𝐂𝐢𝐧𝐭𝐚 𝐘𝐚𝐧𝐠 𝐓𝐚𝐤 𝐁𝐢𝐚𝐬𝐚 𝟎𝟕

 


 Tigapuluh Tujuh


Itu memang usiaku pada saat itu, yaitu 37. Tapi angka itu juga mempunyai arti lain yaitu : Ganjil.

Pada usia 37 itu kualami berbagai keganjilan dalam hidupku, juga kutemui keganjilan dalam perilaku Kang Ardasim dalam hal hubungan badan. Keganjilan pertama adalah bahwa kejantanan Kang Ar seringkali loyo. Lain halnya kalau dia melihat aku berpelukan dengan Fadil. Apakah ini termasuk kelainan ? Apapun itu sejak hubungan badan kami yang pertama, Kang Ar selalu bernafsu jika hubungan badan kami dilakukan dengan kehadiran Fadil dan sedikit banyak melibatkannya walaupun Fadil selalu dalam keadaan terlelap.

Kang Ar kelihatannya sayang sekali padaku dan Fadil. Seringkali dia memberikan kejutan berupa hadiah yang meyenangkan wanita. Misalnya setelah hubungan pertama itu, besoknya Kang Ar memberikan sebuah gelang emas yang cukup berat. Atau berikutnya, dia memberikan jam tangan bermerk cukup terkenal. Pernah juga aku dibelikan peralatan dapur yang cantik-cantik bentuknya. Wanita manapun sudah tentu akan senang dengan hal-hal semacam itu.

Terkadang dia juga memberikan sesuatu yang membuat aku jengah dan malu. Suatu saat dia memberikan hadiah berupa pakaian dalam yang..... ah.... malu aku. Baru melihatnya saja aku sudah malu, apalagi ketika harus mengenakannya didepan Kang Ar. Celana dalam dan beha dengan model seperti itu menurut pendapatku sepertinya hanya cocok untuk wanita-wanita nakal.Tapi terpaksa kukenakan mengingat Kang Ar adalah suamiku dan ia sangat baik padaku. Hanya saja ngga enaknya adalah dia ingin aku hanya mengenakan CD dan beha itu seharian di rumah tanpa pakaian apapun lagi.

Waktu itu kuungkapkan keberatanku padanya. "Bunda malu dilihat Fadil, yah." Ujarku ketika Kang Ar menggamit tanganku untuk keluar kamar dalam keadaan seperti itu.

Dia hanya mesem-mesem saja sambil menjawab "Malu kenapa sih bunda, kan Fadil juga ngga ngerti apa-apa, lagian dia kan anak kamu." Dia tetap memaksaku keluar untuk ke dapur dan menyiapkan sarapan.

Dan begitulah, aku melayani sarapan Kang Ar dalam keadaan hanya berbalut celana dalam yang berbentuk secuil kain disertai tali temali, ditambah beha dengan motif yang sama. Untungnya memang Fadil tidak terlalu memperhatikan, dia nonton TV tanpa perduli apa yang kukenakan.

Sekali waktu, aku diberikan hadiah berupa gaun malam yang indah seperti untuk ke pesta. Namun sayangnya gaun itu begitu ketat melekat di tubuhku. Beberapa bagian dari gaun itu berupa brokat seperti jaring jaring yang akan menampilkan sebagian kecil kulitku di pinggang bagian belakang. Malam itu dia mengajakku menemui beberapa orang rekannya yang semua berusia tidak jauh dari Kang Ar antara 60 dan 70 tahun. Dia bangga sekali memamerkan aku malam itu walaupun tetap kukenakan jilbab. Dan itulah yang merupakan keganjilan kedua. KangAr senang memamerkan kecantikan dan kemolekan tubuhku ke teman-temannya. Pria-pria tua itu matanya blingsatan, membuat aku risih.

Keganjilan lain adalah Kang Ar senang sekali mengorek-ngorek cerita masa laluku. Dia ingin mengetahui dengan detail bagaimana aku berhubungan dengan suami pertama, lalu penasaran apakah aku punya pacar sebelum itu, dan apa yang kulakukan dengan pacarku. Beberapa kuceritakan, dan sebagian besar tidak. Biasanya setelah cerita-cerita seperti itu, Kang Ar bernafsu sekali mengajak hubungan badan.

Terlepas dari semua hal-hal yg kuanggap ganjil, aku sudah mulai menikmati kehidupanku yang sekarang. Tidak ada seorang manusiapun yang sempurna, dan tidak ada seorangpun yang benar-benar lurus, benar-benar suci. Semua memiliki sisi gelap, dan aku berusaha memahami sisi gelap dari suamiku. Yang paling penting, kita mensyukuri dan berusaha menikmati apa yg ada sekarang ini.

