"A, semalam Lilis mimpi sedekah motong kambing di Gunung Kemukus buat menyempurnakan ritual. Ujang juga harus menyempurnakan ritualnya di Gunung Kemukus, kalau tidak, nanti akan terjadi sesuatu" kata Lilis ke Pak Budi.
"Gak masalah. Berapa kambing, Neng? Neng sendiri yang ke sana atau diwakilin?" tanya Pak Budi.
"Bisa diwakilin, A. Lagi pula gak mungkin Neng berangkat ke Gunung Kemukus. Kandungan Neng masih muda, takut ada apa apa, A" kata Lilis.
"Gimana, Ning Ujang harus menyempurnakan ritualnya di Gunung Kemukus, kamu gak apa apakan?" Pak Budi menatap Ningsih istriku.
"Iya gak apa apa, A. Yang penting semuanya selamat." kata Ningsih menunduk. Tangannya menggenggam tanganku.
"Oh ya, Jang. Kenapa kamu gak nyoba menyempurnakan ritul selama 7 hari di sana. Seperti Lilis 9 hari di sana dan Ningsih, ritual selama 7 hari di sana. Cuma bedanya kamu ke sana sekedar ikut karna di ajak Mbak Wati, otomatis kamu gak fokus buat ritual. Sekedar ikut ikutan. Coba kamu nyari wanita yang mau bantu kamu buat menyempurnakan ritualmu selama seminggu. Mungkin ritualmu bisa sempurna." kata Pak Budi panjang lebar.
Argumen Pak Budi masuk akal juga. Selama ini aku ritual sekedar ikut ikutan dan ingin tahu. Setelah tahu, aku justru lebih menikmati seksnya saja. Makanya ritualku tidak sempurna.
"Ningsih juga taukan Aa punya penyakit ?" tanya Pak Budi, lagi. Ningsih hanya mengangguk.
"Ningsih gak cerita ke Abah dan Ambukan?" sekali lagi Pak Budi bertanya dan Ningsih kembali mengangguk.
"Ningsih gak keberatan berbagi dengan Teh Lilis?" kembali Pak Budi bertanya.
"Iya, tentu saja Ningsih mau berbagi dengan Teh Lilis. Kalau bukan karna t
Teh Lilis, sampe sekarang Ningsih belom punya suami. Mungkin sekarang Ningsih sudah jadi PSK di Gunung Kemukus." ujar Ningsih pelan.
"Terima kasih Ning atas pengertiannya. Jang, di rumah ini kamu punya dau istri, perlakukanPp mereka dengan adil. Rahasia ini hanya kita yang tahu. Ya sudah, aku mau istirahat dulu." kata Pak Budi sambil berjalan ke kamar.
"Ning!" kata Lilis menatap Ningsih.
"Iya, Teh. Malam ini A Ujang nemenin Teh Lilis. Ningsih kan udah seminggu lebih, sampe dower memek Ningsih dientot kontol A Ujang yang gede." kata Ningsih, bangkit mencium pipi Lilis.
"Ningsih gak mau ikutan?" tanya Lilis sambil memegang tangan Ningsih.
"Gak, nanti Ningsih cemburu. A, ningsih bobp dulu, ya !" Ningsih mencium pipiku mesra.
Tinggal aku berdua dengan Lilis di ruang tamu. Kami saling bertatapan, Lilis tersenyum, ditariknya tanganku masuk kamarnya yang harum dan bernuansa pink. Romantis sekali kamarnya.
Lilis mendorongku duduk di spring bed empuk. Tanpa bicara Lilis membuka pakaiannya hingga bugil. Lalu menghampiriku. Ditariknya kaosku lepas dari kepala. Kemudian Lilis berjongkok membuka resleting celanaku. Aku mengangkat pinggulku saat Lilis menarik celanaku lepas bersama celana dalamku.
Lilis membelai belai kontolku yang masih tertidur, perlahan lahan kontolku bangkit semakin besar.
"Hihihi, gampang amat ngebangunin kontol kamu, Jang!" Lilis mulai menjilati batang kontolku dengan lembut membuat kontolku semakin mengerat dan sampai pada puncak kekerasannya.
Aku sangat suka dengan gaya Lilis memanjakan kontolku dengan jilatan jilatannya yang lembut mampu membuat sekujur tubuhku merinding nikma.
"Nikmat, Lis." rintihku sambil mengusap rambutnya yang tebal dan halus.
