"Jang, kamu ke rumah Bi Narsih sana! " kata ibuku setelah aku selesai membawa gerobak Mi Ayamku di pangkalan. Yang di sebut pangkalan buat berjualan sebenarnya Pos Kamling. Atas ijin dari Pak RT, ibuku bisa mangkal jualan di Pos Ronda.
"Untuk apa, Bu?" tanyaku walau aku tahu tujuan ibuku, tentu untuk membicarakan pernikahanku yang tinggal seminggu lagi.
"Kok malah untuk apa. Untuk membicarakan pernikahan kamu yang tinggal seminggu lagi. Hari ini kita terahir jualan." kata ibuku.
Bertemu Bi Narsih terasa berat buatku sejak mimpiku dan juga cerita dari Anis. Aku hampir yakin bahwa yang membunuh ayahku adalah Mang Karta. Aku belum bisa menyelidikinya karna waktu pernikahanku sudah sangat dekat. Belum ada waktu.
Sampai rumah Bi Narsih aku ragu untuk mengetuk pintu. Tangan dan suaraku terasa berat. Aku menarik nafas mengumpulkan keberanian untuk sekedar mengucapkan salam dan mengetuk pintu.
"Ujang, ditunggu dari semalam baru datang sekarang." kata Bi Narsih yang tiba tiba membuka pintu. Aku kaget dan juga lega karna tidak perlu lagi mengucapkan salam maupun mengetuk pintu. Bi Narsih menarik tanganku.
"Duduk, Jang. Bibi bikinin kamu kopi dulu." kata Bi Narsih sambil berjalan ke dapur. Pinggul Bi Narsih yang besar bergoyang goyang membuatku terpesona akan keindahannya. Apalagi Bi Narsih hanya memakai daster pendek sepaha, sehingga sebagian paha Bi Narsih terlihat mulus.
Tidak lama Bi Narsih sudah selesai membuat kopi. Dia duduk berhadapan denganku. Posisi duduknya sangat menggoda, pahanya terbuka lebar sehingga celana dalamnya yang putih terlihat.
Ternyata semua persiapan sudah diatur oleh Bi Narsih dan Mang Karta. Dari mulai apa saja yang akan dibawa sebagai barang serahan, siapa saja yang akan ikut ke Garut, sampai nyewa mobil sudah dipanjer oleh Mang Karta. Aku sudah gak perlu nyiapin apa apa lagi.
Kebaikan Mang Karta sudah sangat besar. Pada sisi lain, aku tidak bisa melupakan mimpi ayahku dibunuh Mang Karta dan mayatnya dibuang ke sungai.
"Kamu dari tadi Bibi liat, bengong mulu. Ada apa?" tanya Bi Narsih, matanya menatapku tajam penuh tanda tanya.
"Gak apa apa, Bi. Ujang gak tau harus ngomong apa. Ujang sudah terlalu banyak berhutang budi ke Bibi dan Mang Karta. Ujang gak bisa membalasnya sampai kapanpun." aku menunduk berusaha menghindar dari tatapan mata Bi Narsih yang terasa menusuk. Kalau saja Bi Narsih tahu, perasaan hormatku ke Mang Karta mulai berkurang karna sebuah mimpi yang belum tentu benar.
"Jang, Ibumu itu saudara satu satunya yang bibi punya. Mang Karta itu sebatang kara. Sejak kecil Mang Karta itu dirawat oleh Abah dan Ambu, kakek dan nenekmu. Bibi, Ibumu dan Mang Karta dibesarkan bersama. Satu satunya saudara yang Bibi dan Mamangmu punya cuma ibumu." kata Bi Narsih, duduknya pindah ke sampingku. Dipeluknya pundakku dengan penuh kasih sayang.
"Kamu ingat, waktu umur kamu 15 tahun, kamu pergi ke Jakarta ikut kerja jadi kuli bangunan? Mamang marah besar. Padahal Mang Karta mau kamu tinggal di sini, sekolah sampai kamu jadi sarjana. Mamangmu sangat kecewa. Tiap malam dia gak bisa tidur. Bibi sering mergokin mamang kamu menangis dan bicara sendiri, minta maaf ke almarhum Ayahmu karna gagal mendidik kamu. Tidak ada hutang piutang di sini, ini hanya soal kewajiban. Kamu mengerti." kata Bi Narsih.
