𝐓𝐇𝐑𝐄𝐄𝐒𝐎𝐌𝐄, 𝐃𝐑𝐀𝐌𝐀 𝐃𝐀𝐍 𝐃𝐈𝐋𝐄𝐌𝐀 𝐁𝐚𝐠.𝟏𝟔


"Ibu mulai kuatir ... kedekatanmu dengan Evan itu ..." ucap Ibu Wulan seraya menyelimuti tubuh anaknya yang terbaring di tempat tidur dengan selimut. Demam Wulan semakin meninggi, batuknya sesekali terdengar
"Kami hanya teman biasa Bu ...." jawab Wulan, berusaha mengusir kekuatiran di hati ibunya.
"Nak, kamu wanita bersuami ... walau bagaimanapun, tidak pantas terlalu dekat dengan laki laki lain, apalagi suamimu jauh ...." nasihat ibunya.
Wulan terdiam, menahan sesak di dadanya

"Evan anak yang baik, tidak ada yang salah pada dirinya. Bukan ibu tidak menyukainya .. tapi Evan dan kamu sudah sama sama berkeluarga. Ada batas batas yang harus kalian patuhi .. " lanjut ibunya lagi. Air mata Wulan mulai mengalir
"Bu ...." keluhnya "Mengapa semakin hari aku merasa semakin berat menjalani Rumah Tangga bersama mas Rio ya ...."

Ibu Wulan terdiam, siap mendengarkan dengan serius seluruh keluh kesah anaknya. Wulan sangat jarang menceritakan keadaan Rumah Tangganya selama ini.
"Mas Rio semakin sibuk .. semakin jarang waktu untuk aku bisa berkomunikasi, apalagi bertemu. Padahal aku juga isterinya Bu .. aku juga perlu ada dia disisiku .. Tapi mas Rio tampaknya tidak mengerti ..." isak Wulan
"Sampaikan lah semua keluhanmu kepada Rio kalau kalian bertemu nanti .. " ujar ibu menenangkan hati Wulan "Ini adalah jalan yang kau pilih Nak, kamu sudah tau akan seperti apa keadaannya menjadi orang kedua dalam Rumah Tangga. Kamu seharusnya sudah lebih siap, apalagi sudah 5 tahun kalian berumah tangga ..."

Wulan masih terisak. Ibunya membelai kepala Wulan dengan penuh sayang
"Ibu tidak akan memaksa apapun yang menjadi pilihanmu ..." lanjutnya "Pertimbangkan masak masak apapun sikap yang akan kau ambil .. tapi pesan ibu, setialah pada satu orang saja. Selesaikan semua dengan baik sebelum menentukan pilihan berikutnya."
Wulan mengusap air mata di pipinya. Kepalanya mulai terasa berdenyut
"Istirahatlah ...." ujar ibunya lagi "Setelah segar nanti, kamu bisa pikirkan lagi semuanya ..."
Wulan mengangguk. Ibunya mengecup kening Wulan dengan lembut sebelum meninggalkannya tertidur lelap dalam kelelahan ...

Tiga hari berlalu, demam Wulan tak kunjung reda. Wulan memutuskan untuk pergi ke dokter memeriksa keadaan kesehatannya. Dokter menyarankan untuk ia melakukan pemeriksaan laboratorium, dan Wulan duduk dengan tenang di ruang tunggu, menanti gilirannya untuk dipanggil saat ia merasa tepukan lembut pada bahunya.
"Moon .." senyum Evan mengembang saar Wulan menoleh
"Lho .. berobat juga?" tanya Wulan heran "Sakit apa Van?"

"Aku menjemputmu ...." jawabnya "Tadi aku ingin tahu keadaanmu, aku kerumahmu dan kata adikmu kamu berobat kesini ..."
Wulan tersenyum. Evan duduk disampingnya "Kenapa tidak meneleponku, Moon .. aku kan bisa antar kamu .." ujarnya lagi
"Tidak usah .. nanti aku merepotkan" jawab wulan
"Kamu prioritasku sekarang. Aku akan selalu ada kalau kamu perlu aku" ucap Evan
"Yaa ... aku saat ini tidak perlu kamu ..." jawab wulan santai "Aku naik taksi tadi .. bisa kok .. sengaja tidak bawa mobil karena kepalaku masih sakit"