"Bun.... " Kang Ar memanggilku, tapi tidak langsung menyampaikan maksudnya. Kulihat dia agak ragu-ragu dan seperti sedang memikirkan sesuatu.

"Apa yah.... kok ragu-ragu gitu sih" Kujawab dengan bermanja-manja dengannya sambil rebahan di dadanya.

"Kalau......." dia tidak melanjutkan.

"Apa yah... bikin gregetan aja" kulayangkan cubitan tipis ke pinggangnya.

"Adudududuh....." dia selalu kegelian kalau dicubit pinggangnya.

"Yaudah ngomong dong yah"

"Kalau..... ayah meninggal gimana ?"

Aku tersentak dengan pertanyaannya. Tak ada hujan, tak ada angin, omongannya jauh sekali.

"Ih ayah..... pamali tau....." aku menatap matanya dari posisiku yg di dadanya.

"Ayah cuman mikir.... kan ayah udah tua begini... beberapa temen ayah malah udah duluan pindah ke alam sana," terlihat sebersit kehawatiran di wajahnya.

"Iya, tapi gausah dipikirin dari sekarang. Itu kan urusan Tuhan yah. Lagian bunda udah pengalaman ditinggal mati suami hi hi hi," aku mengajaknya bercanda agar pikirannya tenang. Telunjukku menelusuri perutnya yang buncit, sambil memperhatikan kepalanya yg botak di bagian atas, dan rambut yg memutih di kiri dan kanan.

"Nanti kalau ayah mati, bubun kawin ama siapa ?"

"Ih ayah...... bunda ngambek nih kalau ayah ngomong gitu," aku pura-pura merajuk.

"Udah banyak yang ngincer kamu loh bun, kaya si Pak Haji Yadi juragan sayur," komentarnya.

Iya aku inget banget sama Pak Haji Yadi, matanya seringkali mencuri-curi pandang padaku kalau dia sedang bertamu ke rumah.

"Terus emang kenapa, biarin aja yah, kan bunda udah jadi milik ayah"

"Iya tapi kalau ayah mati pasti dia nyamber kamu. Cemburu aja aku kalau sampai dia ML sama kamu nanti"

"Emang ayah ngga mau yah aku disetubuhin sama laki-laki lain?" godaku.

"Cemburu lah ayah"

"Kok sering bikin bunda bugil lalu maksa bunda meluk-meluk Fadil ?" tembakku.

Dia nyengir terus bilang "Cemburu tapi napsuin ke ayahnya... haha" katanya.

"Tuh kan.... berarti....." ucapanku tak selesai karena dipotong olehnya.

"Yuk bun.... kita ml....." ajaknya. Memang begitu kelakuannya, pasti langsung nafsu kalau cerita-cerita yang seperti ini.

"Dimana yah.... disini ?" godaku.

"Biasa bun..... " katanya sambil ngasih kode untuk masuk ke kamar.

Yang dimaksud 'biasa' olehnya adalah kita berhubungan badan di kamar, di sebelah Fadil yang sedang tidur. Aku sudah cukup terbiasa dengan hal tersebut setelah tiga bulan menikah dengannya.

Dan kamipun masuk ke kamar.

*****

Pagi itu aku bangun kesiangan, begitu juga Kang Ar. Kami terlalu kelelahan setelah tadi malam jor-joran menuntaskan hasrat. Segera kusiapkan baju seragam kepala desa untuk Kang Ar sementara dia mandi. Dan waktu Kang Ar mengenakan baju, aku telah selesai menyiapkan sarapan.

"Sana sarapan dulu yah."

"Ayah buru-buru nih bun, sarapannya di kantor aja lah. Pagi ini jam 9 ada rapat mengenai pembebasan tanah untuk perumahan."

"Ih udah bunda siapin juga, sebentar aja kenapa sih ?" Aku merasa sia-sia menyiapkan sarapan nasi goreng dan segelas teh hangat.

"Bener deh bun, ini udah jam 8 1/4. Kalau makan dulu nanti ayah telat," tolaknya.

"Yaudah. Kalau gitu bangunin Fadil gih biar dia salim dulu sama ayah," aku membiasakan Fadil untuk salim dan cium tangan Kang Ar setiap pagi.

"Iya bun."

Aku kemudian mengambil hijab penutup kepala dan gamis panjang karena sebentar lagi mengantar Kang Ar keluar halaman. Setiap Kang Ar berangkat kerja, aku juga membiasakan diri mengantarnya sampai halaman, cipika cipiki, dadah dadah, lalu menutup pintu gerbang saat mobil Pajero Sport kelabu milik Kang Ar berangkat.

