𝐂𝐈𝐍𝐓𝐀 𝐏𝐔𝐓𝐈𝐇 𝐄𝐏𝐈𝐒𝐎𝐃𝐄 𝟏 : [ 𝐏𝐀𝐑𝐓 𝐁 𝐇𝐀𝐓𝐈 𝐘𝐀𝐍𝐆 𝐓𝐄𝐑𝐁𝐀𝐆𝐈 ]

POV MILA

Sepulang Mas Fais dari rumahku, aku langsung masuk ke dalam kamar. Aku mulai merenung atas perasaan yang sedang kurasakan ini.. entah ini sebuah pembenaran atau bukan, namun sepertinya kesimpulanku mengarah pada satu alasan, bahwa aku sebenarnya belum bisa mendapatkan kebahagiaan dari suamiku.

Yoga Pratama, itulah nama suamiku.. kini ia berusia 32 tahun, lebih tua 4 tahun dariku. Orangtuanya masih satu kampung denganku di Sukabumi, hanya terpisah lima rumah saja dari rumah orangtuaku. Namun suamiku ini sejak SD sudah ikut bersama pamannya di Jakarta, sehingga aku benar-benar tidak mengenalnya saat kami diperkenalkan oleh kedua orangtuaku.

Beberapa bulan sejak perpisahanku dengan Mas Fais, aku memang sudah tidak mau lagi berpacaran, meskipun saat itu cukup banyak laki-laki yang mencoba mendekatiku. Aku masih kecewa. Begitu pun saat orangtuaku mengenalkanku pada Kang Yoga, sama sekali tidak ada hasrat untuk mengenalnya, apalagi secara fisik dia bukan tipeku. Kang Yoga ini wajahnya menurutku biasa-biasa saja walau tak bisa dibilang jelek, tinggi badannya standar dan agak sedikit gemuk, apalagi sekarang sejak kesibukannya meningkat dan sudah tidak terkontrol pola hidupnya, perutnya semakin terlihat membuncit.

Kembali lagi ke masa lalu, saat itu aku belum menikah padahal usiaku sudah menginjak 24 tahun, sudah cukup tua untuk ukuran perempuan di kampungku. Kampungku memang cukup jauh ke pelosok sehingga adat istiadat dan tradisi masih dipegang kuat. Perjodohan adalah hal yang lumrah disana, akhirnya dengan sangat terpaksa aku pun meng-iyakan keinginan orangtuaku itu meskipun hati berkata tidak.

Bagaimana dengan Kang Yoga? Sepertinya dia pun sama, bisa jadi dia tidak memiliki rasa kepadaku, ditambah Kang Yoga ini orangnya terlalu serius… yang bagiku sangat membosankan, aku tak pernah sekalipun mendengar dia memujiku atau mengucapkan hal-hal yang romantis, kaku…. dan itu sampai hari ini!

Mungkin begitu juga saat Kang Yoga menilaiku, sama-sama kaku. Tapi sebenarnya kekakuanku kepada orang lain itu bukanlah bawaan lahir, sebelum menikah sikapku biasa saja kepada lawan jenis. Namun setelah menikah aku berprinsip akan menjaga amanat pernikahan, bagaimanapun aku harus menjaga harkat martabat sebagai seorang istri. Meskipun aku sempat tak mencintai suamiku, tapi aku beranggapan pernikahan itu suci dan harus dipertahankan sampai kapanpun. Sayangnya prinsipku itu sepertinya ambruk seketika di hadapan Mas Fais, orang yang paling dan pernah kucintai.

Sementara kekakuanku pada Kang Yoga awalnya dikarenakan aku merasa minder, aku hanyalah perempuan yang ekonominya pas-pasan, berasal dari kampung, sementara dia sejak kecil sudah tinggal di kota besar dan pada saat melamarku Kang Yoga sudah dibilang cukup mapan. Aku merasa ada gap yang cukup jauh diantara kami berdua.

Meskipun dulu banyak yang mengatakan aku cantik, tapi ketika pindah ke Jakarta sepertinya aku merasa kecantikanku biasa saja. Aku memang sejak dulu tidak pandai berdandan, untung saja kulit wajahku tak bermasalah, sehingga cukup dengan cuci muka dengan sabun khusus wajah, kulitku tetap putih dan mulus. Sementara untuk penampilan rasanya aku tidak bisa mengikuti gaya fashion perempuan Jakarta, rasanya aku tak cukup percaya diri jika harus bergaya seperti itu. Hal ini pun yang kemudian memubuat rasa minder terhadap suamiku semakin menjadi-jadi.

