𝐂𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐓𝐞𝐧𝐭𝐚𝐧𝐠 𝐈𝐬𝐭𝐫𝐢𝐤𝐮 𝐏𝐀𝐑𝐓 𝟑𝟎 𝐀𝐏𝐀 𝐌𝐀𝐔𝐍𝐘𝐀 𝐒𝐈𝐇 ❓ (𝐁)

BACK TO POV ARIEF

6 Jam telah lewat dari janji yang disepakati, aku mulai ketar-ketir, tapi aku belum bisa menelepon Nando, aku tak tahu alasan apa lagi yang harus diucapkan. Uang yang baru terkumpul belum juga bertambah, masih 20 juta… tadi sempat meminjam ke teman-temanku yang lain tapi mereka sedang tidak ada uang, paling seratus dua ratus… kalau pun terkumpul paling tak lebih dari 2 juta.

Lidya tak tahu dengan kesepakatan waktu yang aku berikan pada Nando, karena itu dia mulai tenang. Bahkan sekarang dia sudah bisa menikmati acara TV, semoga bisa mengobati stress dan traumanya, tentu saja tetap harus ada aku yang menemani di sebelahnya.

Tiba-tiba terdengar ketukan atau lebih tepatnya gedoran pintu rumah dengan sangat keras.

DOG DOG DOG DOG DOG DOG DOG!!!!!

Jelas saja gedoran itu membuat Lidya panik dan langsung lompat dari sofa untuk kembali bersembunyi di kamar tamu. Aku ke depan untuk membuka pintu, aku sudah menduga kalau tamu ini adalah orang-orang suruhannya Nando.

DOG DOG DOG DOG DOG D…..!!!!

Kubuka pintu dengan segera, karena lagi-lagi gedoran itu terdengar sangat mengganggu, “APA MAUNYA SIH?!?!?! BISA PELAN GA!!!”, ucapku membentak tamu itu sambil melotot dan tangan terkepal begitu pintu terbuka, sepertinya orang itu cukup kaget dengan sikapku ini, dari raut wajahnya terlihat kalau nyalinya sedikit menciut. Begitu juga dengan 2 orang lagi yang berada di belakang orang yang menggedor pintu, tampak seperti kebingungan harus berbuat apa.

“Mana Nando nya? Kenapa kalian lagi yang datang?!?!?”, dengan nada tak setinggi bentakan di awal, kali ini aku berucap lagi sembarangan, hanya ucapan itu yang ada di otakku.. tak tahu harus berkata bagaimana lagi… hanya sekedar mencoba untuk mengatasi keadaan saat ini saja.

“PANGGIL BOSS LO SEKARANG!!!”, melihat orang suruhan Nando ternyata masih terlihat ciut nyalinya, maka aku berani membentaknya lagi. Aku serasa di atas angin.

Orang itu kemudian menghubungi Nando dan dia mengaktifkan loudspeaker agar suara Nando terdengar olehku, mungkin kebiasaan orang itu selalu men-setting volume loudspeaker-nya dengan volume yang full, yang pasti percakapan mereka terdengar seperti menggunakan toa yang mungkin bisa terdengar hingga ke RT sebelah.

“Boss, target pengen hubungi Boss dulu”, ucap orang suruhan itu kepada Nando.

“Ga perlu! Ambil uang 100 juta atau ambil istrinya!!!” perintah Nando. Aku kaget dengan ucapannya, kenapa tiba-tiba harus mengambil istriku? Aku rebut paksa ponsel itu dari tangan sang Debt Collector, lalu aku dorong tubuhnya sekuat tenaga untuk menjauhi pintu, langsung kututup dan segera kukunci pintu rumahku.

“AKU UDAH ADA 20 JUTA!”, ucapku pada Nando dari dalam rumah melalui ponsel yang berhasil kurampas dari orang suruhannya itu. Sebenarnya belum ada sepenuhnya uang 20 juta, sebagian masih berbentuk perhiasan istriku yang belum sempat aku jual karena seharian ini istriku tidak mungkin ditinggalkan di rumah. Sementara uang di rekening, tinggal transfer saja jika Nando menyetujui.

“Bacot kan….. Gw cuma mau 100 juta, atau BINI LO YANG DIJADIIN BAYARANNYA!!!! KAN GW UDAH BILANG TADI GA ADA NEGOSIASI LAGI!!!!”, ujar Nando yang sepertinya sudah habis kesabarannya.

DOG DOG DOG DOG DOG DOG DOG!!!!!

