Sepulang dari Garut aku tinggal di rumah Lilis seperti yang sudah direncanakan oleh Pak Budi dulu. Biar Lilis ada temannya di rumah yang cukup besar. Rumah Pak Budi memiliki 5 kamar, Lilis dan Pak Budi tidur terpisah setelah kejadian aku memergokinya di hotel dengan pacar gay nya. Berarti masih ada 3 kamar yang kosong yang satu sekarang menjadi kamarku dan Ningsih, satunya untuk kamar orang tua Pak Budi apa bila berkunjung. Sedangkan kamar terahir sebenarnya untuk kamar pembantu. Tapi Pak Budi lebih memilih pembantu dari masyarakat sekitarnya, jadi pembantu tiap hari pulang tidak tinggal di rumah Pak Budi.
Agak sungkan saat pertama kali aku masuk rumah Pak Budi, apalagi sampai tinggal di sini. Tapi aku tidak bisa menolak keinginan Pak Budi, apa lagi orang tua Pak Budi juga menyuruh kami tinggal bersama Pak Budi sekalian menjaga Lilis dan calon cucu mereka. Andai saja mereka tahu bahwa anak yang di kandung Lilis adalah anakku, mungkin mereka akan kena serangan jantung karna kaget.
Hidupku sudah benar benar berubah, bukan hanya mempunyai istri yang cantik dan menumpang tinggal di rumah cukup mewah. Ada kejutan lainnya, Pak Budi juga menyiapkan sebuah kios cukup besar di pasar untuk berjualan sembako. Semuanya terjadi karena ritual di Gunung Kemukus.
Dan karena ritual di Gunung Kemukus juga rahasia kematian ayahku mulai terbuka. Walau itu masih berupa petunjuk yang belum pasti kebenarannya.
"A, jadi liat kios gak?" tanya Ningsih mengagetkanku yang sedang asik melamun di ruang tamu.
"Jadi atuh, Ningsih udah siap?" tanyaku. Tanpa dijawabpun aku sudah tahu jawabannya melihat penampilan istriku dengan baju muslim warna biru laut dan jilbab yang sewarna. Ningsih terlihat semakin cantik dengan menggunakan jilbab.
"Yuk kita berangkat!" ajak Lilis yang baru muncul dengan memakai baju muslim sewarna dengan yang dipakai istriku. Adik kakak yang kompak. Pikirku.
Sesampainya di kios, ternyata rak rak untuk menyimpan barang sudah ada. Hanya tinggal mengisi barangya saja. Semua barang akan didrop oleh Pak Budi. Kebetulan Pak Budi adalah agen sembako cukup besar yang mempunyai beberapa cabang. Jadi aku hanya tinggal menjalankan saja.
"Tinggal nyari karyawan, Jang." kata Lilis kepadaku. Aku membalasnya dengan anggukan kepala.
Setelah melihat kios Lilis mengajak kami jalan jalan ke Kebun Raya, tapi aku menolaknya dengan alasan mereka sedang hamil muda, kata dokter jangan terlalu capek. Ahirnya Lilis setuju untuk pulang.
Setelah mengantar istriku dan Lilis pulang, aku pamit ke tempat Ibu berjualan. Ternyata tempat berjualan ibu sudah bukan di pos ronda lagi. Ada bangunan baru berdinding triplek di samping pos ronda yang dijadikan tempat berjualan ibu.
"Siapa yang membuat ini, Bu?" tanyaku heran.
"Mang Karta, Jang. Kalau tanahnya masih punya Pak Budi. Rumah di belakang kios punya Pak Budi yang dikontrakkan." kata Ibu menerangkan padaku. "Alhamdulillah Jang, jualannya semakin laris. Jadi kamu gak perlu jualan keliling lagi."
"Ujang sudah di sewain kios di pasar sama Pak Budi Budi buat julan sembako. Jadi Ujang gak bisa jualan mi ayam lagi, Bu." kataku menerangkan.
"Alhamdulillah yaa Allah, " kata ibuku. Air matanya berlinang bahagia.
*******
"Ritual harus dilakukan dengan sepingkuhan almarhum ayahmu, Jang !" kata Abah. Wajahnya terlihat gelisah. Khawatir akan nasib anak anaknya.
Aku benar benar tidak menyangka Abah mengetahui semuanya lewat mimpi, seperti aku yang mengetahui kematian ayahku lewat mimpi. Semuanya terasa mencekam dan membuatku merasa takut. Tidak tahu nasib apa yang akan menimpaku nanti. Semuanya terasa menakutkan buatku.