Seiring berjalannya waktu, rasa cinta mulai muncul kepada suamiku, mungkin itu terjadi ketika pernikahan sudah memasuki tahun ke-2. Aku baru menyadari saat itu, meskipun kaku, dia itu sebenarnya sangat baik kepadaku… tampaknya dia benar-benar ingin membahagiakanku dengan caranya sendiri. Dia selalu memberikan apapun yang dia mampu berikan untukku, meski sekalipun aku tak memintanya. Sejak saat itu, sikap kaku-ku pada Kang Yoga perlahan memudar walau tak sepenuhnya hilang, kini aku mulai bisa menunjukkan rasa sayangku. Namun tetap saja, sepertinya masih ada kebahagiaan yang benar-benar belum kudapatkan darinya.

[Minggu, 9 Oktober 2016]

Sore itu, di rumahku sedang ada Pak Mamat, seorang lelaki tua berusia 50 tahunan. Dia memang terbiasa bekerja serabutan di kompleks kami tinggal. Aku pun sudah mengenalnya sehingga sikapku tak terlalu canggung kepadanya, karena suamiku sudah sering menggunakan jasanya untuk memperbaiki beberapa kerusakan kecil di rumah kontrakanku, tentu saja pekerjaannya itu dilaksanakan saat suamiku ada di rumah, kalau tidak ada… mana mau aku menerima kehadiran orang asing.

Rumah yang kutinggali ini memang statusnya masih kontrak, meskipun penghasilan suamiku sudah lumayan besar tapi dia mengatakan belum cukup uang untuk membeli rumah sendiri, apalagi di Jakarta yang harganya sudah sangat tinggi. Suamiku ini pun sangat anti dengan yang namanya kredit atau berutang, dia lebih memilih bersabar mengumpulkan uang dan sementara tinggal di rumah kontrakan daripada harus mencicil.

Rumah kontrakan yang kutinggali ini sebenarnya bisa dibilang mewah untuk ukuranku, luasnya pun cukup besar, terutama halaman belakangnya yang berupa taman luas dan ada sebuah gazebo. Aku memang suka sekali dengan bunga dan tanaman, sehingga aku sangat menikmati tinggal di rumah ini. Namun tetap saja setelah bertahun-tahun kami tinggali, ada beberapa kerusakan kecil yang harus kami perbaiki. Dengan kesibukan suamiku, ditambah dia tidak bisa memperbaiki kerusakan rumah, beberapa kerusakan kecil pun akhirnya semakin parah dan baru di sore hari ini suamiku memanggil tukang.

Dari pagi hingga siang tadi, aku dan suamiku pergi berbelanja kebutuhan bulanan. Aku memang selalu berbelanja bersama dengan suamiku. Meskipun aku sudah diberi mobil sendiri, tapi tetap saja untuk jalan ke keramaian aku lebih nyaman bersama suamiku. Jikapun aku pergi paling ke minimarket di depan kompleks atau pergi ke Yayasan, itu bisa kulakukan sendiri. Karena itu Pak Mamat baru kami panggil bekerja menjelang sore.

Setelah Pak Mamat membetulkan genteng rumah yang bocor, kali ini Pak Mamat dan suamiku sedang berada di depan kamar mandi, dia sedang mengganti plafond yang lapuk dan menghitam terkena tetesan air hujan karena dibiarkan begitu selama berbulan-bulan.

Tiba-tiba aku merasa ingin kencing, sambil berlari dan mencoba berhati-hati melewati tangga almunium di depan pintu kamar mandi, dimana Pak Mamat sedang berada di atas tangga itu.

Setelah selesai menuntaskan hajatku, aku hendak membersihkan vaginaku melalui shower, namun tiba-tiba begitu kutekan… air keluar tak terkendali cukup deras dari pinggiran kepala shower dan juga dari keran shower pun terus menerus meneteskan air. Semburan air itu mengenai wajah dan t-shirt putih polosku sampai bajuku kuyup.

