𝐂𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐓𝐞𝐧𝐭𝐚𝐧𝐠 𝐈𝐬𝐭𝐫𝐢𝐤𝐮 𝐏𝐀𝐑𝐓 𝟏𝟗 [𝐁𝐔𝐊𝐀𝐍 𝐈𝐍𝐈 𝐘𝐀𝐍𝐆 𝐃𝐈𝐌𝐀𝐔 (𝐅)]

 

THE LAST POV LIDYA?
Sekitar 5 menit aku mencoba menenangkan diri di ruangan tempat cuci tangan ini. Setelah emosiku mulai terkendali dan tangisku mulai mereda, aku melangkah keluar. Aku harus membicarakan masalah ini dengan kepala dingin.

Akupun duduk dihadapan Koh Freddy. Kulihat wajah Koh Freddy tersenyum. Pandanganku diarahkan ke taman, aku tak mau menatap lelaki di depanku ini. Sekitar 23 detik kami terdiam tanpa suara, sampai akhirnya aku memutuskan untuk bicara dan mengungkapkan perasaanku saat ini.

“Koh… aku ga bisa kaya tadi lagi… aku juga pengen hubungan kita diakhiri sampai disini…. maaf banget ya Koh, sebenarnya ini sulit… disaat perasaanku sama Koko udah teramat besar… Aku sempat mencoba lupakan hati di luar sana yang seharusnya aku jaga perasaannya… tapi setelah kucoba, apalagi setelah kita melakukan hal yang seperti tadi….. ternyata itu membuatku sakit dan merasa bersalah”, ucapku dengan muka tertunduk mengawali pembicaraan, langsung ke inti permasalahan.

“Koko kan pernah bilang kalo kamu ga siap, Koko ga akan maksa… tapi apapun itu, Koko minta ma’af kalo tadi Koko sudah keterlaluan…”, jawab Koh Freddy mencoba bijak.

“Ini bukan hanya soal seks Koh…. tentang kedekatan kita pun emang tak perlu ada…… Yang udah kita lakuin ini salah, Koko pun pasti tau itu….. soal kata maaf, ini adalah kesalahan kita berdua…. kalaupun harus ada kata maaf yang terucap, kata itu seharusnya kita ucapkan pada pasangan kita masing-masing”, balasku dengan nada datar, kupaksa nada suaraku untuk tak gemetar.

“Kamu masih sayang sama suamimu?”, tanya Koh Freddy lagi.

“YA! Dari dulu sampai sekarang tetap sama, ….aku sayang banget sama suamiku”, kali ini jawabanku tegas dan mantap.

Koh Freddy mendengar ucapanku terlihat menghela nafas panjang, wajah ceria yang kulihat sepanjang hari ini, kini terlihat sedikit murung dan tak bersemangat.

“Kamu sekarang benci sama Koko?”, tanya Koh Freddy dengan mata yang menatapku erat.

“Aku ga tau Koh, yang pasti aku lebih benci pada diriku sendiri… yang sudah melakukan perbuatan bodoh bersama Koko”, jawabku sambil mencoba menghindari tatapannya.

“Koko ngerti perasaanmu… Koko akui kita memang udah terlalu jauh melangkah…. makasih ya Lid, kamu udah ingetin Koko… Koko kagum sama kamu........................... Koko janji ga akan pernah ganggu dan deketin kamu lagi...........… Tapi Koko harap kita bersikap biasa lagi seperti dulu, seperti yang terjadi jauh sebelum kita bermain dengan perasaan… kamu jangan jadi benci dan beda sama Koko ya Lid”, ucap Koh Freddy yang kali ini tampaknya sudah sama-sama menyadari kesalahan.

Sebutan ‘Lid’ bukan ‘Sayang’, yang keluar dari mulutnya sangat membuatku merasa lega. Ternyata Koh Freddy memang benar-benar dewasa dan bijaksana, tak seperti yang kukhawatirkan tadi saat akan mengungkapkan masalah ini, aku sempat takut Koh Freddy tak bisa menerimanya.