"Ujang suka dijilatin gini?" tanya Lilis sambil melihatku genit, lidahnya terus menjilati kontolku sampai basah.
"Suka banget." kataku.
Tiba tiba Ningsih masuk kamar yang tidak terkunci dengan tubuh sudah telanjang bulat membuat kami menoleh kaget.
"Ningsih, katanya mau bobo?" tanyaku heran.
"Ning mau liat cara Teh Lilis nyepong kontol yang bikin Aa ketagihan ." kata Ningsih ikutan berjongkok di samping Lilis.
"Ginj cara memperlakukan kontol suami biar puas," kata Lilis, lalu memberi contoh ke Ningsih cara menjilati kontolku, dimulai dengan menjilati pangkal kontol, merayap naik ke ats tanpa menjilat kepalanya. Hingga semua bagian batang kontolku basah oleh ludah Lilis, lalu Lilis mulai melahap kepala kontolku diemutnya dengan lembut.
Aq merintih nikmat, sensasinya semakin bertambah saat Lilis .emanjakan kontolku ditonton istriku. Aku seperti pangeran yang sedang dimanjakan dua orang wanita yang sama sama cantik.
"Jang, naek sedikit,!" kata Lilis.
Aku menggeser dudukku agak naik, hanya betisku yang menjuntai di tepi ranjang. Lilis naik ke atasku, memeknya di hadapkan ke wajahku dan kepalanya menghadap kontolku.
"Ning, coba kamu praktekin cara Teteh ngejilatin kontol suami kamu." kata Lilis memberi arahan ke istriku. Pinggulnya diturunkan hingga memeknya menyetuh mulutku.
Bau memek Lilis sangat aku suka. Bau memek alami tanpa sabun sirih atau yang lainnya dan juga tidak bau pesing seperti memek Wina dan Desy. Dengan posisi nungging, aku juga bisa melihat lubang anus Lilis yang berkerut.
Aku mulai menjilati memek Lilis yang sudah sangat basah, nikmat sekali rasanya menjilati memek Lilis yang berwarna pink dan tanpa jembut. Lilis sudah rutin mencukur jembutnya seperti permintaanku waktu di Gunung Kemukus.
Sementara aku menjilati memek Lilis, Ningsih menjilati kontolku seperti cara yang diajarkan Lilis padanya. Ningsih cepat sekali belajar, dia mampu memberikan kenikmatan maksimal. Kalau saja kosentrasiku tidak terbagi, mungkin aku sudah ngecrot.
Aku berkonsentrasi menjilati memek Lilis sambil tanganku menggosok gosok itilnya membuat Lilis kelojotan keenakan. Tiba tiba Lilis mengangkat pinggulnya menjauhi wajahku.
"Ning, gantian. Teteh udah ga tahan pengen ngentot." kata Lilis mendorong pundak Ningsih menjauh dari kontolku. Lilis mengankangi kontolku dan mengarahkannya tepat di lobang memeknya yang sudah sangat basah.
Bles, dengan mudah kontolku masuk memeknya yang sudah sangat basah. Menggesek dinding memek yang lunak dan lembab, nikmat sekali rasanya. Perlahan Lilis menggerakkan pinggulnya naik turun dengan lembut, selembut wajahnya yang cantik dan anggun.
"Ning, sini memeknya Aa jilatin!" kataku ke istriku yang bengong melihat kontol suaminya dipake kakaknya.
"Gak sopan atuh, A. Masa muka suami didudukin." kata Ningsih dengan perasaan sungkan.
"Ga apa apa, Ning. Kan cuma waktu mau ngentot saja." kataku meyakinkan istriku bahwa itu hal biasa buat meraih kepuasan.
Dengan ragu Ningsih melangkahi wajahku, memeknya disodorkan ke wajahku dengan posisi saling berhadapan dengan Lilis sehingga Ningsih bisa melihat kontol suaminya keluar masuk memek kakaknya. Ningsih bisa melihat kontol suaminya yang mengkilap basah oleh cairan memek kakaknya
"Aduh, Jang. Kontolnya gede amat sampe mentok memek Lilis. Ennnnak Jang..."
Aku berusaha mengabaikan erangan dan rintihan Lilis serta rasa nikmat yang dihasilkan akibat gesekan kontolku dan memeknya. Aku kisentrasi menjilati memek istriku agar bisa bertahan lama dan bisa memuaskan dua wanita kakak beradik yang menjadi istriku. Pebedaanya adalah, Ningsih adalah istri sahku dan Lilis adalah istri yang disahkan oleh Pak Budi.