Aku pun keluar kamar mandi dengan wajah kesal, begitu kubuka pintunya yang agak terhalang oleh tangga almunium aku langsung mengadu kepada suamiku.. “Pah… liat baju aku basah, showernya bocoor….”, ucapku merengek manja seperti anak kecil.

Suamiku hanya mengangguk lalu berkata, “Pak Mamat, tolong sekalian benerin showernya ya habis dari sini…”.

Aku yang tidak sadar dengan keberadaan Pak Mamat langsung menolehkan wajahku ke arah atas. Pak Mamat ekspresi wajahnya begitu terangsang, matanya seperti yang sedang menelanjangi area payudaraku. Tentunya payudaraku tercetak jelas dalam keadaan basah begini. Aku langsung berlari ke dalam kamar.

Laki-laki tua yang kukenal baik dan sopan itu ternyata sama saja seperti lelaki lainnya, akan berubah kalau melihat pemandangan yang seperti ini. Setelah berganti pakaian, cukup lama aku berada di dalam kamar dan rasanya malas untuk keluar lagi, kini aku menjadi risih dengan Pak Mamat. Tapi kudengar suara suamiku memanggil, akhirnya aku terpaksa keluar kamar.

“Mi, besok beliin shower yang kaya gini ya…”, ucap suamiku sambil mengangkat shower yang sudah dilepaskan dari kamar mandi. Jika suamiku menyebutku dengan sebutan ‘Mi’, itu bukan berarti ‘Mami’ apalagi ‘Umi’, tapi kependekan dari namaku Mila… ya dia memang memanggilku seperti itu dan aku tidak mempermasalahkannya, malah aku suka karena cukup unik.

“Aku ga ngerti, Pah… kenapa ga sekarang aja sama Pak Mamat?”, jawabku mengelak, bukan aku menolak tapi karena aku benar-benar tidak mengerti masalah alat-alat pertukangan.

“Sekarang udah tutup, lagian belinya harus di toko bangunan yang agak gedean… itu yang di belokan yang mau menuju kantor Papah, kan ada di sebelah kiri… tau kan? Kamu bawa aja shower ini dua-duanya buat contoh”, ujar suamiku menjelaskan sambil memperlihatkan dua buah shower. Ternyata selain shower untuk di closet suamiku juga memegang shower untuk mandi yang sepertinya sama-sama harus sudah diganti.

“Iya Neng, di matrial biasa mah ga bakalan ada, Neng juga harus beneran teliti belinya soalnya banyak yang KW… pokonya yang mirip kaya gini aja Neng… buatan Jerman”, ucap Pak Mamat ikut nimbrung, kali ini wajahnya sudah normal lagi, tapi aku sudah malas untuk melihatnya.

“Kalo udah beli, langsung hubungin Pak Mamat, biar langsung dipasang….”, ucap suamiku lagi seolah memaksaku.

Aku mengangguk, meskipun aku tidak mengerti tapi memang aku tidak pernah membantah apapun yang diucapkan dan diperintahkan suamiku.

Kini aku duduk di ruangan lain yang jauh dari mereka. Aku berpikir bagaimana jadinya jika besok Pak Mamat bekerja disini sedangkan suamiku berada di kantor? Jika aku menolaknya, pasti suamiku kesal lagi dengan ke-kakuan sikapku ini. Padahal setelah mendapati tatapan kurang ajarnya tadi, sepertinya aku takut jika harus berduaan dengan Pak Mamat….. Tapi jika besok tak kubeli dan diperbaiki, aku repot jika harus mandi menampung air dulu dari ember… Aaargh, gimana besok lah!

[Senin, 10 Oktober 2016]

“Halo, Mi… udah beli showernya?”, tanya suamiku dari ujung telepon. Waktu saat itu sudah pukul 3 sore.

“Eh belum Pah… ini mau berangkat..”, jawabku bohong.

Aku memang sengaja akan mencari shower itu sore menjelang suamiku pulang, sehingga Pak Mamat memasangkannya setelah ada suamiku, begitu rencanaku.

“Kok belum sih?! Nanti keburu tutup, nanti Pak Mamat juga ngerjainnya kemaleman”, ucap suamiku yang tampaknya kesal.