Ritual dengan selingkuhan ayahku mungkin bukan masalah buatku. Aku sudah melakukannya dengan Anis Malam jum'at Pon kemarin. Yang jadi masalah adalah apa bisa Anis melakukannya 7x ritul berturut turut denganku. Bagaimana kalau di mendapat halangan seperti datang bulan pas Malam Jum'at Pon. Bukankah ritualnya akan batal. Atau mungkin aku bisa minta tolong ke Bi Narsih buat melakukan ritual denganku. Persoalannya akan tetap sama, bagaimana kalau Bi Narsih mendapatkan tamu bulanan pada saat malam Jum'at Pon.
"Apa tidak ada cara lain, Bah ?" tanyaku putus asa.
"Abah gak tau, Jang." suara Abah terdengar pelan dan sama putus asanya denganku.
"Kita pikirin pelan pelan, A. Ningsih percaya pasti ada jalannya. Tadinya Ningsih juga sudah putus asa, Ningsih tidak mungkin punya suami, tapi ternyata ada jalannya. Setelah ritual 7 malam dengan Aa, sekarang Ningsih sudah bisa punya suami. Bahkan Ningsih hamil. Tau gak A, dulu Ningsih beberapa kali mau berhubungan intim dengan mantan pacar, Ningsih sudah telanjang dan kontol pacar Ningsih sudah nempel di memek, tapi tau tau burung mereka langsung lemes seperti impoten." cerita Ningsih menghiburku.
Yah mungkin akan ada cara lain, pikiran seperti itu membuatku sedikit tenang. Kami pamit masuk kamar.
Di kamar seperti ingin menghiburku, Ningsih memeluk dan menciumi bibirku dengan mesra. Kami berciuman cukup lama di atas ranjang. Ningsih menindihku bertindak agresif.
Ningsih melucuti pakaianku yang sedang terlentang, pasrah dutelanjangi hingga tidak ada sehelai benangpun yang menempel di tubuhku.
Ningsih menatapku mesra sambil membelai rambutku. Diciumnya leherku membuatku merinding nikmat. Apalagi saat lidah Ningsih menjilati setiap bagian leherku. Entah dari mana Ningsih tau cara merangsangku hingga batas maksimal. Mungkin dia melihat Lilis yang sering menjilatiku selama di Gunung Kemukus.
Lidah Ningsih merayap ke dadaku dan menjilati setiap bagian dadaku. Lalu hinggap di pentilku yang sudah mengeras oleh rasa nikmat. Puting dadaku dijilati dan kadang digil lembut. Rasa nikmatnya mampu nenghilangkan kecemasanku.
Lidahnya turun menjilati perutku membuatku tertawa geli. Lalu Ningsih menjilati pangkal kontolku juga kantung pelerku. Menghisap bijinya hingga membuatku meringis ngilu.
"Biji pelernya jangan diisep, ngilu." protesku.
"Iya A, maaf." kata Ningsih. Ningsih lalu melahap kontolku dengan bernafsu sambil menggerakkan kepalannya naik turun mengocok kontolku.
"Ennak, Ning. Kamu makin pinter nyepongnya." kataku sambil memegang kepala istriku yang bergerak naik turun memompa kontolku.
Cukup lama Ningsih menyepong kontolku hingga membuatku menggelinjang nikmat.
"Udah, Ning. Aa gak tahan pengen ngentot memek kamu." kataku.
Ningsih bangkit menatapku. Bibirnya tersenyum menggodaku. Ningsih nerayap naik ke atas tubuhku, diraihnya kontolku hingga pas di lobang memeknya yang ternyata sudah basah. Perlahan Ningsih menurunkan pinggulnya melahap kontolku hingga amblas di dalam lobang memeknya.
"Kontol Aa meuni gede..." kata Ningsih sambil menggerakkan pinggulnya naik turun dengan perlahan.
Gesekkan dinding memek Ningsih dengan.kontolku begitu terasa, licin dan hangat. Teteknya yang besar bergoyang goyang indah. Segera aku meremasnya agar tidak terjatuh. Kupelintir puting teteknya dengan lembut nembuat istriku merem melek keenakan
"Ennnnak, A !" Ningsih tersenyum menatapku bahagia. Gerakan pinggulnya semakin cepat dan berirama mengocok kontolku.
