𝐂𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐓𝐞𝐧𝐭𝐚𝐧𝐠 𝐈𝐬𝐭𝐫𝐢𝐤𝐮 𝐏𝐀𝐑𝐓 𝟑𝟎 𝐀𝐏𝐀 𝐌𝐀𝐔𝐍𝐘𝐀 𝐒𝐈𝐇 ❓ (𝐀)

POV ARIEF

Sial, kenapa aku tak meminta nomor teleponnya Kang Ajat waktu saat bertemu di Bandung, kalau begini.. untuk menghubunginya harus menemui langsung ke Bandung… dan waktuku jelas tak cukup.

Hari Minggu yang seharusnya digunakan untuk bersantai kini aku harus berpikir keras. Aku mulai berpikir darimana uang yang harus aku dapatkan di waktu sesingkat ini. Andai saja mobilku masih ada, walaupun belum lunas tapi bisa di-over kredit… lumayan buat tambah-tambah… biasanya cepat kalau jual kendaraan…. tapi sayangnya mobilku sudah tak ada. Kalau rumah sepertinya akan lebih lama lagi terjualnya, jarang yang bisa laku dalam waktu sehari dua hari apalagi over kredit perlu proses panjang sampai cair, tidak mungkin singkat, apalagi 6 jam!! Huuffttt.. Aku menghela nafas panjang melawan rasa sesak di dada.

Aku teringat istriku, setelah beberapa teriakan yang keluar dari mulut debt collector dan juga diriku tadi, rasanya aku perlu memeriksa keadaan istriku yang belum juga keluar kamar.

Kudapati istriku sedang meringkuk menghadap tembok, kepalanya ditutupi oleh bantal, air mataku menetes melihat keadaan ini. Kudatangi dia, namun begitu lututku menaiki tempat tidur dia lagi-lagi terperanjat kaget dan semakin membenamkan kepalanya.

“Mah, ini Papah…. Ini Papah, Sayang….”, ucapku menenangkan dirinya, Lidya berbalik dan langsung merangkulku sambil menangis.

“Udah…. Mereka udah pulang, ga ada yang mesti dikahawatirin Mah…”, kataku lagi mencoba menghiburnya, hiburan yang tak berarti apa-apa, hanya hiburan palsu.. itu yang membuat air mataku ini jadi tak bisa kubendung. Aku merasa tak berguna… kami pun menangis bersama dalam pelukan.

“Gimana cara..nya Papah nge..lunasin utang..nya….?”, tanya istriku sambil terisak.

Aku terdiam, tak bisa menjawab apapun.

“Apa Papah… mau jadiin Mamah… buat bayar.. utang?”, tanya istriku sangat getir terdengar di telingaku.

“Mamah denger barusan….?”, tanyaku heran, padahal aku berbicara pada Nando dengan suara pelan, lagipula hanya Nando yang bicara soal opsi 2, itupun hanya seperti kode yang tidak mungkin istriku mengerti, aku sama sekali tak menyebut hal itu… bagaimana istriku bisa tahu padahal telinganya ditutupi bantal?

Lidya menggeleng pelan, “Aku denger.. waktu di Wisma, Pah…. Papah.. mau bayar pake cara itu?.... hiks.. hiks..”, tanyanya lagi.

“Ga akan, Sayang…. Ga akan pernah…”, jawabku tegas, istriku mendekapku semakin erat, sepertinya dia lega dengan jawabanku.

“Makasih banyak Pah… Papah jagain Mamah yaa…. Papah jual aja perhiasan Mamah, mungkin bisa.. kejual 12 juta… di tabungan Mamah… ada 4 juta…”, ucap Lidya masih terisak namun sedikit mereda. Aku kembali meneteskan air mata mendengar perjuangannya berusaha membantuku, membantu untuk membayar utang yang timbul karena kebodohanku.

“Papah ga ada saldo di tabungan, tapi ini ada cash 6 juta… ada yang ngasih amplop dari yang jenguk Papah di Rumah Sakit..”, ucapku malu karena uang istriku yang jauh lebih banyak untuk membayar utangku ini.