“Apa Koko bisa janji ga akan bawa aku masuk ke dalam hubungan kaya gini lagi? apa aku bisa pegang janji Koko?”, tanyaku masih belum yakin dengan komitmen Koh Freddy, aku ingin mendengarnya sekali lagi untuk lebih menenangkanku.

“Ya, Koko janji… Koko janji ga akan deketin kamu lagi”, jawab Koh Freddy mantap.

“Maaf Koh…. Kalo sikap dan keputusanku yang terkesan plin pan ini membuat Koko kecewa padaku…. dan membuat tak berkenan untuk tetap menjadikanku sebagai pegawai di perusahaan Koko… saya izin untuk mengundurkan diri saat ini”, uraiku memberanikan diri mengambil keputusan ini, meskipun berat.

“Lid, ada perasaan atau tanpa perasaan, kamu tetap asset buat perusahaan. Jangan campur adukan perasaan dengan pekerjaan. Koko mohon kamu tetap menjadi bagian dari perusahaan Koko”, jawab Koh Freddy mencoba untuk mempertahankan pekerjaanku.

“Kalau begitu….. terima kasih banyak buat kepercayaannya, aku akan profesional menjalankan pekerjaanku…..”, jawabku merasa semakin lega, ternyata aku tak kehilangan pekerjaan akibat keputusanku ini.

“Kita tetap baik-baik saja ya Lid, walaupun tak lagi dekat…....... dan, Lid…... kamu datang ya ke ulang tahun Koko hari Sabtu depan, ga perlu bawa kado apapun. Untuk waktu dan tempat, nanti Koko titipin informasinya lewat Pak Ridwan.. kamu ga usah khawatir… Koko ga akan macem-macem, nanti Koko kenalkan kamu sama istriku…. dan kalau perlu kamu ajak juga suamimu”, ucap Koh Freddy penuh harap.

“Iya Koh, saya usahakan akan datang”, jawabku menerima undangannya itu. Meski agak ragu, tapi aku akan bersikap seperti biasa pada Koh Freddy yang sudah sangat baik dan bijaksana ini, terutama untuk urusan pekerjaanku. Aku akan mendatangi undangannya sebagai penghormatan bawahan pada atasannya, bukan lagi karena perasaan. Tapi dengan siapa aku akan datang? Suamiku?..... jelas dia tak akan mau mendampingiku.
***​

Sepanjang perjalanan menuju Mall, suasana kembali canggung.. hampir tak ada pembicaraan sama sekali. Koh Freddy mengemudikan kendaraannya dengan kecepatan tinggi, tapi aku yakin itu bukan sedang mewakili perasaannya, tapi karena waktu sekarang sudah menunjukan pukul 2 siang lebih.

Di perjalanan ini juga, bayangan tentang suami dan ayahku kembali berkelebat. Kesedihan kembali datang padaku. Memang ada emosi yang tertahan dan tak tuntas aku tumpahkan tadi saat di Resto, tadi aku masih menahannya.

Setelah aku turun dari mobil Koh Freddy, aku langsung berlari mencari tempat yang sepi untuk menumpahkan sejenak kesedihanku sampai tuntas. Akhirnya aku putuskan untuk masuk ke toilet, nafasku tersengal akibat capek usai berlari-lari dan menahan perasaan kecewa yang teramat dalam pada diriku sendiri. Aku mulai menangis disana, sambil duduk di atas closet.

Tiba-tiba Vina menelepon….. terpaksa kuangkat, aku takut Vina khawatir karena aku belum sampai juga. Aku coba tahan isak tangisku ini.

“I..iya Vin… aku udah… sampe koq.. ini di toilet Grand Floor … hiks…. lagi sakit perut ini… Vin…. u…udah dulu ya Vin, tunggu aja… bentar”, ucapku mencoba menjawab telepon itu. Kudengar Vina memanggil-mangil namaku, tapi segera kumatikan langsung teleponku, aku takut dia mendengar isakanku yang sempat tak bisa kutahan diantara percakapan tadi.

Aku masih menatap ponselku, aku ingat betapa berdosanya aku ketika suamiku tadi menelepon tak kuangkat. Meski ragu, tapi aku hubungi dia, setidaknya untuk memberi kabar agar dia tak cemas.

