𝐂𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐓𝐞𝐧𝐭𝐚𝐧𝐠 𝐈𝐬𝐭𝐫𝐢𝐤𝐮 𝐏𝐚𝐫𝐭 𝟒 [𝐆𝐔𝐆𝐔𝐏]

Setelah mendengar percakapan telepon antara Lidya dengan seseorang. Aku menduga bahwa hari ini istriku akan melakukan hal yang terlarang di belakangku. Tidak!!!!! Jangan sampai tubuh istriku dicicipi oleh orang lain selain aku, suaminya!!


Namun setiap aku coba menghapus pikiran yang belum tentu benar itu, bayangan tentang persetubuhan istriku dengan orang lain semakin memenuhi otakku. Entah sadar atau tidak, tangan kiriku mengusap batang penisku yang mengeras dari luar celana pendek yang kukenakan. Aneh, mengapa bisa-bisanya aku terangsang pada sesuatu yang sebenarnya menjatuhkan kehormatanku sebagai seorang suami? Apakah ini sesuatu yang normal? Apakah normal jika seorang suami terangsang membayangkan istrinya digauli oleh orang lain? Bukankah aku cemburu dan sangat sangat tidak ingin itu terjadi? Tapi mengapa penisku menegang saat aku membayangkannya?!?!?!?!

Persetan dengan segala pertanyaanku, kini aku semakin cepat menggosokkan tanganku ke penisku. Bahkan aku yang sudah tak terkendali mengeluarkan penisku lalu membiarkan tanganku mengocoknya dengan sangat cepat.

“Kamu gila Arief!!! Jika kamu suami yang normal, dan kamu dalam keadaan horny begini…. seharusnya kamu menerjang istri cantik nan sexy-mu yang kini masih berada di kamarmu. Setubuhi dia sepuasnya!!! Bukannya onani seperti ini!!! Kamu berhak untuk menyetubuhinya, kamu suaminya. Larang dia pergi, kamupun berhak untuk melarangnya!!!”, kali ini suara dari sisi jiwaku yang lain turut meramaikan pertempuran batin dalam diriku yang sedang berpacu bermasturbasi.

Lagi-lagi aku tak menghiraukan suara apapun, tak sedikitpun aku menurunkan tempo kocokanku. Aku hanya fokus pada imajinasi tentang istriku yang sedang menggelinjang digagahi lelaki lain, lelaki yang segalanya lebih dibandingkanku. Namun belum sempat aku menumpahkan lahar panasku. Aktifitas ganjil di pagiku yang tak biasa ini dengan terpaksa terhenti, sesaat setelah aku melihat istriku keluar kamar. Pukul 10 kurang seperempat saat itu.

Rambut Lidya yang sebenarnya lurus kini terlihat sedikit bergelombang, entah bagaimana dia bisa melakukannya? Aku memang laki-laki yang tak paham sedikitpun bagaimana cara wanita ‘merubah’ dirinya.

Anggun sekaligus sexy, begitulah penilaian jujurku pada Lidya di pagi ini. Lidya tampak mengenakan pakaian dress berwarna biru muda dibalut dengan cardigan sepaha berwarna putih. Panjangnya dress memang di bawah lutut, namun potongan bagian dada dressnya cukup rendah sehingga memperlihatkan belahan payudaranya, walau hanya tampak semacam garis gelap vertikal saja sekitar 3cm, yang tepat berada diantara kedua payudaranya yang membusung indah di balik dress-nya itu.

Aku tahu sekali baju itu, jika saja cardigan putih yang Lidya kenakan dibuka, maka dress tanpa lengan itu hanya terkait sebuah tali tipis di pundaknya, yang sangat mudah untuk dipelorotkan. Biasanya dengan pakaian itu Lidya akan mengenakan bra yang rendah dan tanpa tali di pundak, aku tidak tahu apa istilah untuk bra semacam itu. Yang pasti aku kini menelan air ludah membayangkan payudara istriku sendiri.

Lidya kemudian duduk di kursi meja makan, tepat di depanku. Tercium harum yang sebenarnya lembut tapi cukup membuat orang yang menciumnya terbakar gairah. Parfum mahal ini biasanya hanya Lidya pakai sesekali saja, terutama jika ada acara-acara khusus. Tapi mengapa hari ini yang sekedar ke Salon dan Gym dia memakai parfum ini? Ah, entahlah!

