𝐂𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐓𝐞𝐧𝐭𝐚𝐧𝐠 𝐈𝐬𝐭𝐫𝐢𝐤𝐮 𝐏𝐀𝐑𝐓 𝟐𝟒 [𝐍𝐀𝐊𝐀𝐋]

 


Senin pagi sekali aku sudah mengantarkan Lidya menuju tempat Pelatihan yang berlokasi di Puncak. Cukup berat rasanya, disaat hubungan kita sedang mesra-mesranya. Tapi bagaimanapun aku harus merelakannya, bagaimanapun pekerjaan Lidya sudah banyak membantu kelangsungan keluarga kami.


Kami melewati beberapa titik kemacetan, mobil berjalan padat merayap.. bisa jadi karena ini hari Senin. Akhirnya kami baru sampai ke lokasi Pelatihan itu pukul 8.38, sementara waktu Pelatihan sudah dimulai pukul 8.00. Terlambat!

Setelah turun dari mobil kami berlari tergesa-gesa menuju gedung Wisma yang cukup besar dan masih berada di salah satu kompleks wisata. Aku membawa tas jinjing besar yang berisi pakaian Lidya dan perlengkapan lainnya untuk 10 hari ke depan. Sementara Lidya berlari dengan membawa tas kerja dan laptopnya.

“Kamar 205 Pah…”, ucap Lidya sambil berlari mengingatkanku lokasi kamar yang akan ia tempati selama Pelatihan. Lidya begitu panik, karena baginya Pelatihan ini begitu penting bagi kelanjutan kariernya.

Namun setelah masuk ke lobby Wisma, panitia Pelatihan langsung mengarahkan Lidya untuk segera masuk ke ruang Kelas karena memang Pelatihan sudah memulai sesi pertamanya dari tadi. Semua barang-barangnya terpaksa dibawa ke ruang Kelas.

“Papah, I Love You jangan lupa telepon aku tiap pagi siang sore malem ga boleh ngga pokoknya harus!”, ucap Lidya yang diucapkan tanpa jeda sambil terburu-buru sebelum masuk kelas.

Akupun tak sempat menjawab, Lidya sudah mengetuk pintu kelasnya. Tapi sebelum pintu terbuka, dia masih sempat berbalik kepadaku dan mengecup tiga kali bibirku secara cepat.. “I Love You!!!”, kata Lidya selepas kecupan.

Setelah Lidya masuk, aku belum mau langsung pulang.. melihat dulu istriku beberapa saat dari kaca di ruang kelasnya. Terlihat Lidya langsung serius memperhatikan materi Pelatihannya. Istriku memang selalu benar-benar total dalam menjalankan pekerjaannya. Aku berat meninggalkan istriku selama 10 hari ini, walaupun Sabtu-Minggu bisa pulang dulu, tetap saja pasti rindu… Setelah beberapa menit, akhirnya aku memutuskan untuk pulang, kakiku ini memang sudah melangkah, tapi mataku terus menatap ke arah Lidya di balik kaca, seperti seorang Ayah yang berat meninggalkan anak kesayangannya di hari pertama sekolah.

Ketika hampir mencapai pintu keluar Wisma… DEGGGGG. Aku lihat Pak Ridwan sedang membaca koran di lobby. Mengapa dia ada disini? Padahal menurut informasi dari Vina, dia tidak ikut Pelatihan. Hatiku mendadak curiga lagi.

Dia melihatku dan langsung menyapa.. “eh… Pak, anterin Lidya?”, katanya sambil menghampiriku. Iya lah anterin Lidya, masa anterin Bapak…. Basa-basi banget!

“iya Pak, Bapak ikut Pelatihan juga?”, jawabku mencoba bersikap ramah dan sedikit menyelidiki.

“Ngga, ini diperintahin sama Boss, buat ngawasin anak-anak dari kantor kita, kalo-kalo mereka butuh keperluan apa-apa..”, jawab Pak Ridwan.

