𝐊𝐨𝐩𝐢 𝐒𝐮𝐬𝐮 𝟒𝟓 𝐑𝐞𝐣𝐞𝐤𝐢 𝐀𝐧𝐚𝐤 𝐒𝐨𝐥𝐞𝐡

 


Sudah beberapa hari ini Ci Fanny masih uring-uringan sama Ale. Semenjak bercandaan garing Ale waktu itu, Ci Fany sampai sekarang masih belum mau teguran seperti biasa dengan dirinya, apalagi mau mengajaknya tempur, sepertinya masih emoh dan kesal dengan Ale.


Ale pun jadi kuatir untuk macam-macam. Jika Ci Boss lagi pasang bendera perang seperti ini, Ale juga tidak berani macam-macam. Berkunjung ke rumah Ati pun dia urungkan sejenak, karena dia takut malam-malam Ci Boss cari dia, dan tidak ketemu malah bukan selesai masalah malah tambah runyam.

Masalahnya kelot Ale ini yang suka ikutan ngambek.

Puki lah kau Biji Kelot, maki Ale dalam hati. Kau itu kalo beta kena marah, kau jangan bertingkah sudah, susah beta ini…. demikian bisik Ale dalam hati memberi tahu kepala bawahnya, agar sabar dan tenang. Masalahnya isi kepala atas dan kepala bawahnya dia suka tidak sinkron. Apalagi kalau sudah membayangkan body isi beha kekasihnya Ci Fanny.

Bangsat banget dah kau kelot…..

Dia kadang berpikir betapa beruntung biji kelotnya ini. Dapat servisan dan pelayanan paripurna dari Ci Fanny. Mana ada ceritanya anak Ternate bau busuk macam dia bisa dapat Ci Fanny yang cantiknya kayak porselen china yang tenggelam di Laut Banda, mulus betul meski lama direndam di laut.

Aduh, ngaceng pula kontol beta….. pikir Ale

Body Ci Fany tadi sempat dia lihat dengan celana 7/8 ketat, ditambah kaos birunya yang sedikit belahannya mengintip, membuat Ale sedikit menahan nafas. Herannya dia, meski dia sudah sering lihat dan rasakan isinya, sampai bijinya dia pun dijilat sama Ci Boss nya, dia selalu kangen dan rindu setiap hari rasanya ingin hajar puki nya si Ci Boss.

Ati memang mantap, Tante Berta juga hot punya, dan Ci Tanti pun tidak kalah mulusnya. Namun Ci Boss Fanny ini memang beda. Pelayanan dan rasa nyaman yang dirasakan oleh Ale memang berbeda saat dengan Ci Boss nya. Dia sampai takut sekali jika bikin Ci Boss nya marah. Dia takut mengecewakan Ci Boss nya.

Itu sebabnya dia memilih diam dan mengikuti saja bagaimana mood nya Ci Fanny membaik dan segera berharap mendapat durian runtuh lagi. Dan selama periode Ci Boss lagi ngambek, Ale bagaikan olahragawan yang sedang berlatih, dia gesit sekali bergerak sana-sini untuk meluapkan sangenya menjadi energi kerja yang positif.



***************************



“Black…..” tegur Kebot kawannya

“kenapa, Bro?”

“lu anterin ke Ci Monic gih…..”

Ale kaget

“kenapa emang lu?”

Dia ingat Ci Monic itu yang kalau lihat dia dulu kayak mau lihat kotoran saja. Sampai dia yang sudah standby mau antar barangnya, bisa batal dan malah akhirnya Kebot yang antar.

Kalau masih muda sih tidak apa-apa, ini sudah nenek-nenek masih milih-milih pula siapa yang antar barangnya. Ale ingat wajah wanita yang usianya sudah uzur sekitar 70an itu, yang kalau belanja kadang diantar sama cucunya itu.

“bukan…. suka banyak yang ngikut kalo gue antar…” kilah si Kebot

“preman?”

“iye… empet gue….”

“banyak?”

“lumayan…. cuma reseh banyakan…..”

Ale bingung. Dia suka kesal memang dengan cara-cara preman itu yang suka keterlaluan minta uang jika ada yang bangun rumah, bahkan yang ngantar pun suka dimintain uang sama mereka.

“berapa orang?”

“paling 3-4 orang….”

“ormas?”