Terkumpul 22 juta, tapi hanya akan kupakai pembayaran 20 juta saja, karena tentunya kami pun butuh memegang uang untuk keperluan sehari-hari. Sisanya masih terlalu jauh…. 80 juta lagi.

“Kalo Papah jualin sebagian barang-barang rumah kita… ga apa-apa Mah?”, tanyaku pada Lidya. Sebenarnya aku sangat merasa hina dengan keputusan ini, tapi sudah tak ada cara lain untuk mendapatkan uang. Lidya mengangguk dengan ikhlas.

Kutelepon satu persatu pembeli barang-barang furniture dan elektronik, tapi mereka menawarnya dengan harga yang sangat rendah, rasanya sayang untuk dijual… kalau dipaksakan juga masih tak menutupi utangku, bahkan masih jauh ke angka 80 juta. Ditambah lagi aku tak tahu kapan aku bisa membeli gantinya?

Pertimbangan yang lain aku tak tega pada istriku melihat rumah menjadi kosong melompong, barang-barang ini juga bisa dibilang kesayangan istriku. Memang hampir semua barang di rumah ini adalah hasil jerih payah sewaktu usahaku masih sukses, tapi yang memilihnya adalah Lidya, dia atur semua barang-barang ini hingga suasana rumah menjadi nyaman dan terkesan estetik, sekalipun hanya barang-barang biasa saja, bukan barang yang mewah.

Kini kami berada di ruang tengah, di sofa depan TV, membicarakan tentang bagaimana kita dapat memperoleh uang sisanya. Untuk menjual barang sudah kami urungkan niatnya, itu bukan solusi yang bagus. Kini beralih ke pinjaman pada orang lain.. gali lubang tutup lubang ceritanya. Sayangnya, teman-temanku tak ada yang bisa diandalkan, semuanya sama.. sedang lesu. Kemarin pun saat menjenguk di Rumah Sakit sepertinya mereka memaksakan dengan cara patungan, pada saat aku kecelakaan itu sumbangan yang paling besar justru dari rekan-rekan kantor Lidya.

Dan sepertinya Lidya pun enggan untuk meminjam pada teman kantornya, tadi pagi dia sempat berbicara kalau dia akan keluar kerja karena sudah malu, meskipun belum tentu berita kejadian di Wisma itu sampai ke kantor pusat.

“Pah, aku boleh pinjam ke Vina?”, tanya Lidya kepadaku, dia istri yang sangat baik, masih saja dia meminta pendapatku terlebih dahulu sebelum memutuskan sesuatu. Dan sepertinya hanya Vina yang mungkin bisa mengerti dan dia percaya disaat ini. Sebenarnya aku sudah malas harus berkaitan dengan perempuan itu lagi, tapi apa daya.. kebutuhan sangat mendesak. Aku pun mengangguk.

Lidya menelepon langsung pada Vina dan mengaktifkan loudspeaker-nya agar aku mendengar juga percakapannya.

“Halo Vin…. hiks hiks”, sapa Lidya, tapi tangisannya kembali muncul kembali di depan sahabatnya itu.

“Kenapa Lid?”, tanya Vina seperti kaget sahabatnya menelepon langsung menangis.

“Aku.. bisa pinjem uang…***?... hiks..”, tanya Lidya langsung.

“Berapa Lid? Kamu perlunya kapan?”, ujar Vina balik bertanya.

“Delapan.. puluh… juta … Vin... ada ga? Maaf ya Vin.. aku.. perlu.. sekarang… hiks…”, tanya Lidya langsung.

“Astaga Lidya…. Ada apa sih?... buat apa Lid, sebanyak itu??”, lagi-lagi Vina malah balik bertanya, sepertinya dia penasaran kenapa tiba-tiba sahabatnya itu meminjam uang sebesar itu.

“Per..lu aja Vin..”, jawab Lidya tak mau memberi alasannya.

“Maaf… maaf banget… maaf banget Lid, aku ga pegang uang banget, ini juga aku cuma megang tiga ratus rebu… nunggu gajian masih lama, kamu juga tau kan Lid, aku pernah cerita dan ngeliatin rekening aku… semua uang warisan dari Papaku udah aku invest ke perusahaan tambang, tapi udah 6 bulan ini belom cair-cair aja”, Vina sepertinya tak bisa membantu, walaupun dari nadanya ia sangat ingin sekali membantu.

