𝐑𝐢𝐭𝐮𝐚𝐥 𝐆𝐮𝐧𝐮𝐧𝐠 𝐊𝐞𝐦𝐮𝐤𝐮𝐬 (𝐁𝐚𝐠.𝟐𝟐 : 𝐇𝐚𝐫𝐢 𝐏𝐞𝐫𝐧𝐢𝐤𝐚𝐡𝐚𝐧 )


Ahirnya selesai juga acara resepsi pernikahanku dengan Ningsih. Tubuhku sudah benar benar lelah seharian di pelaminan menyambut para tamu yang memberi selamat dan doa restu. Ningsih menggandeng tanganku menuju kamar pengantin, tepatnya kamar Ningsih yang sudah diubah menjadi kamar pengantin.

Sampai di kamar aku langsung merebahkan tubuhku di kasur yang empuk dan dingin. Benar benar dingin udara di Garut, pantas saja mendapat julukan Swiss van Java. Ningsih duduk di sisi ranjang sambil membuka sanggulnya.

Aku memperhatikan kamar,cukup besar, mungkin ukurannga 3x3 meter. Masih lebih besar bila dibandingkan kamarku yang berukuran 2x2 meter atau kamar kontrakan yang berukuran 2x3 meter. Di pojok samping kiri rnjang, ada meja kecil. Di kaki ranjang ada lemari pakaian yang menghadap pintu.

"A, ganti baju dulu.!" Ningsih mengingatkanku agar membuka pakaian pengantin adat sunda.

Ningsih membuka kebaya dan juga kain panjang yang melilit tubuhnya. Badanya yang agak gemuk atau semok alias bohay hanya menyisakan BH dan Celana Dalam warna putih. Serasi sekali dengan kulitnya yang putih mulus tanpa cela. Mataku melihat ke arah perutnya yang berlemak mencari perubahan yang terjadi di perutnya, kubandingkan dengan terahir kali aku melihatnya di Gunung Kemukus. Tapi aku tidak melihat perbedaanya.

"Belom keliatan, A. Baru 6 minggu." kaya Ningsih yang menyadari tatapanku. Dia tersenyum.

"Ningsih gak dingin? " tanyaku melihat Ningsih yang tidak langsung memakai baju.

Ningsih hanya tersenyum, tangannya begitu terampil membuka baju pengantin yang masih aku kenakan hingga menyisakan celana dalam saja.

"Dingin A, emang Aa gak mau ngangetin Ningsih?" Ningsih menunduk, malu.

"Mau banget, tapi jangan malam ini ya! Aa ngantuk banget, sudah 2 hari gak bisa tidur." kataku sambil mengambil baju yang diberikan Ningsih. Aku segera memakainya. Aku benar benar kedinginan. Aku segera merebahkan tubuhku di ranjang.

"Iya, A. Semalam juga Ningsih gak bisa tidur. " kata Ningsih sambil memakai baju tidur. Melihatku yang masih kedinginan, Ningsih mengambil sweater tebal miliknya , diberikannya kepadaku. Aku segera memakainya.

Ningsih menyulku naik ke ranjang di sisi kiri yang menempel tembok. Ningsih menyelimuti tubuh kami dengan bed cover tebal dan lebar. Ningsih memeluk dadaku. Tubuhnya yang hangat, membuatku nyaman.

"Tinggi dan berat kamu berapa, Ning?" tanyaku iseng.

"155 cm, berat 65 kg. Gemuk ya A?" tanya Ningsih.

"Sedeng!" itulah kata terahir yang aku ucapkan. Aku langsung terlelap.

*********

Jam 10 aku bangun. Hampir 13 jam aku tidur. Ningsih tidak ada di kamar. Aku meminum air putih yang tersedia di meja. Segar sekali rasanya.

"Sudah bangun A ? Mau mamdi pake air hangat gak?" tanya Ningsih yang baru masuk.

Aku menatap Ningsih, beruntung sekali aku mendapatkan istri yang cantik. Benar benar cantik, pikirku. Apalagi kalau sedang tersenyum, ada sepasang lesung pipit di pipinya yang cuby. Walau badanya agak gemuk, tapi di mataku justru .embuat Ningsih semakin imut.