“kayaknya bukan sih…. cuma khan keder gue Black…..”

Lalu

“udah, lu temenin aja si Kebot sana….” anjur Pak Wandi

“ya sudah….”

“ci Boss juga sudah tahu kok…..”

“trus?”

“dia bilang ajak lu kesana….”

“begitu?”

“iye…. sudah 3 kali gue ngantar, kena terus…..”

“bukannya itu tuan rumah yang harus kasih..?” tanya Ale

“ini mah sadis… minta ama kita iya.. ama yang punya rumah juga iya…..”

Ale mengerti

“oke… ayolah…”

“ini agak banyak soalnya, pasti mintanya gede….”

Ale menganggukkan kepalanya

Dia lihat memang banyak kali ini belanjaannya, sehingga dia tahu pasti preman paling suka dengan kondisi seperti ini.

“iye…. lu temenin si kebot….” perintah C Boss

“jangan lu pukul yah…..” pesannya lagi

“iya Ci Boss….”

Ale menundukkan kepalanya. Dia masih rasa bersalah sama Ci Bossnya.

Sementara Fanny sendiri sebenarnya kangen juga dengan Ale. Cuma bertepatan dia marah, tamu bulanannya juga datang, yah sudah sekaliannya juga dia ambekin si Ale. Nanti kalau sudah bersih baru dia ingin ajak Ale tempur.

Semenjak sama Ale memang kehidupan ranjangnya bersemi kembali. Dia merasa jadi ratu di atas ranjang, bukan sekedar obyek seperti dia dengan Alvin, yang hanya bisa terima apa yang Alvin kasih. Tapi dengan Ale, dia jadi penguasa, dia mau apa dilayani oleh Ale. Belum lagi rudal tempur Ale yang suoer ukurannya dan punya daya tahan yang sangat mantap, membuat memeknya sering sekali kedut-kedut jika sudah sange.

Anjir, jadi jorok begini kepala gue… pikir Fanny.

Dia hanya melihat dari meja kasirnya, saat Ale berlalu dengan mobil pickup mengantar banyak belanjaan ke tempatnya Ci Monic. Pelanggannya ini memang sering belanja di tempat dia, apalagi sekarang lagi bangun rumah di tempat dia sekarang, rumah lamanya bagian depan dibongkar abis, dan diganti baru, sehingga kali ini semua bahan bangunan dia beli di tempatnya Ci Fanny.



**********************​

Masuk ke komplekas perumahan Ci Monic, kompleks lama yang dijaga sekedarnya oleh satpam, membuat banyak orang bisa keluar masuk dengan leluasanya. Dan benar saja, dari kaca spion Ale sudah melihat mobilnya diikuti oleh 2 motor, dan satu dia bawa sendiri, satu lagi berboncengan, tanpa helm dan kelihatan model brengosnya.

Setibanya di rumah Ci Monic, dua motor itu pun segera parkir di depannya. Lalu dengan tanpa sungkannya membantu Ale dan Kebot untuk memarkirkan mobilnya, dan langsung pada teriak ke arah rumah

“Ci… bahan datang nih…..”

Tingkahnya cengengesan kayak preman kampung, membuat Ale dongkolnya bukan main.

“tuh Black… nyebelin banget kan?”

“iye….”

“udah kipeng, belagu lagi….”

“tenang aja….” ujar si Ale

Tidak lama keluar dua orang dari dalam. Ada Ci Monic yang dia kenal, dan sepertinya ada anaknya yang perempuan, yang pernah juga datang ke toko dan dilihat oleh Ale. Wanita khas keturunan namun usianya sudah sekitar ada di kepala 4 juga, karena mamanya juga sudah terlihat uzur.

“ barang datang Ci….” ujar salah satu yang disitu.

“haduh…. kan ini barang biasa yang datang…” ujar Ci Monic

Ada suaminya yang juga sudah tua

“iya betul Ci…. tapi kan disini kita minta pengertiannya saja…”

“mas iya setiap barang datang kalian minta pengertian terus?” ujar suaminya

“yah… bukan disini aja Koh… semua juga yang bangun rumah sudah tau….” Ujar satunya lagi.

Mereka lalu menahan agar pickup jangan bongkar dulu

“gini Mas… kita kan sudah ngasih kemarin ke boss nya Mas…. nah masa kita dimintain terus setiap ada yang datang….”