“ii..iya Vin.. aku ngerti… maaf ya Vin… aku ngerepotin…”, kata Lidya sepertinya sudah pasrah.

“Kenapa ga coba ke Koh Freddy aja Lid? Uang segitu kayanya ada deh Koh Freddy”, ucap Vina seolah memberi solusi. Tapi solusi itu membuat muka Lidya menjadi merah, ia melihatku sekilas, sepertinya dia tidak enak kalau nama itu terdengar olehku.

“ng..ngga Vin.. ngga… lagian… aku udah.. ga pegang… kontaknya.. nomor.. dia juga.. udah… aku.. blokir”, jawab Lidya kini isakan tangisnya bercampur dengan gugup.

“ya udah, aku ngerti Lid.. aku coba bantu cari pinjaman ke yang lain ya.. mudah-mudahan ada, tapi kayanya kalau segitu sih agak susah.. perlunya sekarang banget?”, kata Vina yang mencoba menghibur dan tetap ingin memberi pertolongan pada sahabatnya itu.

“iya Vin… butuh sekarang….. eh.. tapi.. anak-anak kantor.. jangan ada yang tau ya, Vin…”, balas Lidya cepat sepertinya masalahnya ini tak ingin diketahui oleh rekan kantornya.

“euuuumm… iya.. i..iya Lid”, jawab Vina tampak kebingungan, dengan permasalahan yang dihadapi oleh Lidya, mungkin dia bertanya mengapa teman kantor tidak boleh ada yang tahu? Tapi Vina tidak mau menanyakannya lebih lanjut.

Pembicaraan dengan Vina pun usai tanpa ada solusi.

Koh Freddy? Hmmm.. memang apa yang dikatakan Vina masuk akal, uang segitu bagi dia pasti cuma recehan saja. Tapi untuk meminta tolong dia ibarat ‘keluar mulut harimau masuk ke mulut buaya’. Terlalu beresiko. Untung saja Lidya tadi menolaknya.



POV VINA

“Halo Neng..”, sapa penelepon di ujung sana menyapaku di hari Minggu pagi saat aku masih tertidur.

“Hmmm.. siapa ini?”, tanyaku yang memang tidak melihat siapa yang menelepon, mataku masih terpejam.

“Siapa lagi atuh kalo bukan Pa Maman.. Neng Demplon lagi apa?”, jawab Pak Maman mulai genit.

“Ada apa, Pak?.. pagi-pagi gini ganggu orang tidur aja”, kataku yang menjawab dengan malas-malasan.

“Ada gosip Neng, tentang temennya Neng Demplon”, Pak Maman mencoba memberikan informasi.

“Ckkkk, ga penting banget, pagi-pagi udah ngegosip… emang temen aku siapa?”, tanyaku masih tetap memejamkan mata, tapi aku penasaran tentang gosip yang katanya temanku itu.

“Neng Lidya…. si cantik tea….”, jawab Pak Maman masih dengan nada genit.

“Hah? Kenapa dia?”, aku kaget sambil membuka mata dan bangkit dari tidurku. Kenapa Pak Maman tahu gosip Lidya? Tentang Koh Freddy kah? Soalnya Pak Maman kan kerja juga di rumah Koh Freddy.

“Tadi pegawai Wisma tempat Pelatihan cerita waktu ke kantor nyerahin barang-barang Neng Lidya… katanya kemaren Neng Lidya ‘dipake’ buat bayar hutang sama suaminya.. bener itu teh Neng?”, ucap Pak Maman malah balik bertanya.

“Eh ga tau, kenapa nanya lagi?… kan Pak Maman yang punya info! lagian ngaco ah gosip gitu didengerin!!!”, ucapku marah mendengar sahabatku jadi bahan gosipan. Meskipun pada awalnya cukup kaget juga, tapi setelah Pak Maman bertanya balik membuat infonya jadi tak kupercaya.

“Eh beneran Neng kalo kejadiannya mah, tanya aja sama yang ikut Pelatihan… udah pada tau semua, soalnya kemaren sempet ribut berantem.. pukul-pukulan”, jawab Pak Maman membela diri seolah tak ingin infonya dianggap hoax.

