๐‚๐ž๐ซ๐ข๐ญ๐š ๐“๐ž๐ง๐ญ๐š๐ง๐  ๐ˆ๐ฌ๐ญ๐ซ๐ข๐ค๐ฎ ๐๐€๐‘๐“ ๐Ÿ‘๐Ÿ‘ [ ๐‡๐ˆ๐๐€ ]


Aku melihat istriku terbaring masih tanpa busana di tempat tidur, mungkin dia sedang tertidur kelelahan setelah melaksanakan ‘permainan’nya yang kedua. Nando masih asyik merokok sambil makan dan minum di sofa panjang, jika tawaran makanan dan minuman tadi aku tolak.. tapi ketika dia menawarkan rokok langsung aku terima, lumayan gratisan.


Menikmati setiap hembusannya sambil membayangkan kejadian demi kejadian yang baru saja terjadi antara istri dan temanku itu. Sekarang waktu sudah menunjukan jam 9 malam, di luar dugaanku, saat di rumah tadi aku sempat menghitung perkiraan waktu… menurut informasi dari cerita istriku kalau Nando permainannya tidak lebih dari 10 menitan. Maka untuk 3 kali permainan hanya butuh waktu 30 menit ditambah istirahat 15 menit setiap jeda. Total paling 1 atau maksimal 1,5 jam sudah harus selesai 3 kali, sekarang sudah 2 jam dari waktu mulai tapi baru selesai 2 kali. Istriku terlalu berlama-lama!!!! Harusnya aku dan istriku sudah pulang kembali ke rumah, ya aku memang berencana untuk pulang dulu setelah 3 kali, besok pagi kami datang lagi ke sini untuk melanjutkan sisanya.

Keadaan jiwaku di detik ini memang sedang stabil, fantasi yang membuatku tampak tolol sekaligus brengsek sedang tidak meracuniku. Ya, aku memang tidak tolol setiap saat, bahkan jika saat ini ada pilihan untuk membawa istriku pulang ke rumah atau melihat dia digauli lagi, maka jelas aku akan memilih membawa pulang istriku.

Yang jadi pikiranku saat ini adalah mengapa istriku menjadi sangat binal, liar, dan tak mempedulikanku? Apakah dia benar-benar sedang menghukumku seperti permintaanku? Apakah dia sedang mengikuti saranku untuk menikmati malam ini agar tak menjadi beban pikirannya? Atau dia memang masih memiliki perasaan dengan mantan kekasihnya itu?

Jika memang masih ada perasaan, maka rencanaku untuk menghabisi Nando sudah tepat. Setelah ‘kegiatan’ ini selesai, mungkin 2 atau 3 hari ke depan aku akan membawa istriku pergi ke Bandung dan sementara ia dititipkan di rumah saudaraku yang ada disana. Sedangkan aku akan menghubungi Kang Ajat dan segera bergerak ke Jakarta mendatangi Nando bersama pasukan.

Ketika aku sedang melamun tentang rencana itu, tiba-tiba kudengar sebuah suara, “Yang…”, begitu yang aku dengar, istriku sepertinya memanggilku. Aku refleks bangkit dan mendekatinya. Aku berdiri di kaki tempat tidur.

“Kenapa, Mah?”, tanyaku.

Tapi Istriku tak menghiraukanku bahkan dia seperti tak mau melihatku sama sekali, padahal jarakku berdiri dengannya terbaring mungkin hanya 1 meter saja. Bahkan kini ia condongkan tubuh dan kepalanya seperti kesal karena pandangannya ke arah Nando menjadi terhalang olehku. “Yaaang, cepet siniii!!”, kata istriku pada Nando dengan suara terlihat kesal.

“Iyaa, Dya Sayaang”, jawab Nando yang segera mendatangi istriku dan langsung mencium keningnya. Aku masih berdiri disitu, lagi-lagi sakit hati dan merasa terhina oleh perlakuan istriku kepadaku di saat ini. Aku pun berjalan mundur untuk kembali ke tempat dudukku dengan perasaan kesal. Tadinya kali ini aku akan memilih duduk di sofa panjang, namun pandangan dari sana ke arah tempat tidur kurang begitu jelas. Aku memilih tetap di single seat, meskipun konsekuensinya aku tak bisa melakukan onani jika nanti fantasiku datang kembali, karena posisinya terlalu terbuka dan berhadap-hadapan dengan mereka.

