyebab kematian Pak Budi, ya?" kata Bu Dhea berbisik sambil menjilat belakang telingaku.
Kematian Pak Budi? Kenapa aku tidak berpikir ke situ. Aku lebih asik memikirkan urusanku sehingga lupa mengenai penyebab kematian Pak Budi. Bisa saja dia dikorbankan agar aku naik ke posisiku yang sekarang.
"Iya, Bu Dhea. Apa Bu Dhea tahu penyebab kematian Pak Budi? Siapa yang terlibat dengan pembunuhan Pak Budi?" tanyaku. Perhatianku kini teralih ke Bu Dhea yang sedang berusaha memancing gairahku.
Bu Dhea tidak menjab, tanganya menyusup masuk ke balik kemejaku yang sejak kapan kancingnya terbuka. Tangannya memelintir puting dadaku yang sensitif sementara bibirnya begitu aktif menciumi leherku.
"Pak Budi bunuh diri setelah membunuh kekasih prianya. Itu kenyataan yang sebenarnya." kata Bu Dhea turun dari pangkuanku dan berjongkok di antara kakiku. Tangannya begitu lincah membuka ikat pinggang dan resleting celanaku.
"Tapi ada seseorang yang.mengatur agar Pak Budi bunuh diri." melanjutkan perkataannya sambil mengeluarkan kontolku yang mulai terpancing gairahnya.
"Maksud Bu Dhea Pak Budi dibunuh, lalu dibuat seperti bunuh diri?" tanyaku teringat dengan film film yang sering aku tonton tentang pembunuhan dan korban pembunuhan dibuat seakan akan bunuh diri.
Bu Dhea tidak menjawab, mulutku tersumpal kontolku yang semakin tegang, terusik oleh kebinalan Bu Dhea.
"Pak Budi bunuh diri setelah membunuh kekasih prianya yang dianggap telah menghianatinya karena mengirim photo saat mereka sedang bermesraan ke Orang Tuanya, sehingga orang tua Pak Budi meninggal terkena serangan jantung.
" jawab Bu Dhea sambil mengocok kontolku dengan cepat.
Kalau tentang photo aku sudah tau. Yang aku heran kenapa Bu Dhea tahu hingga sedetil itu. Dan itu menimbulkan kecurigaanku kepada wanita cantik bertubuh aduhay ini. Kewaspadaanku meningkat memperhatikan Bu Dhea yang kembali mengulup kontolku disertai kpcokan di batangnya.
"Kang Ujang curiga, saya terlibat?" tanya Bu Dhea sambil membuka rok dan celana dalamnya. Matanya menatapku dengan senyum menggoda.
Bu Dhea naik ke pangkuanku, tangannya meraih kontolku dan menerobos memeknya.
"Dhea tidak terlibat dengan rencana melenyapkan Pak Budi. Ada jaringan yang sangat kuat ingin melenyapkan Pak Budi." Dhea tersenyum binal. Tubuhnya bergerak memacu kontolku dengan liar.
"Buat apa Pak Budi dilenyapkan? Salahnya apa?" tanyaku berusaha mengimbangi gerakan liar Bu Dhea. Tanganku meremas pantatnya yang bulat berisi.
"Dhea gak tahu." Wajah wanita cantik itu terlihat begitu menikmati hentakan demi hentakannya yang berirama.
"Lalu kenapa kamu mengantar istriku ke Gunung Kemukus?" aku memegang pantat Bu Dhea dan bangkit berdiri. Kuletakkan pantatnya yang besar di atas meja kerjaku. Akan kutunjukkan dominasiku kepadanya. Aku sekarang bukanlah pemuda lugu yang polos.
"Karena permintaan Pak Budi, rencananya Kang Ujang melakukan ritual dengan Bu Lilis dan Ningsih agar mereka hamil." jawab Bu Dhea. Tangannya mencebgkeram pergelangan tanganku dengan keras. Menahan terpaan badai kenikmatan yang datang bertubi tubii, melambungkan jiwanya ke langit ke tujuh.
"Kenapa aku harus menghamili mereka?" tanyaku berusaha mengorek semua keterangan yang diketahuinya. Aku terus menyerernya dalam pusaran kenikmatan. Tidak kubiarkan dia beristirahat. Kontolku terus menohok bagian terdalam memeknya.
"Agar kamu bisa menikah dengan Ningsih dan otomatis akan lebih mudah mengawasimu." jawab Bu Dhea diiringi teriakan kenikmatan saat kontolku menghujam dasar memeknya dengan hentakan keras membuat matanya mendelik menggapai kenikmatan yang datangnya seperti ombak yang gulung gemulung tampa henti.
"Kenapa mereka harus terus menerus mengawasiku?" tanyaku marah. Kutumpahkan semua kemarahanku dengan menusuk bagian terdalam memek Bu Dhea berulang ulang tanpa henti. Tak kuberi ampun wanita cantik itu dihantam badai kenikmatan bertubi tubi.
"Akuuu tidakk tahuuuu, Kang. Tugasku yang harussssss mengawasimuu?" tubuh wanita cantik itu menggeliat, matanya terpejam dengan nafas tersengal sengal. Tubuhnya sudah basah oleh keringat.
"Siapa yang menyuruhmu?" kataku sembil menghantam dengan keras, menembakkan beribu ribu sel sel kehidupan ke dalam rahim Bu Dhea.
"Sang Dalang......!" teriak Bu Dhea menerima semburan sel sel kehidupan yang bergerak cepat masuk rahimnya...
"Siapa Sang Dalang yang kamu maksud?" tanyaku pelan. Staminaku sudah terkuras habis. Aku jatuh terduduk di kursi kerjaku yang empuk.
"Bu Narsih......!" Bu Dhea menjawab lirih.
Jawaban yang terdengar seperti suara petir yang menyambar di siang hari tanpa hujan.
bersambung.....