"Bun...... bun..... bunda....." seru Kang Ar sebelum aku sempat mengenakan hijab dan mengganti baju tidur babydoll dengan gamis.

"Apa yah ?" Kulihat Kang Ar sedikit kebingungan.

"Sini deh bun." Tangan Kang Ar menarikku untuk mengikutinya ke samping tempat tidur. Kami berdiri berdampingan di samping Fadil yang masih terlelap.

"Lihat bun." Kang Ar menunjuk ke celana Fadil yang agak mumbul keatas terdorong oleh penisnya yang tegang dan celana itu basah tepat di bagian yang mumbul.

"Aduh....." seruku, sedikit panik karena Fadil ternyata mimpi basah. Siapa lagi yang harus membersihkannya kalau bukan aku ibunya ? Memang sudah beberapa bulan kan sejak mimpi basahnya Fadil yang terakhir. Sudah penuh barangkali kantung spermanya, dan sudah waktunya keluar secara alami.

"Fadil mimpi basah ya ?" tanya Kang Ar.

"Iya yah."

"Memang udah waktunya kali bun, dia kan sudah 18 tahun walaupun fikirannya masih anak-anak."

Aku tidak pernah bercerita bahwa telah beberapa kali Fadil mengalami hal seperti ini. Aku rahasiakan karena males ditanya-tanya oleh suami.

"Dia harus bersih-bersih tuh, sudah bisa belum ?" tanya Kang Ar menelisik.

"Belum lah.... kayanya bunda yang harus bersihin," kataku pura-pura belum pernah.

"Yaudah bersihin dulu sana bun. Ayah langsung jalan aja ya," pamitnya. Aku mengangguk lalu mengenakan gamis tapi dia melarangnya.

"Gausah bun, kamu urus si Fadil aja. Bunda gak usah nganter ayah ke depan."

"Yaudah." Aku mencium tangannya lalu sebagai balasannya bibirku dicium.

Kang Ar menjauh lalu keluar kamar. Aku sebentaran tertegun didepan Fadil. Kuperhatikan celananya sepertinya kok mumbul sekali ya ? Sudah beberapa bulan Fadil tidak mengalami mimpi basah ? Rasanya sudah lama sekali sejak dia terakhir mimpi basah.

Aku mungkin terlalu menikmati hidupku yang sekarang sehingga sedikit banyak melupakan Fadil. Entah sampai kapan Fadil akan sakit seperti ini ? Bagaimana kalau dia terus akan seperti ini ? Aku akan semakin tua dan cepat atau lambat Fadil akan harus bisa menjalani hidup ini tanpa aku. Dia harus sembuh.

Setelah dia mimpi basah dan mengeluarkan sperma, biasanya akan ada kemajuan yang cukup pesat. Nanti dia bangun pasti akan ada kemajuan.

"Kemajuan tidak sama dengan kesembuhan, Sri." Suara di kepalaku datang lagi.

Dan untuk sembuh ?

Ah, haruskah aku melakukannya lagi ?

"Kalau hal itu bisa membuat dia sembuh, kenapa tidak ?"

Kenapa ya suara sialan itu seringkali datang disaat pikiranku sedang bingung ? Apakah aku gila, dan suara itu adalah halusinasi ?

"Hey Sri, kamu tuh menuduhku sebagai halusinasi seakan-akan aku tidak bisa membaca fikiranmu."

Emangnya kamu nyata ?

"Aku nyata-nyata menemanimu dalam kepalamu," dia bermain kata, berbelit belit tapi tanpa ada sesuatu yang berarti.

Diamlah, aku sedang bingung dengan masa depan anakku.

"Dia memang tanggung jawabmu."

Benar, dia tanggung jawabku.

"Lakukan, Sri." Suara itu bernada perintah.

Tapi aku menggelengkan kepala, lalu mengibaskan tangan seolah suara itu bisa diusir dari kepalaku dengan kibasan tangan. Agar tak berpikir ngelantur kemana-mana, lebih baik kubersihkan Fadil sekarang.

Tanpa melihat ke arah selangkangannya, aku memerosotkan celana Fadil yang basah dan kemudian kujinjing ke kamar mandi. Akan kucuci sambil aku mandi pagi.

*****

Dengan mengenakan handuk aku keluar dari kamar mandi. Celana Fadil sudah kucuci bersih, dan cairannya banyak sekali tadi nempel di celananya. Setelah dicuci dan dibilas dengan kaki, aku menjembrengkan celana Fadil di tali jemuran yang ada di kamar mandi tempat aku biasa mengeringkan pakaian dalam. Kebiasaanku adalah tidak menjemur pakaian dalam diluar, pamali kalau kata orang tua. Tidak etis kalau pakaian dalam kita sampai dijemur diluar dan kelihatan oleh orang banyak.