“Kang, dimulai lagi yaa…”, ucap Nando meminta izin dengan sopan untuk segera menikmati ‘hak’nya. Aku hanya mengangguk lemah.

Mereka mengawali bagian ke-3 ini tidak langsung penetrasi, sekarang mereka melakukan foreplay terlebih dahulu.. usai berciuman dengan mesra lalu kini Nando tampak menikmati ranumnya kedua payudara istriku. Fantasiku datang lagi.

“ooouuufggg Abang Sayaaaang, ssshhh iyyaaaah Bang Feer… nenen-in terussssh Bang…. enak iiiiih kalo Abang yang isepin suka.. bangeet….”, kata Lidya mendesah pelan dan nafas tersengal. ‘Enak kalo Abang yang isepin’? memang hisapanku selama ini tidak enak, Lid?!? Nafasku ikut tersengal menahan marah bercampur nafsu.

Istriku sangat menikmati sekali hisapan Nando, itu sangat terlihat dari ekspresi muka dan gerakan tubuhnya yang terkadang menggelinjang dan jari jemarinya yang meremas sprei. Atau dia juga mengacak-acak rambut Nando dengan gerakan cepat, sepertinya gemas dan berterima kasih telah membuatnya enak. Aku memang tidak pernah sekalipun membuat dia seperti itu, saat aku hisap payudaranya, biasanya istriku hanya mendesah biasa saja… hufft.. apa sih istimewanya Nando?

Sekitar 15 menit mereka melakukan foreplay, sepertinya istriku sudah tak tahan vaginanya ingin segera dimasuki batang kemaluan milik termanku itu. Kini mereka bersiap untuk melakukannya dengan gaya doggy style, sialnya posisi menunggingnya menghadap ke arahku, sudah jelas Nando yang berada di belakangnya juga bisa melihat jelas padaku. Aku tak bisa melakukan ‘gerakan’ apa-apa kalau sudah begini.

Aku melihat istriku begitu ekspresif, tubuhnya terguncang-guncang terhentak tubuh Nando yang memompa vaginanya dari arah belakang. Payudaranya jelas menggantung bebas bergerak, sesekali Nando tangkap dan meremasnya dengan penuh nafsu. Racauan istriku pun mulai tak terkendali..

“aaaah…. EE…NAAAK.. Baang…. ga ada.. yang se…enaaak.. puny.. nyaa ayaaang… aaaaahhhh … aaaaaah mhhhhhh... sssshhh... AAAAHHH...”, Lidya meracau memuji batang kemaluan milik mantan kekasihnya itu.

Lid, kalau emang enak punya-nya dia ya nikmatin aja…. ga usah juga disebutin di depanku!!!!

PLOCK PLECK PLOCK PLECK PLOCK

“Beneran, Yang….???... yang laen… ga enak???...”, balas Nando seolah memancing istriku.

“Beneraaan…. Ayaaaang…. SUUMPAAAH… aaaaahhhh … AAAAHHH...”, jawab Lidya berani bersumpah, seolah bahwa selama tiga tahun pernikahannya, dia tidak merasakan kenikmatan penisku.

PLOCK PLECK PLOCK PLECK PLOCK

“aaaah…. pffffeeeuufffff….. Baang…. hamilin aku lagi Sayaaang… naan..tii kiit… tta… jaga aanak kitaa…. ooooh… ahhhhh Baaang.. aaaaahhhh pfffff… aaaaaah mhhhhhh... cuumaa.. Abaang…. yang…. bisssaa hamiilin aakuuu…. Abaang… passti… biissaaa… ooouuugh…. Aaaku uu.. dah peengeen banget puny.. nya aanak Uuff... ahhhh... terruussh aaaahhh….. ssshhh”, Lidya mendesah keras dengan racauannya yang membuat aku seketika naik pitam.

“MAH! GA USAH BAHAS SOAL HAMIL!!”, kataku setengah membentak sambil berdiri. Aku benar-benar sudah merasa sangat dihinakan, entahlah… ini rasanya persoalan yang sangat sensitif untukku.