Aku paham betul dengan karakter suamiku ini, dia sebenarnya tak pernah marah, cuma karena orangnya tegas, orang-orang mungkin menganggapnya seperti marah.

“Iya Pah, maaf… tadi aku ketiduran..”, aku lagi-lagi berbohong.

“Ya udah cepetan tapi jangan ngebut, bayarnya debet aja dari kartumu, ntar kalo kurang bilang ya…”, ujar suamiku lagi.

Mengenai masalah uang, suamiku juga bukanlah orang yang pelit, dia selalu memberiku uang bulanan yang berlebih. Dia selalu menanyakan apakah uang tersebut sudah habis? Tapi tak pernah menyanyakan, apakah ada sisa? Apa yang sudah diberikan padaku.. dia anggap sudah menjadi milikku sepenuhnya, mau aku beli apapun dia tidak akan marah selama itu cukup. Tapi aku tak pernah memanfaatkan hal itu, aku tetaplah perempuan sederhana yang saldo tabungan-nya semakin hari terus bertambah.

“Iya, Pah…”, ucapku menjawab ‘perintah’ dari suamiku.

“Oh ya, Papah juga ada lembur kayanya malem ini, ntar waktunya Papah kasih tau lagi…”, kata suamiku lagi.

“Iya, Pah…”, jawabku singkat mengakhiri pembicaraan di telepon.

Rencanaku sepertinya gagal, kalau suamiku ada lembur… percuma aku pergi mencari shower sore hanya untuk menunggu waktu pulang suamiku. Lebih baik aku cari sekarang saja, kalaupun nanti harus ada Pak Mamat ke rumahku, dia bekerja tidak malam hari yang tentunya akan lebih menakutkan bagiku.

Aku pun pergi mengunjungi sebuah Toko bahan bangunan yang cukup besar sesuai yang telah disebutkan oleh suamiku kemarin. Baru pertama kali aku kesini, tak seperti toko matrial yang biasanya.. ini sih lebih mirip seperti swalayan modern.

“Ada yang bisa dibantu, Bu?”, sapa seseorang yang sepertinya pelayan toko ini mengejutkanku karena datang dari arah belakang.

“Mas Fais!!!... lagi apa Mas disini?”, aku sangat kaget ketika membalikan badan, ternyata orang yang menyapaku adalah Mas Fais.

“Emang Mas kerjanya disini…”, jawab Mas Fais santai sambil tersenyum ramah. Aku hanya tertegun.. sepertinya dia sedang merendah saat mengatakan ‘kerjanya disini’, dari pakaian Mas Fais sepertinya berbeda dengan pelayan toko lainnya. Aku duga Mas Fais adalah pemilik toko ini.

“Cari apa, Mil?”, tanya Mas Fais lagi setelah melihatku tampak kebingungan.

“Ini Mas, yang kaya gini persis…”, jawabku sambil mengambil bungkusan plastik dari tasku.

Mas Fais membuka bungkusan plastik tersebut dan memperhatikan dengan seksama, kemudian ia mengangguk-angguk.

“Ada, Mil… ayo disini tempatnya”, ucap Mas Fais yang kemudian melangkah.

Kami berdua berjalan menyusuri lorong yang sangat panjang ke arah belakang toko. Satu lorong ini saja sudah sangat panjang, padahal toko ini sepertinya memiliki lebih dari 6 buah lorong. Toko yang sangat luas sekali. Aku jadi mengerti sekarang, pantas saja Mas Fais dan istrinya mampu menghidupi Yayasan jika usahanya ternyata maju seperti ini.

Ketika kami berpapasan dengan pelayan toko, mereka mengangguk hormat pada Mas Fais. Pelayan-pelayan toko itu seperti yang akan membantu mencarikan barang yang dimaksud, tapi Mas Fais mengatakan pada mereka kalau ia yang akan cari sendiri dan menyuruh pelayan itu melayani pengunjung yang lain.

“Emang suamimu lagi kemana, Mil? Kok beli ginian sama kamu…”, tanya Mas Fais ketika sampai di area shower dan perlengkapan kamar mandi lainnya.

“Kerja lah, Mas…”, jawabku singkat.

“Oooh…”, balas Mas Fais lebih singkat, dia lalu mencocokkan shower yang aku bawa dengan stok barang-barangnya yang memang sangat banyak tipe dan jenisnya.