Evan menghela nafas. Dalam hati ia mengagumi kemandirian wulan. Mungkin memang agak sulit menaklukan hatinya, tapi evan mulai melihat Wulan semakin menerima kehadirannya.
Nama wulan dipanggil masuk ke dalam laboratorium. 10 menit didalam ruangan, Wulan keluar menemui Evan.
"Bagaimana?" tanya Evan
"Masih harus menunggu hasilnya 1 jam lagi, setelah itu kembali ke dokter lagi untuk konsultasi" jawab Wulan.
"Aku antar kau pulang dulu?" tawar Evan
"Tidak usah van .. aku tunggu disini saja. Hanya 1 jam. Mungkin aku tunggu di cafetaria saja" jawab wulan
"Oke .. aku temani ..." ujar evan seraya melangkah bersama Wulan menuju Cafetaria
"Kamu tidak sibuk hari ini?" tanya wulan lagi
"Ada beberapa Band baru yang harus aku lihat rekamannya di studio .. tapi bisa nanti, setelah aku antar kau pulang" jawab evan lagi
Entah mengapa Wulan merasa lega. Ia merasa kondisinya semakin lemah. Kalau terjadi apa apa, paling tidak ada Evan yang bisa membantunya.

Evan perlahan membuka pintu kamar Rumah Sakit tempat Wulan di rawat. Wulan terbaring di tempat tidur dengan infus yang menetes melalu selang di tangan kirinya. Ibu Wulan tampak tertidur di Sofa dengan posisi meringkuk, tampak sangat nyenyak. Evan melangkah masuk. Ini hari kedua Wulan dirawat di Rumah Sakit. Hasil darahnya menyatakan Wulan terkena Demam Thypoid, sehingga dokter menyarankan agar ia beristirahat total selama beberapa hari di Rumah Sakit. Evan mendekati tempat tidur Wulan. Ia meletakkan buket buah di meja kecil di samping tempat tidur, dan melihat baki berisi makanan yang masih utuh. Tampaknya Wulan belum makan siang. Matanya terpejam, nafasnya turun naik beraturan, wajahnya mulai bersemu merah, tidak pucat seperti saat pertama dokter menyarankan ia untuk dirawat. Semoga keadaannya semakin membaik, batin Evan dalam hati. Ia ingin sekali mencium pipi Wulan, membelai rambutnya, namun hal itu tidak dilakukannya. Ia sangat mencintai Wulan dan tidak ingin apa yang telah berjalan baik hancur lagi karena kesalahan langkahnya yang bisa membuat Wulan marah. Ia harus bersabar.

Evan menarik bangku kecil ke samping tempat tidur Wulan perlahan, kuatir bila membuat Wulan dan ibunya terkejut. Ia duduk dan memuaskan diri memperhatikan Wulan.
Beberapa menit berlalu, Wulan tampak bergerak dan perlahan membuka matanya. Evan tersenyum.
"Hai Brown Eyes .. apa kabarmu hari ini?" sapanya lembut
"Evan ....?" sapa wulan seraya mengedip kedipkan matanya agar penglihatannya bertambah jelas "Sudah berapa lama kamu duduk disitu?"
"Cukup lama untuk menyadari bahwa walaupun sedang sakit, kamu tetap terlihat cantik ..." rayu Evan. Wulan memutar bola matanya sebagai tanda ia tidak menanggapi pernyataan Evan dengan serius.
"Kamu belum makan .." bisik Evan perlahan agar suaranya tidak membangunkan ibu Wulan yang masih tertidur "Aku suapi ya ....?"

Wulan mengangguk. Ia melirik ibunya di sofa sementara Evan mempersiapkan makan siang Wulan yang sudah tersaji di meja.
"Semalaman ibu menjagaku ..." gumam Wulan "Kasihan .. pasti ibu lelah sekali .."
"Biar nanti aku yang menjagamu. Ibu pulang saja, istirahat dulu ..." ujar Evan. Disendoknya makanan dari piring dan memberikannya kepada Wulan dengan hati .
"Aku bisa sendiri ..." kata Wulan sambil mengunyah makanannya perlahan "Tidak perlu ada yang menjaga"
Evan tidak menjawab. Sambil menyuapkan makanan pada Wulan, ia bertanya "Rio belum menghubungimu?"
Wulan menunduk, menggeleng lemah.

