Aku tergugu diantara isak dan tangis.
Menangis dan bersimpuh dibawah murka Kang Ardasim yang menunjuk nunjuk sembari mengucapkan sumpah dan serapah. Aku tak menjawabnya, karena aku mengakui kesalahanku pada dirinya.
"Dasar mental pelacur lu anjing !" teriaknya demikian keras. Aku bergeming, tak melawan, tak membantah. Hinaan meluncur deras, membuat nafas Kang Ardasim memburu oleh nafsu amarah.
"Ngga tau terima kasih banget lu setan, kelakuan kaya tai !" bertubi-tubi hinaan itu meluncur padaku. Aku hanya diam sambil terisak.
Tak ada yang kusesali dari perbuatanku. Sebesar apapun rasa cinta dan sayang Kang Ardasim padaku, aku tetap lebih sayang dan cinta pada anakku semata wayang. Jangankan air susu, bahkan payudara dan vaginaku akan tetap kurelakan demi kesembuhan Fadil. Jika Kang Ardasim sampai membunuhku, aku merelakannya. Satu hal yang penting adalah Fadil berhasil sembuh.
Tiba-tiba sudut mataku melihat sesuatu bergerak cepat sekali.
"Bukkkkkkkkkk"
Sepersekian detik telapak kaki Kang Ardasim kulihat seperti bayangan semu. Dan berikutnya, mataku berkunang-kunang.
"Bundaaaaaa !" Fadil berteriak.
Dari tadi Fadil duduk diam sama-sama bersimpuh di lantai. Tapi demi melihat aku ditendang di bagian kepala, ia tak lagi mampu menahan amarah. Fadil loncat dan berjaga di depan tubuhku yang tetap bersimpuh.
"Sekali lagi bapak nendang bunda..... aku ngga akan diam !" desisnya sambil menatap Kang Ardasim.
"Hahaha.... anak setan berusaha membela iblis" hina kang Ardasim. Tapi memang dia tak berani lagi bertindak kasar padaku setelah itu.
"Silahkan puas-puasin ngentot memek iblis itu, setan. Tapi lu berdua pergi sekarang juga dari rumahku".
Begitulah ultimatum Kang Ardasim. Hari itu juga aku dan Fadil pergi dari rumah Kang Ar tanpa membawa apapun. Hanya satu tas berisi dua potong bajuku dan dua potong baju Fadil.
*****************************
KE JAKARTA AKU KAN KEMBALI
Lagu Koes Ploes terdengar begitu jelas dari rumah sebelah. Dinding tripleks tipis ini tidak mampu menahan suara yang muncul dari rumah sebelah. Sudah seminggu aku dan Fadil ngontrak di Jakarta. Aku dalam mode bertahan hidup sederhana, jadi kucoba hidup hemat sebisa mungkin . Untungnya uang penjualan rumah warisan ayahnya Fadil masih kusimpan di bank. Sumpah, tak sepeserpun uang pemberian Kang Ar kubawa. Semua kutinggalkan.
"Bunda udah dapet kerjaan belum ?" tanya Fadil yang sedang duduk diatas karpet tipis.
"Belum Dil, kan bunda udah tua begini, susah cari kerja" jawabku.
"Ih bunda belum tua kok, masih cantik gitu" pujinya.
"Bisa aja kamu nyenengin bunda, Dil" aku tersenyum.
"Nih pasti bunda bakal tambah seneng kalau liat ini nih" kata Fadil sambil senyum nakal.
"Apa ?" tanyaku
"Bunda mau tau..... apa mau tau banget ?" candanya.
"Ih.... ni anak...... awas ya...."
"Nih....... " kata Fadil sambil mengeluarkan selembar kertas.
"Lowongan. Dibutuhkan pelayan toko baju muslimah. Syarat rajin bekerja dan berpenampilan menarik. Hubungi nomor 08xxxxxxxxxx"
"Wah.... dapet darimana ini Dil ?
"Tadi waktu Adil beli nasi di warteg, ada ini nempel di tiang listrik. Adil ambil aja buat bunda".