"Aduh, memek Ningsih ennnak banget." benar benar nikmat rasanya memek istriku yang cantik ini. Badannya yang gemuk bisa bergerak lincah memompa kontolku.
"Aaaaaa NIng gak tahan mauuuu kelllluarrrrr....." Ningsih mencengkeram dadaku, pantatnya menghujam keras menekan kontolku hingga dasar memeknya yang berkontraksi meremas kontolku, cantik sekali istriku saat orgasme.
Setelah badai orgasmenya reda, Ningsih bergerak mau turun dari atas tubuhku. Tapi aku nencegahnya dengan menarik Ningsih dalam pelukanku. Perlahan aku menggulingkan tubuhku ke samping tanpa melepaskan kontolku dari memek istriku.
*ich, Aa pinter banget ngentotnya.! " kata Ningsih mencium bibirku dengan mesra.
Aku mulai mengocok memek istriku dengan lembut sambil berciuman. Semakin lama kocokanku semakin cepat dan berirama menimbulkan suara berkecipak di dalam memek istriku yang semakin banjir.
Tangan Ningsih memegang pantatku membantu gerakkanku supaya semakin cepat. Aku tidak berusaha mengatur orgasmeku. Aku ingin secepatnya mendapatkan orgasme,.
"Aaaa Ningsih mau kelllluarrrrr, lagiiiii.... Ennnnak!" kurasakan tubuh istriku mengejang mendapatkan orgasme ke duanya.
Aku tidak mengurangi ritme kocokanku, aku terus nengocok memek Ningsih yang sedang dilanda badai orgasme. Kocokanku yang konsisten membuat tubuh Ningsih semakin klojotan.
"Aduhhhhh, ampunnnnn ennnnak !" Ningsih memelukku semakin erat.
"Ning, Aa gak kuat mau kelllluarrrrr.....!" dan ahirnya kontolku menembakkan pejuh ke memek istriku.
"Ning kelllluarrrrr lagiiiii !"
********
"Jang, penganten baru jangan ngelamun mulu!" Lilis mengagetkanku yang sedang melamun di teras depan rumah sepulang dari membantu ibu membereskan dagangannya.
"Iya, nich A Ujang pulang bukannya lanslgsung masuk, malah bgelamun di luar." kata Ningsih yang tiba tiba sudah berada di samping Lilis. Mukanya terlihat cemberut, anehnya justru membhatnya terlihat semakin lucu dan imut.
Aku mengikuti kakak beradik itu masuk ke dalam rumah. Di ruang keluarga Ningsih sudah menyiapkan kopi hitam kesukaanku.
"Aa masih mikirin mimpi Abah ?" tanya Ningsih.
"Kamu tahu selingkuhan Ayahmu, Jang?" tanya Lilis yang rupanya sudah tau tentang mimpi Abah.
"Sudah, malam Jum'at Pon kemarin aku ketemu di Gunung Kemukus." kataku. Lalu aku menceritakan pertemuanku dengan Anis di Gunung Kemukus, tapi aku tidak menceritakan sudah melakukan ritual dengan Anis.
"Kamu tahu alamat Anis gak?" tanya Lilis antusias.
Aku hanya mengangguk sebagai jawabannya. Aku meminum kopi yang sudah mulai dingin. Sebatang rokok kunyalakan untuk menambah nikmat rasa kopi yang aku minum.
Kami terdiam larut dalam pikiran kami masing masing. Karna menurut mimpi Abah, ini senua saling berkaitan. Musibah bisa menimpa salah satu di antara kami kalau ritual berhenti di tengah jalan.
"Kalau Lilis mimpi harus motong kambing kendit di Gunung Kemukus sebagai rasa terimakasih." kata Lilis perlahan.
"Ningsih mimpi disuruh sedekah kambing hitam polos, A!"
Aku baru sadar yang dimaksud dalam mimpi Abah adalah aku. Bukankah aku yang harus nenuntaskan ritual? Seperti juga yang terjadi dalam mimpiku. Setidaknya aku merasa lega, musibah tidak akan menimpa keluargaku.
Setidaknya aku juga tidak begitu hawatir debgan keadaan ibu dan adik adikku. Ibuku sekarang sudah nerasa nyaman bisa berjualan Mie Ayam, dia sudah bisa menghasilkan uang sendiri.
"Ningsih gak mau kehilangan Aa!" Ningsih menahab tangisnya. Air matanya membasahi pipinya yang halus.
"Jang!" Lilis melihatku dengan air mata berlinang.