Kubuka lemari baju untuk mengambil celana Fadil yang masih kering. Yang mana ya ? yang ini aja deh biar gampang. Sebuah celana pendek yang berkaret kupilih karena pasti mudah memasangkannya. Kalau pilih celana yang pakai sleting atau kancing, takutnya Fadil akan terbangun dan aku belum mau terganggu oleh Fadil. Aku setelah ini harus mengerjakan kerjaan rumah, dan kalau Fadil bangun pasti dia minta ditemenin main.

Dengan handuk masih melilit di tubuh, aku memasangkan celana di kaki Fadil.

Srot, srot.

Dua telapak kakinya masuk ke celana.

Aku menarik pelan-pelan tanpa melihat ke hal lain kecuali ke celana yang sedang kupasangkan. Terus menariknya melalui betis, lutut, paha, lalu sampai paha atas.

Ah.

Aku tertegun.

Celana pendek itu tidak bisa kunaikkan terus keatas karena tertahan sesuatu.

Kupaksakan tarik keats tapi mandeg lagi.

Sesuatu itu menghalangi.

Tegak berdiri dan kaku.

Mataku kini menatap dengan jelas benda yang tegang itu dari jarak yang cukup dekat. Mungkin terlalu dekat karena baru saat itu kusadari bahwa burungnya Fadil terlihat lebih besari dari beberapa bulan lalu. Benarkan membesar ? atau aku melihatnya terlalu dekat ?

"Mungkin membesar, kan dia tambah dewsa." Kenapa ya suara itu selalu muncul lagi pada saat saat seperti ini ?

"Coba aja kamu pegang, untuk memastikan itu membesar atau tidak." Aku tercenung, dan ditengah lamunanku itu mataku makin lama makin dekat menatap hingga tepat dalam jarak fokus mataku.

"Pegang aja kenapa sih ? biar pasti," Iya juga ya.

Tanganku menyentuhnya.

Burung Fadil yang tegang kemudian bergoyang dengan sentuhan jariku.

Goyangan itu tidak berhenti, malah berkedut-kedut seirama denyut jantung.

Aih, besar.

Urat-uratnya terlihat menonjol. Kepalanya mengkilap. Beberapa kerak bekas spermanya yang belum dibersihkan tampak menempel di sana sini. Baunya sekarang tercium dengan cukup jelas di hidung.

Perlahan jemariku menelusuri kepalanya dan turun ke bagian lehernya. Disana, semua jemariku akhirnya melingkarinya, menggenggamnya. Terasa penuh di genggaman, dan terasa berat.

Besar.

Denyut nadinya bisa kurasakan saat kugenggam dengan penuh ditangan.

Nyut..

Nyut..

Nyut..

Tidak terlalu panjang, tapi memang besar. Apalagi bagian kepalanya yang sekarang nyembul diatas genggaman tanganku. Bagian itu paling besar.

"Lakukan, Sri. Demi kesembuhannya." Suara itu begitu menyebalkan, tidak pernah konsisten, kadang melarang, kadang menyuruh.

"Jangan menyalahkan aku Sri, karena sebenarnya aku hanya menyuarakan pikiranmu sendiri."

Jadi kamu bukan siapa-siapa ?

"Aku adalah pikiranmu, kalau kamu ragu maka suaraku ragu. Kalau kamu pasti maka suaraku mengandung kepastian."

Ah tambah pusing. Aku tidak bisa konsentrasi, karena benda dalam genggamanku ini terasa hangat.

"Lakukan, mumpung suamimu tak ada. Siapa tahu setelah ini anakmu sembuh."

Genggamanku melonggar, lalu bergerak turun naik perlahan di sepanjang burung Fadil yang sedang tegang. Mataku melirik wajahnya, terlihat fadil mengernyit dalam tidurnya. Mimpilah nak... mimpi basahlah untuk yang kedua kali untuk hari ini, biar tambah cepat kesembuhanmu. Biarkan bunda tersayang yang membantumu sembuh.

Aku berjongkok di lantai agar lebih nyaman posisiku dalam membantu Fadil. Mungkin karena terlalu tergesa, handuk yang melilit di tubuhku terburai dari ikatannya. Payudaraku bebas tergantung, putingnya keras.

"Kamu terangsang ya Sri ?" Aku tak mempedulikan suara itu.

Terbebasnya payudaraku menambah sedikit ide. Kutekan di paha Fadil untuk menambah rangsangan, baik padaku maupun pada Fadil. Sepertinya aku yang lebih terpengaruh oleh rangsangan itu, karena kurasakan vaginaku basah.