“Pah, tadi telepon?...”, ucapku menguatkan diri dan mengatur nafas.

“Iya, Mamah kemana aja koq ga diangkat-angkat?”, jawab suamiku sepertinya sangat cemas sekali dengan keberadaanku.

“i…iya Paah”…………………………………..

Aku putuskan sambungan telepon itu dan langsung kumatikan ponselku ke posisi off…. Aku benar-benar tak kuat pada saat mengucapkan jawaban untuk pertanyaannya, aku sangat merasa bersalah sekali saat mendengar suara dari suamiku. Aku tak kuasa…. Kini aku menangis meraung di bilik toilet ini.

Beberapa lama kemudian, terdengar suara kaki pengunjung toilet. Aku tutup mulutku dengan telapak tanganku agar tangisku tak terdengar keluar.

“Lid…. Liiid…. kamu disini Lid?”, terdengar suara panggilan dari arah luar, sepertinya Vina sedang mencariku.

Aku semakin menutup mulutku rapat-rapat, tapi aku sudah tak tahan lagi dengan luapan emosiku ini… hingga akhirnya telapak tanganku terbuka dan tangisanku pecah. Lalu terdengar suara ketukan di pintu… “Lid…. Liiid, buka pintunya, kamu kenapa Lid?”, ucap Vina dengan panik, dia sudah tahu keberadaanku di bilik ini.

Aku buka pintu dan langsung memeluk Vina sambil menangis, saat ini aku memang butuh seseorang untuk menenangkanku, aku tak bisa melewati ini sendiri. Vina menepuk-nepuk punggungku, dia tak bertanya tentang apapun…. sepertinya dia ingin menenangkanku terlebih dahulu. Setelah beberapa saat, tangisanku mulai reda….

“Kamu kenapa Lid? Koh Freddy?”, tanya Vina menatapku tajam.

Aku mengangguk, kembali menangis dan merangkul lagi tubuh Vina.

“Kamu diapain sama dia?”, selidik Vina di pelukanku. Aku tak menjawab.

Vina mendorong tubuhku agar terlepas di pelukannya, kedua tangannya memegangi bahuku… “Jawab jujur Lid, kamu diapain sama Koh Freddy”, tanya Vina lagi. Wajahku menunduk, belum terpikir.. apa yang harus kukatakan pada Vina. Sampai akhirnya beberapa saat kemudian aku menemukan jawabannya.

“Aku nyesel Vin udah mau diajak jalan sama Koh Freddy… sekarang aku ngerasa bersalah banget sama suamiku….. ga akan pernah lagi Vin kaya gini….”, jawabku mengatakan hal yang tak sebenarnya terjadi.

“Lid… kalau sekedar jalan berdua… kamu kan udah beberapa kali dianter pulang, dan kamu ga nangis kaya gini…. cerita yang jujur Lid…. siapa tau aku bisa ngasih solusinya”, Vina terus mencecarku, sepertinya ada kecurigaan yang besar dalam pikirannya.

“Kesannya tadi itu kaya kencan aja Vin, dan aku sempet kebawa perasaan juga, walaupun perasaan itu cuma dalem hati…. ga diungkapin sama Koh Freddy, tapi itu yang bikin aku sekarang ngerasa bersalah sama suamiku”, jawabku lagi-lagi berbohong untuk menutupi perbuatan mesumku.

“Ya elaaah kirain sampe digimanain! Aku udah kaget banget barusan……. hahahaha…… Tapi ya namanya juga kamu ya Lid… si istri paling teladan hahahaha….. ya udah kalo gitu lain kali, kalo Koh Freddy ngajak… ga usah ditanggepin lagi aja… udah jangan nangis”, Vina berkata sambil tertawa, aku lega... tampaknya Vina mulai percaya pada alasanku.

“Iya Vin, aku juga tadi udah ngomong sama Koh Freddy…. kalo aku ga mau buat diajak pergi lagi, dia ngerti kayanya…. tapi ya ga tau juga…. kamu tolong jagain aku juga ya Vin”, ucapku, untuk perkara ini aku memang mengatakan hal yang sesungguhnya. Aku memang perlu penjaga.

