𝐑𝐢𝐭𝐮𝐚𝐥 𝐆𝐮𝐧𝐮𝐧𝐠 𝐊𝐞𝐦𝐮𝐤𝐮𝐬 (𝐁𝐚𝐠.𝟐𝟓 : 𝐌𝐞𝐧𝐲𝐮𝐬𝐮𝐧 𝐑𝐞𝐧𝐜𝐚𝐧𝐚 )


"Ujang? Ada apa malam malam kamu ke sini?" tanya Mang Karta yang berdiri di pintu dengan perasaan was was.

Aku mencium tangan pria yang selama ini telah menggantikan tugas ayahku. Yaa Tuhan, kenapa ingatan tentang mimpiku selalu muncul. Harusnya tidak ada mimpi itu. Mimpi yang selalu menghantuiku. Seperti ada jarak yang menjagaku untuk dekat dengan Mang Karta. Padahal selama ini tidak ada jarak di antara kami.

"Masuk, Jang!" Mang Karta menarik tanganku. Tangannya terasa dingin.

Di ruang tamu Bi Narsih menatapku gelisah. Termpancar jelas di matanya.

"Ada apa, Jang ? Kamu gak apa apakan, Jang? " Bi Narsih memegang bahuku.

"Gak apa apa, Bi. Ujang lagi bingung
!" kataku resah.

"Bingung kenapa, Jang? Mamang dan Bibi sampe ketakutan. Takut terjadi apa apa." kata Mang Karta menarik nafas lega.

"Jang, Jang. Bikin Bibi panik saja." kata Bi Narsih sambil masuk ke dalam. Tidak lama Bi Narsih keluar membawa air putih.

"Minum dulu, Jang.!" Bi Narsih memberikan air putih ke tanganku. Aku langsung meminumnya habis. Bi Narsih kembali masuk ke dalam.

Mang Karta menawarkan rokok, aku mengambilnya sebatang. Saking bingungnya aku sampai lupa membeli rokok yang sudah habis sejak mengantar Lastri tadi. Aku menghisap sebatang rokok lumayan bisa membuatku sedikit tenang. Bi Narsih kembali muncul dengan dua gelas kopi.

"Jang, sebenarnya ada apa? Coba kamu cerita, siapa tahu Bibi dan Mang Karta bisa membantu?" tanya Bi Narsih pelan.

Kehadiran Mang Karta membuatku kesulitan untuk mengutarakan maksudku mengajak Bi Narsih menyempurnakan ritual di Gunung Kemukus. Bisa saja aku menghilangkan bagian bahwa aku harus ritual dengan selingkuhan ayahku. Tapi tetap saja aku tidak berani atau lebih tepatnya merasa segan dengan kebaikan Mang Karta.

"Jang!" Mang Karta menapku yang menunduk gelisah. Bagimana aku busa membenci pria yang selama ini sudah berhasil menggantikan peran ayahku. Walau mungkin dia adalah pembunuh ayahku.

Sejak kecil aku tidak begitu mengenal ayahku. Aku ingat, Ayahku sangat jarang pulang. Biasanya ayah pulang sebulan sekali, di rumah paling lama 3 hari, lalu kembali ke Jakarta.

Sedangkan Mang Karta hampir seminggu sekali dia pulang menengok Kakek dan Neneku yang mulai sakit sakitan. Mang Karta dirawat Kakek dan Nenekku sejak usia 10 tahun. Mang Karta selalu membawa oleh oleh untuk aku dan adik adikku. Aku sejak kecil sudah akrab dengan Mang Karta.

"Jang!" sekali lagi Mang Karta memanggilku.

"Ujang mau istirahat, Mang" kataku lesu.

"Ya sudah, kamu istirahat di kamar atas. Bawa kopimu, siapa tau kamu gak bisa tidur. Rokoknya juga kamu bawa, Mamang masih punya 1 bungkus." kata Mang Karta.

Aku mengangguk, mengambil kopi dan rokok lalu berjalan ke kamar atas. Kubuka jendela kamar lebar lebar agar sirkulasi udara mampu mendinginkan kepalaku.

*******

Jam 9 aku bangun dengan pikiran lebih tenang. Aku langsung ke kamar mandi. Badanku terasa lengket sejak kemarin aku belom mandi. Segar sekali badanku setelah mandi.

"Ponakan Bibi sudah bangun!" Bi Narsih tersenyum manis melihatku keluar dari kamar mandi.