Jemariku yang melingkar di kejantanan Fadil gemetar saat setitik air yang bening mengalir di kepala kejantanannya, mengalir dan membasahi jemariku. Membuat licin dan melancarkan gerakanku.

"Ayolah nak, keluarkan lagi spermamu." suara itu sama persis dengan yang aku pikirkan.

Fadil tak bergeming, masih lelap dalam tidurnya. Semua yang terjadi pada Fadil hanyalah respons saraf-saraf fisiknya semata tanpa kesadaran.

"Ayo nak, nikmati jemari bunda dan raih puncaknya agar lepas semua simpul yang menyembunyikan kesadaranmu." Aku jadi yakin bahwa suara itu memanglah suara pikiranku sendiri.

Mulut Fadil terbuka, menganga. Sekejap terlihat tubuhnya bergetar.

"Ayo nak, bunda mau kamu sembuh hari ini... "

Pucuk payudaraku gatal sekarang, minta diremas. Aku meremasnya dengan tangan kiriku.

"Ngggh......"

Tubuhku menghangat, vaginaku berdenyut, menjadi lebih basah.

"Fadil mau diapain sama bunda ?" Tentu yang ditanya tak akan menjawab karena masih terlelap.

Tangan kiriku yang meremas payudara sekarang pindah kebawah, jari tengah mengusap bibir vaginaku. Cairan licin telah melumuri seluruh celah itu.

"Fadil mau merasakan nempel disini ?" sekarang itu bukan suara dalam pikiranku. Bahkan aku tak menyadari sejak kapan suara itu benar-benar keluar dari mulutku sendiri, bukan hanya berada dalam pikiranku semata.

Kulepas genggamanku untuk kemudian bangkit dari jongkokku.

Aku naik ke tempat tidur, mengangkangi Fadil dengan bertelekan pada lutut.

Selangkanganku tepat berada diatas kejantanan Fadil yang tegang berdenyut-denyut nadinya.

"Coba rasakan ini nak, biar cepet keluar spermanya, dan cepet sembuhnya ya." Aku menurunkan pantatku sampai selangkanganku tepat berada di kepala kejantanan Fadil yang mengkilap.

Handuk yang sudah longgar itu akhirnya terlepas, kulempar entah kemana.

Inilah aku, seorang ibu yang begitu mencintai anaknya semata wayang, yang berharap anaknya akan sembuh dan bisa melanjutkan hidupnya, mewarisi kehidupan dari dirinya, darah dan dagingnya. Ibu yang akan melakukan apapun untuk kesembuhannya, memberikan apapun yang dia punya di dunia, waktu, fikiran, harta, bahkan tubuhnya. Semua.

Dengan tangan kanan, kupegang kejantanan Fadil dengan lembut. Dua jariku yang halus telah menjepitnya, lalu mengarahkan ke vaginaku.

"Anakku Fadil..... dulu kamu keluar dari sini dalam keadaan tak sadar, sekarang kamu sudah besar dan akan merasakan lagi kelembutan yang dulu kamu rasakan."

Kuturunkan sedikit lagi pantatku.

Tap.

Kepala kejantanan Fadil menyentuh bibir vaginaku yang licin oleh cairan bening. Saking banyaknya kini cairan itu menetes dan mengalis ke kepala kejantanan Fadil. Kuusapkan di sepanjang belahan selangkanganku. Aku terpekik sendiri.

"Akhhh...." getaran yang seakan listrik tegangan tinggi mengalir, menggetarkan kelentitku yang tegang dan sensitif, menggetarkan pula rahim di ujung vaginaku.

Fadil masih tidur dengan mulut menganga.

"Ayolah nak, mimpilah yang indah." bisikku.

Aku menurunkan lagi pantatku.

Slep.

"Oh Tuhan, kenapa nikmat sekali kemaluan anakku... darah dagingku sendiri ?"

Aku merasa menjadi mahluk yang teramat sangat berdosa. Dengan alasan cinta, dengan alasan kesembuhan anakku, aku menzinahi anakku sendiri yang tak berdaya, dan melakukannya sambil memanggil nama Tuhan.

Aku mahluk yang penuh dosa.

Dan bahkan pemikiran tentang tubuh seorang ibu yang penuh dosa, malah menambah gairah nafsuku.

Aku seorang pendosa yang bersembunyi dalam kesolihan.

Aku seorang pendosa yang setiap saat menyembah Tuhan.

Aku seorang pendosa yang ingin melakukan dosa terbesar.

Aku ingin memberikan seluruh vaginaku yang akan membuat kejantanan anakku mendapat kenikmatan duniawi, memuncratkan kenikmatan surgawi, melegakan seluruh urat-urat syaraf, memutuskan seluruh simpul-simpul yang terikat, dan mengembalikan anakku tersayang pada kesadaran.