Vina memelukku lagi sambil menepuk-nepuk punggungku.

“iyaa Lid, aku bakal jagain kamu…. walaupun aku juga ga tau gimana cara jagain kamu dari Boss besar, bisa-bisa aku yang dipecat hahahaha”, jawab Vina masih memelukku sambil tertawa kemudian merangkulku lagi.

“ASTAGAAAA!!!!!”, jerit seorang ibu-ibu yang tiba-tiba masuk ke toilet setelah melihat kami berpelukan. Ibu itu kemudian keluar lagi seperti panik.

Aku dan Vina saling pandang dan tertawa melihat kelakuan ibu-ibu tadi, sejenak terlupakan masalahku. Kami melepaskan pelukan yang mungkin dianggapnya sebagai pasangan sejenis ini.

“Udah yuk, sekarang kita mau ngapain? udah jam segini….”, kata Vina agak cemberut karena acaranya jadi berantakan.

“Anterin aku warnain rambut dulu aja ya Vin…. kayanya ke klinik ga keburu, trus nge-gym jadi ga yah?…. ga tau deh, gimana ntar… lagi lemes banget soalnya, atau kayanya ntar kita pulangnya nonton dulu gitu?… biar aku ga terlalu stress”, jawabku cerewet dan tiba-tiba merubah acara.

“euh aku udah capek-capek bawain tas olahraga, tuh masih dititipin di locker Salon….. Tapi ya udah deh... TERSERAH!!”, balas Vina yang sepertinya marah sambil menarik lenganku melangkah ke luar toilet. Tapi aku yakin, Vina tak benar-benar marah, sahabatku ini memang selalu jadi yang terbaik untukku.
***​

Setelah peristiwa di hari Minggu, aku tak berhubungan lagi dengan Koh Freddy, baik melalui chat maupun telepon. Aku memang sedang berusaha membuang perasaan tentangnya itu.

Sampailah di hari Sabtu, dimana Koh Freddy merayakan ulang tahunnya yang ke-40. Tak pernah aku duga sebelumnya, ternyata suamiku mau menemaniku menghadiri undangan tersebut. Aku sungguh bahagia, suamiku hadir di saat yang tepat. Aku semakin merasa aman untuk menghadiri ulang tahun Koh Freddy.

Di acara pesta, Koh Freddy dan istrinya, Ci Lani.. mendatangi kami. Tak seperti yang kubayangkan sesuai curhatan Koh Freddy tempo hari tentang kondisi rumah tangganya, tampaknya mereka baik-baik saja di pesta ini. Lelaki memang seperti begitu ya modusnya? Saat mendekati perempuan, ia curhat sedang ada masalah dengan istrinya, padahal itu hanya alasan untuk mengelabui mangsanya, lalu dilahapnya!

Tapi apapun itu, aku sangat senang dengan keberadaan Ci Lani, apalagi dia orangnya sangat ramah termasuk kepadaku. Sikap Koh Freddy pun terlihat normal, seperti sikapnya yang dulu sebelum main perasaan. Memang dibandingkan dengan sikapnya pada Pak Ridwan, di pesta itu Koh Freddy jauh lebih ramah kepadaku, tapi memang seperti itulah biasanya. Jadi menurutku kondisi sekarang sudah aman terkendali.

Perasaan aman dan nyaman berada di tengah pesta kemudian jadi terganggu ketika melihat wajah suamiku yang cemberut dan tampak bete sepanjang pesta, bahkan ia tak makan sedikitpun di pesta ini. Kenapa sih? Baru nganter sekali aja udah keliatan yang males gitu. Tau gini mending aku ngajak Vina… giliran nganter istri aja ogah-ogahan, kalo nongkrong bareng temennya kaya hari Senin kemarin, sampai jam 3 subuh! Kesel!!!

Ketika kami ngobrol kembali bersama Koh Freddy dan Ci Lani, sikap suamiku masih sama seperti itu. Dia tidak ikut mengobrol atau basa-basi sedikitpun, hanya diam dengan tampang yang judes. Kalau aku tebak sih sebenarnya dia ingin pergi meninggalkan pembicaraan ini, tapi sepertinya ia tak punya alasan untuk meninggalkan kami, jadi ya diam saja seperti itu.