"Seger, Bi." kataku sambil masuk dapur membuat kopi.

"Tumben bikin kopi sendiri, Jang?" goda Bi Narsih yang melihatku memasak air buat kopi.

"Kan biasanya juga bikin kopi sendiri, Bi." kataku sambil tersenyum manis ke arah Bi Narsih yang berdiri di pintu dapur memperhatikanku.

Selesai membuat kopi aku duduk di ruang keluarga. Mang Karta sudah berangkat ke pasar jam 5 pagi. Sedang Desy dan Dinda sudah berangkat sekolah. Jadi aku bisa ngobrol tenang dengan Bi Narsih.

"Kamu lagi berantem dengan istrimu, Jang? Biasa Jang, namanya juga baru nikah, belom begitu kenal dengan sifat masing masing. " kata Bi Narsih membuka percakapan.

"Bukan, Bi. Ningsih dan.Lilis mimpi hal yang sama." kataku sambil meminum kopi yang kubuat.

"Mimpi apa, Jang?" tanya bibi penuh minat.

"Mereka bermimpi, Ujang harus menuntaskan ritual di Gunung Kemukus dengan selingkuhan, Ayah. Kalau tidak, Ujang bisa celaka." kataku agak berbisik seolah olah takut ada yang mendengarnya.

"Ningsih kok bisa mimpi yang sama dengan Lilis? Apa istrimu tahu kamu ritual di Gunung Kemukus dengan Lilis?" tanya Bi Narsih.

"Ningsih juga pernah ritual dengan Ujang sampe hamil. Makanya Ujang nikah dengan Ningsih." kataku menerangkan.

"Och, gitu. Kamu tau siapa yang dimaksud selingkuhan Ayah kamu?" tanya Bi Narsih dengan wajah yang terlihat gelisah.

"Anis, Bi. Anis yang cerita waktu di Gunung Kemukus. Ujang kemarin sudah ke Karawang nemuin Anis. Tapi Anis gak bisa bantu menyempurnakan ritual, Ujang, Bi. Dia sudah mau nikah. Ujang takut, Bi.!" kataku dengan wajah memelas.

"Gitu ya, Jang. Kalau begitu Ujang menyempurnakan ritualnya dengan Bibi." kata Bi Narsih pelan, wajahnya menunduk gelisah.

"Maksud, Bibi Ujang ritual sama Bibi? Gak bisa, Bi. Ujang harus ritual dengan selingkuhan Ayah." kataku pura pura tidak tahu bahwa Bi Narsih pernah jadi selingkuhan Ayahku.

"Bibi pernah selingkuh dengan Ayahmu, Jang. Maafin Bibi ya. Tolong jangan kasih tau ibumu. " kata Bi Narsih dengan wajah tetap menunduk.

"Iya, Bi. Ujang janji gak akan bilang ibu. Ujang juga kan sudah selingkuh dengan Bibi." kataku pura pura terkejut.

"Ujang gak salah, waktu itu Bibi yang mulai, lagi pula Mamang sudah ngasih ijin, jadi kita bukan selingkuh." kata Bi Narsih.

"Sekarang Ujang agak tenang, Bi. Tapi masih ada ganjelan." lalu aku menceritakan tentang Mbak Wati.

"Masalah Mbak Wati, bisa Bibi tangani. Teman ritual Bibi punya temab yang juga mau ritual tapi belom punya pasangan. Kata teman ritual Bibi, temannya yang mau ritual ganteng." kata Bi Narsih.

Saking senangnya mendengar kesanggupan Bi Narsih, aku langsung memeluknya dan menciumi wajahnya. Kucium juga bibir Bi Narsih dengan bernafsu. Bahkan tanganku meremas teteknya dengan gemas.

Bi Narsih membalas ciumanku dengan bergairah, tangannya mengelus kontolku. Lama kami saling berciuman, nafsuku semakin memuncak.

"Udah Jang, sekarang kamu pulang. Istrimu pasti hawatir kamu tidak pulang semalam." Bi Narsih menepiskan tanganku yang meremas teteknya.

"Bibi, Ujang gak tahan nich pengen ngentotin bibi." kataku.

"Hush, ponakan kurang ajar, Bibi sendiri mau dientot.! Nanti aja, sekarang kamu pulang dulu, kasian istri kamu pasti khawatir" kata Bi Narsih.

"Iya, Bibi sayang." kataku riang. Aku mencium tangannya pamitan pulang.