“Bentar-bentar….. aku ga ngerti nih, yang berantem siapa?”, kataku masih tak mengerti.

“Itu suaminya sama yang lagi ‘make’ Neng Lidya”, jawab Pak Maman semangat seperti ibu-ibu yang bergosip di warung sayur.

“Hus ah!! ngaco!!! Coba ceritainnya yang bener.. yang jelas dari awal”, pintaku pada Pak Maman agar jelas bercerita karena kalau sepotong-sepotong takutnya jadi salah arti.

“Jadi saksinya ada 2 orang, Neng…. pegawai Wisma, mereka yang liat sama dengerin langsung, kalo suaminya punya hutang 100 juta ke yang lagi ‘make’ Neng Lidya’.. trus kayanya suaminya marah, belom beres udah dipukulin itu lalaki yg lagi ‘make’, trus Neng Lidya dipaksa pulang sama suaminya malahan masih bugil pas pulangnya juga diliatin orang-orang… kok ada ya Neng suami kaya gitu?”, urai Pak Maman panjang lebar.

“Barusan Pak Maman bilang ‘trus kayanya suaminya ga kuat….’ Kenapa ‘kayanya’?....... berarti cuma tebakan aja dong!!”, ucapku marah dan cukup shock, tapi masih mencoba untuk tak percaya dan masih mempertanyakan kebenaran cerita ini.

“Pegawai Wisma-nya yang bilang gitu, Pak Maman mah cuma nyampe-in aja… Mereka juga ga terlalu yakin cerita sebenernya gimana, tapi mereka nebak dari yang mereka denger”, lagi-lagi Pak Maman membela diri.

“Ya udah, Pak Maman jangan dulu bilang siapa-siapa, berita blom jelas juga…”, ucapku memperingatkan Pak Maman.

“Tapi peserta Pelatihan mah udah pada tau… Bukan Pak Maman yang cerita, mereka liat sendiri”, balas Pak Maman seperti tak mau disalahkan.

“Ya udah biarin aja mereka mah, yg penting Pak Maman jangan ‘ember’ ke anak-anak kantor, udah dulu ya!”, ujarku memberi peringatan sekali lagi sebelum menutup teleponku.

Hmmm… benarkah begitu? Sepertinya ada yang janggal, Kang Arief itu kan masih di Rumah Sakit, kenapa bisa-bisanya ada di Wisma? Tapi kalau Lidya ‘dipake’ dan banyak saksi yang melihat, sepertinya itu sudah tak bisa terbantahkan, kenapa sih Lid? Ada apa dengan kamu, Lidya?

Terus lagi yang bikin aku sedikit percaya adalah jumlah utang suaminya… 100 juta, aku pernah dengar cerita Kang Arief kalau dia punya utang 100 juta untuk modal dan sisa utang yang dulu… apa cuma kebetulan? Lalu kenapa Kang Arief tega sih jual istri sendiri? Setahuku Kang Arief itu baik… aku aja suka sama dia, sebelum dia membentakku dengan kasar saat di Rumah Sakit.

Pertanyaan demi pertanyaan terus menggelayut di pikiranku, ingin rasanya kukonfirmasi langsung pada Lidya, tapi kalau pun cerita ini benar.. Lidya pasti tak akan berterus terang kepadaku, tahu sendiri kan Lidya orangnya gimana? Agak-agak tertutup.

Akhirnya setelah menyimpan kepenasaranan itu, pada siang harinya Lidya meneleponku untuk meminjam uang 80 juta!!! Hmmm, sepertinya kepingan puzzle sudah mulai tersusun walau belum lengkap. Tapi mengapa 80 juta? Bukannya menurut cerita Pak Maman itu 100 juta? Atau jangan-jangan yang 20 juta udah dibayar pake ‘enak-enak’ yang kemarin di Wisma itu. Entahlah, aku hanya mencoba untuk merangkai peristiwa saja dari informasi yang terbatas ini. Bertanya langsung pada Lidya pun rasanya tak mungkin karena ini menyangkut aib, jangankan menanyakan hal itu, ketika kutanya pinjam uangnya untuk apa… tadi Lidya tak memberikan jawaban. Lidya… Lidya…

Tadi juga aku sudah menyarankan padanya untuk meminjam pada Koh Freddy, mana ada aku uang sebesar itu? Tapi dia menolak, bahkan dia mengaku sudah tak menyimpan lagi teleponnya. Bisa jadi itu alibi Lidya, sebenarnya ia malu karena telah membuat aib perusahaan, tapi kan cerita ini baru dugaan saja, belum tentu benar juga.