Karena aku merasa tak enak hati, dan tak mau sikap tak ramah suamiku itu diketahui oleh Boss-ku dan istrinya itu, aku berpura-pura meminta suamiku untuk mengambilkan ice cream, padahal sebenarnya aku tidak ingin ice cream. Sengaja kupilih ice cream karena stand itu yang paling banyak orang mengantri. Biar suamiku punya alasan untuk meninggalkan kami dengan waktu yang cukup lama, maklum kami bertiga sedang asyik membicarakan masalah yang sedang hangat, sepertinya topiknya akan panjang. Pengertian kan aku sama suamiku? Tidak seperti dia kepadaku!

Sial! Tak lama setelah suamiku pergi, Ci Lani juga pergi meninggalkan aku dengan Koh Freddy, karena harus menghampiri kawan-kawan lamanya. Dia pun tak kembali lagi, mungkin karena asyik berbincang seolah-olah reuni dadakan. Untungnya Koh Freddy tetap bersikap biasa saja, sama seperti sikapnya saat ada Ci Lani.

Topik tentang skandal politik yang terjadi di negeri ini memang asyik dibicarakan, aku memang suka topik politik seperti ini. Terlebih informasi yang dibicarakan oleh Koh Freddy ini tidak pernah aku dapatkan di media-media, info A1!! Maklum Koh Freddy kan relasinya banyak dari kalangan pejabat tinggi. Saking asyiknya mendengar cerita Koh Freddy, aku tak sadar sama sekali kalau ternyata kaki kami melangkah ke tempat yang lebih jauh dari sebelumnya.

Dan di tempat itulah, aku harus akui tentang kekhilafanku. Jika aku sekarang memberi alasan perbuatan kotorku terjadi karena kesal pada suamiku..... walau sebenarnya memang aku benar-benar sedang kesal padanya, tapi itu jelas hanya pembenaran saja… bagaimanapun kesalahan bodoh ini tak harus terjadi, apapun keadaannya.

Di tempat itulah topik politik berganti menjadi topik yang lebih personal.

“Mana kadonya Lid?”, tanya Koh Freddy.

“Ih, kan Koko bilang ga usah bawa kado… gimana sih?!”, jawabku kaget dengan pertanyaannya.

“Kan kemaren basa-basi… masa Koko harus bilang.. bawa kado yaaa…., kirain kamunya peka”, jawab Koh Freddy sambil menatapku.

Aku gemas dengan pernyataan Koh Freddy itu, harusnya saat mengundang itu kan ga harus ngomong-ngomong masalah kado, kalo ga ngomong akupun pasti bawain dia kado, walau sebenarnya bingung mau kasih kado apa.. udah segala punya sih! Karena gemas bercampur kesal aku tepuk lengan atas Koh Freddy yang berotot itu..

Disitulah kesalahan mulai terjadi. Harus kuakui tentang kelemahanku… aku adalah perempuan yang mudah terbawa perasaan, apalagi pada orang yang kuanggap special. Apakah Koh Freddy tetap special di hatiku? Entahlah, yang pasti setiap perasaan besar yang sudah ada, tak bisa terhapus dalam waktu sekejap, walau aku akan mencoba untuk menghapuskannya. Ada perasaan yang masih tertinggal sepertinya.

Setelah menepuk lengan kekar berotot Koh Freddy, tanganku tak kembali ke posisi semula. Aku nyaman berada disitu, memegangi lekuk-lekuk ototnya. Tangan yang pernah begitu liar memuaskanku.

“Ya udah Koko mau kado apa dari aku? ….ntar aku beliin deh”, jawabku masih membahas soal kado. Mata kami bertatapan, aku lihat tatapan Koh Freddy sama seperti tatapannya yang tempo hari, penuh nafsu. Tanganku mulai mengusap-usap lengannya itu. Nafsuku sepertinya juga mulai muncul.