Suara Nando di telepon sangat keras seperti berteriak menggunakan toa seperti demonstran yang berorasi dengan berapi-api, bersahutan dengan suara gedoran di pintu rumah yang terus saja terdengar. Suara gaduh di rumahku sudah tak terelakkan, bahkan dari luar terdengar juga teriakan orang-orang suruhan Nando itu menyuruhku untuk keluar.

DOG DOG DOG DOG DOG DOG DOG!!!!! KELUAR!!!!!!

“HEY ANJNG DENGERIN GW, GW GA AKAN PERNAH BAYAR DENGAN ISTRI GW!!!”, bentakku lagi pada Nando, dengan teriakan yang tak kalah tinggi. Emosiku sudah tak terbendung lagi padanya, andai saja dia ada di depanku, sudah kuhabisi dia.

DOG DOG DOG DOG DOG DOG DOG!!!!! KELUAR BANGSAT!!!

BRAAGG BRAAAGG

Kini bukan hanya gedoran, sepertinya orang di luar itu sudah mencoba untuk mendobrak pintu, untungnya pintu rumahku ini cukup kuat, sehingga mampu bertahan walau beberapa kali mereka berusaha dobrak.

“UDAH PAH STOOP!!! BIAR MAMAH JADI BAYARAN UTANGNYA!.......”, jerit istriku di depan kamar tamu kemudian ia menangis histeris setelah mengucapkan kalimatnya. Kini dia jongkok dengan menutupi telinganya. Aku kaget langsung terdiam dan tiba-tiba mematung mendengar ucapan istriku yang disuarakan dengan teriakan keras itu.

“Suara siapa tuh?.... kayak yang kenal, gimana? gimana? Udah deal ya opsi 2…….”, ucap Nando sepertinya mendengar ucapan istriku tadi, kali ini nada bicara Nando seperti mengejek dan merasa menang.

BRAAAGG DOG DOG DOG DOG!!!!! WOOOOY!!!

“Gw telepon pake nomorku sekarang… tapi suruh pulang… orang-orangmu… ada hitung-hitungan…. yang harus kita sepakati dulu…”, ucapku dengan gelisah, nadaku melemah, sepertinya aku sudah menyerah…..

Aku buka pintu rumah dan kuserahkan ponselnya pada orang suruhan itu. Terdengar Nando menyuruh mereka untuk stand by di depan kompleks. Mereka pun menginggalkan rumahku.

Aku hampiri istriku dengan lutut gemetar, dia masih menangis dengan posisi berjongkok dan menutupi telinganya di depan pintu kamar tamu. Kupeluk tubuhnya, aku pun ikut menangis…

“Maafin Papah, Mah…. seharusnya Mamah juga tadi ga perlu bilang gitu….”, ucapku pada istriku, bukan bermaksud untuk menyalahkan atas ucapannya, tapi aku benar-benar tak tahu harus bagaimana dan berkata apa saat bicara pada istriku sekarang ini.

“Papah.. tadi.. dipukul….?”, tanya istriku dengan nada khawatir.

“Ngga Mah… Papah ga di apa-apain… Papah baik-baik aja”, jawabku merasa semakin bersalah kepadanya, seharusnya suami sepertiku memang sudah sepantasnya untuk dipukuli bahkan disiksa.

Ponselku berbunyi, Nando! Kulepaskan sejenak pelukanku pada Lidya, bermaksud untuk mengangkat teleponnya. Tangan Lidya kemudian mencegahku agar aku jangan dulu mengangkat teleponnya.. “Pah, teleponnya… jangan ada.. lagi.. bentak-bentakan ya… aku takut”, ucapnya pelan sambil menatapku lekat, sepertinya ia sangat berharap aku menahan emosi. Aku mengangguk dan kuangkat telepon itu.

“Itung-itungan kaya gimana bro?”, ucap Nando kali ini dengan nada yang santai walau masih terdengar sinis, ia langsung melanjutkan pembicaraan tadi yang tertunda.

“Lo kemaren pake istri gw bukan 5 kali, Do, tapi menurut cerita istri gw 10 kali… sepertinya itu udah cukup buat lunasin utang gw… gw bayar 20 juta, yang kemaren lo lakuin ke istri gw itu 80 juta, ngerti?”, jawabku sambil berusaha untuk tetap tenang agar emosi tidak naik kembali di depan istriku.

Memang istriku saat bercerita mengenai jumlah itu, dia pun sepertinya tak yakin, dia bilang antara 9 atau 10 kali, tapi aku ambil angka yang terbanyaknya saja.