Hmmmm… Pak Ridwan, Boss…. Aahhh aku mulai panik lagi!!! Setelah basa-basi sebentar akhirnya aku pamit untuk segera pulang. Tapi sesampainya di dalam mobil, hatiku jadi makin tak karuan, rasanya aku ingin tetap tinggal disini. Aku pun menelepon Vina untuk menanyakan perihal informasinya yang salah.

“Halo Vin”, sapaku.

“Iya, Akaang….”, jawab Vina mesra walau sepertinya sudah berada di kantornya.

“Kenapa ada Pak Ridwan ya disini?”, tanyaku pada Vina, walaupun aku sudah mendengar langsung dari Pak Ridwan tentang alasannya mengapa dia ada disini.. tapi aku masih ingin terus mengorek informasi lain karena curiga.

“Iya gitu? ga tau… aku emang belom liat sih di Kantor”, kali ini Vina menjawab Vina dengan santai dan sedikit cuek.

“Yeee… udah tau ada disini!”, kataku dengan kesal.

“Ya udah, emang kenapa juga?”, ucap Vina yang sepertinya sudah mulai sama kesalnya karena aku masih saja mencurigai Pak Ridwan.

“Aman ga Lidya?”, tanyaku lagi.

“Ya ampun Akaaaang, kan aku udah bilang… Pak Ridwan mah ga perlu dikhawatirin….”, kali ini Vina benar-benar sudah kesal kepadaku.

“Tapi katanya dia disuruh Boss….”, tanyaku yang terus saja mengikuti over thinking-ku.

“Ga tau lah kalo itu disuruh siapa, lagian kan aku udah cerita Si Boss juga lagi jalan-jalan ke luar negeri…. Udah Akang pulang aja dari situ, tenang.. ga akan ada apa-apa, Akang jadi kan mau ke Bandung cari bahan kain?”, jawab Vina seolah mengalihkan pembicaraan agar aku tak selalu merasa curiga dan bisa meninggalkan Lidya dengan tenang. Dia memang tahu tentang rencanaku ke Bandung, karena aku selalu chat atau telepon setiap kegiatan kerjaku.

“Iya ini mau langsung ke Bandung”, jawabku.

“Ya udah, semangat ya kerjanya, Kang…. Kalau Akang ga ada temen tidur ntar malem nginep aja di aku hahaha”, ucap Vina memberiku semangat, sekaligus memberikan cobaan dan godaan baru untuk kesetiaan pada istriku.

“Hmmm…..”, hanya itu yang bisa kujawab.
***​


Di Bandung aku langsung mencari bahan ke sentra penjualan kain untuk partai besar yang ada disini, cukup susah juga ternyata mencari bahan yang aku mau. Tapi dasar rezeki, setelah mencari kesana kemari, ketika waktu sudah menjelang sore… akhirnya aku menemukannya, dengan spesifikasi, warna, dan harga yang benar-benar pas!

Aku langsung menghubungi Ilham. Juga mengirmkan foto, nama, alamat, serta nomor penjual padanya. Ilham mengatakan saat ini juga akan berangkat ke Konveksi, agar Konveksi segera menghubungi penjual ini langsung. Kesuksesan makin tercium di hari ini!!

Lidya sayang… tunggu 2 minggu lagi, Papah mau buat Mamah bangga dengan hasil kerjaku, ucapku dalam hati setelah kesuksesan sudah makin tercium di hari ini.

Karena sudah sangat kelelahan setelah aktivitas seharian, akhirnya aku putuskan untuk menginap di kerabatku, maklum aku sudah Yatim Piatu, saudara satu-satunya yang tersisa di Bandung ya cuma ini. Soalnya capek banget rasanya kalau harus pulang ke Jakarta, biarpun sudah ada tawaran dari Vina... ngga lah!

***​

Walaupun baru semalam tak bersama Lidya, rasanya sudah lama sekali tak bertemu, padahal pagi kemarin masih berjumpa, siang dan sore kami terus berhubungan melalui telepon dan juga chat, bahkan pada malam harinya cukup lama kami melakukan video call.