“Masa nanti? ulang tahunnya aja sekarang”, bisik Koh Freddy di telinga kiriku, hembusan nafasnya yang menerpaku membuat bulu-bulu halus di sekujur tubuhku meremang.

Belum sempat aku jawab, aku lihat Koh Freddy bergerak akan mendatangi tamu undangan yang menyapanya. Entah mengapa, tamu itu mendadak pergi, kini posisi Koh Freddy sudah berada di belakangku. Ia menempelkan batang kemaluannya yang sepertinya sudah berdiri tegak itu di bokongku yang tercetak indah di balik dress hitamku. Ada perasaan takut, gelisah, khawatir, yang bertempur dengan rasa nafsuku.

Aku menoleh ke belakang yang bodohnya kulakukan dengan wajah ramah sambil tertawa.. “Katanya Koko janji ga akan kaya gini lagi?”, aku masih mencoba untuk mengingatkan janjinya di hari Minggu.

“Iya anggap aja ini kado ulang tahun…. udah ini Koko janji… kaya janji yang Koko ucapin pas hari Minggu”, jawab Koh Freddy yang sepertinya sudah sangat bernafsu.

“Janjii?”, tanyaku lagi sambil menolehkan kepalaku kembali. Mataku meredup, akupun sudah terbakar gairah meskipun ‘milik’ Koh Freddy hanya menyentuh bokongku.

“Iya Lid…”, jawab Koh Freddy penuh harap.

“Selamat ulang tahun Koh….”, ucapku sambil menekan pantatku ke belakang, sebagai kado ulang tahun mesum untuk Boss perusahaanku.

“Makasih Sayang, sampe keluar ya…”, kata Koh Freddy meminta lebih.

“Ih koq manggil sayang sih? lagian keluarnya Koko mah lama”, balasku yang tidak terlalu kaget saat Koh Freddy mengucapkan ‘sayang’, karena sebenarnya akupun ingin mengucapkan kata itu, namun aku tahan.

“Kan lagi ulang tahun, ga apa-apa manggil ‘Sayang’…. Koko bakal cepet keluarnya koq… kamu gerak-gerakin makanya”, ucap Koh Freddy semaunya.

Aku belum melakukan gerakan apapun, karena sepertinya di belakang Koh Freddy banyak tamu undangan yang melintas. Dasar Koh Freddy ini ga pernah liat kondisi, kini badan Koh Freddy justru makin menempel maju, aku terjepit diantara tubuh kekar Koh Freddy dan meja stand yang kosong.

Penisnya yang begitu besar kini semakin terasa. Setelah suasana sedikit sepi, aku lihat lagi ke sekeliling untuk memastikan keadaan, memang ramai tapi tak ada satupun yang memperhatikan, maklum tempat kami berdiri berada di area pinggir ruangan, tak seramai di area yang lain. Akupun sempat mencari keberadaan suamiku dan Ci Lani, namun tak kutemui karena terhalang oleh tamu undangan yang ada di tengah ruangan. Pantatku dan pinggul Koh Freddy mulai bergerak perlahan namun konstan, aku tak ingin kami melakukannya terlalu liar di tempat seperti ini.

Ketika Koh Freddy ada gestur untuk berbisik di telinga kananku, aku menyuruhnya untuk berbisik di telinga kiri sehingga nanti kepalanya terhalang oleh kepalaku, maklum arah keberadaan suamiku dan Ci Lani ada di sebelah kananku. Setidaknya aku masih bisa mengawasi keadaan dibandingkan dengan Koh Freddy yang sepertinya sudah tak peduli dengan kondisi sekitar.

“Kamu cantik banget malam ini, Sayang…”, bisik Koh Freddy.

Langsung ia jilati leher kiriku dengan liar. Aku sedikit menggelinjang, dan sedikit mendesah.

“Sssssh aaaah Kokoooh, geliiiii aaaahhh”, desahku.