"Aa, Ningsih mau kelllluarrrrr, ennnnak memek Ning dijilatin " Ningsih semakin menekan pinggulnya ke wajahku membuatku tidak bisa bernafas beberapa detik. Aku berusaha bertahan membiarkan orgasme istriku mereda.
Perlahan aku mendorong pantat Ningsih agar menjauh dari wajahku. Akhirnya aku bisa menarik nafas lega dan agak tersengal sengal.
"Ujang..... Lilis kelllluarrrrr, ennnak..!" Lilis pun mengalami orgasmenya. Memeknya berkontraksi dahsyat menyambut sejuta kenikmatan yang membetot jiwanya. Nafasnya tersengal sengal.
"Jang, entot Lilis sambil nungging ya!" kata Lilis mengangkat pinggulnya sehingga kontolku terlepas dari memeknya. Kemudian Lilis merangkak mundur ke tepi ranjang. Pantatnya diangkat tinggi.
Aku mengerti dengan apa yang dimau Lilis, beranjak turun dari ranjang. Lalu berdiri di belakang Lilis, kuarahkan kontolku ke lobang memek Lilis yang agak terbuka. Bles, kontolku dengan mudah menerobos Mas memeknya.
"Ningsih, kamu tiduran di depan Teh Lilis, memek kamu Teteh jilatin.!" Lilis menyuruh Ningsih tidur terlentang dengan memek tepat berada di depan wajah Lilis. Ningsih menurut apa yang disuruh Lilis.
Sementara aku menggenjot memek Lilis dari belakang, Lilis menjilati memek istriku. Posisi yang membuatku semakin terangsang. Apalagi melihat istriku yang mengangkang memeknya dijilatin Lilis. Benar benar luar biasa.
Aku semakin cepat aku mengocok memek Lilis dengan bernafsu, suara keciplak memek Lilis benar benar merdu. Lama aku mengocoknya hingga ahirnya Lilis menjerit lirih meraih orgasmenya bersamaan dengan Ningsih yan juga mendapatkan orgasmenya. Dan akupun menyusul menyemburkan pejuhku di memek Lilis.
**********
Hari ini aku berangkat ke Karawang mencari alamat Teh Anis yang ditulis di kertas oleh Teh Anis sendiri. Mudah mudahan ini alamat asli bukan alamat palsu. Ternyata alamat yang diberikan letaknya cukup jauh dari kota Karawang aku harus nyambung mobil 2 x. Sampai alamat Teh Anis jam 2 siang.
Tidak sulit menemukan alamat Teh Anis, setiap orang yang aku tanya mengenal Teh Anis. Ahirnya aku sampai juga di rumah Teh Anis, di depannya ada warung kopi. Aku masuk je warung kopi yang kebetulan sedang sepi.
"Neng kopi hitam." kataku pada seorang gadis remaja yang taksiranku berusia 15-14 tahun. Cukup cantik. Apakah ini Ratna adikku?
"Teh Anis nya mana, Neng?" tanyaku ke gadis itu.
"Lagi belanja ke pasar. Aa sepertinya bukan orang sini?" tanya gadis itu menatapku penuh selidik.
"Iya, Aa orang Bogor. Kamu Ratna ya?" tanyaku penasaran.
"Kok tau ? Kan Aa bukan orang sini." tanya Ratna heran.
Belum sempat aku menjawab, Anis datang membawa belanjaan cukup banyak. anis kaget melihatku di warungnya.
"Ujang !" Anis memanggil namaku dengan heran. "Ratna, ini bawa ke dalam.!" Anis memberikan kantong plastik berisi belanjaan kepada Ratna setelah berhasil menenangkan diri.
"Jang, kirain Anis becanda mau ke sini." Anis tersenyum senang dengan kedatanganku yang mengejutkan.
"Aku gak becanda, pengen liat anak Anis Ratna." kataku pelan takut terdengar Ratna.
"Kita ngobrol di dalam rumah, di sini gak bebas." Anis menarik masuk ke dalam warung yang tembus ke dalam rumah.
Rumah Anis walau kecil tapi tertata apik dan rapih. Aku duduk di ruang tamu yang menyatu denga ruang menonton TV.
"Rat, jangan warung dulu, ya. Mamah mau ngobrol sama Ujang. Och ya, mamah lupa ngenalin, ini Ujang kakak kamu anaknya Ayhmu yang paling tua." kata Anis mengenalkan.