"Iya Bi, Ujang ngerti. Och ya, di Gunung Kemukus Ujang ketemu Anis orang Karawang. Dia bilang wajah Ujang mirip Kang Gobang. " kataku.
"Anis? Tentu saja Bibi kenal. Dulu Bibi jyalan kopi di Jakarta, Anis kerja di warung nasi sebelah Bibi. Ko aneh kamu bisa ketemu Anis di Gunung Kemukus, ya!" kata Bi Narsih heran.
"Kata Anis Ayah dan Mang Karta preman paling ditakuti. Bener gak, bi?" tanyaku.
"Iya, janji ya, jangan bilang Teteh!" kata Bi Narsih.
"Bibi kangen!" kata Bi Narsih, sambil mencium bibirku dengan mesra, tangannya mengelus kontolku. Keinginanku untuk mengorek keterangan tentang ayahku dengan sendirinya terhenti.
Aku membalas ciuman Bi Narsih. Kami berciuman dengan panas, lidah kami saling bertautan. Tak ada lagi batas seorang ponakan dan bibi. Yang ada hanyalah sepasang insan yang dimabuk birahi. Birahi yang buta dan melanggar norma norma agama. Tanganku meremas tetek Bi Narsih yang kecil namun kenyal.
"Jang, pindah ke kamar, yuk! Memek Bibi udah kangen kontol kamu." kata Bi Narsih menarik tanganku masuk kamarnya.
Di kamar Bi Narsih memelukku dan menciumi bibirku dengan bernafsu, kembali kami berciuman sambil berdiri menumpahkan segenap kerinduan.
Bi Narsih menarik bajuku lepas lewat kepala. Begitu bajuku terlepas, Bi Narsih menjilati puting dadaku membuatku menggelinjang kegelian. Bi Narsih benar benar ahli membangkitkan birahiku. Lidahnya menyusur turun ke perutku.
Bi Narsih menarik celanaku lepas dari kakiku. Kontolku langsung mengacung tegak menghadap wajah Bi Narsih dengan gagahnya. Bi Narsih langsung menggenggam kontolku dan mengulumnya dengan bernafsu. Nikmat sekali di sepong dengan posisi berdiri. Kepala Bi Narsih bergerak maju mundur mengocok kepala kontolku disertai jilatan di kepala kontolku.
"Sudah Bi, nanti Ujang keburu keluar. Ujang maunya ngecrot di memek Bi Narsih." kataku berusaha menarik pundak Bi Narsih agar berdiri.
Aku menarik daster pendek Bi Narsih lewat kepalanya, BH nyapun kulepas. Aku meremas tetek Bi Narsih yang imut namun putingnya tampak sudah mulai mengeras. Dengan bernafsu aku menghisap puting tetek Bi Narsih dengan lahap. Kugelitik putingnya membuat Bi Narsih menggelinjang nikmat.
Puas dengan tetek Bi Narsih, aku berjongkok melepas celana dalam Bi Narsih, terlihat memek Bi Narsih yang berbulu lebat. Aku menggeliti itilnya dengan gemas membuat Bi Narsih menggelinjang geli.
Bi Narsih duduk di piggir ranjang, kakinya mengangkang lebar.
"Ayo Jang jilatin memek Bibi!" kata Bi Narsih sambil membuka belahan memeknya.
Aku berjongkok di pinggir ranjang, kubenamkan wajahku di selangkangan Bi Narsih, kucium aroma memek Bi Narsih. Bau yang sangat aku suka. Kujilati lobangnya yang sudah basah oleh cairan bitahi yang lengket dan kental. Nikmat sekali rasanya walau agak asin. Kuhisap hisap itilnya yang besar dan menonjol.
"Geloo, ennnak banget memek Bibi kamu emut." kata Bi Narsih sambil menjambak rambutku pelan.
Aku semaki bernafsu menjilati memek Bi Narsih yang nikmat. Berusaha semaksimal memberikan kenikmatan ke Bi Narsih sebagai balas jasa hutang budiku ke Bi Narsih.
"Udahhhh, Jang. Memek Bibi pengen dientot!" kata Bi Narsih menyerah.