"Aku mulai kuatir .." keluh Wulan "Mas Rio tidak biasanya lama menghilang seperti ini ... Ini sudah hampir 2 minggu Van .. ada apa ya ..."
"Aku telepon dia ya?" Evan menawarkan. Ia hanya ingin Wulan tenang, tidak terganggu dengan rasa cemasnya yang bisa membuat Wulan bertambah sakit. Walaupun dalam hati ia merasa ini adalah kesempatan emasnya mengambil hati Wulan saat Rio tidak berada disampingnya.
"Jangan .. " larang wulan sambil menggeleng. Ia dilatih untuk selalu berpikir positif bila Rio tidak memberi kabar. selama tidak ada berita apapun, berarti Rio baik baik saja disana.

Evan mengangkat bahunya, tidak berkomentar. Suapan terakhir saat wulan mulai menggelengkan kepalanya menolak melanjutkan makan siangnya. Evan meletakkan piring sisa makanan wulan, meraih dua butir obat dan menyerahkannya pada Wulan. Obat siang yang harus diminum Wulan.
"Mau buah?" tanya Evan menawarkan. Wulan mengangguk melihat buket buah cantik yang tergeletak diatas meja. Evan membuka pembungkus plastiknya dan bertanya "Anggur atau Jeruk?"
"Jeruk saja ...." jawab wulan. Evan membuka satu buah jeruk dan menyerahkannya pada Wulan.
"Bagaimana seleksi Band nya? Sudah ada yang terpilih untuk kamu orbitkan?" tanya wulan sambil mengunyah bulir jeruk perlahan

"Ada dua pilihan .. aku masih mempertimbangkan yang mana .. Yang pertama, kekuatannya terletak pada permainan musik mereka yang kompak, tapi penyanyinya tidak terlalu bagus vokalnya ..." jelas evan "Yang kedua, suara vokalisnya bagus .. tapi permainan band nya biasa saja."
Wulan menyimak cerita yang mengalir dari mulut evan "Menurutmu, aku harus pilih yang mana?" tanya evan. Wulan terdiam, berpikir sebelum menjawab "Menurutku ......"

Dan diskusi mengalir begitu saja diantara mereka. Panjang dan ringan, bertukar pikiran sementara sesekali ada sedikit gurauan yang diselipkan evan dalam kalimatnya membuat Wulan bisa tersenyum. Dalam hati wulan bertanya, mengapa ia tidak pernah memiliki kesempatan seperti ini bersama Rio. Berbicara santai tentang pekerjaan rio ataupun dirinya. Wulan bahkan tidak pernah tau persis seperti apa tugas sehari hari rio, apa masalah yang ia temui atau pengalaman menarik yang terjadi selama rio bekerja. Wulan seakan lebih mengenal dunia evan saat ini. Rio tidak pernah membiarkannya menyelami dunianya, hanya menjawab singkat bila Wulan bertanya. Seolah ia enggan berbagi.
Saat tengah asik berbincang, terdengar pintu kamar dibuka. Wulan dan Evan serempak menoleh .. dan Rio berdiri di ambang pintu, memandang mereka dengan raut wajah terkejut ..

Wulan terduduk, menatap terkejut tepat kearah Rio. Evan bangkit dari duduknya, berdiri disamping Wulan. Seperti ada sesuatu yang menyadarkannya, ibu Wulan juga terbangun, menatap mereka tanpa mengerti apa yang tengah terjadi. Rio melangkah masuk, menatap Wulan dan Evan bergantian dengan wajah memerah.

"Ayah ...." suara Wulan bergetar.
"Keluar!" suara Rio keras penuh amarah tertuju pada Evan
Evan tersenyum sinis, menoleh pada Wulan dan berkata "Aku tinggal dulu Moon" Ia melangkah keluar tanpa berkata apapun dengan tenang, melirik Rio dengan pandangan mencibir dan mulai melangkahkan kakinya keluar kamar saat ia mendengar suara Wulan memanggil
"Tunggu Evan !"

Evan menoleh, melihat wajah pucat Wulan memohon padanya "Tolong antar ibuku pulang ..."
Wulan menoleh pada ibunya yang masih terduduk diam di sofa
"Ibu ..." ujarnya "Ibu istirahat dulu ya dirumah .. Biar Evan yang mengantar ibu .. Aku baik baik saja, ada Mas Rio sekarang. Aku juga harus bicara dengan mas Rio ..."
Ibu Wulan mengerti, mengangguk, meraih tasnya dan melangkah mendekati Rio. Walau dalam amarah, Rio meraih tangan ibunya dan mencium punggung tangannya tanda hormat.
"Jaga Wulan" pesan ibu sebelum melangkah keluar bersama Evan.

