𝐂𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐓𝐞𝐧𝐭𝐚𝐧𝐠 𝐈𝐬𝐭𝐫𝐢𝐤𝐮 𝐏𝐀𝐑𝐓 𝟐𝟑 [𝐒𝐄𝐋𝐀𝐍𝐆𝐊𝐀𝐇 𝐋𝐀𝐆𝐈]

Suara telepon berbunyi di atas meja saat aku berada di toko, dan kulihat ternyata Nando! Ah akhirnya dia balik meneleponku setelah beberapa kali tadi aku menghubunginya tapi tak diangkat.


“Kang, tadi nelepon? Maaf tadi saya ada urusan dulu, HP di silent”, ucap Nando mengawali telepon di pagi hari ini.

“Iya Do, rencananya Akang mau ke rumah Nando hari ini… ada yang pengen diobrolin, bisa kan?” jawabku.

“Hari ini Kang? Saya lagi di Medan…. Opung saya meninggal” balas Nando seperti menyesal tak bisa aku temui hari ini.

“Eh Maaf, turut berduka cita, Do”, jawabku jadi merasa tidak enak karena menghubunginya di saat yang tidak tepat. Gawat ini, rencanaku bisa hancur berantakan.

“Iya Kang, makasih, santai aja… sebetulnya udah dimakamin koq, cuma karena keluarga masih megang adat yang kuat, jadi ada upacara adat dulu beberapa hari”, balas Nando menerima permintaan maaf dan ucapan duka citaku.

Aku baru ingat kalau Nando itu memang orang Sumatera Utara, tapi karena dari lahir dan besar di pulau Jawa, gaya bicara Nando tidak memiliki aksen Sumatera, bahkan pas awal kenal, aku menyangka dia orang Sunda.. soalnya ngomongnya terlalu ‘halus’ untuk ukuran orang Sumatera, bahkan Nando jauh lebih halus dibandingkan aku yang asli Bandung.

Aku terdiam… tak tahu harus bagaimana. Aku butuh sekali pinjaman itu, aku harus sudah tanda tangan kontrak besok, sementara uang untuk modal belum ada sepeser pun. Dan aku benar-benar hanya mengandalkan Nando.

“Emang ada perlu apa, Kang?”, tanya Nando setelah aku lama terdiam.

“Ga enak ngomongnya kalo di telepon, Do… apalagi suasanya lagi berkabung gini”, jawabku yang masih merasa tidak enak hati, tapi butuh.

“Ga apa-apa Kang di telepon juga kalau memang urgent, kecuali kalau Akang mau nunggu saya pulang ke Jakarta hari Sabtu nanti”, balas Nando seolah memberikan kesempatan padaku untuk mengungkapkan maksud.

Sabtu? Wah, itu terlalu lama dan sudah terlambat jika harus menunggu.

“Gini Do…. maaf tapi kalau Akang ngomongnya di waktu yang ga tepat, sebetulnya Akang lagi mau ada kerjaan, tapi ga ada modal… Akang inget tempo hari Nando pernah nawarin ke Akang soal modal..”, ucapku mencoba memberanikan diri mengatakan hal itu.

“Wah, syukurlah Kang.. seneng saya dengernya.. disaat kondisi usaha lagi sepi, dapet kerjaan baru…. rezeki ga akan kemana ya…. Emang perlu berapa Kang?”, jawab Nando yang benar-benar memberikan harapan baru bagiku.

“Besar Do, makanya saya mau ketemu dulu tadinya… tapi kalo nunggu Sabtu sepertinya ga bisa, Do… maaf…. sekalian pengen nunjukin proposalnya, disana udah saya rinci waktu pembayaran sama pembagian keuntungannya”, ucapku yang masih belum mantap hati untuk menyebutkan nominalnya.

“Besar itu berapa Kang? Trus kalau soal waktu pembayaran, asal ga lama-lama sih ga apa-apa…”, jawab Nando seperti mendesakku untuk berani mengatakan nominal yang aku perlukan.

“75 juta Do, waktu bayarnya 3 bulan… emang harusnya saya sambil liatin proposalnya ya Do… biar jelas”, ucapku malu-malu.

“oh segitu ya……………………. Apa boleh saya tau usaha yang mau dijalaninya Kang?”, tanya Nando lagi setelah diam sekian lama, sepertinya dia ragu atau jangan-jangan dia tak setuju? Kacau!

Akhirnya saya menceritakan tentang project baru-ku, tak ada yang ditutup-tutupi, termasuk soal keuntungan yang akan diperoleh. Tapi setelah aku bercerita, Nando masih juga diam…..

“hmmmm, gimana ya Kang… kalo saya ada di posisi Akang, saya mau cek dulu siapa pembelinya? siapa penghubungnya? track recordnya gimana? tapi mungkin Akang juga pasti udah cek itu semua ya?....... Terus soal DP, kalau saya sih biasanya pengen ada yang masuk dulu… berapapun itu. Kalopun ga ada, setidaknya ada yang dijaminkan dari pembeli.. ga cukup sekedar kontrak… Tapi maaf ini lho Kang, saya juga masih belajar soal bisnis, Akang yang pasti lebih paham”, ujar Nando yang sepertinya ada yang masih mengganjal tentang rencanaku, Nando mengucapkan itu tampak sekali berhati-hati takut menyinggung atau terkesan mengguruiku.