"Aa ditanya malah ngeliatin, Ningsih. Aa naksir Ningsih, ya?" Ningsih mencubit pipiku.

Selesai mandi aku mengajak Ningsih jalan jalan keliling desanya. Setelah seharian di pelaminan, aku aku ingin melemaskan otot otot di tubuhku dengan berjalan jalan. Ningsih mengajakku ke sawah ayahnya.

Kami duduk duduk di bawah pohon yang ada kursi panjang terbuat dari bambu. Ningsih duduk bersender di bahuku. Sepanjang jalan dia juga selalu menggandeng tanganku. Kami memandang hamparan sawah yang luas baru saja selesai dipanen.

"Teh Lilis dan A Budi sudah pulang ke Bogor tadi jam 9." kata Ningsih membuka pembicaraan.

"Kok aku gak dibangunin ?" tanyaku sambil membelai rambut panjang Ningsih yang halus dan harum.

"Kata Teh Lilis jangan dibangunin. Masih capek." 

"Aneh ya, kita cuma kenal seminggu di Gunung Kemukus lewat ritual yang nyeleneh. Sekarang kita sudah jadi suami istri." kataku mengingat kejadian di Gunung Kemukus.

"Terimakasih A, sudah mau bertanggung jawab nikahi Ningsih padahal A Ujang gak salah. Ningsih ritual atas kemauan sendiri." kata Ningsih memelukku.

Aku membalas pelukan Ningsih. Sejak umur 8 tahun aku sudah menjadi yatim dan tau bagaimana beratnya menjadi anak yatim. Yang paling sulit adalah tidak adanya figur ayah. Mana mungkin aku membiarkan anak yang dikandung Ningsih lahir tanpa seorang ayah. Apa lagi anak itu adalah anakku. Aku tidak akan menyia nyiakan anakku. Darah dagingku.

Ayahku. Kalau saja ayahku masih hidup, ceritanya pasti akan menjadi lain. Mungkin aku tidak akan mendapatkan istri secantik Ningsih di usia yang masih muda. Tapi bukankah Mang Arta selalu menyuruhku sekolah yang tinggi hingga menjadi sarjana dan semua biayanya akan ditanggung Mang Karta. Apa mungkin Mang Karta melakukannya hanya untuk menebus semua perasaan bersalahnya karna sudah membunuh ayahku?

"A, Aa kok dari tadi diam saja? Aa nyesel sudah menikahi Ningsih?" tanya Ningsih mengagetkanku.

"Aa gak nyesel, cuma Aa masih belum percaya bisa punya istri secantik Ningsih tanpa keluar uang. Aa cuma beli Cincin emas 3 gram sebagai mas kawin. Cuma segitu uang yang Aa keluakan buat menikahi Ningsih. Sedangkan biaya lain semuanya ditanggung A Budi." kataku.

Sedang asik kami ngobrol, dari arah sawah datang seorang bapak bapak. Dari jauh pria itu sudah melambaikan tangannya.

"Aduh punten kemaren Mamang gak datang ke pernikahan neng Ningsih. " kata bapak itu menyalami Ningsih lalu menyalamiku. Wajahnya tiba tiba menjadi pucat melihatku.

"Kang Gobang? Wajah kamu sangat mirip dengan Kang Gobang!" kata bapak itu.

"Mang Udin kenal sama ayahnya Aa Ujang ?" tanya Ningsih.

"Iii...itu ayahnya aden ?" tanya Mang Udin menatapku.

"Iya, Gobang nama ayah saya." kataku menjelaskan.

"Ya Allah Gusri Pangeran jisim abdi, dunia kok sempit. Mamang bisa ketemu anak Kang Gobang di sini." Mang Udin menatapku seperti tidak percaya.

"Iya Mang, saya senang bisa ketemu Mang Udin di sini." kataku sambil mencium tangan Mang Udin.

"Ke rumah Mamang yuk, kita cerita cerita.!" Mang Udin mengajak ke rumahnya.

Rumah Mang Udin cukup jauh, melewati pematang sawah. Kalau lewat jalan biasa lebih jauh lagi. Untungnya Ningsih sudah terbiasa jalan di pematang sawah jadi aku tidak perlu menjaganya. Ahirnya kami tiba di rumah Mang Udin, rumah panggung berdinding bilik.