Bukan video call yang ‘panas’, bahkan cenderung mellow karena Lidya terkadang menangis menyatakan rindu, aku pun sudah tak tahan ingin segera menemui Lidya, mungkin besok atau Kamis aku akan menginap di sana, aku tidak akan kuat jika harus menunggu hari Sabtu saat menjemputnya pulang sementara.

Sekarang, di pagi ini aku masih di Bandung. Setelah selesai melakukan video call dengan istriku, aku langsung pulang ke Jakarta, sementara Lidya pun sudah harus masuk ke ruang kelasnya.

Dari Bandung aku langsung ke toko, ada yang membahagiakan di toko hari ini. Sudah lama aku tak mengalami toko didatangi begitu banyak pengunjung. Aku disibukkan dari siang sampai sore membantu pegawai toko untuk melayani pembeli yang datang seolah tak henti-henti. Pemasukan hari ini pun lumayan, walaupun masih belum sebesar penjualan di masa jayaku.

Sore menjelang malam, Lidya kembali video call saat aku beristirahat di belakang meja toko-ku, dia sudah berada di kamarnya, tetap cantik seperti biasanya. Kembali ia nyatakan rindu… ah perkataannya itu membuat aku ingin segera menemuinya di malam ini juga, tapi Lidya tak mengizinkan karena khawatir jika aku berangkat malam-malam ke tempatnya. Akhirnya kuputuskan bahwa besok sore aku akan datang dan menginap di tempatnya, dan Lidya pun menyambutnya dengan sangat gembira.

Saat masih melakukan video call, aku dengar ada pembeli yang sedang dilayani oleh salah seorang pegawaiku. Aku tidak bisa melihatnya, karena dari mejaku terhalang oleh display baju jualanku yang digantung. Tapi dari yang aku dengar, sepertinya pegawaiku tak paham dengan yang pengunjung itu inginkan. Aku pun meminta izin pada Lidya untuk mengakhiri sementara video call ini.

Aku pun menghampiri, dari belakang tampak pengunjung itu wanita berpakaian kerja, menggunakan blazer, rok diatas lutut dipadu dengan stocking hitam. Dari postur serta bentuk bokongnya mirip Vina, tapi perempuan ini berambut pendek sebahu… bukan Vina ternyata, karena Vina berambut panjang hampir sama dengan Lidya.

“Ada yang bisa dibantu?”, sapaku ramah pada perempuan itu.

Perempuan itu berbalik, wanita berkacamata yang terlihat seperti wanita karier itu terlihat sangat cantik… dan ternyata itu, Vina!!!

Dia tersenyum saat memandangku, sambil mengangkat salah satu tangannya yang menjinjing plastik makanan siap saji, sepertinya dia sengaja membawakan untukku. Aku tertegun melihat penampilannya yang berubah, benar-benar pangling. Dengan potongan rambut barunya dia tampak seperti usia awal 20’an, tapi dengan kacamatanya yang berbingkai hitam sedikit tebal itu membuat ia terlihat dewasa… ah sepertinya Vina memperhatikan ketika di malam saat kita berhubungan, aku sempat mengatakan suka dengan kedewasaan dirinya… dan kini dia ubah penampilannya menjadi lebih mature sekaligus lebih fresh.

Kedatangan Vina ini tentu saja membuat aku panik, apalagi dia membawakan makanan. Apa kata pegawai toko-ku nanti? Mereka memang jarang bertermu Lidya, tapi sudah pasti tahu kalau perempuan di depanku yang memberiku perhatian dengan membawa makanan ini bukanlah Lidya.

Aku langsung berjalan keluar toko, dengan memberikan kode pada Vina agar mengikutiku. Aku izin kepada pegawai toko-ku untuk keluar sebentar. Mereka mengangguk sambil tatapannya terus tak lepas dari Vina. Entah mereka bertanya-tanya siapa wanita yang bukan istriku ini? Atau sedang mengagumi kecantikan dan sexy-nya wanita ini?