“lah, masalah ke pimpinan kita itu memang harus dan wajib… yah ke kita lain lagi….” ujar yang satunya lagi

“waduh… bangkrut kita kalo gitu…”

“ yah ngga mungkin lah Ci… bisa bangun rumah milyaran, kasih kita ngga ada apa-apanya, kok masih mengeluh…”

“astaga kalian ini yah….” gerutu anak dari Ci Monic

“tapi kan kita juga sudah banyak kasih kalian……”

Mereka tetap tidak bergeming

“yah kalo gitu, ini balik lagi aja…..”

Lalu mereka menyuruh Kebot

“woi… balik sana lu….” bentak mereka “ngga boleh ada bongkaran barang disini….”

“kita lapor polisi aja…..”

Mereka malah menertawakan

“lapor aja Ci….. kita ditahan, kita bikin susah lagi nanti….” ancam mereka.

Ci Monic hanya bisa mengelus dadanya, sambil bertatapan dengan suaminya dan anaknya

Ale yang dari tadi berdiam diri di belakang kemudi, lalu meletakkan ponselnya di atas dashboard mobil. Dia baru saja mengirim whatsapp ke Barton Sangaji, pentolan salah satu perkumpulan anak-anak Ternate Tidore di Jakarta. Ale belakangan ini memang ikut grup whatsapp dengan mereka, dia juga ikut iuran bulanan untuk saling bantu ikatan anak-anak rantau ini. Dan memang Barton meresponnya dengan sangat baik.

Kasih tau kita kalo perlu back up

Siang Kaka Bu

Orang mau hidup kok mereka bikin susah

Dia memanggil Kaka Bu untuk Barton

Demikian whatsapp Barton, yang meminta Ale segera kabarin jika perlu bantuan. Barton memang punya rasa solidaritas yang sangat tinggi. Mereka punya pekerjaan sebagai tenaga keamanan dan security level atas, tapi tetap saja anak-anak Ternate yang perlu bantuan mereka selalu siap bantu.

“kasih ajalah Ma….” ujar anaknya

“iya tapi kebiasaan….”

“ih, daripada barang disuruh balik lagi…”

Monic lalu mengambil dompetnya, dan dia kembali ke depan untuk memberi uang ke mereka

Tiba-tiba

“kenapa Bang….. kenapa ngga boleh bongkar kita….”

Kaget mereka melihat Ale muncul. Monic dan anaknya apalagi. Mereka selama ini memang suka seram dengan tampang Ale, meski sebenarnya ibunya saja yang trauma, anaknya sih yang jarang di rumah itu biasa saja dengan model seperti Ale

“Eh Bro… biasalah, jatah keamanan…”

“keamanan apa?” tanya Ale tanpa senyum

Kebot girang bener kalau sudah lihat Ale in action seperti ini

“biasa… abang kayak ngga tau aja… “

“ngga tahu saya….” datar suara Ale

“biasa lah… abang kan sudah lama di toko bangunan pasti tahulah…”

“ngga ada….”

“eh… jangan cari masalah disini… kita anak sini…” suaranya agak tinggi

“eh, jangan bentak gue yah…..”

Monic yang ketakutan langsung mencoba bicara dengan Kebot, agar bilang ke Ale agar jangan ribut disini

“ ini khan ibu ini sudah kasih ke pimpinan kalian…. trus kalian masih minta juga… ke kita juga kalian mintain….”

“ya, kalo ke boss itu itu lain… ke kita lain juga, emang gitu aturan disini….”

“mana ada aturannya….”

“ye bego… lu mana tau aturannya disini…”

“iya gue bego… mana aturannya, kasih tahu gue….”

Wei, atau yang dipanggil Ci Wei anaknya Ci Monic langsung mencoba menahan

“bang… udah-udah… biar kita kasih uangnya…. biar ngga ribut…”

“ngga Ma Ci…. jangan dibiasakan…..”

Kebot juga menahan

“ngga usah Bu… biar aja…..”

Kebot sebenarnya pengen lihat tangan besar Ale itu menghajar brengos kurus -kurus ini. Dia sakit hati sekali beberapa kali dia dipalak, makanya dia sengaja membiarkan

“ tapi nanti ribut….”