Ketika aku dan Lidya belum juga dikaruniai anak, aku berpikir ada yang bermasalah diantara kami, siapa yang bermasalah..? masih fifty-fifty karena memang belum memeriksakan diri ke dokter. Namun ketika istriku bercerita bahwa ia pernah hamil sebelum kami menikah, aku memang tidak mempermasalahkan masa lalunya, tapi dari situ aku mulai berpikir… bahwa yang selama ini bermasalah itu ternyata aku… aku mandul!!

Dan kelemahanku sebagai seorang suami kini sedang terusik, bahkan itu keluar dari mulut istriku sendiri yang sedang disetubuhi oleh orang yang pernah menghamilinya.

Mendengar bentakanku, sepertinya Nando kaget, tanpa menghentikan gerakannya ia mencoba meredakan racauan Lidya dengan cara menciumi bibir istriku itu dengar liar.

Mmmhh ssshrrrrooup mmmmhhppp ssshhllrrrooupp sssmmmph mmmmppahh sllllrrroouppp aahhhmmmph ssshrrooup mmmpph

Kini posisi Nando kembali menegakkan kembali badannya dan terus memompa istriku dari belakang, istriku mendongak sambil menganga menahan setiap tusukan. Saking liarnya ciuman mereka tadi, kini aku melihat air liur masih menetes dari mulut istriku turun jatuh hingga membasahi sprei.

PLOCK PLECK PLOCK PLECK PLOCK

“Baang, ssshhh iyyaaah teruuush Bang Feer… ssuurruh keluaar ajaa temennya Baaang…. berissikk.. bangeet… aaaah…. hmmmpp…. ooooouughh…. aaaaah”, ucap istriku sambil terus mendesah dengan nafas tersengal.

Apa Lid? ‘temennya’? kamu menyebutku dengan sebutan ‘temennya’. Anjng!!

Nando seperti yang berada di atas angin mendengar kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut istriku, seolah dia sudah benar-benar memiliki Lidya yang tak menghargaiku sama sekali di depannya.

“Bilang dong.. sama sua..minya.. kalo pengen.. hamil dari Abaang.. uugh..”, ucap Nando yang sudah ikut-ikutan kurang ajar.

PLAAAK, kemudian Nando menampar pantat istriku, namun istriku sepertinya menikmati hal itu dengan bereaksi melalui jeritan kecilnya yang manja. Namun seketika Lidya seperti memberi tanda pada Nando untuk menghentikan gerakannya, bahkan Lidya memajukan pantatnya agar penis itu keluar dari vaginanya. Men-delay lagi kah?

“Sini ikut Ayang nyaa..”, ucap Lidya yang tiba-tiba turun dari kasur dan menyuruh Nando mengikutinya.

Lidya kemudian berjalan ke arahku, diikuti oleh Nando. Ternyata istriku langsung menungging dengan menopangkan kedua tangannya pada rak panjang yang tepat berada di sebelah tempat dudukku, Nando langsung mengambil posisi di belakang, penetrasi kembali mereka lakukan…

Dengan jarak kurang dari 1 meter, saking dekatnya jarak mereka denganku, aroma parfum istriku yang telah bercampur aroma keringat mereka sangat tercium jelas makin membakar gairahku. Aku mengarahkan pandangan ke arah lain dengan perasaan tak beraturan, Lidya sepertinya sengaja mengajak pasangannya bercinta di dekatku hanya untuk membuat hatiku panas.

“Paaah, mmmppphhh eenaak inniii Paah…. Papaah ga bissaa… kayyaak Bang Feer… sssshhh ooouugh punya Papah… kecil.. aaaah…. hmmmpp…. aakuuu ooooouughh…. boleh hamil aaaaah laagi a..nak Bang Feer ya, Paaah…. oouugh… aaah”, kata istriku semakin meracau di dekatku dengan perkataan yang tak jelas karena kata-katanya ada diantara desahannya, meskipun kini dia menganggapku ada, bahkan menyebutku dengan sebutan ‘Papah’ tapi ini jelas sebuah penghinaan besar.