Tak sampai disitu, kini tangan kiri Koh Freddy memeluk tubuhku dan mengarahkan telapak tangannya ke arah vaginaku dan mengusap-usapnya. Dia bebas melakukan itu karena di depanku adalah meja stand setinggi perutku sehingga gerakan tangannya tak akan ada yang melihat. Aku menuntun tangannya di vaginaku untuk mengenai satu titik sensitif yang aku mau. Telapak tanganku tak dilepaskan lagi, tapi membantu telapak tangan dan jarinya untuk menekan vaginaku lebih dalam lagi. Sesekali jarinya dimainkan seperti gerakan menggaruk dari bawah ke atas.

Sementara goyangan pantatku yang menekan penisnya sesekali dilakukan secara cepat. Namun karena keadaan tak memungkinkan, gerakan itu harus melambat lagi untuk tak mencolok mata. Gerakan dilakukan maju mundur, kadang ke kanan ke kiri secara perlahan namun menggairahkan.

“Ouuuughh Kooh, aakuuu mau keluaaar iniiiii”, desahku di telinga Koh Freddy, ketika tangan Koh Freddy yang mengusap vaginaku digerakannya semakin cepat.

“Koko juga, …ouufh mau keluar… sun dulu Koko”, balas Koh Freddy.

Kini wajah Koh Freddy ada di dekat bahu kiriku.

“Mmmpphhh jangan Kooh, ssshh ba..nyaak orraang”, kutolak permintaannya dengan mendesah. Aku melihat sekeliling, suasananya masih sama, aman. Akhirnya kucium bibir Koh Freddy walau hanya sekilas, seperti gerakan seoleh menoleh ke belakang tapi mengenai bibirnya cepat.

Tapi ketika gerakan kepalaku akan kembali ke posisi depan, kepala Koh Freddy bergerak dan langsung memburu bibirku. Pagutan dan lidahnya masuk ke dalam mulutku. Lidah yang sebenarnya masih kurindukan itu kusambut dengan membelitkan lidahku. Pagutan itu hanya sekitar kurang dari 5 detik, terhenti karena kurasakan tubuh Koh Freddy mengejang.

“Koko udah keluar… ouugh… makasih banyak Lid buat kadonya”, ucap Koh Freddy. Sambil tangannya terus mengusap-usap liar vaginaku.

"Kooooh... ssshh.... aakuu jù.***.... keelll…. luaar........oouuuggghh…..", erangku begitu mencapai klimaks.

Permainan ‘nekat’ kami yang hanya sekitar 5 menit saja, tapi sudah bisa membuat Koh Freddy dan juga aku orgasme dengan waktu yang cepat. Mungkin karena sensasinya, ah entahlah.

Ketika masih menikmati kenikmatan orgasme, dimana posisi penis dan bokong yang masih menempel, aku coba lagi lihat sekeliling terutama ke arah suamiku, begitu kagetnya aku ketika ternyata ia sedang melihat bahkan berjalan ke arah kami.

Aku langsung menghampirinya tanpa pamit pada Koh Freddy. Wajah suamiku terlihat marah dan menarik dengan kasar tanganku untuk mengajak pulang.

Di perjalanan dia marah sangat besar, bahkan kemarahannya itu tak pernah aku lihat sebelumnya. Ternyata suamiku tahu dengan kegiatan liarku bersama Koh Freddy di pesta tadi, namun tentu saja aku bantah bahkan berbalik marah, tentu saja untuk menutupi kebohonganku.
***​

Aku mengakhiri ceritaku, kulihat wajah suamiku seperti tertekan, melamun dengan tatapan kosong, sepertinya ia shock dengan segala ‘kegilaan’ yang pernah aku lakukan di belakangnya.

Sepanjang aku cerita, suamiku sempat ejakulasi hingga 3 kali melalui kocokan tanganku. Membuat kasur ini menjadi basah oleh spermanya. Yang aku heran, mengapa suamiku sepertinya bisa terangsang oleh perbuatan mesum istrinya dengan lelaki lain? Begitu juga dengan cepatnya ia ejakulasi, mungkin hanya 1-2 menit saja, tak seperti biasanya saat ‘bermain’ denganku yang bisa tahan sampai 15 menit. Entahlah, semoga semua itu terjadi bukan karena depresinya.