“ngga apa-apa Bu…”

Ci Wei kesel melihat Kebot yang malah ingin ribut

“lu jangan aneh-aneh yah….” bentak mereka lagi ke Ale

“ngga ada aneh-aneh gue… tapi kalo kalian maksa, gue ngga akan mundur…”

“oh, lu mo ajak ribut?”

Ale tersenyum menyeringai melihat 3 orang anak kemarin sore ini

“ gue ngga cari ribut, tapi kalo kalian mau, gue ngga mundur….”

Ale berjalan kedepan jalan depan rumah

“sini lah…..” tantang dia

Melihat Ale yang menantang mereka, 3 orang itu saling lihat-lihatan.

“nantanging dia bro…..”

“ayo kita sikat…”

“ayolah….”

Ci Monic, suaminya dan anaknya semua teriak agar jangan ribut, para tukangnya juga turun kebawah

Namun 3 orang preman kampung ini hanya melihat Ale saja, mereka terlihat berani, tapi tidak ada yang mau memulai.

“ngga usah dilerai…. biar aja….” kata Kebot berbisik ke para tukang

“itu khan kawan kamu…” bentak Ci Wei

“tenang Ci… disikat ama Ale nanti….”

Ci Wei gusarnya minta ampun ke Kebot

Tapi memang benar juga, mereka bertiga pun tidak berani mendekat ke Ale. Padahal Ale sudah pasang kuda-kuda dan tangan kosong. Melihat badan Ale yang sangat, ototnya yang terbiasa angkat bahan bangunan, serta kepalannya yang besar, dan wajah sangarnya, 3 anak muda kurus kerempeng ini memang berpikir berkali kali.

“ awas lu yah….” ancam mereka sambil menunjuk Ale

“awas apa… sini aja…..” tantang Ale lagi

Namun mereka memilih kabur

“awas lu…. gue samperin lu…..”

Cabutnya mereka disambut sorak sorai oleh para tukang

“gila kalian…. yang ada nanti dia bawa temannya kesini….” bentak Ci Wei ke tukang-tukang yang memuji Ale

“Bung, jangan nekat begitu….” bicaranya ke Ale

“tenang Ma Ci…. kita jangan mau diinjak sama mereka….” jawab Ale tenang

“tapi nanti mereka bakal balik lho…..”

“nanti saya hadapin….”

Ale lalu memberi komando ke Kebot, untuk mulai menurunkan barang-barang pesanan.

“gila lu black…. gue pengen banget lu ajar tuh si kipeng itu…”

“slow Bro….. kita jangan beli…. tapi dia jual, jangan mundur… “ mantap jiwa jawaban Ale.

Ci Monic dan suaminya hanya terdiam. Ci Wei pun demikian

Ale dengan santainya menurunkan semua barang-barangnya, tanpa berkata sesuatu apapun ke keluarga itu. Ci Monic merasa sangat bersalah karena dulu sudah curiga dan tidak respek dengan Ale, karena memang mereka punya trauma dengan anak-anak Ambon.

Ci We sendiri kaget, dia bingung melihat Ale yang berani menghadapi para preman yang selama ini meresahkan rumah mamahnya, sampai-sampai dia yang juga mau perbaiki tempat konveksinya dia yang tidak jauh dari rumah mamanya ini, mikir berkali kali untuk melakukan perbaikan. Karena takut nanti banyak biaya lain seperti ini yang keluar.

Perlakuan ke Ale kini berubah 180 derajat. Dia dan kebot dikasih minum, dikasih makan kue, dan ramah sekali Ci Monic perlakuannya. Ci Wei yang sudah memasuki usia 40an, tapi masih terlihat menarik. Dia lebih ramah dan luwes dibanding mamanya, dia yang banyak ngobrol dengan Ale dan Kebot, sekalian berterima kasih serta tanya kalau minta diantarin nanti ke tempat konveksinya bagaimana.

Tiba-tiba suara motor muncul lagi, dan Ale yang baru saja dikasih minum dan makan kue oleh tuan rumah ikut kaget.

Ada 6 orang kini turun, 3 orang yang tadi dan nambah lagi ada 3 orang lagi termasuk 2 orang yang usianya paruh baya

“woi…. mana tuh si ambon….” bentak mereka

“masuk-masuk dulu Pak….” Ci Monic langsung gemetaran badannya

Tapi tidak dengan Ale, dia maju dengan tenang

“kenapa bang?”

“lu apa maksud lu? Mo nantang kita?”