Aku duduk di teras depan dengan Mang Udin sementara Ningsih ikut ke dapur nemenin istri Mang Udin merebus singkong yang diambil dari pekarangan belakang rumah.

"Rumah mamang jelek, Den. Naklum di desa." kata Mang Udin sambil melinting rokok daun kawungnya.

"Saya juga tinggal dari desa, Mang. Cuma ngumbara di kota." kataku. Suasanan pedesaan sudah sangat akrab denganku.

"Dulu Mamang ikut dengan Kang Gobang di Jakarta. Tapi setelah Kang Gobang meninggal dan Kang Karta insyaf, Mamang juga berhenti. Sekarang Mamang jualan Es di Jakarta." kata Mang Udin memulai ceritanya.

*********

Pulang dari rumah Mang Udin, kami kembali melewati pematang sawah, jalan terdekat. Kubiarkan Ningsih berjalan di depanku.

Sepanjang jalan aku memikirkan cerita Mang Udin. Ayahku ternyata diracun secara diam diam oleh seseorang yang membencinya. Racun yang dicampur dengan kopi dan diberikan setiap hari sediikit sedikit. Racun yang masuk secara perlahan dan tidak disadari ayahku. Racun yang secara pelan pelan merusak hati dan jantungnya. 

Menurut Mang Udin, Mang Karta tidak akan mampu mengalahkan ayahku waktu aku menceritakan mimpiku. Masih menurut Mang Udin, ayahku kebal dan kepalanya sekeras batu. Pernah kejadian ayahku ditembak oleh nusuhnya saat terjadi perebutan wilayah kekuasaan, ayahku tidak apa apa. Juga saat kepala ayahku dipukul batu dari belakang, batu itu malah terpental. 

Mang Udin tahu siapa yang meracun ayahku, tapi dia tidak verani bicara karna keluarganya diancam akan dibunuh, karna waktu itu keluarga Mang Udin tinggal di Jakarta.

Saking asiknya berpikir, aku tidak menyadari ada solokan kecil di depanku. Tanpa dapat dicegah, aku terjatuh ke dalam solokan, celanaku basah kuyup.

"Aa, kenapa? Ko bisa jatuh?" kata Ningsih kaget. "Makanya kalo jalan jangan sambil ngelamun." kata Ningsih tersenyum geli.

Sesampainya aku di rumah langsung masuk kamar mandi. Ningsih menyusul masuk dengan membawa handuk kering.

"Langsung mandi, A. Sudah jam 4." kata Ningsih sambil membuka seluruh pakaiannya. Lalu Ningsih membantuku membuka pakaian.

"Tetek kamu gede amat, Ning!" kataku sambil meremas tetek Ningsih dengan gemas.

"Aa suka, gak?" tanya Ningsih menggodaku dengan memegang kedua bukit teteknya.

"Suka banget," kataku sambil mencium putingnya yang mulai mengeras.

"Mandi dulu, A." kata Ningsih sambil menyiramkan air dari gayung ke kepalaku.

Ningsih memandikanku seperti ibu yang memandikan anaknya. Rambutku dikeramasinya, badanku disabuni dan diggosok dengan sabut buah oyong hingga benae benar besih. Lalu Ningsih berjongkok menyabuni kakiku.

"Aa, dakinya banyak amat." kata Ningsih sambil mengosok kaki, betis dan pahaku. Wajahnya tepat menghadap kontolku yang mulai berdiri tegak melihat tubuh bugil istriku.

Agak lama Ningsih menggosok kaki dan pahaku tidak menyadri kontolku sudah berdiri dengah gagahnya. Hingga ahirnya Ningsih menyadarinya saat mulai menyabuni kontolku.

"Aa, kontolnya sudah bangun aja. Sabar ya sayang, nanti juga bisa masuk sarung, kok." kata Ningsih sambil menyabuni kontolku hingga benar benar bersih.

Ningsih kembali menyiram tubuhku dengan air dari gayung membersihkan busa sabun di sekujur tubuhku. Airnya begitu dingin namun menyegarkan tubuh dan pikiranku.