Aku beranjak, memegang pergelangan kaki Bi Narsih, lalu kukangkangkan sehingga belahan memeknya semakin membuka. Bi Narsih menuntun kontolku ke lobang memeknya yang sudah sangat basah oleh cairan birahi dan ludahku.
Perlahan aku menekan pinggulku sehingga kontolku menerobos masuk dengan perlahan hingga terbenam semuanya. Dengan posisi memegang pergelangan kaki Bi Narsih, aku bisa melihat kontolku memompa memek Bi Narsih.
"Jang, ennnak banget kontol kamu." erang Bi Narsih memandangku. Matanya terlihat sayu.
Perlahan aku mempercepat kocokanku, sehingga terdengar suara yang cukup kencang dari memek Bi Narsih saat kontolku keluar masuk memeknya Bi Narsih. Memek Bi Narsih sudah benar benar banjir, aku bisa melihat kontolku tampak bash dan berkilat.
"Jang, Bibi kelllluarrrrr.... Ampunnnnn!" Bi Narsih menggeliat, meraih orgasme pertamanya. Tangannya mencengkeram kasur. Memeknya berkontraksi meremas remas kontolku dengan keras diiringi rasa hangat di kontolku.
Kembali aku menggenjot memek Bi Narsih dengan cepat, tidak perduli dengan Bi Narsih yang baru saja orgasme. Cairan memek Bi Narsih sudah sangat banjir membasahi selangkangannya. Semakin kupercepat genjotanku sehingga suara keciplak memek Bi Narsih semakin kencang. Tidak perlu waktu lama buat Bi Narsih nendapatkan kembali orgasmenya.
"Jang, Bibi keluar lagiiiiii, ennnnak banget dientot kamuuuu!" Bi Narsih memekik meraih orgasme ke duanya.
"Memek Bibi juga enak banget." kataku sambil mengurangi kecepatanku mengocok memek Bi Narsih.
"Bibi pegel, Jang. Bibi pengen dientot sambil nungging," kata Bi Narsih.
Aku mencabut kontolku, Bi Narsih terun dari ranjang, pantatnya menungging, tangannya bertumpu di ranjang.
"Ayooo, Jang, entot lagi memek Bibi!" kata Bi Narsih.
Tanganku memegang kontolku ke lobang memek Bi Narsih, kudorong pelan kontolku hingga mentok. Aku mulai memompa memek Bi Narsih dengan cepat tanpa pemanasan, toh memek Bi Narsih sudah sangat basah. Tanganku memegang pantat besar Bi Narsih sambil meremas gemas.
Dengan.posisi nungging memek Bi Narsih terasa lebih sempit. Lebih nikmat, dengan posisi ini aku bisa melihat pantat besar Bi Narsih bergoyang goyang dengan indahnya. Membuatku semakin bernafsu mengocok memek Bi Narsih dengan cepat.
"Ternyata dientot ponakan sendiri enak banget." kata Bi Narsih sambil ikut menggoyangkan pinggulnya yang besar menyambut hentakan kontolku.
"Memek Bibi makin sempit kalo nungging." kataku merasakan kenikmatan yang semakin dahsyat.
"Bi, Ujang mauuu kelllluarrrrr!" kataku merasakan puncak kenikmatan semakin mendekat.
"Bibi juga mauuuuu kelllluarrrrr.....!" Bi Narsih semakin cepat menggoyangkan pinggulnya menyambut hantaman kontolku yang semakin bertenaga.
"Akuuuu kelllluarrrrr, biiii!" kontolku menembakkan pejuh ke dasar memek Bi Narsih.
"Bibiiii jugaaaaaa kelllluarrrrr...!" Bi Narsih menjerit tertahan meraih orgasme ke tiganya. Konstraksi otot memeknya terasa semakin kuta meremas remas kontolku.
Hening, setelah badai orgasmenya reda, Bi Narsih merangkak ke ranjang hingga kontolku terlepas dari memeknya. Bi Narsih terlentang kelelahan. Tangannya melambai agar aku rebah di sampingnya.
"Jang, harusnya kita gak boleh begini. Kamu ponakan Bibi. Maafin Bibi ya, jang. Bibi wanita normal yan butuh ngentot, Mamang kamu gak bisa ngasih." kata Bi Narsih sambil memelukku.