Aku tak mau melihat ke arah mereka, aku benar-benar terhina. Tapi kali ini aku biarkan saja Lidya terus meracau, mungkin dia sedang menghukumku… aku terima itu meskipun sangat kesal dan marah, perasaan campur adukku itu jelas membuatku penisku semakin tegang.

“Paaah, sssshhh kaalo…. malem ini aku blom bissa ha..mil, mmmphh boleh kan.. Baang Fer ent..totin aaku la..gii… tiap.. harrii… teruuuush di.. entottiiin ee..naak sammaa… Bang Feer… eennaak Paaaah oouugh… aaah sssshhh mmmmph ooouugh boleh ya.… oooough kan Paapah…. ga… bissaa hamillin aakuuu aaaaahh… ”, pinta istriku disela tubuhnya yang berguncang akibat sodokan demi sodokan cepat dari temanku. Tangan kirinya memegang daguku dan memaksa kepalaku ini untuk menoleh ke arah wajahnya yang sedang ke-enakan, kini tangan kirinya itu membelai lembut pipiku, Ah, ingin rasanya kuciumi punggung tangan istri yang sedang menghinaku ini.

Tiba-tiba Nando menghentikan gerakan, lalu tangannya menarik cepat tangan Lidya yang sedang menyentuhku. Lidya langsung membalikkan badannya yang membuat penis Nando keluar dari vaginanya. Istriku kini duduk di tepian rak dan merentangkan tangannya seperti ingin didekap oleh temanku. Nando maju dan menciuminya dengan ganas, sepertinya Nando emosi dan merasa terganggu ketika barusan Lidya memegangi aku.

Mmmhh ssshrrrrooup mmmmhhppp ssshhllrrrooupp sssmmmph

Usai berciuman liar, Istriku berkata sambil menatap wajah temanku itu dengan penuh kasih sayang sambil membelai lembut rambut dan wajahnya.. “Jangan marah Ayaang.. kan aku cuma punya-nya Bang Ferr…. kontolin aku lagi, cepeet… memek aku kan cuma buat.. Bang Fer..”, kata istriku yang bicaranya sudah semakin kotor, tak mencerminkan statusnya sebagai seorang istri yang berpendidikan!!!

Posisi mereka kini berhadap-hadapan, Nando berdiri sementara istriku duduk mengangkang di atas rak panjang. Nando pun memasukkan kembali penisnya pada vagina istriku. Penetrasi kembali dilakukan dengan sangat cepat, sesekali mereka berciuman lagi di sela penetrasinya.

PLOCK PLECK PLOCK PLECK PLOCK PLECK PLOCK PLECK PLOCK

Mmmhh ssshrrrrooup sssmmmph mmmmppahh sllllrrroouppp ssshrrooup mmmpph

PLOCK PLECK PLOCK PLECK PLOCK

Aku bangkit berdiri, aku menyerah!!! Aku menuju meja di depan sofa panjang untuk mengambil bungkusan rokok milik Nando. Aku akhirnya memutuskan untuk keluar dan menunggu di balkon. Saat berjalan melewati mereka masih kudengar suara dari istriku,

“Ayaaang, sssshhh temennya… Ayang.. maraaah… aah oough”, kata istriku.

Aku buka pintu balkon dan langsung kubanting dengan keras saat menutupnya, namun pintu hanya menutup dengan perlahan karena ternyata pintu ini menggunakan Door Closer atau penahan bantingan pintu… Anjng!!! Kan jadi kurang dramatis!!!!

Aku benar-benar sangat marah, aku benar-benar sangat terhina, tapi anehnya aku semakin menikmatinya. Jika kini aku memilih keluar dan merokok di balkon, itu karena aku sudah kesal pada keadaan… aku tadi sudah sangat ingin sekali mengocok penisku, tapi keadaan yang tidak memungkinkan dengan jarak mereka yang sangat terlalu dekat.

Satu batang rokok telah habis kuhisap, tak kudengar sama sekali suara erangan atau desahan dari dalam, rupanya sistem kedap suara kamar ini sangat baik. Aku berpikir jika aku masuk lagi pun akan percuma karena tak bisa berbuat apa-apa, tapi dari balkon ini aku tak bisa melihat mereka. Kaca di belakang tempatku duduk sudah terhalang tirai yang tertutup dari dalam kamar. Tapi pertemuan antara kain gorden kanan dan kiri tidak tertutup rapat, ternyata ada sedikit celah untukku mengintip.