Gantian aku yang memandikan istriku, rambutnya disanggul agar tidak basah. Aku mulai menyiram wajah cantik istriku, lalu pundaknya hingga basah sekujur tubunya yang mulus tanpa cela.

Aku sabuni tangannya hingga keteknya membuat Ningsih tertawa geli. Lalu punggungnya hingga pantatnya yang besar dan berisi. Iseng aku meremas pelan. Tubuh bagian depan aku sabuni, pas pagian dadanya kusabuni lebih lama.

"Aa, masa dada terus yang disabuni?" kata Ningsih sambil mencubit tanganku.

Aku berjongkok menyabuni kaki Ningsih, terus ke betisnya yang berisi, pahanya yang besar. Kemudian aku menyabuni memeknya yang benar benar mulus tanpa bulu. Tak ada bekas cukuran sama sekali.

Selesai juga kami saling memandikan. Ningsih memakai baju terusan berbahan tebal. Sedangkan aku terpaksa memakai baju dan celana training Ningsih yang tebal dan hangat, karna aku tidak membawa baju banyak dan baju hangat. Sedangkan udara di Garut sangat dingin, berbeda dengan di Bogor.

Sebenarnya aku ingin langsung masuk kamar dan bercumbu dengab Ningsih, tapi gak enak sama Abah dan Ambu orang tua Ningsih yang sedang ngobrol di ruang keluarga. Ahirbya aku ikut gabung.

Ternyata kecantikan Ningsih dan Lilis menurun dari ibunya. Di usia 43 tahun, mertuaku ini masih cantik dan terlihat lebih muda dari pada usianya. Tubuhnya berisi seperti Ningsih. Ayah mertuaku juga terlihat masih ganteng dan gagah.

******

Pulang dari musholah aku langsung masuk kamar, Ningsih baru selesai shalat.

"Makan malam dulu yuk, A!" ajak Ningsih.

"Nanti aja, Aa sudah gak tahan nih." kataku sambil membuka sarungku.

"Aa, kontolnya udah bangun aja. Hihihi. Ya udah, Ningsih boboin dulu baru kita makan." kata Ningsih berjongkok. Digenggamnya kontolku yang panjang. Tanpa ragu Ningsih melahap kontolku. Walau gerakannya masih terasa kaku, tapi tidak sekaku waktu di Gunung Kemukus, 

Lidah Ningsih menjilati kepala kontolku denga perlahan menggelitik lobang kencingku. Rasanya ngilu ngilu enak. 

"Udah, Sayang.... Aa gak tahan!" kataku menarik pundak Ningsih agar bangun. Aku mendorong tubuh istriku duduk di pinggir ranjang pas dekat dengan lemari pakaian.

Aku menarik daster Ningsih lepas dari kepala. BHnya juga aku lepas. Aku berjongkok di pinngir ranjang. Kucium bibir Ningsih dengan mesra, sedang tanganku meremas tetek istriku yang besar dan kenyal.

Aku mulai menjilati tetek istriku, kulitnya begitu halus dan hangat. Putingnya berwarna coklat muda. Benar benar indah. Kuhisap putingnya yang sudah mengeras.

"Aa, enak. Aa pinter bikin Ningsih enak.!" kata Ningsih sambil membelai rambutku.

Setelah puas dengan tetek indah istriku, aku mendorong tubuhnya terlentang. Kakinya yang berisi aku buka agar mengangkang lebar di pinggir ranjang, sehingga memeknya yang berwarna pink agak terbuka memperlihatkan bagian dalamnya yang merah dan basah.

Aku membenamkan wajahku di memek istriku, baunya berbeda dengan saat di Gunung Kemukus dulu. Bau memek Ningsih agak berbau sabun sirih seperti memek Bi Narsih. Sebenarnya aku tidak begitu suka dengan aromanya. Aku lebih suka dengan aroma aslinydipakainy Ningsih sengaja memakai sabun daun sirih untuk menyenangkanku.

Aku mulai menjilati memek Ningsih dengan terpaksa hanya sekedar menyenangkan hatinya. Cairan memeknya terasa tawar mungkin karna sabun sirih yang dipakainya. Lidahku semakin dalam menusuk memeknya agar keluar cairan memek yang tidak terkontaminasi sabun sirih.