"Dari kapan Mamang impoten, Bi? " tanyaku penasaran.
"Sudah hampir 10 tahun, Jang." Bi Narsih memelukku erat.
"Anis cerita banyak tentang Ayah dan Mang Karta." kataku berusaha mengorek keterangan dari Bi Narsih.
"Jang, kamu yang merawanin, Desy ya?" tanya Bi Narsih membuatku sangat terkejut. Pertanyaan Bi Narsih menghentikan niatku mengorek keterangan tentang Ayahku dan Mang Karta.
"Eh, iiitu!" kataku ketakutan.
"Bibi gak sengaja baca buku Diary Desy, makanya Bibi tahu. Bibi juga udah nanya ke Desy. Bibi gak marah sama kamu, yang mulaikan si Desy. Mana ada kuci g yang nolak ikan. Cuma yang Bibi takutin Desy sampai hamil. Makanya Bibi suruh Desy suntik KB biar gak hamil. Dilarang larang juga gak akan bisa." kata Bi Narsih sambil mengelus kontolku membuatku lega.
"Bibi gak marah?" tanyaku heran.
"Tadinya Bibi marah, tapi waktu Desy bilang ngeliat kita ngentot di kamar atas dan ngancam mau lapor ke Mamang kamu, Bibi gak bisa marah." kata Bi Narsih.
Baru saja aku bisa menarik nafas lega, tiba tiba pintu terbuka membuatku dan Bi Narsih kaget menoleh ke pintu. Desy beridri dengan bertolak pinggang melihat kami dalam keadaan bugil dan Bi Narsih yang sedang mengelus kontolku.
"Mamah, kalo mau ngentot pintu depan di kunci. Coba kalo ada yang masuk!" kata Desy sambil berjalan masuk.
"Kamu kok sudah pulang, Des? Baru jam 10." tanya Bi Narsih setelah bisa mengendalikan dirinya.
"Gak ada pelajaran, Mah. Mamah, kontol A Ujang dipegangin terus. Gantian donk." kata Desy tanpa menunggu jawaban Bi Narsih Desy merangkak di selangkanganku. Diciumnya kepala kontolku dengan bergairah.
"Ich, kontol A Ujang bau memek Mamah." kat Desy manja. Dilahapnya kontolku dengan bernafsu.
"Kamu Desy, bau memek Mamah tapi masih aja kamu isep tuh kontol." kata Bi Narsih sambil mengacak acak rambut Desy.
Seperti tidak mau kalah, Bi Narsih mencium bibirku dengan bernafsu.
Kami kembali berciuman, lebih panas dari tadi. Kehadiran Desy membuat suasana semakin panas. Stelah puas mencium bibirku, Bi Narsih menoleh ke Desy.
"Des, buka bajunya, nanti kusut.!" kata Bi Narsih membuka baju seragam dan BH Desy yang asik menghisap kontolku. Lalu rok abu abu dan celana dalam Desy. Iseng Bi Narsih meraba memek Desy.
"Waduh, memek kamu sudah basah.!" kata Bi Narsih menggelengkan kepala.
"Iya Mah, memek Desy sudah pengen dientot kontol A Ujang." kata Desy merebahkan tubuhnya di sampingku.
Aku membungkuk di selangkangan Desy, memeknya yang berjembut lebat semakin membakar gairahku untuk menjilatinya. Seperti ada yang kurang kalau belum menjilati memek.
Memek Desy baunya lebih tajam dari memek Bi Narsih, mungkin karna dia belum bisa merawat memeknya, tidak seperti Bi Narsih yang memeknya agak berbau sirih. Kata Bi Narsih karna dia selalu mencuci memeknya dengan sabun sirih.
Aku mulai menjilati memek Desy yang sudah basah. Rasanya nikmat sekali, kujulurkan lidahku menusuk nusuk lobang memek Desy, berusaha menjangkau kebih banyak lagi cairan birahinya. Kuseruput setiap tetes cairannya.
"Ampuuuun A, Desy gak tahan pengen dientot." Desy merintih memohon agar segera dieksekusi.
Aku merangkak di atas tubuh Desy yang sudah mengangkang pasrah. Bi Narsih meraih kontolku dan menggesek gesekan di memek Desy sehingga cairan memek Desy semakin banyak. Aku tekan kontolku menerobos masuk dengan mudahnya.