“Ngapain kesini?”, kataku marah sambil melangkah menjauhi toko. Sialnya semua orang-orang toko di lantai ini mengenalku dan juga setidaknya pernah melihat Lidya, karena ketika dulu di awal-awal pernikahan sebelum dia diterima kerja, sering datang ke toko-ku

“Lho, emang kenapa? Ini kan tempat umum”, jawab Vina yang sepertinya tak menyangka dengan kemarahanku.

“Ya tapi ga harus bawa makanan juga”, ucapku lagi masih dengan nada tinggi.

“Ya udah kalo Akang ga mau, aku bawa lagi”, jawab Vina ketus tapi tetap mengikuti langkahku.

Aku segera menuju Lift, agar kita segera meninggalkan dari lantai ini. Di dalam Lift kami tak bertegur sapa bahkan berdiri berjauhan, karena Lift nya penuh dengan pengunjung. Niatnya aku akan membawa Vina turun ke lantai 1 karena disana tak ada yang mengenaliku, tapi justru pintu Lift terbuka di basement karena aku lupa tak memijit tombol lantai 1 saking paniknya.

Daripada lama lagi di dalam Lift, aku langsung mengajak Vina keluar di basement.

“Ya udah.. kamu pulang sekarang”, pintaku masih dengan nada yang tegas.

“Akang kenapa sih? Kalo Akang ga mau ketemu aku, ya udah aku jalan-jalan aja disini sendiri”, jawab Vina yang tampaknya kesal juga dengan sikapku ini.

Aku malas berdebat malah akhirnya bikin keributan disini kalau Vina bersikukuh tak mau pulang, akhirnya kutarik tangan Vina.

“Ya udah, Akang anter pulang kamu sekarang”, ucapku sambil melangkah ke arah mobilku.

Aku masuk duluan ke dalam mobil, kemudian Vina mengikuti masuk dan tentu saja dia duduk di depan, tempat yang biasanya diduduki oleh istriku, Lidya!

“Kang, aku kan ma….”, ucap Vina begitu masuk mobil, tapi tak kubiarkan dia menyelesaikan ucapannya dan langsung kusergap tubuhnya serta kupagut bibirnya dengan liar.

Mmmmpphhh cpkk sssmmmmhh sssh mmmph cckppk sshhhrpp ahhhhh

Sambil terus kupagut, kuremas-remas juga payudaranya setelah menyelipkan tanganku kedalam blazer kerjanya…. Tak puas disitu, aku membuka dua kancing atas kemejanya dan menyelipkan tanganku ke balik bra-nya. Vina sepertinya sudah terbawa suasana, dia membantu melorotkan tali bra-nya yang sebelah kiri agar tanganku bebas memainkan payudaranya yang kenyal itu.

“jangan.. sekali-kali.. datang lagi.. ke.. toko.. ya, Vin”, ucapku dengan nafas menderu saat bibir ini masih menempel di sudut luar bibir Vina dan jari tanganku memainkan puting payudaranya. Kemudian dengan begitu bernafsunya aku jilati bagian sisi wajahnya dari bawah ke atas berulang kali. Harus kuakui, aku benar-benar suka sekali dengan potongan rambut barunya ini, membuat Vina terlihat makin cantik dan sangat menggairahkan.

“sssh….. mmmmphhh…. ge..li Sayaang… iiii..ya… Sayang, aa…kuu.. ga aakaan ahhhhh ssssh”, desah Vina yang kini menerima jilatan di lehernya dan sedikit hisapan yang dalam.

Aku langsung menurunkan sandaran jok mobil yang diduduki Vina ini hingga full berbaring. Aku usap pahanya yang terbungkus stocking, lalu kunaikkan rok pendeknya.. hingga terlihat celana dalamnya yang segera kuturunkan dengan cepat. Kini kusuruh Vina mengangkat kakinya naik ke atas jok serta mengangkangkan kakinya.