Saat aku asik menjilati memek istriku tiba tiba pintu terbuka dan Ambu masuk, aku menoleh kaget. Mata Ningsih sedang terpejam menikmati jilatan di memeknya sehingga tidak menyadari kehadiran Ambu. 

"Aduh ini panganten baru kalau lagi asik pintunya dikunci." kata Ambu sambil geleng geleng lalu keluar sambil menutup pintu.

Ningsih kaget mendengar suara Ambu, tersipu malu melihat Ambu yang keluar sambil menutup pintu. Aku bangkit mengunci pintu.

"Aa..!" Ningsih tersenyum malu.

Aku menghampiri Ningsih, kuarahkan kontolku ke memek istriku yang sudah sangat basah, perlahan kontolku menerobos memeknya yang sudah aku merawanin waktu di Gunung Kemukus.

"Aa, enakkkk...!" rintih Ningsih saat kontolku masuk memeknya. Cantik sekali wajah Ningsih, pipinya yang cuby membuatnya semakin cantik.

Perlahan aku menggerakkan kontolku keluar masuk memek istriku yang sempit. Nikmat sekali rasanya. Inilah pertama kali aku merasakan ngentot dengan istriku sendiri. Dalam sebuah ikatan yang sah dan halal ternyata rasanya lebih nikmat. Aku melakukannya tanpa rasa takut ataupun perasaan bersalah.

"A, ennnak banget dientot suami sendiri. Rasanya lebih enak sekarang dari pada waktu di Gunung Kemukus." kata Ningsih menatapku sayu. Bibirnya tersenyum indah. Senyum terindah yang pernah aku lihat dari seorang wanita.

"Aaaaa, Ningsih mauuu kelllluarrrrr, ampun gak kuaaaaat.!" kulihat tubuh Ningsih mengejang menyambut orgasme yang dahsyat. Memeknya berkontraksi meremas kontolku.

Aku yang merasakan puncak kenikmatan semakin dekat, terus mengocok memek istriku dengan lembut dan cepat. Entah kenapa aku tidak bisa bertahan lebih lama lagi, mungkin karna sudah seminggu lebih pejuhku belom dikeluarin.

"Aa juga kelllluarrrrr sayang.....!" kontolku menyemburkan pejuh di lobang memek istriku.

"Aduuhhhh, Ningsih kelllluarrrrr lagiiii...!" Ningsih rupanya kembali mengalami orgasme ke duanya dengan cepat. Lebih cepat dari yang pertama.

Setelah badai orgasmeku reda, aku mencabut kontolku. Lalu merebahkan tubuh di samping Ningsih dengan kaki menjulur ke lantai.

"Ningsih jadi malu sama Ambu, A. " kata Ningsih.

"Aa juga malu, tadi lupa ngonci pintu." kataku tersenyum geli. 

"Makan yuk, A. Ningsih lapar." kata Ningsih.

Setelah selesai makan, kami duduk di ruang keluarga. Kulihat Mbu menahan senyum melihat kehadiran kami. 

"Maafin ya, Jang. Ambu lupa kalau Ningsih sudah nikah, jadi main masuk aja gak ngetok pintu dulu." kata Ambu.

"Ujang yang salah, lupa ngunci pintu dulu." kataku malu.

"Jang, Abah mau bicara. Abah dan Ambu sebelum kamu melamar Ningsih, 3 malam mimpiin kalian bertiga. Kamu, Lilis dan Ningsih, kalian melakukan ritual di Gunung Kemukus. Dari mimpi itu Abah tau, Lilis dan Ningsih sedang hamil anak kamu. Abah dan Ambu takut akan terjadi sesuatu pada kalian, karna 3 hari sebelum kalian nikah, Abah mimpi di datangi seseorang yang mengatakan, ritual harus tetap dilanjutkan hingga tuntas agar tidak terjadi apa apa dengan kalian. Ritual itu harus kamu tuntaskan dengan.......?"

Bersambung


Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.
You will be redirected to the script in

seconds

BTemplates.com

POP ADS

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com