Aku ingin vaginaku memberikan kehangatan hakiki seorang ibu, untuk anaknya terkasih.

Aku ingin.....

"Aaaah...." Aku menjerit tertahan karena diluar kesadaranku, aku telah menurunkan pantatku secara tiba-tiba. Kepala kejantanan anakku yang membonggol besar itu amblas dan menyentuh mulut rahimku didalam sana.

"Adiiiil........ nikmati rahim bundaaaa..... " jeritku lirih.

Tubuhku sekarang tak kuat dengan kenikmatan dosa ini. Aku berusaha meraih kenikmatan yang lebih lagi, dan lebih lagi. Kutekan dalam-dalam kejantanan Fadil, lalu tubuhku melengkung, mengejang, dan menindih tubuh Fadil.

Aku menaik turunkan pantatku agar kejantanan anakku agar mendapatkan kenikmatan dari hangat dan lembutnya dinding vaginaku.

Mata Fadil terlihat bergerak-gerak cepat. Kalau menurut peneliti, katanya orang jika sedang tidur matanya bergerak-gerak cepat itu namanya tidur dalam fase REM yaitu singkatan dari Rapid Eye Movement. Dan konon katanya pada saat fase REM itulah seseorang mengalami mimpi dalam tidurnya. Dugaanku, pada saat itu pasti Fadil tengah bermimpi basah.

Siklus tidur manusia itu menurut Sigmund Freud pertama adalah tidur ringan, dimana seseorang baru jatuh tertidur. Kadang dalam fase ini orang yang sedang tidur masih mendengar suara-suara di sekelilingnya dan akan mudah terbangun.

Setelah tidur ringan beberapa puluh menit, maka manusia akan memasuki fase tidur nyenyak. Dalam tidur nyanyak ini dia akan benar-benar tidur secara dalam, tidak mudah untuk terbangun. Dan dalam fase ini seseorang tidak mengalami mimpi.

Pada fase REM lah seseorang bermimpi, seperti Fadil saat ini. Uniknya pada fase REM ini seseorang yang sedang bermimpi itu isi mimpinya dapat terpengaruh suara-suara di sekelilingnya. Makanya orang yang sedang dalam fase ini kadangkala saat dia 'ngelindur' atau 'mengigau', kita bisa bertanya padanya dan dia bisa menjawab pertanyaan kita dalam igauannya.

Fase terakhir setelah REM adalah terbangun sebentar selama beberapa menit untuk kemudian mengulangi siklusnya dari awal yaitu tidur ringan, tidur nyenyak, REM, lalu bangun lagi.

Melihat fadil sedang tidur pada fase REM tersebut membuat aku semakin bersemangat untuk memberikan seluruh apa yang kupunya kepada anakku tersayang. Aku yakin Fadil dalam mimpinya bisa merasakan apa yang sedang terjadi dengan tubuhnya. Entah dia mimpi basah dengan siapa aku tidak perduli. Yang penting dia mendapatkan mimpi basahnya kedua kali. Pertama tadi malam secara natural, lalu yang sekarang ini mimpi basah atas bantuanku. Apakah setelah dua kali mendapatkan mimpi basah Fadil akan sembuh ? Apakah ingatannya akan kembali seperti semula ? Itulah yang membuat aku penasaran. Mudah-mudahan dosa besar yang kulakukan ini ada hasilnya yaitu menyembuhkan Fadil menjadi normal.



Aku menancapkan kejantanan Fadil lagi lebih dalam, lebih kuat menekan. Biarlah, biar kejantanannya yang perjaka diberikan kenikmatan oleh vagina yang dulu melahirkannya. Apa salahnya perbuatanku ini ? Dahulu waktu dilahirkan, bukannya kemaluan anakku juga bergesekan dengan dinding vaginaku ? Bukankah pada saat Fadil keluar dari rahimku, seluruh tubuhnya telah merasakan hangatnya dekapan rahimku selama sembilan bulan ? Apa salahnya sebagian dari tubuhnya saat ini bisa kembali merasakan lembut dan hangatnya rongga vagina seorang wanita yang telah melahirkannya ? Bukankah ini adalah hal yang paling alami ? Aku yakin penyembuhan terbaik adalah penyembuhan dengan metode paling alami. Aku yakin bahwa cinta dan kasih sayang paling sejati adalah antara ibu dan anaknya. Aku yakin bahwa ini semua akan memberikan kesembuhan pada anakku.



Seiring dengan pemikiran-pemikiran itu, aku merasakan kepala kejantanan Fadil makin membonggol di rongga terdalam vaginaku. Kutekan rapat-rapat hingga mulut rahimku menekan-nekan kepala kejantanan Fadil yang sudah demikian bengkak.