Dan berkah itu berlanjut. Setelah kuhubungi nomor yang tercantum di kertas itu, ternyata lowongan masih ada. Seminggu setelah itu aku bekerja jadi pelayan di sebuah toko pakaian muslimah. Aku bersyukur sekali, kami bisa kembali menjalani kehidupan kami walaupun secara sederhana.
Toko itu cukup besar, dan punya nama yang baik serta pelanggannya cukup banyak. Rupanya Pak Hamid cukup sukses menjalankan toko itu. Bahkan sekarang dia sudah melayani pembelian online. Dan akulah yang ditugasi untuk mengurus toko online-nya. Aku menjalaninya dengan senang hati karena selain gajinya cukup untuk aku menjalani hidup berdua dengan Fadil, kerjaanku kebanyakan berada di depan komputer untuk menerima permintaan pembelian dari toko online. Kerjaku terbilang nyaman dan enak, beda dengan karyawan lain yang sudah lama bekerja disitu. Tapi itu pula yang membuat beberapa dari mereka tidak suka padaku. Tapi aku tidak perduli, karena urusanku yang nomor satu adalah bekerja mencari nafkah. Lagipula yang menggajiku adalah Pak Hamid, bukan karyawan lain.
Pak Hamid ini seorang keturunan Arab. Aku mulanya takut-takut dengan tubuh tinggi besarnya, jenggot panjangnya, dan suaranya yang lantang. Kayanya kasar gitu. Tapi perkiraanku salah, rupanya Pak Hamid ini seorang yang baik hati. Makanya, jangan menilai orang dari fisik luarnya saja. Yang kelihatan galak kaya pak Hamid itu ternyata baik. Dan yang kelihatan baik dan solehah seperti aku......ah..... aku penuh dosa.
Begitulah anggapan awalku tentang pak Hamid. Tapi rupanya lama kelamaan aku merasa agak risih juga. Pak Hamid yang selalu berkata sopan dan baik ini kadang-kadang seperti yang tidak sengaja dia lewat di belakangku sambil mepet ke tubuhku. Entah itu pikiran aku saja yang curiga, ataukah memang dia sengaja melakukannya ?
Misalnya siang itu ketika aku melakukan stock opname di gudang. Pak Hamid tiba-tiba ada di belakangku yang sedang berdiri.
"Baju yang putih itu harus ente tambah stocknya, Sri" Aku kaget dan agak merinding.
"Eh... bapak" hanya begitu jawabku.
"Nih yang ini tinggal satu" katanya sambil tangannya menjulur dari belakangku melalu pipi kananku dan menunjuk satu baju berwarna putih di rak baju.
"Oh iya pak nanti Sri tambah".
Tapi Pak Hamid masih berdiri di belakangku. Nafasnya memburu. Samar-samar aku merasakan panas tubuh pak Hamid terpancar ke bagian belakang tubuhku. Aku merinding.
"Terus yang ini juga tambah ya Sri" dan sekarang tangan kirinya menunjuk ke baju lain di rak melalui samping kiri pipiku. Kedua tangannya mengurungku, kiri dan kanan.
"Eh... iya pak".
Kurasa tubuh pak Hamid sekarang nempel di belakangku.
Astagfirullah....... sesuatu yang keras dan begitu besar nempel di pantatku. Nafas pak Hamid memburu. Masa Pak Hamid kaya gitu ? ah nggak mungkin. Aku sudah setengah tua gini, sedangkan pelayan toko yang lain banyak yang masih gadis dan cantik cantik. Ini mungkin akunya saja yang gede rasa dan curiga.
"Pak... Sri mau ngirim dulu paket pesanan ya" aku berkata sambil berusik kemudian perlahan pergi lepas dari jebakan Pak Hamid.
"Eh... Sri...." serunya.
Aku tak menggubris dan terus pergi ke ruangan administrasi.
Ya ampun... tadi itu apa yang nempel ?
Iiiih
Aku bergidik.
Gede banget.
Bersambung Ke Season 2