“ngga…”

“trus? Mau sok jago lu disini?”

“ngga juga…”

Sinar kemarahan muncul dari wajah-wajah mereka

“lu jangan cari masalah ama gue yah….”

Ale dengan tenang bicara

“saya kerja, cari uang, halal…. antar barang disini, lalu dipalak sama anak buah abang,…saya ngga terima…”

“eh itu aturan main disini begitu…”

“Abang kan sudah dikasih…”

“itu lain….”

Mendengar nada agak tinggi, semua pada gemetaran mendengarnya, Kebot pun kini agak keder

“ yang pasti saya tidak mau bayar…..”

“oh gitu…. lu nantang kita namanya….”

“saya ngga nantang…. tapi saya tidak akan mundur….”

“bangsat lu… lu pikir lu dari ambon trus kita takut….”

“saya ngga ada mau mentang-mentang dari mana…. kalau ada yang ganggu periuk nasi saya… saya tidak mau mundur….”

Mereka saling menengok satu sama lain.

“itu bantai aja Bang…..” salah satu yang dibelakang memanansi pemimpin mereka

“ abang mau duel… saya siap…. mau keroyok saya, saya juga siap….”

Mereka terlihat mau ancang-ancang

“satu saya pegang… saya bikin mati pokoknya….” umbar suara Ale

Suasana di garasi Ci Monic panas seketika. Para tetangga sampai pada keluar, dan meski sudah ada 6 orang, mereka belum berani juga untuk mengeroyok Ale.

“mau main keroyok juga boleh… tapi sodara-sodara saya tidak akan tinggal diam yah….” kali ini Ale mengancam mereka

Tiba-tiba ponsel Ale berbunyi

“siap Kaka Bu..…” ternyata panggilan dari Barton

“eh nyong… siapa ganggu ale disana…??”

“tidak tahu, Kaka Bu…. preman sini mungkin..”

“cukimai mereka…. berani ganggu beta punya adik lagi cari makan kah….”

Ale tertawa kecil

“mana mereka?”

“ada ini…. ada 6-7 orang ini datang…”

“mana sini beta bicara….kasih speaker….”

Ale lalu menghampiri mereka

“ini, saya punya kaka mau bicara….”

Mereka heran dan masih bingung

“woi….. sapa kalian?” suara dengan logat timur menggelegar di speaker ponsel Ale

“yah Bang…. ini ane Juned Bang….”

“iya, lu dari mana?? ormas mana??”

“oh ngga bang… kita paguyuban disini aja…..”

“lu kenapa mau palak gue punya adik yang lagi cari makan??”

“oh ngga bang…..”

“ngga-ngga aja lu… lu kalo berani dan jagoan, duel 1 lawan 1…. lu keroyokan gue datang pigi potong kalian punya kepala satu satu nanti yah….”

Bergidik langsung nyali mereka mendengarnya

“gue Barton Sangaji…. gue ketua anak-anak Ambon Acan disini….”

Mendengar namanya, mereka langsung keder

“oh iya Bang…. maaf bang, ngga tahu kami kalo ini adiknya abang…. maaf bang….”

“awas lu ganggu dia lagi…”

“oh ngga bang…ini salah paham aja….”

Suara nada dan gaya mereka langsung padam mendengar siapa yang di-belakang Ale. Mereka langsung minta maaf, dan segera buru-buru pamit

“udah Ci, Koh… kami pamit yah… ngga ada ganggu ganggu… nanti kita siap kawal…. “ mereka memohon maaf segera ke Monic dan suaminya

“sudah Bung…. minta maaf yah… kita saudara semua….”

Langsung mereka berombongan pamit dan cabut

“kita sodara semua…..” kata Kebot menirukan omongan si Juned.

Monic lega

Wei juga lega

“makasih banyak yah Bung

“iya Ci… sama-sama….”

Monic lalu memberi tip yang lumayan untuk Ale

“ngga usah Ci…”

“udah terima aja….. terima kasih dari kami…”

“ngga Ci… ini kewajiban saya memang…” nada Ale gentle betul ngomongnya

“udah… terima aja…”

Ale akhirnya menerima uang dari mereka.