Aku sudah mencoba menurunkan nafsuku, terutama imajinasiku tentang istriku dengan orang lain. Aku sudah menghentikan bayangan itu sesaat setelah aku melihat wajah istriku, aku benar-benar menyesal mengapa aku bisa bertindak bodoh seperti itu? Walaupun tadi hanya sekedar bayangan saja… tapi aku benar-benar menyesal.

Namun nafsuku naik kembali begitu melihat penampilan istriku yang begitu menggairahkan ini. Rasanya ingin sekali aku menyergapnya dan menggumulinya saat itu juga. Tapi, di hadapannya aku benar-benar tak punya nyali akhir-akhir ini. Sebenarnya istriku bukanlah perempuan yang bersikap keras atau tempramental pada suami, jauh… jauh dari sikap itu… bahkan bisa kupastikan jika ia sangat baik dan masih patuh pada suaminya ini. Hanya saja faktor ekonomi-lah yang membuat aku merasa lemah dihadapannya, meskipun istriku tak pernah sekalipun mempermasalahkan itu.

Dengan segala keanehan Lidya yang kurasakan di pagi ini, sebenarnya di detik ini aku cukup terhibur setelah istriku mau duduk di depanku. Ternyata istriku masih mau menemaniku sarapan seperti biasanya. Duduk dengan setia saat aku makan, walaupun terkadang ia tak ikut makan. Ini memang kebiasaanya sejak awal pernikahan kita, dan dengan segala keanehannya di pagi ini ternyata ia masih mau melakukan aktivitas yang biasa-biasa saja ini namun membuat hubungan rumah tangga semakin harmonis.

Tapi kebahagiaanku itu tak berlangsung lama, setelah aku sadari jika kali ini pandangan mata Lidya tak sekalipun mengarah kepadaku, ia justru asyik menatap layar ponselnya, kedua jari tangannya aktif seperti mengetikan sesuatu. Kuperhatikan Lidya tersenyum berkali-kali, seperti ada yang sangat menarik dengan percakapan di chat-nya, sehingga rela mengabaikan suami yang ada di hadapannya. Bahkan sesekali ia menutupkan mulut dengan sebelah telapak tangannya, agar tawanya tak tampak lepas. Oh Lidya, mengapa kamu lakukan ini di hadapanku?

Aku kembali gelisah namun mencoba menetralisir dengan membuka pembicaraan, “Nanti jadi ke gym?”, aku bertanya seperti itu karena aku melihat Lidya hanya menenteng tas genggam kecil. Seharusnya jika benar ke Gym, dia akan membawa pakaian dan baju ganti di sebuah tas olah raga, seperti yang biasa Lidya bawa saat berangkat kerja pada jadwal Gym-nya di hari Rabu.

Tidak ada jawaban dari Lidya, ia masih asyik senyam-senyum… seperti sedang asyik berbalas chat dan tak mendengarkan pertanyaanku.

“Lid!!!”, aku cukup emosi sehingga nada suaraku sedikit meninggi, walaupun kupastikan itu bukan bentuk suatu bentakan. Aku juga tak sadar jika yang barusan aku lakukan adalah memanggil namanya, padahal biasanya aku selalu memanggilnya dengan sebutan Mama atau Sayang.

“Eh, i… iya kenapa Pah?... eh gym yah?, maaf ini Vina ngajak becanda mulu….”, kali ini Lidya menatap ke arahku dan menyimpan ponselnya dengan gugup. Sepertinya saking asyiknya, ia pun tak sadar jika tadi aku memanggilnya dengan panggilan nama saja.

“iya… gym”, aku berucap sekali lagi sambil menghela nafas, melihat perubahan ganjil pada istriku ini.

“iya nanti kalo ga kesorean aku ke gym dulu”, kali ini Lidya merespon ucapanku dengan cepat. Jawaban yang cukup klise, sama persis seperti yang ia ucapkan kemarin saat memberitahukan akan ada kegiatan di hari ini.

“Ga bawa pakaian salinnya?”, semoga pertanyaanku ini bisa menjawab sedikit keraguanku.

“eu.. euh, di.. di Vina Pah, i… iya… bajuku udah ada di Vina”, Lidya menjawab dengan tergagap, sepertinya ada nada ketidakjujuran disana. Dan jawaban itu sama sekali tak menenangkan kegalauanku.

Ponsel Lidya yang tergeletak di meja makan, kini mengeluarkan cahaya, sepertinya Lidya tidak mengaktifkan nada atau vibrate di pengaturan notifikasi aplikasi chat-nya, tapi cahaya tadi jelas menandakan ada pesan masuk. Aku melihat sekilas dari tempat dudukku, jelas terlihat kalo ponsel Lidya masih berada di halaman aplikasi WA. Namun aku tidak bisa membaca jelas dari siapa pesan itu.