Nafas Rio masih tersengal menahan amarah, melangkah mendekati Wulan dan menatapnya tajam.
"Ayah ...." Wulan mencoba menenangkan Rio. Jantungnya terasa berdegup keras. Walaupun ia tidak melakukan apapun bersama Evan, tapi rasa bersalahnya kepada Rio mulai menyeruak
"Apa yang dia lakukan disini? Bagaimana mungkin Bunda membiarkan Evan ada disini sementara Bunda tau Ayah tidak suka!" tanya Rio. Sesaat Wulan terdiam, mengatur nafasnya, menatap Rio dan bertanya

"Apa yang Ayah lakukan sampai hampir 2 minggu Ayah tidak memberi kabar pada Bunda?"
"Ooo ... jadi itu pembenaran sampai Bunda boleh didekati laki laki lain karena Ayah tidak ada?" tanya Rio dengan nada tinggi "Ayah sibuk Bun .. Bunda kan tau, sebelum Bunda berangkat ke Jepang Ayah sudah katakan bahwa ada beberapa acara yang tidak bisa Ayah tinggalkan. Ayah ingin memberikan kejutan pada Bunda. selesai pekerjaan kemarin, hari ini Ayah datang sengaja tidak memberi kabar dulu. Tapi ternyata Ayah baru mendapat kabar kalau Bunda dirawat, sesegera mungkin ayah kesini, dan apa yang Ayah temukan??"

"Sesibuk apa sampai Ayah tidak bisa menanyakan kabar Bunda? Apa susahnya mengirim satu pesan saja mengabarkan keadaan ayah? Ayah tau bagaimana perasaan Bunda?" bertubi pernyataan mengalir dari mulut Wulan dengan nada tidak kalah tinggi dari pada Rio
"Bunda kan tau kesibukan Ayah seperti apa? Mana bisa Ayah chat kalau ada Bu Rio disamping Ayah" tukas Rio lagi

"Bunda tidak tau Yah.. Bunda tidak pernah tau dan Ayah juga tidak pernah mau tau!!!" jerit wulan menyadarkan Rio. Air mata membanjiri pipi Wulan, terisak, Wulan tidak sanggup melanjutkan perkataannya. Rio terdiam. Emosinya mulai mereda. Perlahan ia mendekati Wulan, mencoba membelai rambut istrinya namun tangan Rio ditepis Wulan

"Bunda ....." bisik Rio. Isak wulan semakin keras. Tubuhnya berguncang karena tangis. Rio tercekat. Wulan tampak sangat terluka.
"Dua Minggu Yah ..." ratap Wulan "Dua Minggu Bunda tunggu kabar dari Ayah. Bunda perlu ayah saat Bunda sakit .. tapi jangankan meminta Ayah datang, mengabarkan keadaan bunda pun Bunda tidak bisa ...." desis wulan dalam tangisnya "2 minggu Bunda bertanya tanya apakah ada sesuatu dengan Ayah sampai tidak ada kabar berita sama sekali kepada Bunda ... Bunda ini apa Yah untuk ayah? Istri Ayah kah atau Bukan?"
Rio terdiam. Wulan tidak berhenti menangis.

"Evan banyak membantu bunda .. mengerjakan pekerjaan yang seharusnya Ayah yang mengerjakan! Dan dengan egoisnya ayah melarang Bunda menerima bantuan dari Evan sementara Ayah sendiri tidak bisa melakukannya!" Kalimat demi Kalimat terus mengalir dari mulut Wulan penuh emosi "Dimana ayah saat bunda perlu ayah? Bahkan keadaan Bunda seperti inipun Ayah tidak tau!!"
"Bun ...." Rio mencoba menenangkan wulan. Ia menggenggam tangan wulan namun sekali lagi Wulan menepisnya
"Pulanglah Yah ... Bunda tidak perlu ayah. Bunda bisa sendiri kalau memang itu yang Ayah inginkan : isteri yang tidak banyak merepotkan" sanggah Wulan "Pikirkanlah saja prioritas utama Ayah : pekerjaan dan Bu Rio. Bunda bisa tanpa ayah!"
"Bunda ...." bujuk rio lemah "Bukan maksud ayah seperti itu ..."