Mau tidak mau, kejantanan Fadil yang demikian bengkak pada akhirnya menyentuh sebuah titik yang menjadi pusat kenikmatanku. Pada saat kucabut, lalu kutekan lagi dengan perlahan, titik itu tersentuh demikian kuat oleh desakan kepala kejantanannya, padahal belum masuk semua. Aku mengeluh.

"Nggh...."

Mata Fadil berkejap kejap makin cepat.

Kutancap sekuatnya lagi sampai vaginaku bersuara.

"Clepokkkkkkk"

Aku merintih, takut aku orgasme. Tujuan utamaku bukan untuk mendapatkan orgasme, tapi untuk membuat Fadil ejakulasi. Kalau aku orgasme duluan, maka usahaku ini sia-sia saja. Jadi aku bertahan.

Bertahan sekuat tenaga.

Kukempitkan otot-otot vaginaku dengan kuat, agar aku tak sampai orgasme.

Sial, tindakan itu ternyata salah karena dengan mengencangkan otot-otot vaginaku sampai meremas kepala kejantanan Fadil dengan kuat malah membuat orgasmeku makin dekat.

Aku bertahan.

Bertahan sekuat tenaga lagi.

Tapi kempitan vaginaku malah makin kuat.

Kenikmatan itu seolah tak mampu ku bendung lagi.

"Aduuuh naaak.... cepatlah keluar...... bunda ngga tahan lagi." Pada telinganya kubisikkan kata bujukan dengan harapan ucapanku masuk kedalam mimpinya yang basah.

Kakiku mulai mengejang. Kukerahkan semua kemampuanku untuk bertahan.

Kepala kejantanan Fadil sekarang terasa makin keras dan makin membengkak. Vaginaku terasa penuh sesak.

Ya Tuhan.... aku nyaris tak mampu lagi menahan. Pliiis, beberapa saat lagi saja, jangan jebol sekarang.

Tapi sekuat-kuatnya seorang wanita menahan kenikmatan. Sekuat-kuatnya vagina seorang wanita, tetap saja vagina hanyalah terbuat dari daging yang lembut, yang tak akan mampu bertahan jika dikoyak oleh kejantanan seorang lelaki.

Aku sampai pada titik dimana aku sudah melupakan tujuanku yaitu melakukan perbuatan sangat terlarang ini hanya untuk kesembuhan Fadil.

Aku sampai pada titik dimana nafsu birahi seorang wanita mengambil alih.

Aku sampai pada titik dimana tubuh dan jiwaku tak mampu bertahan.

Tubuhku begitu kotor penuh dosa, tapi sekarang pikirankulah yang begitu kotor bak seorang pelacur.

Rentetan kata-kata dan kalimat kotor keluar dari mulutku.

"Adiiilll memek bunda enak ngggaaaaaa ?" Tak ada saringan lagi di mulutku.

"Ooooh.... kontol kamu akan dibuat muncrat sama memek bunda.... Adiiil ." Tak jelas lagi apa yang keluar dari mulut ini.

"Muncratin peju dari kontol gede kamu ooooh Fadiil."

"Memek bunda pengen disiraaaaaaam....."

Tiba-tiba saja tangan Fadil memegang pantatku yang telanjang. Kedua tangan itu menekan pantatku agar lebih rapat ke selangkangannya, agar kejantanannya lebih melesak kedalam. Tubuh Fadil mengejang, kakinya menendang-nendang. Kejapan matanya semakin cepat.

Bonggolan yang bengkak didalam vaginaku itu sesaat membesar.

Seiring dengan tekanan tangannya, vaginaku merasakan tiba-tiba cairan panas dan lengket muncrat begitu kuat menyemprot ujung rongga vaginaku yang terdalam. Rahimku terasa panas.

Ketika seluruh tubuh Fadil kelojotan dibawahku, kedua tangan Fadil menekan makin kuat. Tak ada satu milimeterpun dinding vaginaku luput dari gesekan kulit kejantanan Fadil yang penuh urat. Terlebih, semprotan air maninya yang begitu kuat ternyata tepat menembak ke titik paling nikmat didalam kemaluanku.

Rasanya berkelenyar.

Fikiranku melayang.

Seluruh tubuhku gemetar.

Otot-ototku berkelojotan.

Mataku mendelik.

Pertahananku jebol.

"Aaaaaaah........ memekku jeboooool." Itu teriakanku. Benar-benar teriak saking tak dapat kukontrol lagi rasa nikmat yang menderaku.