Dan sebelum pamit, Ci Wei minta nomor telpon Ale. Dia mau pesan beberapa bahan bangunan, dan minta Ale yang antara nantinya

“supaya lebih aman kalo kamu yang antar”

Aman sih aman, Ci…. tapi lihat toketnya dan wajahnya Ci Wei, yang meski sudah masuk kepala 4, tak urung pentungan Ale langsung konek. Apalagi sudah beberapa hari bendera perang berkibar di rumah, dia galau dan merana, dan melihat penampilan Ci Wei, dan senyuman manisnya, Ale langsung konak. Gila, memang mama mama model cici bagini bikin pentungan beta siap terus jadinya.

“makasih yah…. nanti gue wa deh….”

“iya Ci…”

Ale menundukkan kepalanya tanda hormat, dan dia bersama Kebot pun pulang dengan hati gembira

“gile, tip kita dikasih 500 ribu…” kata Ale

Kebot kaget

“ kita bagi ke babe juga….”

“ngga usah…”

“jangan…. ini rejeki bersama….”

Aduh Ale, lu mah bego kadang-kadang yah. Si babe aja kalo dapat tip mana ingat ama lu, pikir si Kebot.



*************************​

Sudah 3 hari smenjak kejadian di rumah Ci Monic

Ci Fanny sudah sedikit membaik sikapnya, cuma ajakn tempur untuk Ale masih belum berlaku. Selain karena masih ada sisa banjir bandang, Ci Fanny juga masih menyimpan kekesalan di dirinya untuk Ale. Sebelnya masih belum hilang karena disuruh makan kacang hijau.

Ale hari ini seperti biasa, sudah 3 hari ini dia diminta bolak balik antar bahan bangunan ke tempat konveksi milik Ci Wei. Selain dapat tip, dia juga senang dengan keramahan Ci Wei, meski kalah cantik lah dengan Ci Fanny, namun Ci wei bodynya boleh tahan juga.

Jika ci Fany manyun melulu, Ci Wei baik hati dan senyum terus.

Ale langsung salting kalau lihat senyuman Ci Wei

Memang rejeki anak soleh, kata Ale dalam hati.

Anak buahnya Ci Wei semua perempuan yang bertugas untuk menjahit. Jadi usahanya dia memang konveksi dan menjahit. Dia yang merancang semuanya, nanti ada anak buahnya yang spesial memotong, lalu menjahit, hingga yang mengerjakan untuk membungkus ke pelanggan.

Jadi tempatnya ini sedang dibuat dak didepan, sekaligus untuk membuat ruangan semacam galeri pajangan baju-baju yang sduah jadi, dan dibelakang itu ada ruang jahit untuk anak-buahnya, dan diatas itu kantornya Ci Wei.

Karena sering mengantar barang, dan di bagian atas Ale juga sering naik karena ada barang yang harus diangkat keatas karena diatas juga ada yang harus direnovasi.

Meski mukanya sangar, namun Ale sosok yang baik hati, ringan tangan dan gampang disuruh suruh. Ini yang membuat Ci Wei, semenjak kejadian di rumahnya, dan seringnya Ale datang mengantar barang, senang melihat Ale. Biasanya dia suka seram melihat tampang-tampang ala debt collector macam Ale, namun semenjak kenal Ale, semua bayangan itu hilang sudah.

Dan Ale, Ci Wei jadi seperti tempat dia melupakan kekesalannya Ci Fany terhadapnya. Ci Fany tidak tahu jika yang pesan bahan material itu Ci Wei, disangkanya nenek atau ibu mereka yang sudah 70 tahunan Ci Monic yang pesan, dan Ale memang sengaja tidak memberi tahu, karena dia tahu jika barang yang sering dia antar itu pesanan dari eorang wanita yang seksi dan semok semacam Ci Wei, pasti bakal dibanned dia dan dilarang kesana.

Terakhir dia datang, dia melihat baju dan belahan dadanya Ci Wei, membuat tongkat Musa miliknya langsung bertanduk. Usia hanya bilangan semata, namun masalah onderdil, mobil tua pun jika terawat dengan baik, pasti ngacir larinya. Itu prinsip Ale. Dan celakanya Ci Wei bagaikan cuek dengan penampilannya yang sudah membuat Ale bertanduk. entah disengaja atau tidak, belahan dadanya bagaikan sengaja dipamerin ke Ale, dan dalam kondisi di lantai 2 hanya dia berdua, pastilah membuat Ale panas dingin melihatnya.

BERSAMBUNG ...


Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

BTemplates.com

POP ADS

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com