“Untuk pembeli, track record, sama penghubung udah Akang cek, Do… Akang dapet kerjasama ini dari Ilham, udah lama kenal dan dia ‘main’ di T-shirt juga, mungkin Nando juga kenal.. sementara untuk DP emang ga ada jaminan apa-apa… cuma Akang liat dari history order sebelumnya emang ga ada masalah apa-apa meskipun tanpa DP…”, jawabku lancar.

“Ya syukur deh kalo gitu, tapi kalo Ilham kayanya saya ga kenal, Kang… ga tau kalo liat orangnya langsung….. ya udah Kang, saya percaya sama Akang. Nomor rekening masih yang dulu kan?”, ucap Nando.

“Eh bentar dulu Do, pembagian hasilnya gimana..? kalo Nando setuju berarti saya utang 103 juta ya… itu udah ditotal sama utang Akang yang tempo hari”, jawabku cepat karena kaget ketika Nando tiba-tiba sudah menanyakan nomor rekening, disaat kesepakatan belum dibicarakan.

“Untuk 3 bulan pertama, saya ga perlu ada pembagian apa-apa Kang, emang niat saya dari dulu waktu nawarin modal itu cuma pengen ngebantu, bukan bisnis. Tapi kalo usahanya berlanjut, dan mudah-mudahan berlanjut, baru nanti kita bicarain lagi soal sharing profit-nya… dikembaliin-nya 100 juta aja Kang… biar gampang saya ingetnya, yang 3 juta anggap aja hadiah ulang tahun hehehe”, tutur Nando yang tidak meminta pembagian apapun, bahkan belum apa-apa sudah memberikanku diskon. Ah, aku baru sadar… ternyata orang baik masih banyak di sekelilingku.

“Ulang tahun apa, Do? masih lama juga”, jawabku cepat.

“Ga apa-apa kang, jadi ntar kalo Akang beneran ulang tahun saya ga harus ngasih kado lagi, hahaha…. Kang coba diliat rekeningnya, saya barusan transfer”, balas Nando santai.

Syukurlah, semua seolah dimudahkan…. Kali ini tinggal selangkah lagi untuk meraih kesuksesanku yang baru!
***​
Aku langsung bergerak cepat, bersama Ilham, menemui pemilik konveksi. Setelah diputuskan kami memilih konveksi daerah Tangerang agar Ilham lebih mudah dan dekat untuk mengontrolnya. Dari 1000 pcs, kita pecah ke 2 konveksi.

Konveksi A tak ada masalah, dan bisa langsung produksi besok setelah aku teken kontrak. Masalahnya ada di Konveksi B yang tidak punya stok bahan kain yang kita butuhkan dan tidak bisa segera produksi, karena jadwalnya masih penuh, sehingga baru bisa mulai hari Kamis depan, tapi tak apa… dengan kemampuan produksinya yang besar, waktu masih terkejar. Untuk bahan, tadi aku telepon ke beberapa penjual sekitar sini, tapi stoknya sedang kosong. Jadi aku akan mencoba mencarinya ke Bandung, sehabis mengantar Lidya Pelatihan di hari Senin nanti di Puncak. Ayo, Semangat Arief!!

Disaat pertemuan di rumah salah seorang pemilik Konveksi, ada hal baru lagi dalam soal bisnis yang baru aku ketahui, aku dapat pelajaran baru. Mereka meminta kontrak hitam diatas putih untuk 3 bulan ke depan, itu untuk menjamin kalau jadwal produksi untukku tidak diambil oleh orang lain, tak terpikir olehku sebelumnya. Aku pun meminta Ilham untuk membuatkan kontrak itu sesegera mungkin. Sama sepertiku, Ilham pun terlihat sangat antusias dan serius menjalani project ini, bahkan dia lebih cerewet dan detail ketika berdiskusi dengan pemilik konveksi dibandingkan dengan aku. Uang pun sudah aku serahkan 72 juta pada Ilham, karena setelah dihitung lagi dengan pemilik konveksi, biaya produksinya cukup segitu. Lumayan, ada uang nganggur 3 juta, itu bisa kupakai untuk uang bensin… kan aku harus mengantar Lidya Pelatihan ke Puncak dan langsung ke Bandung.

Di perjalanan pulang saat mengantarkan Ilham ke rumahnya, aku mengingatkan pada Ilham untuk menyerahkan uang yang dipegangnya ke konveksi sebagian-sebagian saja sesuai dengan yang sudah disepakati, dan Ilham harus terus mengontrol kualitas produksinya serta mengirimkan progress-nya kepadaku. Ilham menyetujuinya dan ia memang sudah lebih paham soal itu.

Aku tidak turun dulu sesampai di rumah Ilham, karena mengejar waktu untuk menjemput Lidya di kantornya. Sambil menyetir aku juga menelepon Vina untuk membicarakan perkembangan usaha baruku, karena tak mungkin aku berbicara kepada Vina saat ada Lidya, bisa-bisa hubunganku dengannya ketahuan!