Dengan acuh Ratna mencium tanganku. Matanya nenatap tajam penuh selidik. Setelah puas nenatapku, Ratna pergi ke warung.
"Ratna tau semuanya, Nis?" tanyaku.
"Anis sudah cerita semuanya ke Ratna, tentang ayahnya yang sudah meninggal sebelum dia lahir, tentang kamu." kata Anis. Bibirnya selalu tersenyum, matanya tak pernah beralih dariku.
"Och gitu. Ratna cantik seperti Anis. Och ya, Nis, Malam Jum'at Pon kamu ke Gunung Kemukus lagi, kan?" tanyaku penuh harap.
"Sepertinya Nis gak bisa ke Gunung Kemukus lagi, Jang. Kasian Ratna ditinggal sendirian di rumah gak ada yang jagain. Lagi pula bulan depan Anis mau nikah, Jang" kata Anis membuatku shock.
Aku menarik nafas panjang menenangkan hatiku yang agak terguncang. Anis adalah harapanku untuk menyempurnakan ritual di Gunung Kemukus.
"Anis mau nikah? Selamat ya Nis" kataku agak lesu. Akupun pamitan pulang dan menitipkan sedikit uang untuk Ratna. Aku juga memberikan alamatku di Bogor apabila Ratna membutuhkan sesuatu. Anis bisa menyuratiku.
Harapanku satu satunya untuk menyempurnakan ritualku adalah Bi Narsih, walaupun aku agak ragu mengajak Bi Narsih buat ritual. Apa lagi pasti Mba Wati akan tetap melanjutkan ritualnya denganku. Kalau aku menolak, aku takut Mbak Wati akan membuka rahasia Lilis dan Pak Budi ke tetangga sekitar rumah.
Kalau saja Anis mau melanjutkan ritualnya denganku, aku masih punya harapan Mbak Wati akan meneruskan ritualnya dengan Aji, jadi tidak ada penghalang buatku. Kepalaku serasa mau pecah memikirkannya.
*********
Sampai terminal Bogor jam 10 malam, ebtah kenapa aku malas pulang. Ahirnya aku duduk di jalan memandang kendaraan yang berlalu lalang.
Saat aku sedang melamun ada seseorang yang menepuk pundakku. Reflek aku menoleh. Ternyata Lastri yang menepuk pundakku.
"Loh, dari mana , Las?" tanyaku heran.
"Pulang kuliah. Kan aku kuliah malam. Kamu sendiri lagi ngapain di sini ?" tanya Lastri heran.
"Lagi pusing. Kamu sekarang tinggal di mana?" tanyaku. Kata ibuku Mbak Heny kakaknya Lastri sudah pindah, itu artinya Lastri juga ikut pindah.
"Di xxxxxx, mampir yuk! Dari sini jalannya deket." ajak Lastri.
Awalnya aku menopak, tapi Lastri tetap memaksa. Ahirnya aku mau juga. Setelah berjalan sekitar 7 menit, aku sampai kontrakan Lastri dan kakaknya Heny.
"Sampai di sini saja ya, Las ! Aku.lansung pulang, ga enak sam tetangga " kataku pamit
"Ko gitu sich, Jang? Gak apa apa, paling juga kita digrebek. Terus dinikahin." kata Lastri berusaha melucu.
"Nanti saja kapan kapan aku ke sini lagi." kataku.
"Janj!" Lastri mengacungkan dua jarinya.
"Janji!" kataku.
Tiba tiba Lastri mengecup bibirku sambil memeluk leherku. Agak lama dia mencium bibirku yang terdiam kaget dengan keberaniaanya.
"Aku tunggu ya kamu dateng.!" kata Lastri sambil membuka pintu rumahnya.
Aku mengangguk lalu berjalan meninggalkan Lastri yang memandangi kepergianku dari pintu rumah.
Aku berjalan tanpa tujuan. Pikiranku benar benar kalut, apa yang harus aku lakukan. Bi Narsih adalah harapanku yang terahir. Memikirkan hal itu, aku memberanikan diri ke rumah Bi Narsih.
Sesampainya rumah Bi Narsih aku kembali ragu. Aku melihat jam tanganku. Tepat pukul 12 malam. Aku memandang pintu rumah yang tertutup dan lampu di dalam rumah juga sudah dimatikan.
Tiba tiba hordeng terbuka dari dalam, seseorang melihat kehadiranku yang berdiri bingung.