Ketika aku mengintip, untungnya mereka berdua telah berada di atas tempat tidur. Mereka ada di bagian tengahnya, jika saja mereka bergeser ke pinggir tempat tidur, tak akan bisa terlihat olehku.

Kini istriku sedang menghisap penis dari Nando, saat mulutnya melepaskan penis itu, aku lihat ceceran sperma di mulut Lidya, saking banyaknya mulut istriku seolah tak mampu menampung sperma temanku itu yang akhirnya menetes di sudut bibirnya, tapi aku lihat istriku menengadahkan kepala dan menelan habis sperma di dalam mulutnya. Sementara sperma yang keluar dari mulutnya ia seka dengan jarinya, lalu ia hisap jarinya itu hingga sperma Nando bersih tak tersisa di sekitar mulut istriku.

Berarti kini mereka sudah menyelesaikan permainan yang ke-3, tadinya aku akan mengajak istriku pulang… tapi nafsuku menahan untuk tetap bertahan. Aku buka seluruh seluruh celana yang menghalangi penisku, aku geser meja agar membuatku ruangku semakin bebas untuk mengintip.

Aku mengintip lagi, kaca ini one way.. hanya bisa melihat jelas dari dalam ke luar. Sementara dari arah balkon, untuk bisa melihat secara jelas ke dalam, aku harus merapatkan mataku pada kaca ini. Kini yang terlihat di dalam adalah sebuah pemandangan yang sangat jorok, tapi aku sangat menyukainya… aku mulai mengocok batang penisku yang sudah basah oleh spermaku tadi yang belum mengering benar, tercampur oleh cairan pelumas alamiah yang terus muncul dari kepala penisku.

Mereka duduk berhadap-hadapan, namun Lidya setengah berdiri dengan mengangkat tubuhnya dan bertopang pada lututnya, sehingga posisi kepala istriku itu ada di atas kepala Nando. Istriku seperti sedang mengumpulkan air liurnya, sementara mulut Nando sudah menganga lebar siap untuk menampung. Tak lama kemudian cairan ludah istriku itu mulai menetes jatuh ke lidah Nando dengan derasnya, setelah air ludah itu keluar semua.. istriku memburu mulut Nando dan mereka pun berciuman lagi dengan sangat panas.

“Oh Mamah Sayang….. Papah pengen juga diludahin kaya gitu….”, desahku dari balik kaca. Lidahku terjulur namun hanya angin yang menyentuhnya hingga membuat lidahku terasa kering, akhirnya aku jilati saja kaca di depanku sambil terus melihat istriku yang bermain gila bersama temanku.

Saat melepaskan ciuman kepala Lidya sedikit mundur.. terlihat ada cairan yang menjulur menguntai panjang dari mulut mereka, seolah menjadi tali penghubung antara lidah istriku dengan lidah temanku.

Benar seperti apa yang pernah Lidya ceritakan, kalau Nando ini cepat keluar tapi cepat lagi berdirinya. Mungkin kurang dari 10 menit sejak tadi aku lihat spermanya ditelan istriku, kini penisnya sudah berdiri lagi. Lidya langsung mengambil posisi di atas dan kembali menggenjot dengan liar.

Saking liarnya saat Lidya menyondongkan tubuhnya untuk mengajak berciuman, Nando memeluk tubuh istriku dan membalikkan badannya tanpa melepaskan penis di dalam vagina.. hingga mereka tampak bergulingan dengan penuh gairah nafsu yang tak tertahankan lagi.

“Mamah Sayang, Mamah hebat malam ini… Papah ooough.. tambah sayang Mamah….. Mamah boleh hamil sama Nando…. terus bikin anaknya yang enak Sayang… iya.. boleeh…. ooooouughh…. AAAAAAH”, ucapku yang diakhiri dengan teriakan.

CRTTT CRTTTT CRTTTT

Spermaku tumpah mengenai kaca. Aku mundur berhenti mengintip dan langsung menyandarkan tubuhku di kursi… luar biasa nikmat yang aku rasakan malam ini. Kubakar lagi rokok yang entah sudah berapa batang kuhabiskan malam ini, sambil merokok aku benahi lagi meja dan kursi yang tadi sempat kugeser.