“Bentar.. bentar… 10 kali ya? Kok gw ga inget sebanyak itu ya…? tapi udah lah, gw ikutin hitungan bini lo, ga masalah… tapi kalau 80 juta dibayar pake 10 kali… berarti sekali pake 8 juta ya…? kemahalan bro…. bisa kurang lagi ga?”, ucap Nando yang kali ini seperti menawar barang di pasar, dengan nada bicaranya sudah benar-benar tenang, tapi tetap saja setiap perkataannya membuatku seolah tertusuk-tusuk pisau tajam yang menghujam ke jantungku.

“Ga bisa, Do… maaf”, jawabku mencoba untuk sopan pada lelaki yang pernah memperkosa istriku ini.

“Wow, germo kelas atas nih…”, tukas Nando sinis.

“MAKSUD LO APA DO?!”, balasku yang kembali naik pitam mendengar perkataanya itu. Tapi aku lihat istriku sibuk menggeleng-gelengkan kepala ke arahku, walaupun dia tidak mendengar percakapan ini, tapi dari gesturnya terlihat kalau dia tidak ingin aku kembali marah. Aku pun menganggukan kepala kepadanya tanda akan mengikuti kemauan istriku.

“Ya udah kurangin lah Bro… gw udah baek nih, jangan sampe gw suruh orang-orang gw datengin lagi rumah lo ya… gimana kalo 3 juta?”, tawar Nando.

Hmmm 3 x 10 juta=30 juta…. Tambah 20 juta cuma nyampe setengah utang, berapa kali tuh istriku harus merelakan tubuhnya untuk sisa utang 50 juta? Tidak bisa!

“Kayanya ga bisa, tapi gw harus bicarain ini dulu sama istriku.. gw ga bisa mutusin sendiri”, jawabku meminta waktu lagi.

“OK tapi ga lama-lama.. 10 menit lo harus udah telepon gw”, ucap Nando menyetujui. Telepon untuk sementara ditutup.

Aku mendatangi istriku dengan mata berkaca-kaca, aku tak tega pada istriku yang harus merelakan tubuhnya. Dengan penuh rasa cemas aku menyampaikan tentang masalah ‘harga’ istriku ini. Dia menangis sambil menggeleng-gelengkan kepala, tapi akhirnya dia berkata, “Mamah terserah Papah aja… meskipun kalo.. Papah mau negosiasi lagi… yang penting jangan ada… marah-marah”.

Lidya sepertinya sudah tampak lelah dengan segala keadaan ini. Aku pun menghubungi Nando lagi.

“Kalo 3 juta ga bisa, Do”, ucapku langsung membuka percakapan.

“Jadi berapa dong? Gini aja deh biar sama-sama enak…. Lo kan ngasih harga tadi 8 juta, gw 3 juta… lo turun gw naek, gimana?”, saran Nando sepertinya lebih masuk akal daripada ribut lagi, tapi untuk kata ‘sama-sama enak’ itu kayaknya ga tepat untukku!

“Ok, Do… 7 juta”, ucapku mengikuti permainannya dengan menurunkan harga sejuta.

“4….”, balas Nando.

“6….”, sahutku.

“5….”, balas Nando dan akupun menyebut angka yang sama.

“Ok deal di angka 5 juta ya, berarti kemaren 5 x 10 juta = 50 juta udah lunas, ditambah 20 juta tunai, sisa 30 juta itu berarti 6 kali lagi gw make bini lo ya….”, jelas Nando sepertinya sangat senang dan puas dengan kesepakatan ini.

“Biar ga ada salah paham, 6 kali itu 6 kali keluar ya, Do… bukan 6 kali pertemuan”, aku memastikan kembali jangan sampai Nando menghitung pertemuan seperti kemarin ia yang hanya menyebut ‘make’ 5 kali.

“iye… iye… gw paham”, ucap Nando santai.

“Trus, Do… gw harus bikin aturannya dulu… kita sepakati waktunya 3 hari lagi, di hari Rabu… gw kasih waktu istriku untuk istirahat.. sepertinya dia masih sakit.. tempatnya lo yang atur tapi jangan di rumah lo atau rumah gw…”, aku meminta waktu untuk memulihkan mental Lidya, aku hanya bilang pada Nando kalau Lidya sakit, bukan trauma... malas kalau membahas tentang trauma ini, bisa-bisa malah jadi panjang lagi pembicaraan.