“Buat dipasang di rumah baru ini, Mil?”, tanya Mas Fais lagi, yang masih sibuk dengan pencariannya.

“Ngga lah Mas, buat di rumah sekarang, udah pada bocor..”, jelasku.

Mas Fais pun akhirnya sudah menemukan 2 buah shower yang tampaknya sama persis seperti yang suamiku inginkan. Dia menyerahkan barang itu kepadaku.

“Ini yakin asli, Mas?”, tanyaku ragu setelah kemarin sempat mendengar Pak Mamat mengatakan kalau membelinya harus hati-hati karena banyak barang KW.

“Disini ga jual barang palsu, Miilaaa….”, jawab Mas Fais sambil setengah tertawa.

“Eh iya maaf… maklum aku ga ngerti….”, balasku cepat, aku baru sadar kalau ucapanku tadi bisa saja menyinggungnya karena aku telah meragukan produk di tokonya.

Aku melihat tag harganya, wuiih…. mahal juga rupanya, kalau ditotal 2 shower ini harganya hampir 4 juta rupiah.

“Ya udah, Mas… aku ambil ini….”, ucapku pada Mas Fais.

Mas Fais kemudian memanggil salah seorang pelayan yang terdekat, dia minta untuk mengemas barang pilihanku ini. Pelayan tersebut dengan sigap mengambil barang itu dan dengan roller blade-nya dengan cepat ia melaju ke arah depan toko. Aku dan Mas Fais kemudian berjalan santai menuju area kasir yang berada di depan toko, dekat pintu masuk.

Begitu kami sampai, barang sudah dikemas dalam sebuah kantung plastik, Mas Fais menyerahkannya padaku. Saat aku membuka dompet dan mencari kartu debet-ku, tangan Mas Fais menarikku menjauhi area kasir.

“Udah, ga usah…”, ucap Mas Fais santai.

“Mas, apa maksudnya ini?”, ujarku yang kaget dengan yang dimaksud oleh Mas Fais.

“Udaah, kaya ke siapa aja…”, jawab Mas Fais sambil tersenyum. Aku baru menduga-duga, apakah barang ini akan diberikan padaku secara cuma-cuma?

“Tapi ini mahal banget, Mas….”, aku masih merasa tak enak dengan kebaikan Mas Fais ini.

“Ga apa-apa, ngga tiap hari juga kan?”, kata Mas Fais sambil tersenyum dan menatapku teduh.

“Mas…..”, aku berucap lagi, namun sudah hilang kata-kataku. Mas Fais masih tersenyum memandangiku yang kini menjadi gugup.

“Kalo gini aku ngga jadi beli deh….”, ucapku agak manja.

“Ya emang ngga beli kan?”, balas Mas Fais tak mau kalah.

“Mas, seriuuus…..”, kataku yang semakin geregetan.

“Ya udah kalo kamu ngga jadi ambil, nanti Mas yang anterin ke rumah..”, kilah Mas Fais.

Aku pun akhirnya pasrah, menerima barang gratisan yang harganya tak murah ini. Ada perasaan senang, tapi bukan karena gratisnya, melainkan karena dari siapa yang memberinya. Dari Mas Fais, orang yang sempat aku cintai dulu… bahkan mungkin juga sekarang, masih!

“Beneran ini, Mas?”, ucapku yang meskipun sudah pasrah tapi masih tak enak hati menerima pemberian ini.

“Iya beneran, Mila cereweeet…”, jawab Mas Fais cepat sambil mencubit pipiku mungkin karena gemas terhadap pertanyaanku yang itu-itu saja.

Aku cukup kaget ketika tangannya mencubit pipiku ini, tapi aku tak menolaknya…..

“Makasih banyak ya, Mas…”, ucapku sambil menatap erat matanya dan tersenyum manis ke arahnya. Mas Fais pun kali ini tampaknya seperti kikuk dan mencoba mengendalikan suasana.

“Ada yang masangnya ga?”, tanya Mas Fais.

“Udah ada, Mas…”, jawabku, walau sebenarnya aku ragu, aku masih tak ingin jika Pak Mamat yang memasangkannya.

“Padahal dari sini juga bisa minta tolong sekalian pasangin, gratis”, ucap Mas Fais.