"Anak mamah sudah pinter ngentot ya!" kata Bi Narsih sambil menggeleng gelengkan kepala. Ku lihat bi Narsih menungging di selangkanganku. Entah apa yang akan dilakukannya.
Aku menatap wajah cantik Desy yang terpejam menikmati sodokan kontolku di memeknya yang semakin basah. Kucium bibir sensualnya dengan mesra. Desy memeluk leherku dan membalas ciumanku dengan bernafsu.
Tiba tiba aky merasa ada yang menjilati kontolku, aku menoleh ke bawah, kulihat wajah bi Narsih berada tepat di selangkanganku dan Desy, dia menjilati kontolku yang keluar masuk memek anaknya sendiri. Gila, Bi Narsih bukannya marah anak gadisnya yang masih remaja dientot, malah seperti menikmatinya.
"Aduhhhh ennnak kontol Aa....." Desy mendesisi menikmati sodokan kontolku.
Aku semakin bernafsu mengocok memek Desy dengan cepat, sehingga menimbulkan bunyi yang merdu.
"Aa, deeeee kelllluarrrrr...! " Desy menjerit tertahan, tubuhnya mengejang menyambut orgasmenya. Tangannya mencengkeram punggungku. Untung Desy rajin menggunting kukunya.
Kubenamkan kontolku di memek Desy agar kenikmatan yang diperolehnya lebih maksimal. Kurasakan kontraksi.memek Desy mengendur,
"Gantian, Jang. Kamu celentang.!" kata Bi Desy.
Aku mengerti apa yang diinginkan Bi Narsih, aku menggulingkan tubuh ke samping Desy. Bi Narsih lansung berjongkok di selangkanganku. Diraihnya kontolku, setelah pas Bi Narsih menurunkan pinggulnya. Memeknya melahap kontolku dengan mudah.
Bi Narsih langsung.memacu kontolku dengan cepat, matanya menatapku sayu. Bibirnya tersenyum manis.
"Kamu nakal Jang. Gak puas sama memek Bibi, memek anak Bibi juga kamu entot." Bi Narsih benar benar binal memacu kontolku. Tangannya mempermainkan puting dadaku.
"Iya A Ujang nakal, mah. Memek Desy diperawanin sampe berdarah." Desy menyambung ucapan Bi Narsih.
Cukup lama Bi Narsih memacu kontolku dengan liar. Wajah Bi Narsih yang keibuan berubah menjadi binal. Mulutnya berkata kata jorok. Hingga ahirnya Bi Narsih mengeram, tangannya meremas dadaku dengan keras, membuatku meringis menahan sakit.
"Jang, kontol kamu ennnak banget. Bibi keluar lagi." tubuh Bi Narsih mengejang nikmat menyambut orgasmenya yang ke sesenga Setelah badai orgasmenya reda, Bi Narsih bangkit, duduk di tepi ranjang.
"Desy, si Aa belom ngecrot tuh!" kata Bi Narsih ke Desy.
Yanpa disuruh 2x, Desy segera menaiki kontolku dan memacunya dengan cepat. Liar sekali anak ini, menurun dari Bi Narsih.
"Aduh, memek Desy enak amat dientot kontol A Ujang. Pantesan Mamah doyan kontol Aa " erang Desy yang terus memacu kontolku dengan binal.
Aku meremas tetek mungil Desy dengan gemas. Beda dengan tetek Ningsih yang besar dan kenyal. Pinggulku bergerak naik turun menyambut pinggul Desy yang besar seperti Bi Narsih.
Ahirnya puncak kenikmatan tiba, tubuhku mengejang.
"Desss Aa mau ngecrot. Memek kamuuuu ennnnak...!" erangku. Kontolku menyemburkan pejuh ke memek Desy.
"Dessss jugaaaa kelllluarrrrr, ennnak Aaaaa!" ternyata pada saat bersamaan Desy meraih orgasmenya. Memeknya berkontraksi meremas kontolku dengan lembut. Desy memeluk tubuhku dengan keras. Nafasnya tersengal sengal.
Hening, kami saling berpelukan menikmati sisa sisa orgasme.