“Sakit apa dia…? Ya udah deh ga apa-apa Rabu, tapi lo jangan macem-macem atau kabur ya… inget, gw blom suruh orang-orang gw untuk pulang sampai rencana ini dilaksanakan…. kita udah sepakati ini baek-baek. Kalo lo butuh uang buat bawa Lidya berobat, bilang gw.. gw transfer, atau potong aja dari yang 20 itu……. Oh ya, tempatnya di Apartemen Abang gw aja, tenang… ga ada yang pake kok, Apartemen N kamar 505”, kata Nando sambil memberikan tawaran uang lagi untuk biaya berobat istriku. Sudah barang tentu kali ini tidak akan aku terima.

“Kalo kira-kira sampe Rabu, gw ada duit 100 juta, gw masih bisa bayar kan? Ga harus dibayar pake opsi ini…..?”, aku berandai-andai, ya….. siapa tahu saja.

“Capek lama-lama gw ngomong sama lo….. gw udah baek-baek malah ngeyel! GA BISA!!!............... Tapi ok lah, gw kasih keringanan lagi sama lo… meskipun lo ada duit, 100 juta sampe batas waktu hari Rabu…. Oke gw terima, tapi gw tetep pake bini lo setengah dari kesepakatan tadi… 3 kali. Ini kesepakatan yang terakhir!!!! Jangan maen-maen lagi!!!!”, ucap Nando sepertinya yang mulai kembali emosi dan seperti yang sangat ingin merasakan lagi tubuh indah istriku. Aku menghela nafas panjang, sudah tidak ada kesempatan lagi untuk menyelamatkan istriku.

“OK, Do… untuk rules-nya gw bikin sekarang juga dan langsung gw kirimin ke lo”, kataku mengakhiri pembicaraan.

Aku langsung mengetik beberapa aturan, setelah sempat diketik-dihapus-diketik-dihapus, akhirnya rules yang selesai kuketik ini rasanya cukup. Aku pun memperlihatkan rules ini pada Lidya. Dengan mata berkaca-kaca ia membacanya, walau aku tahu dia tidak membaca seluruhnya karena baru beberapa saat dia sudah menyerahkan lagi ponsel ini kepadaku, tidak memberi komentar apapun.. aku pun tak enak hati untuk bertanya tentang persetujuannya, sudahlah kuanggap dia setuju saja.

Inilah Rules antara kami… mengenai tubuh istriku yang dijadikan sebagai pembayaran utang.​
Total utang Arief Rp. 100 juta, yang telah terbayar Rp. 50 juta + tunai Rp. 20 juta dibayar di tempat eksekusi, maka kegiatan pada point-point dibawah ini adalah untuk membayar sisa utang sebanyak Rp. 30 juta.
Pembayaran utang dengan cara penyerahan Lidya pada Fernando, sampai 6x ejakulasi.
Jika sampai hari Rabu pukul 19.00, Arief bisa membayar dengan uang Rp. 100 juta, maka point 2 di atas jumlah ejakulasi berubah menjadi 3x ejakulasi.
Waktu ‘permainan’ dilakukan hari Rabu tanggal 28 Juni, mulai pukul 19.00 sampai maksimal pukul 12.00 keesokan harinya. Atau dinyatakan selesai apabila point 2 sudah terpenuhi. Jika sampai batas akhir ternyata point 2 belum terpenuhi, maka tetap permainan dianggap usai. Tempat kegiatan disediakan oleh Fernando, di Apartemen N kamar 505.
Permainan dilakukan HANYA oleh Fernando dan Lidya, dilarang keras melibatkan orang lain selama ‘permainan’. Arief tetap berada di dalam ruangan yang sama selama ‘permainan’, untuk menjaga tidak adanya pelanggaran pada point-point yang sudah tertulis ini.
Diberikan waktu jeda yang cukup bagi Lidya antara satu ejakulasi ke ejakulasi yang lain. Setiap dimulainya permainan harus seizin Lidya.
Tidak memperlakukan Lidya secara kasar dan bentuk paksaan apapun pada Lidya.
Gaya bercinta apapun harus atas izin dari Lidya.
Menggunakan Kondom.
Tidak ada tuntutan dari kedua belah pihak setelah urusan utang piutang ini berakhir.
Setelah permainan.. sampai kapanpun, Fernando dilarang lagi untuk menghubungi Lidya dalam bentuk hubungan apapun.

***​


Nando sempat telepon lagi setelah aku kirim rules-nya, intinya sih setuju cuma ada dua point yang jadi perhatiannya, yaitu point 5 dan 9.

Kalau point 5 dia justru mempertanyakan apakah aku sanggup melihat istri sendiri digauli di depan mata sendiri? aku jawab siap. Tapi justru dianya sendiri yang merasa risih jika ada yang melihat, aku jawab anggap saja aku tak ada, aku juga tidak akan melihat terus ke arah mereka nanti.