Kini setelah cerita itu berakhir, aku lihat ada bulir air mata di sudut matanya, beberapa kali kulihat dia sedang menyeka air mata dengan tangannya sembunyi-sembunyi, seolah ia tak ingin tangisnya diketahui olehku. Sekarang suamiku masih tidak mau menatapku, wajar jika dia menjadi benci padaku…. tapi aku benar-benar tak ingin kehilangan dia.

“Ma’afin aku ya Pah… aku bukan istri yang baik… aku banyak bo’ong sama Papah…… Papah pantas buat marah dan kecewa sama aku”, ucapku penuh penyesalan. Air mataku menetes kembali.. makin lama mulai mengalir deras tak terbendung, apalagi saat suamiku yang kutahu selama ini tegar.... mulai terdengar terisak namun berusaha ia tahan.

“Kalo Mamah nanya apa Papah kecewa? iya Papah kecewa… mungkin sulit buat Papah untuk ngelupain hal ini… tapi Papah akan coba…. dan Papah ga akan pernah ngungkit-ngungkit hal itu….. Papah udah ma’afin Mamah sekarang….. tapi Mamah jangan lakuin itu lagi ya…… sekali-kali jangan! Papah ga mau kehilangan Mamah… Papah sayang banget sama Mamah…. Papah juga janji berusaha jadi suami yang baik… Ma’afin kalo Papah selama ini buat Mamah kecewa.. yang udah ya udah.. moga kedepannya rumah tangga kita makin baik”, ujar suamiku yang mulai berbicara kepadaku namun dengan nada yang terdengar bergetar.

Aku langsung merangkulnya, diantara isak tangis kami yang pecah, kami saling meminta maaf atas segala kekurangan kita selama ini.

Kami sama-sama menangis dan berangkulan sekitar 10 menit, hingga tangis mulai mereda dan mulai bisa menenangkan diri.

Tiba-tiba aku memiliki ide bagaimana caranya agar suamiku benar-benar percaya tentang hubungan antara aku dan Koh Freddy memang benar-benar sudah berakhir. Aku tahu ini tidak bisa menyembuhkan lukanya yang sudah terlampau dalam, tapi setidaknya bisa sedikit meredakan rasa pedihnya.

“Oh iya Pah…. biar Papah ngerasa yakin… tentang hubunganku sama Koh Freddy… aku mau telepon Koh Freddy sekarang”, ucapku berusaha untuk meyakinkan suamiku bahwa aku tak akan berbuat kesalahan untuk kedua kalinya.

“Untuk apa Mah?”, tanya suamiku yang tampak bingung dengan apa yang akan kulakukan.

“Papah dengerin aja sendiri, teleponnya aku loudspeaker”, jawabku tanpa memberikan penjelasan. Biar dia yang nanti menyimpulkannya sendiri.

Saat itu juga aku langsung menghubungi Koh Freddy lewat telepon di depan suamiku yang masih tampak kebingungan.

“Malam Koh”, aku membuka pembicaraan.

“Eh iya Lid…. kebetulan banget…… tadinya Koko mau telepon, tapi takutnya kamu salah sangka… Koko mau minta maaf soal tadi… maaf banget, Koko yakin kamu pasti marah sampe pulang ga bilang dulu, sekali lagi maaf… Lid”, ujar Koh Freddy langsung meminta maaf dan menyesali perbuatannya.

“Iya Koh, aku cuma mau mastiin lagi komitmen kita di hari Minggu lalu, kita udah janji ga akan ngulang kesalahan lagi kan… Koko masih pegang komitmen itu?” tanyaku dengan nada yang tegas.

“Iya Lid, pasti… Koko janji ga akan ganggu kamu lagi”, jawab Koh Freddy masih dengan nada penuh penyesalan.

“Ya udah kalo gitu, lain kali ga ada alasan-alasan lain kaya tadi lagi ya.. cukup tadi yang terakhir.. aku pegang janji Koko… makasih buat niatan jaga komitmennya. Salam untuk Ci Lani”, aku mengakhiri pembicaraan.

“Iya Lid, janji… sama-sama, salam juga buat suamimu”, jawab Koh Freddy.​ 




Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.
You will be redirected to the script in

seconds

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com