Cuma yang pasti, mengenai Koh Freddy.. aku yakin dia pasti bantu buat Lidya, walaupun aku tak mengenalnya tapi dari sikap Koh Freddy selama ini, kelihatan kalau dia itu begitu mencintai Lidya dan sepertinya Lidya pun begitu.

***​


“Halo, Pak Maman”, kataku menyapa Pak Maman saat menghubunginya.

“Haalo Neng Demploon…… ada perlu apa niiih?”, jawab Pak Maman dengan nada yang riang setelah tahu kalau Vina yang menelepon.

“Pak Maman lagi dimana?”, tanyaku ramah, menanyakan keberadaan Pak Maman.

“Di kantor, Neng…. Neng Demplon mau kesini?”, jawab Pak Maman.

“Tau nomor telepon nya Koh Freddy ga?”, tanyaku lagi, tak menjawab pertanyaannya yang tak penting itu.

“Eh kirain mau sama Pak Maman, taunya nanyain si Kokoh”, jawab Pak Maman kecewa.

“Cepetan ih, tau apa ngga?”, tanyaku lagi, geregetan.

“Ga tau atuh Neng, Pak Maman mah kan cuma Satpam, masa tau nomor Bos Besar”, Pak Maman memberikan alasan.

“Di rumah Koh Freddy ada keluarganya yang tau ga? nomor telepon si Kokoh”, tanyaku lagi yang sudah tak sabar ingin mengakhiri telepon tapi tujuan belum juga berhasil.

“Paling keponakannya, si Koh Stipen… tau kayanya dia mah”, jawab Pak Maman dengan pasti.

“Ya udah kalo Pak Maman ntar jaga di rumah Koh Freddy, tolong mintain ya.. bilang ada urusan kantor, urgent”, aku memberi perintah.

“Urjen teh siapa Neng? Bapak baru denger namanya”, tanya Pak Maman belum mengerti.

“Udah pokoknya gitu aja”, tukasku semakin kesal.

“Harus ntar ya Neng?”, tanya Pak Maman lagi.

“Kan Pak Maman jaga di rumah Koh Freddy nya ntar malem!!!!”, balasku sudah mulai geram pada Pak Maman.

“Sekarang juga bisa Neng, ga harus ke rumahnya, tinggal di WA aja…. Koh Stipen mah ce es Pak Maman, kalo malem suka Gapleh bareng, tapi kalo ada empat orang sih, kalo duaan mah ya ga bisa, Neng Demplon tau Gapleh ga sih, kok diem aja?”, tanya Pak Maman masih antusias melakukan telepon dengan wanita pujaannya.

“OK Pak Maman, ditunggu sekarang, kalo udah ada nomornya.. langsung chat aja.. ga usah nelepon!! Bye!”, akhirnya akupun mengakhiri telepon yang melelahkan ini.

Aku memang sudah merencanakan meminta bantuan pada Koh Freddy. Entah bagaimana caranya, belum terpikirkan, yang pasti aku harus membantu sahabatku. Tapi aku harus menunggu perkembangan informasi dulu, jangan-jangan ini berita hoax.

Setelah menunggu sekitar setengah jam, akhirnya Pak Maman mengirimkan nomor telepon Koh Freddy melalui chat. Berguna juga ternyata Pak Maman ini, I Love You, Pak Maman!!!!

Kini nomor telepon Koh Freddy sudah di tangan, tinggal memikirkan bagaimana nanti caranya, cukup takut dan segan juga sih sebenarnya, apalagi tiap bertemu Koh Freddy di kantor, dia ga pernah nanya, jangankan nanya…. melirik pun tidak.​


 


Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.
You will be redirected to the script in

seconds

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com