********

"Assalam mu'alaikum" aku mengucapkan salam dengan riang.

"Wa 'alaikum salam," istriku membuka pintu menyambut kedatanganku sambil mencium tanganku.

"Bagaimana, A? " Ningsih bertanya.

"Sabar ya istriku yang cantik. Aa mau duduk dulu." kataku sambil merangkul Ningsih kuajak ke ruang keluarga. Di ruang keluarga Lilis yang sedang nonton TV menoleh ke arah kami.

"Bagaimana, Jang?" Lilis mengajukan pertanyaan yang sama dengan Ningsih.

"Sabar donk, Lis." kataku menggoda dua wanita cantik yang tampak khawatir.

"Aku sudah ketemu dengan selingkuhan Ayahku, dia mau bantu menyempurnakan ritualku." kataku setelah meminun air pemberian Ningsih.

"Alhamdulillah, A. Ningsih seneng mendengarnya." kata Ningsih sambil memelukku bahagia.

"Aa ke tempat Ibu dulu, ya!" kataku. Baru saja aku sampai depan pintu, Lilis memanggilku.

"Jang, ada telpon dari Bi Narsih!" kata Lilis dengan suara keras.

"Iya, !" aku kembali masuk. Mengambil gagang telpon dari Lilis.

"Hallo Bi, ada apa?" tangaku heran Bi Narsih menelpon.

"Jang, tadi Bibi sudah nelpon teman Bibi, katanya dia mau ketemu dengan Wati membicarakan rencana buat ritual. Kamu bisa hubungi Wati buat ketemuan nanti soer?" kata Bi Narsih.

"Iya, Bi. Nanti Ujang tanyain." jawabku. Lalu menutup telpon.

"Ning, Aa mau ke tempat Mbak Wati dulu ya, mau membicarakan masalah ritual." kataku pamitan ke istriku dan Lilis yang mendengarkan pembicaraanku di telpon.

********

Mbak Wati tersenyum melihat kedatanganku. Kebetulan warung masih belum begitu ramai, hanya ada dua orang pembeli yang makan bakso di meja paling pojok. Lumayan besar warung mie ayam dan bakso Mbak Wati.

"Ada pengantin baru datang, nich. Kok istrinya gak diajak, Jang? Tanya Mbak Wati.

Aku hanya tersenyum langsung saja aku membicarakan maksud kedatanganku menemuinya.

"Aku mau ngajak Mbak Wati jalan, mau ngobrolin masalah ritual. Bisa gak Mbak?" kataku.

"Nanti aku bilang Mas Gatot dulu, ya!" kata Mbak Wati berjalan mendekati Mas Gatot. Kulihat Mbak Wati berbisik ke Mas Gatot. Mas Gatot terlihat mengangguk dan tersenyum padaku.

"Boleh, Jang. Sekarang berangkatnya? Mbak mau ganti baju dulu, ya" tanya Mbak Wati.

"Iya Mbak, aku mau nelpon ke rumah sebentar" kataku. Aku berjalan ke telpone umum yang tidak jauh dari warung. Aku nelpon Bi Narsih. Bi Narsih menyebutkan tempat bertemu jam 6. Sekarang baru jam 2 masih 4 jam lagi. Bi Narsih sudah memesan kamar hotel. Aku disuruh nunggu du sana.

Aku kembali ke warung, Mbak Wati masih di kamar ganti baju. Sebenarnya aku mau bilang berangkatnya nanti jam 5, tapi ya sudahlah. Aku bisa ngejelasin maksudku sebelom bertemu Bi Narsih dan temannya.

"Mas Gatot gak apa apa Mbak Wati aku ajak jalan pulangnya malam?" tanyaku. Sebenarnya agak sungkan juga mengajak istri orang walau aku sudah sering berhubungan intim dengan istrinya atas persetujuannya. Bahkan kami pernah beberapa kali 3some di hotel.

"Gak apa apa, kan di Warung ada laras yang bantu bantu." kata mas Gatot melihat Laras anak gadisnya yang berusia 16 tahun

Tidak lama Mbak Wati keluar dengan berpakaian baju muslim membuat wajahnya semakin cantik. Walau Mbak Wati termasuk gemuk, tapi tidak mengurangi daya tariknya.

"Yuk Jang, berangkat. Mas aku keluar dulu. Ras, Ibu jalan dulu.!" kata Mbak Wati berpamitan.