Aku nikmati malam ini sambil menghisap rokok, kini aku berdiri menyandar pada railing balkon melihat view dari lantai 5 ini ke arah kolam renang di lantai dasar. Di seberang apartemen ini ada bangunan apartemen lagi yang sepertinya masih satu kompleks, apakah saat tadi aku onani sambil mengintip ada orang yang melihat dari gedung di seberang sana? Ah, bodo amat!!!

Setelah kuhabiskan rokokku, aku kembali mengintip ke arah dalam, namun tak kutemui mereka! Hatiku dag dig dug, khawatir istriku dibawa kabur oleh Nando. Aku langsung lari masuk ke dalam, dan ternyata mereka sedang berpelukan di pinggir tempat tidur. Seperti berpelukannya sepasang suami istri seusai bercinta. Dari vagina istriku, kulihat sudah ada cairan sperma lagi yang keluar.

“Udah 4 ya…”, ucapku pada Nando.

“Iya.. K..”, jawab Nando namun segera disela oleh istriku “Baru 3!!!”.

“Eh iya Kang maksudnya 3, tadi kan waktu Akang keluar kita masih main yang ketiga… ini baru selesai”, ucap Nando meralat ucapannya yang tadi. Nando sudah mulai tak jujur, sedangkan istriku sudah terlalu liar untuk berpikir jernih!!!

Walaupun aku yakin ini yang ke-4, tapi setelah mendengar kesaksian mereka, kini aku yang lemah 2 lawan 1. Ah, salah aku sendiri sih tadi pake keluar segala!

Karena aku rasa istriku sudah terlalu larut dalam perasaan bersama nafsunya, maka aku harus menyelamatkan dia untuk “menetralkan” kembali pikirannya dengan cara mengajaknya pulang, agar pikiran dia kembali lagi sadar bahwa ia adalah istriku.

“Ya udah… baru 3, sekarang kita pulang dulu… nanti besok pagi datang lagi kesini beresin sisanya”, ucapku yang sudah lelah untuk berdebat.

“Tapi kan Kang di aturannya ga ada acara pulang dulu…!!”, tukas Nando terlihat kaget dengan keputusanku dan sepertinya ia sangat keberatan. Tubuh mereka masih berpelukan erat sambil berbaring. Aku terdiam.. tak tahu harus berkata apa. Mereka tampak berbisik-bisik seperti sedang mendiskusikan sesuatu.

“Kang…. kata Lidya… dia mau tidur sama saya malam ini, Akang aja yang pulang dulu, nanti besok siang jam 12 jemput lagi kesini”, ucap Nando lagi-lagi mewakili istriku.

“Enak aja! Ga bisa gitu dong… bisa-bisa lo ngelanggar kesepakatan, keluar lebih dari 6 kali!!!!”, jawabku penuh emosi, apalagi mendengar istriku yang lebih memilih tidur bersama temanku dibanding dengan aku. Sampai tiba-tiba istriku bangkit untuk duduk di tempat tidur dengan sprei warna kuning ini.

“PAH!! PAPAH SENDIRI KAN YANG BILANG SUPAYA AKU NYAMAN DAN NIKMATIN MALAM INI??? SEKARANG AKU UDAH BELA-BELAIN KAYA GINI DEMI LUNASIN UTANG PAPAH, PAPAH SENDIRI YANG NGELANGGAR UCAPAN PAPAH!!!!”, Istriku berucap dengan nada tinggi dan raut mukanya terlihat tampak kesal dan sangat marah sekali kepadaku.

Aku tidak mau membalas ucapannya, langsung kutarik lengannya agar segera turun dari tempat tidur. Tak seperti saat kuseret ia dari Wisma yang secara sukarela mengikutiku, kini dia tampak menahan kuat tubuhnya agar tak terseret oleh tarikan tanganku, seperti anak kecil yang tak mau disuruh pulang oleh orangtuanya.

Sampai kemudian terdengar seperti sebuah dentuman keras dari arah pintu kamar.

BUUUUUMMM!!!!!!!!


 


Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.
You will be redirected to the script in

seconds

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com