Sempat kuperhatikan keadaan di luar mobil, untungnya sepi karena mobilku terparkir di pinggir basement.. space yang disediakan khusus untuk pemilik toko, jadi disini tidak terlalu sering keluar masuk mobil… suasana sangat mendukung sekali.

Aku langsung melompati persneling mobil dan kini aku sudah berpindah ke pijakan kaki di jok samping. Aku mundurkan dulu jok mobil itu hingga mentok ke belakang agar memberikan ruang yang lebih bebas untukku. Aku yang berjongkok di depan tubuh Vina yang mengangkang menantang,

Dalam keadaan yang tak terlalu terang aku lihat vagina Vina dengan dagingnya yang tembem dan gelambirnya yang sedikit keluar. Inilah saatnya aku menikmati vagina dengan mulut dan lidahku. Hal yang tak pernah aku lakukan saat bersama istriku maupun dengan Vina di dua pertemuan pertama.

Aku tak memiliki pengalaman untuk melakukan hal ini, tapi aku sering membaca dan melihat di film-film porno tentang bagaimana cara menjilati vagina ini. Mudah-mudahan saja aku tidak salah referensi.

Aku langsung menjilati vagina perempuan yang selalu menggairahkanku dalam setiap pertemuan dengannya di akhir-akhir ini.

Slrrrpp mmmhh sllrrrp srrrpppp srrrpppp mmmmh

“Akaaangghh…. aaahhh…. Ee….nak Sayang… mmmhhh sssshhh uupfffhhh…. ugghhh… Sayaaaang... aaaah.. ooooh A..kang naaa… kal ba…. ngeet…”, jerit Vina yang sudah tak tertahan.

Setelah beberapa lama, setelah kulihat Vina semakin mengejang-kejang namun belum mencapai klimaks, aku pelorotkan celana dan celana dalamku hingga sebatas lutut, aku naik ke jok dan langsung kuhujamkan batang kemaluanku ini kedalam liang kewanitaan Vina.

Karena kini posisiku di atas Vina, dan aku menopang tubuhku dengan kedua tanganku, posisiku bisa melihat ke arah luar, masih aman… tapi sepertinya jika terlihat di luar.. mobilku ini sudah pasti bergoyang-goyang akibat gerakan kami yang begitu bernafsu.

"uuughh... Sayaaang... tee…ruuuus… enn..naak baangeeet aaagh te…. ruuus ahhhhh…… ce….peeet… ppppfff….. Kaang…. E..NAAAAK….. Kaang… jaa… ngan ber…rrenttti Kaaaang… aaaahhh SAYAAAANG”, volume suara Vina semakin meninggi…. dan aku sudah tak peduli dengan keadaan sekitar, aku hanya ingin menuntaskan permainan ini sampai titik akhir, karena aku sepertinya akan mencapai klimaks.

“ooooh, Vinaaa….. ppffff….. enak banget.. oouugh ssshhh… cepet keluarin…. Akang bentar laa..gi… ppfffhh mmmmh”, ucapku yang khawatir mencapai klimaks sebelum Vina terpuaskan.

CRRRTTT CRROOTTT CRTTTTT CRTTTT

Meskipun sudah kucoba bertahan, tapi aku sudah benar-benar tak bisa menahannya lagi, aku keluar sebelum Vina mencapai klimaks. Aku terus menggenjot Vina dengan sisa ‘kekerasan’ pada penisku, tap tak berlangsung lama.. lebih baik aku keluarkan karena sudah terasa linu, setelah penisku keluar dengan berlumuran sperma dan cairan basah dari vagina Vina, aku langsung memasukkan dua jariku ke dalam vaginanya.

“Maafin.. Akang, Vin….. ngeduluin.. kamu”, ucapku yang kesulitan mengatur nafas. Dua jari tanganku terus memompa vaginanya dan temponya semakin cepat.