“Eh… udah ga apa-apa, Mas… malu digratisin melulu”, aku menolak tawarannya secara halus. Sebenarnya lagi-lagi bukan persoalan gratisnya, tapi kalau Pak Mamat saja yang sudah aku kenal aku tak mau, apalagi kalau anak buah Mas Fais yang sama sekali tak kukenal datang ke rumahku… pasti risih!

“Hmmm…. Padahal tadinya Mas sendiri yang mau bantu pasangin…”, balas Mas Fais sambil tersenyum ke arahku. Senyumnya seperti yang mengandung arti kalau dia sebenarnya ingin datang lagi ke rumahku.

“Oooh Mas Fais yang mau pasangnya……”, ucapku dengan mata berbinar dan perasaan yang berbunga-bunga. Kalau Mas Fais yang pasang… tentu saja aku mau!!! Begitu kira-kira teriakanku dalam hati.

Mas Fais hanya mengangguk dan tersenyum lagi penuh arti.

“Emang bisa…?”, aku seolah meragukan kemampuannya, sebenarnya aku sengaja mengalihkan pembicaraan agar Mas Fais tidak tahu kalau perasaanku sangat bahagia karena tawarannya itu. Tapi aku masih mencoba jaga gengsi walau sudah barang tentu dari roman muka tadi sudah kelihatan kalau aku menunjukkan ekspresi yang tiba-tiba antusias.

“Masa yang jual ga bisa pasang ginian doang..”, balas Mas Fais santai.

Aku diam, takut salah ngomong… takutnya aku terlalu tampak seperti murahan.

“Gimana..?”, tanya Mas Fais lagi setelah melihatku diam belum memberikan kepastian.

“Terserah, Mas Fais aja.. takutnya ngerepotin”, jawabku mengiyakan tapi masih dengan malu-malu. Aku juga sebenarnya masih bimbang untuk mengemukakan alasan pada suamiku kalau ternyata bukan Pak Mamat yang akan memasangnya.

“Ngga repot kok, tapi tunggu jam 5 ya, kamu mau nunggu disini boleh, mau pulang duluan juga boleh….”, balas Mas Fais sambil melihat jam tangannya.

Sekarang sudah jam setengah 5, sepetinya aku mau pulang duluan saja. Tapi tiba-tiba suamiku menelepon, aku sedikit menjauh dari Mas Fais.

“Gimana Mi…. udah belinya?”, tanya suamiku.

“Udah Pah, sekarang mau pulang…”, jawabku gelisah.

“Ya udah, sekarang Papah hubungi Pak Mamat..”, ucap suamiku dengan ciri khasnya… tegas, serius dan cenderung kaku.

“Eh ngga usah Pah, dari tokonya mau pasangin… gratis”, ujarku cepat-cepat takut kalau suamiku menghubungi Pak Mamat.

“Yakin..?”, tanya suamiku sepertinya ragu.

“Iya beneran, Pah… gratis”, jawabku sedikit gugup.

“Bukan gratisnya.. maksudnya yakin ngga.. kalau kamu mau nerima tamu ga dikenal ke rumah?”, tanya suamiku yang sangat tahu karakterku yang satu itu. Sial, aku harus beralasan apa untuk perubahan sikapku yang tiba-tiba ini?!?!

“Euuh… mmm… ngga apa-apa kayanya Pah, aku bisa tunggu di teras depan… katanya cepet kok masangnya”, jawabku. Aku tahu itu jawaban yang terlalu memaksakan, tapi aku tak tahu harus beralasan apa lagi.

“Nah gitu dong… tapi ga usah nunggu di luar juga, Mi… cukup pintu depannya kamu buka aja”, balas suamiku yang sepertinya cukup surprise dengan perubahan sikapku ini.

“Ya udah, ati-ati… Papah jadi lembur, sekalian ada meeting juga.. pulangnya sekitar jam 9-10 malem…”, ujar suamiku lagi menutup pembicaraan.

“Iya, Pah…”, jawabku.

Dalam hatiku bersorak kalau akhirnya Mas Fais bisa berkunjung ke rumahku tanpa halangan. Ah, Milaaaa… apa-apaan sih kamu?!?! Akankah kesetiaan pada suamiku berubah menjadi hati yang terbagi?​


 


Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.
You will be redirected to the script in

seconds

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com