Kami naik angkot yang berhenti di depan warung. Aku mengajak Mbak Wati ke hotel melati yang jauh dari rumah sekaligus menjadi hotel langganannku dengan Bi Narsih. Sudah 2x aku ke sini dengan Bi Narsih.

"Idih, pengantin baru ko ngajak Mbak ke sini? Kangen jepitan memek Mbak, ya?" kata Mbak Wati sambil mencubit tanganku.

Aku hanya tersenyum sambil menggandeng tangan Mbak Wati memasuki kamar hotel yang sudah dipesan Bi Narsih.

Ternyata kamar yang dipesan Bi Narsih mempunyai dua tempat tidur. Rupanya Bi Narsih sudah mempersiapkan semuanya.

Mbak Wati membuka baju nuslim dan jilbabnya hingga menyisakan BH dan celana dalamnya saja. Mbak Wati juga melepas ikatan rambutnya, hingga rambutnya yang panjang tergerai indah.

"Ngobrolnya nanti aja, Jang. Mbak kangen kontol kamu yang gede." kata Mbak Wati menubrukku yang duduk di pinggir ranjang hingga membuat tubuhku terlentang.

Mbak Wati naik ke atas tubuhku dan menarik kaosku lolos dari kepala. Lalu melepas ikat pinggang, kancing dan releting celanaku. Mbak Wati menarik celana panjang dan celana dalamku berbarengan lepas dari kakiku. Aku benar benar ditelanjangi Mbak Wati yang kini berdiri melepas BH dan celana dalamnya.

Mbak Wati kembali menindihku, bibirnya melumat bibirku dengan bernafsu. Aku membalasnya dengan sepenuh hati lumatan bibir wanita yang sudah mengambil perjakaku. Tubuh gemuknya terasa hangat dan halus kulitnya.

"Mbak mau merkosa kamu." kata Mbak Wati tersenyum memandangku dengan mesra.

"Gak usah diperkosa juga, Ujang mau kok. Mbak makin gemuk, ya?" tanyaku.

"Iya, nambah 5 kilo. Tapi Mbak masih kelihatan sexy kan?" kata Mbak Wati sambil menciumi leherku.

"Sexy banget Mbak. Apalagi memek Mbak enak banget bikin ketagihan." kataku.

Setelah puas menciumi leherku, Mba Wati beralih menjilati pentil dadaku dengan bernafsu. Kadang menghisapnya dengan keras membuatku menggelinjang kegelian namun terasa nikmat.

Mbak Wati beralih membelai kontolku yang sudah ngaceng. Lalu kontolku dicaploknya dengan bergairah. Menghisap kepala kontolku dan tangannya mengocok batang kontolku dengan cepat. Nikmat sekali sepongan Mbak Wati, begitu ahli dan profesional.

"Gantian Mbak, aku mau jilatin memek, Mba Wati!" kataku sambil menahan kepala Mbak Wati.

"Hihihi, baru di sepong aja udah gak tahan. Apalagi dijeput memek Mbak." kata Mbak Wati sambil merebahkan tubuhnya di kasur yang empuk.

Gantian aku merangkak di atas tubuh gemuk Mbak Wati, kuremas tetek jumbonya sambil kuhisap putingnya yang sudah mengeras. Kuhisap dengan rakus tetek wanita yang sudah mengambil perjakaku.

0uas dengan teteknya, aku merangkak mundur menuju memek yang selalu rutin dicukur. Aku mencium bau memek Mbak Wati yang khas dan sudah sangat bash itu. Bau memek yang mampu membuatku ketagihan.

Kubuka belahan memek Mbak Wati yang tebal dan bergelambir. Warna baguan dalamnya begitu merah bash oleh cairan birahinya. Aku menjulurkan lidahku masuk lobang memeknya, kugerakkan lidahku, air liurku bercampur cairan birahi Mbak Wati yang sangat banyak. Kadang aku gigit itilnya yang indah. Aku begitu menikmati memek Mbak Wati, aku berusaha menghisap lubangnya agar cairan memeknya bisa aku telan.

"Ampun, Jang. Mbak gak kuat, entot memek Mbak, Jang!" kata Mbak Wati berusaha bangkit menarikku.

Aku merangkak maju hingga kontolku tepat di lobang memek Mbak Wati yang sudah sangat basah oleh cairan birahi. Mbak Wati menuntun kontolku agar pas di lobang memeknya. Aku langsung mendorong pinggulku, kontolku menerobos masuk memeknya dengan mudah.