“ooooh, Saayaaang…. iiyaa enak… aaah teruuus kayyaa gittuuu…. euughhh….. eenaak bangeet… Akaaaaang ppfffhh mmmmh… AKU KEELUAAAAR KAAANG... OOOHHH...... UUUOOGGHH... MMMPFFF…. ENAAAK….. MMMM..”, jerit Vina di ujung permainan kami di dalam mobil.

“Maafin yah….. kamu keluarnya malah pake jari”, kataku sambil menatap wajah Vina yang matanya seperti terbelalak.

Setelah beberapa saat Vina baru merespon dengan sorot mata yang kini bertatapan.. “Ga apa-apa… Sayang…. malam ini… lanjutin lagi.. yah… Akang.. tidur di… tem.. pat.. aku… kaan?”, jawab Vina sambil terengah. Aku menganggukan kepala dan mencium keningnya.

Sepanjang perjalanan pulang, Vina tetap terbaring di kursi sampingku.. seperti yang sangat kelelahan, padahal permainan tadi bisa dikatakan relatif cepat. Rambut dan pakaiannya kusut, bahkan kancing bajunya masih terbuka. Sepertinya dia tertidur, kubiarkan untuk tak mengganggunya, sekali-kali kulirik… aku terangsang lagi!

***​

Aku tak kembali lagi ke toko, aku memutuskan untuk menginap di tempat Vina malam ini. Di kamar kost Vina, malam ini menjadi begitu panas dan liar daripada malam-malam yang pernah kulalui seumur hidupku. Sepanjang malam kita melakukan hal terlarang dengan begitu senang.

Entah berapa kali aku ejakulasi di malam ini, apalagi Vina… sudah tak terhitung dia berapa kali mencapai klimaks. Walaupun tidak non-stop, karena terjeda oleh makan, nonton Youxxbe, ngobrol yang penuh kemesraan…

Di waktu istirahat aku juga sempat menelepon Ilham untuk memastikan laporan perkembangan produksi di Konveksi A yang sudah berjalan hampir seminggu, agar segera dilaporkan padaku. Ilham mengatakan besok jam 9 pagi dia berjanji akan melaporkan beserta foto-foto kegiatan produksinya.

Sementara Lidya sekitar jam 9-10 malam sempat menghubungi untuk melakukan video call, tentu saja tak aku angkat karena aku sedang tanggung dalam permainan yang panas. Arrrrgghh!!!

Bagaimana aku tidak nakal sepanjang malam ini, jika aku disuguhkan oleh pemandangan Vina yang keluar kamar mandi dengan berbando kelinci, lingerie hitam berpotongan dada rendah, dimana bagian vaginanya terekspos bebas, sementara jika berbalik ada seperti buntut kecil berwarna putih, juga bentuk pantat Vina yang menggemaskan seolah mengapit buntutnya itu.

Sungguh menggemaskan kelinci liarku ini.. ketika dia menungging, aku tampar pantatnya berkali-kali hingga ada tanda merah bekas tanganku di bokongnya itu, kelinciku malah makin merasa senang.

Saat kugenjot vaginanya disertai dengan tamparan-tamparan di pantatnya… hey, forget it ‘bout doggy style, it’s fucxin’ bunny style!

Entah berapa kali, saking terbuainya aku dalam permainan yang penuh gairah, akhirnya kupanggil Vina dengan sebutan ‘Sayang’, bahkan Vina lebih jauh lagi…. menyebutku dengan sebutan ‘Papah’. Dan semua itu tak kuralat atau disesali, kami terlalu sibuk dengan kenikmatan yang dirasakan, tak peduli dengan sebutan…. Aku sudah dibutakan kenikmatan hingga tak peduli lagi dengan statusku sebagai seorang suami.

Aku melakukannya hingga pukul 4 dini hari, sebenarnya di sesi terakhir kami sudah ngantuk dan energi kami berdua sudah habis, tapi kami masih bernafsu.. hingga kami tetap melakukannya dengan gerakan-gerakan kecil. Dan diakhiri dengan pagutan yang tak terlepas hingga kami tertidur kelelahan.​


Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.
You will be redirected to the script in

seconds

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com