Ini adalah untuk kali pertama aku merasakan orgasme yang begitu kuat seumur hidupku. Mungkin percampuran antara dosa terlaknat yang kulakukan, disertai rasa cinta pada anakku yang begitu dalam, yang membuat perbuatan zina yang begitu hina ini menjadi sangat nikmat.

Orgasme yang kurasakanpun begitu lama dan panjang seakan tak berhenti.

Seluruh tenagaku terkuras hingga tak menyisakan lagi kemampuan untuk menyadari bahwa saat kejantanan Fadil memuntahkan air maninya, mata Fadil terbuka begitu lebar.

Ditengah lemasnya tenagaku, mataku masih mampu melihat sesaat bahwa ada rasa kaget yang teramat sangat pada wajah Fadil.

Mulutnya ternganga.

Tapi kejantanannya tetap berkedut-kedut memuncratkan seluruh isinya kedalam vagina bunda tercinta. Kakinya masih berkelojotan menendang nendang dan meregang regang.

Pantatnya naik dan menekanku semakin erat seakan tak ingin lepas.

"Bun.....daaaaaa.......... ke .. ke .... kenapaaaaa ?" bibirnya bergerak mengucapkan tanya.

Aku tak mampu menjawab atau bereaksi apapun karena kenikmatan tengah mendera seluruh urat syarafku.

Aku hanya sanggup bertahan tetap sadar walaupun tubuhku telah kehilangan seluruh tenaganya sehingga hanya bisa ngelumbruk diatas tubuh Fadil.

"Bundaa..... kita lagi apa ? kita dimana ? ayah dimana ? kenapa kita begini ?" Fadil nyerocos bertanya, tapi tetaplah genggaman tangannya di pantatku tak ia lepaskan.

"Aku..... aku..... bersetubuh sama.... bunda ?" ia terus nyerocos.

"Bun...daa... ini mimpi bukan ?"

Kuangkat kepalaku, wajah kami berhadapan, mata kami bertatapan.

"Adil ingat... berapa umur kamu ?" tanyaku.

"Tujuh... belas...." jawabnya.

"Adil sekolah dimana ?" tanyaku lagi walaupun lemah.

"SMA Negeri 107..." jawabnya.

Sesungging senyum. Hanya itu yang sanggup kulakukan.

Tak sia-sia semua dosa ini.

Fadil telah ingat saat terakhir usianya adalah 17 dan sekolah di SMA. Dia mungkin belu tahu bahwa sekarang dia sudah 18 tahun. Ada waktu lebih dari setahun terlewatkan olehnya.

Dan aku.... sang bunda.... yang telah menjemputnya menuju alam nyata dengan melakukan perbuatan penuh dosa.

Aku bahagia.

Fadil sembuh.

Kupeluk erat Fadil yang masih kebingungan.

Benar dia kebingungan, tapi tubuhnya masih merasakan kenikmatan dari vaginaku yang masih saja terus berkedut meremas kejantanannya dengan lembut penuh kasih.

Perlahan tenagaku kembali terkumpul.

Aku berusaha bangkit.

Tubuhku masih menunggangi tubuh Fadil. Tapi sekarang aku bertahan dengan kedua tanganku, bukan tergelosoh lemah tak berdaya. Kami bertatapan begitu dekat.

"Selamat datang, nak. Kamu sudah sembuh."

"Memangnya aku sakit apa bun ?"

"Kamu hilang dari tubuhmu selama lebih dari setahun."

"Lalu bunda sekarang lagi apa ?" pandangannya penuh tanya.

"Bunda sedang mengobati kamu, menyembuhkan kamu." jawabku.

Pengobatan yang menyenangkan, bukan ?

Akhirnya kuceritakan secara ringkas seluruh kejadian yang telah terlalui. Fadil mendengarkan sambil kedua tangannya tetap menahan tubuhku agar tidak lepas dari tubuhnya.

Dia menangis ketika menyadari ayahnya telah tiada.

Tapi tetap saja dia melarangku melepas kejantanannya dari selangkanganku.

Dalam tangis, kejantanannya malah bangkit lagi. Tegang lagi begitu keras.

"Adil mau lagi ?" kubisikkan tanya. Dia tak menjawab, hanya mengangguk.

Dalam tangisnya, kami bercinta.

Selangkangan kami kembali saling himpit.

Kemaluan kami kembali berpacu saling memberikan kenikmatan penuh dosa.

Dua kali Fadil menambah, sampai tenagaku nyaris hilang, begitu juga dengan dirinya.

Dan kami tak sanggup bereaksi ketika sebuah suara terdengar berteriak di pintu kamar yang terbuka lebar.

"Pelacur terkutuk !!!"

BERSAMBUNG


Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.
You will be redirected to the script in

seconds

BTemplates.com

POP ADS

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com