Aku menelepon ke Vina ini bukan berarti ada perasaan, ini karena aku ingin ada teman diskusi, aku tak mungkin mendiskusikan masalah pekerjaan ini pada Lidya. Aku tahu dia masih tak setuju, dan aku sudah menghormati keputusannya itu serta tak mau menimbulkan masalah baru.

Vina sangat senang dengan berita yang aku ceritakan, itu semakin membuatku semangat. Hanya saja ia sedikit tak setuju ketika tahu bahwa uang sudah diserahkan pada Ilham seluruhnya. Tapi aku bisa menjelaskan, aku punya pertimbangan lain yaitu menyangkut efisiensi, akhirnya Vina memahaminya itu.​
***​

‘Sisa’ waktu kebersamaan dengan Lidya hanya 4 hari sebelum dia berangkat Pelatihan. Rasanya sangat berat seolah akan ditinggalkan olehnya dalam waktu yang sangat lama, maklum seumur pernikahanku… aku tak pernah berpisah dengannya melebihi satu malam.

Aku manfaatkan waktu yang tersisa itu dengan bermesra-mesraan. Lidya pun sepertinya sangat berat untuk meninggalkanku. Tidak ada hati yang lain bagiku selain Lidya di waktu 4 hari ini.

Namun di hari Minggu malam, sempat ada sesuatu yang membuatku terganggu. Saat itu aku sedang tidur-tiduran sambil bermain game di ponsel Lidya. Lidya sendiri sedang menyiapkan peralatan untuk kegiatannya besok. Tiba-tiba ada telepon masuk, hanya nomor saja, tampaknya Lidya tidak men-save nama si penelepon itu.

“Ga ada namanya…”, ucapku sambil menyerahkan ponselnya pada Lidya, yang setelah mendengar ponselnya berbunyi langsung menghampiriku. Wajahku langsung tegang, entah kenapa aku tiba-tiba merasa tidak enak hati. Begitu juga dengan Lidya yang sepertinya sedikit panik setelah melihat nomor yang tak dikenal itu menghubunginya.

Lidya hanya menatap layar ponselnya, lalu ia matikan sambungan telepon itu.

“Kenapa dimatiin, Mah?”, tanyaku penasaran. Aku pun menepuk-nepukan telapak tangan ke jok sofa di sebelahku.. tanda agar Lidya duduk di sebelahku. Lidya pun duduk kemudian merangkul tubuhku sambil menyandarkan kepalanya di dadaku.

“Biarin aja, soalnya ga tau siapa”, jawab Lidya tenang, namun dari degup jantungnya yang menempel di lenganku, aku bisa menduga bahwa ia sedang panik.

Ponselnya berbunyi lagi, kami saling berpandangan. Tapi sepertinya Lidya masih tak mau untuk mengangkatnya dan mencoba untuk mematikannya kembali. Namun dengan cepat kuambil ponsel dari tangannya, akan kujawab telepon itu..

Saat ponselnya berpindah tangan, terasa sekali gerakan tangannya yang seolah berat untuk melepaskan ponselnya kepadaku. Apalagi setelah ponsel itu mulai kuangkat ke telingaku, wajahnya sudah tak bisa ditutupi lagi, ia benar-benar panik dan ketakutan.

“Halo Lid….”, ucap sang penelepon yang ternyata benar seperti dugaanku, laki-laki!

“Halo”, jawabku tegas, meskipun hatiku dag dig dug dan ada rasa cemburu yang kurasakan saat ini. Lidya pun hanya menatapku, tak bisa berbuat apa-apa.

“Eh, maaf…. Bisa bicara dengan Lidya, Pak?”, kata sang penelepon yang sepertinya kaget ketika mendengar yang menjawab ternyata bukan Lidya.

“Dengan siapa ini?”, jawabku datar namun nada suaraku dibuat seolah mengintimidasi.

“Saya Ridwan, Pak… ini dengan Pak Arief?”, jawab sang penelepon yang ternyata Pak Ridwan. Kenapa lagi dengan orang ini? selalu membuatku curiga, padahal sudah berulang kali aku membuang kecurigaan itu setelah mendapat keterangan dari Vina. Tapi selalu saja ia datang lagi menimbulkan kecurigaan yang baru.

“Tunggu sebentar, Pak”, aku tak menjawab pertanyaannya dan langsung kuberikan ponsel itu pada istriku. Lidya terlihat kebingungan karena dia masih belum tahu siapa yang menelepon.

“Pak Ridwan”, ucapku datar pada Lidya memberitahukan siapa yang menelepon, entah bagaimana raut wajahku saat itu, yang pasti ada perubahan.

Lidya pun mengambil ponselnya dan membetulkan posisi duduknya. Dia menelepon dengan percakapan yang biasa saja, sepertinya membahas soal persiapan Pelatihan. Tapi kenapa Pak Ridwan harus menelepon tentang Pelatihan sih? Kan dia ga ikut Pelatihan? Kalo nanya tentang persiapan Lidya, sok perhatian banget!!!​



 


Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.
You will be redirected to the script in

seconds

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com