Lidya menoleh ponselnya dan sepertinya akan mengambil untuk membalas pesan itu, tapi aku kembali berkata, “Ya udah, sekarang Papah anter ya… kemana? Janjian sama Vina di Salon? atau di rumah Vina?, aku menawarkan diri untuk mengantarnya, aku benar-benar penasaran ingin membuktikan pikiranku sendiri, sebenarnya akan kemana dan dengan siapa istriku ini pergi.

Lidya sepertinya kaget atau tak menyangka dengan tawaran antar dariku, itu tampak sekali dari ekspresi wajahnya. Mungkin saking kagetnya, ia mengurungkan niat untuk mengambil ponsel yang sempat diliriknya itu.

“eh… ga usah Pah, aku udah pesen Taxi Online koq”, jawab Lidya seperti berharap-harap cemas agar aku tidak memaksanya untuk mengantar.

Kemudian kali ini terdengar nada dering telepon masuk dari ponselnya yang masih tergeletak di meja makan, dari tempat dudukku aku sempat mencoba untuk mencari tahu siapa yang menghubunginya itu. Aku yakin persis kalau itu panggilan telepon di aplikasi WA, bukan telepon biasa. Display WA untuk nama penelepon tampak terlihat cukup besar, namun karena posisi ponsel menjadi terbalik dari sudut aku duduk sehingga aku kesulitan untuk membaca nama tersebut. Untuk profile pic juga tidak bisa kulihat jelas, yang pasti foto tersebut bukan bergaya selfie, sehingga sesosok berpakaian hitam yang sedang berdiri itu tampak jauh sehingga tak dapat kupastikan jika itu laki-laki atau perempuan. Sementara untuk nama, aku sempat berusaha untuk membacanya namun tak berhasil, tapi yang jelas bukan Vina… kalau aku tidak salah lihat, ada dua kata dan huruf awalnya kemungkinan ‘BA’.

Belum sempat aku membaca nama tersebut secara tuntas, Lidya sudah menyambar ponselnya sambil berdiri dan sedikit menjauhiku. Jarak Lidya denganku kini sekitar 5 meter. Jarak yang masih cukup jelas untuk mendengar percakapannya.

Tak ada suara apapun yang keluar dari mulut Lidya, aku hanya mendengar Lidya hanya berucap, “Hmmm…..”, sebanyak dua atau tiga kali. Ya, itu saja. Kemudian ia mengakhiri percakapannya.

Aku yang semakin curiga kemudian bertanya sesaat setelah Lidya memasukan ponsel kedalam tasnya. “Dari siapa, Mah?”.

Lidya menolehku sekilas dengan wajah yang sangat panik, tak pernah aku melihat Lidya sepanik itu. Wajahnya kini diarahkan ke arah ruang tamu, sepertinya ke kaca depan rumah, tampaknya ia ingin tahu ada apa di luar sana?

“D…da..dari Vina, Pah… eh bu.. bukan, da.. dari driver taxi online Pah”, meskipun terdengar jelas ada kegugupan disana, namun tampaknya kali ini Lidya masih mencoba fokus untuk tidak lupa menjawab pertanyaanku.

“Benarkah dari driver Taxi Online?”, tanyaku kali ini, tapi cukup dalam hati saja. Untuk mencecar pertanyaan pada Lidya yang tampak sangat panik sepertinya aku tak sampai hati. Sudahlah, pikirku…. mungkin aku harus menemukan jawabannya sendiri.

Tak lama kemudian Lidya menoleh ke arahku sambil berkata dengan suara yang masih terdengar gugup. “Taxinya udah datang Pah, aku pergi dulu”, ucap Lidya sambil sedikit berjalan tergesa keluar rumah. Tanpa bersalaman sambil cium tangan, apalagi mencium kening, pipi kanan dan kiri, atau mengecup bibir yang biasanya ia lakukan setiap hendak berpisah atau bertemu, namun itu semua terlupakannya sama sekali di pagi ini.

Akupun bangkit dan mencoba melihat apa yang terjadi di luar sana, dari kaca jendela besar ruang tamuku. Ya, aku melihat sebuah sedan berwarna hitam berhenti tepat di depan rumahku. Lidya berlari dan tampak sekali terburu-buru, ia membuka pintu dan duduk di kursi depan. Mobil berkaca gelap itupun kemudian bergerak perlahan dan hilang dari pandanganku.​

BERSAMBUNG ...


 


Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.
You will be redirected to the script in

seconds

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com