Wulan tidak menjawab. Ia masih terisak saat seorang perawat masuk membawa beberapa lembar kertas. Dengan pandangan heran ia menatap Wulan dan Rio bergantian
"Maaf .. apakah saya mengganggu?" tanyanya ragu. Rio melangkah mendekat dan berkata
"Tidak sus .. saya suaminya .. adakah sesuatu yang perlu disampaikan?"
Suster menyodorkan lembaran kertas seraya berkata "Kondisi Bu wulan sudah semakin membaik dan kata dokter, sudah siap untuk menjalani operasi. Saya perlu bapak menandatangani persetujuan operasinya"

Rio terperangah. Ia menatap suster dengan pandangan tidak mengerti
"Operasi? Operasi apa?" tanyanya
"Bukankah dokter sudah menjelaskan kepada bapak tempo hari? Dokter bilang pasien dan keluarganya sudah mendapatkan informasi mengenai tindakan yang akan dilakukan" ujar suster yang tampak sedikit bingung
"Belum suster" jawab Rio. "Maaf tapi saya belum mengerti. saya baru saja datang setelah berdinas dari luar kota"

"Begitu?" tanya suster ragu "Baiklah .. berarti, biar nanti dokter yang kembali menjelaskan kepada bapak sebelum bapak menandatangani formulirnya. Setelah ini, bapak bisa ikut saya ke ruang dokter untuk mendapatkan penjelasan lebih lanjut"
Rio mengangguk. Menatap Wulan di tempat tidurnya dengan pandangan tak mengerti. Wulan memalingkan muka, ia tidak ingin berkata apapun saat ini. Rio menghela nafas, mengikuti suster menuju ruang dokter.

"Jadi bapak suaminya .." ucap dokter Andi, salah satu team dokter yang merawat wulan "Waktu itu saya memberikan informasi kepada Bu wulan dan pak evan. Maaf, saya tidak bertanya lebih lanjut karena saya pikir Bu wulan didampingi suaminya saat itu"

Darah rio mendidih, namun ia berusaha tetap tenang untuk bisa mencerna penjelasan dokter
"Bu wulan saat ini di tangani oleh 2 orang dokter pak rio .." jelas dokter Andi "Dokter Purwo sebagai spesialis penyakit dalam yang menangani penyakit thypoid ibu wulan, dan saya yang menangani kandungannya"
Rio menegakkan badannya. Bagaikan disambar petir di siang hari, ia sangat terkejut "Kandungan? Maksud dokter?"

"Bu wulan hamil, pak Rio .. kandungannya memasuki umur 10 minggu. Namun sayangnya, karena Bu Wulan harus menerima pengobatan dosis tinggi untuk penyakit thypoidnya, maka Janinnya yang menerima dampak buruk dari efek samping obat yang diberikan" jelas dokter andi panjang lebar.
10 Minggu ... wulan hamil .. batin Rio dalam hati. entah apa yang ia rasakan saat ini. 10 minggu berarti tepat saat mereka melewatkan waktu terakhir bersama di Bali, atau .... Rio tidak berani membayangkan lebih jauh.

"Kami tidak bisa mempertahankan kandungan bu Wulan karena akan menyebabkan kecacatan pada bayinya. Namun kuretase baru bisa dilakukan saat kondisi bu wulan mulai membaik. Dan saat ini, kami berpikir kuretase dapat segera dilakukan karena dokter purwo menyatakan kondisi Bu Wulan sudah memungkinkan untuk dilakukan operasi. " jelas dokter Andi lebih lanjut
Rio mengangguk perlahan menandakan ia cukup mengerti penjelasan dokter saat ini.
"Kami perlu bapak untuk menandatangani informed Concent, lembar persetujuan tindakan" ujar dokter andi lagi.

"Dokter .. saya perlu menemui istri saya dulu" ucap rio "Ada sesuatu yang harus kami diskusikan terlebih dahulu"
"Baiklah" ujar dokter andi "Silakan, tapi mohon secepatnya bapak tandatangani. Percayalah pak rio, ini jalan terbaik untuk kesehatan istri bapak dan calon anak anak bapak nantinya"
Rio mengangguk, bergegas menuju kamar perawatan untuk menemui wulan.


 


Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.
You will be redirected to the script in

seconds

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com