"Gilaaa Jang. Kontol kamu enak banget." kata Mbak Wati sambil memelukku dengan erat.

Aku langsung mengocok memek Mbak Wati dengan cepat, karna Mbak Wati paling suka memeknya dientot dengan cepat. Kalo pelan gak kerasa, katanya.

Kocokanku di memek Mbak Wati menimbulkan bunyi cukup keras akibat memek Mbak Wati yang sudah sangat basih. Bunyi yang sangat merdu menurutku. Walau memek Mbak Wati sudah banjir tapi cengkeramannya masih terasa nikmat, apa lagi Mbak Wati ikut menggerakkan pinggulnya menyambut hujaman kontolku yang bertenaga.

"Memek Mbak ennnak banget." kataku sambil terus mengocok memeknya denga cepat.

"Kontol kamu juga ennnak banget, Jang. Terusssss Jang entot Mbak...." Mba Wati mencium bibirku dengan ganas, pinggulku tetap bergerak cepat menghujamkan kontolku ke memeknya yang nikmat

"Jang, Mbak kelllluarrrrr, kontol kamu ennnnak banget....." Mbak Wati memelukku senakin erat, kakinya menjepit pinggangku hingga tak mampu bergerak. Memeknya berkedut kencang meremas kontolku dengan keras. Nikmat rasanya saat memek Mbak Wati berkintraksi.

Setelah badai orgasmenya reda, Mbak Wati meluruskan kakinya, lalu menggulingkan tubuhnya ke samping kanan hingga posisi kami berubah aku di bawah dan Mbak Wati diatas menindihku tanpa melepas kontolku dari memeknya.

Mbak Wati bangkit berjongkok, pantatnya bergerak naik turun mengocok kontolku dengan cepat. Tanganya bertumpu pada dadaku. Tetek jumbonya bergerak naik turun.

Aku meremas tetek Mba Wati yang bergerak cepat memompa kontolku. Bibirnya mendesis nikmat. Matanya menatapku dengab binal.

"Kontol kamu gede banget, Jang. Ennak sampe mentok memek Mbak." kata Mbak Wati, bibirnya tersenyum.

"Memek Mbak jepitannya ennnak banget." kataku.

"Ennnnak mana sama memek istrimu?" kata Mbak Wati sambil terus mengocok kontolku dengan ganas.

"Ennnnak memek Mbak, bisa mpot ayam
" kataku berbohong.

Cukup lama kami bersetubuh. Mbak Wati kembali meraih orgasme dengan posisi WOT. Lalu kami berganti posisi dogy style. Aku mengocok memek Mbak Wati dari belakang. Pantatnya yang besar sangatlah menggoda. Terguncang guncang oleh hentakan kontolku hingga ahirnya aku tidak mampu bertahan lebih lama.

"Mbak, aku mau ngecrot.!" teriakku sambil menembakkan pejuhku ke memeknya.

Pada saat bersamaan ternyata Mbak Wati juga meraih orgasme.

"Mbak juga Jang."

Setelah orgasme kami reda, kami tidur telentang berdampingan.

"Mbak, Malam Jum"at Pon kita ke kemukusnya barengan sama temenku ya!" kataku membuka percakapan dengan Mbak Wati.

"Emang ada yang mau berangkat dari Bogor?" tanya Mbak Wati.

"Ada, saudaraku. Tapi kita ganti pasangan ya, Mba? Mbak pasangan sama temanku. Mau kan, mbak?" tanyaku.

"Gak mau, Jang. Dua kali kuta tuker pasangan di Gunung Kemukus. Dua kali Mbak rugi. Sama Pak Budi, baru nempel langsung keluar. Sama Aji, gantengnya doang. Mbak belum keluar, si Aji udah keluar duluan. Udah gitu kontolnya gak bisa bangun lagi." kata Mbak Wati.

"Tapi sekarang beda Mbak" kataku berusaha meyakinkan Mbak Wati.

"Pokoknya aku gak mau. Aku cuma mau pasangan sama kamu. !" kata Mbak Wati agak marah.

Tiba tiba ada yang mengetuk pintu kamar. Baru jam 5, sedangkan Bi Narsih baru datang jam 6. Kembali suara ketukan itu terdengar lebih keras. Aku bangkit buru buru pakai baju. Mbak Wati juga memakai bajunya dengan tergesa gesa.


Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.
You will be redirected to the script in

seconds

BTemplates.com

POP ADS

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com