Point 9 dia bersikukuh untuk dihapus saja karena dia mengaku mandul, setelah berdebat cukup panjang akhirnya aku putuskan point itu tetap ada, tapi pada prakteknya nanti.. tergantung kesediaan Lidya. Apapun semua diserahkan pada kemauan Lidya. Dia pun setuju.​

***​

Setelah segala keruwetan, kericuhan dan perdebatan yang menyita waktu dan pikiran di hari ini, sebelum tidur kupeluk dan kuciumi istriku untuk membuatnya nyaman, hari ini seharusnya menjadi hari bagi dia untuk memulihkan mentalnya, tapi justru dia kembali mendapatkan pengalaman buruk yang baru lagi, setelah aku ditagih dengan cara yang kasar dengan suara-suara bentakan dan gedoran yang memekakan telinga, ditambah dia nanti harus merelakan tubuhnya pada orang yang telah memperkosanya.

Ada waktu 3 hari sebelum hari H, aku ingin dia benar-benar pulih dan tak terlalu menjadikan hari H sebagai beban berat untuknya. Walaupun sudah pasti itu akan jadi salah satu pengalaman terburuk yang akan dia ingat sepanjang hidupnya.

Karena itu, aku menambah sebuah kesepakatan khusus antara aku dan istriku, tak perlu Nando tahu.

“Mah, nanti… supaya Mamah ga terlalu kerasa kepaksa dan jadi beban buat Mamah…. Mamah nikmatin aja waktu ngelakuinnya, Mamah boleh pake perasaan selama permainan, biar Mamah ga stress…. Papah ga apa-apa, anggap aja itu hukuman buat Papah”, ucapku yang ketika mengucapkan itu tiba-tiba penisku mengeras. Astaga, apakah aku akan memanfaatkan situasi ini untuk fantasiku lagi?

Istriku menggeleng, tatapannya kosong menatap langit-langit kamar tamuku. “Aku ga bisa kaya gitu Pah, aku orangnya gampang kebawa perasaan… kalau Papah biarkan, nanti pasti akan menyakiti hati Papah… lebih baik Mamah tidak menikmatinya”, ucapnya pelan dan kembali menitikan air mata. Kali ini dia tidak menangis terisak, tapi terlihat jelas kalau dia sangat bersedih merenungi nasibnya yang akan dia terima nanti.

“Ga apa-apa Sayang, anggap aja Papah ga ada, anggap aja Papah ga ada disitu, Mamah ga perlu liat ke arah Papah… Papah disitu cuma buat jaga Mamah, kalau-kalau Nando berbuat berlebihan sama Mamah diluar kesepakatan, Papah disitu buat jagain Mamah”, jelasku lagi setengah memaksa, entah mengapa aku merasa… pokoknya dia harus menikmatinya! Tapi dengan berdalih aku adalah seorang pahlawan yang kan menjaga dirinya. ‘Arief brengsek!’, ucap suara dalam hatiku.

Kali ini istriku tak menjawabnya, dia pejamkan matanya. Aku pikir dia akan tertidur, tapi ternyata dia tiba-tiba terbangun dan mengatakan sesuatu yang hampir membuat jantungku berhenti berdetak.

“Pah, Mamah boleh minta bantuan Koh Freddy ga?”, tanya Lidya hati-hati kepadaku.

“Mah, kita sudah terlambat, meskipun nanti Koh Freddy meminjami uang, tetap saja Mamah harus melakukannya 3 kali pada Nando, kesepakatannya sudah begitu”, jawabku, ada alasan mengapa aku tak mau Koh Freddy terlibat. Lebih baik istriku 6 kali digauli oleh Nando, daripada berkurang menjadi 3 kali tapi kemudian sisa hidupnya menjadi milik Koh Freddy. Sekelas Nando masih bisa aku lawan, tapi sekelas Koh Freddy? Aku langsung angkat tangan.

“Ga apa-apa Pah, daripada aku ngelakuinnya dengan dia sebanyak itu….. Mamah ga mau”, balas Lidya, kali ini terlihat dia menangis lagi. Aku mencoba memahami kondisi psikisnya, akupun tak bisa memaksakan kehendak…. Akhirnya dengan terpaksa kuturuti keinginan istriku itu. Dia pun menghubungi Vina, dia akan meminta Vina untuk menyampaikan pesannya pada Koh Freddy, kalau dia perlu pinjaman 80 juta.​


 


Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.
You will be redirected to the script in

seconds

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com