𝐋𝐢𝐤𝐚 𝐋𝐢𝐤𝐮 𝐊𝐞𝐡𝐢𝐝𝐮𝐩𝐚𝐧 𝐏𝐚𝐫𝐭 𝟏𝟑

Nathan bersimpuh di tanah yang masih terasa hangat akibat sisa-sisa kebakaran. Puing-puing rumah yang hancur berserakan di sekitarnya. Asap tipis naik dari kayu dan bata yang hangus, sementara udara terasa berat dengan bau bekas api. Pandangannya kosong, seolah tidak ada lagi yang bisa dia pahami dari apa yang terjadi. Tubuhnya bergetar, tetapi bukan karena suhu, melainkan karena rasa hampa yang perlahan meresap ke dalam dirinya. Di antara reruntuhan ini, yang tersisa hanya kehilangan. Ayahnya menghilang tanpa jejak. Tidak ada tanda-tanda kehidupan, tidak juga petunjuk apakah ayahnya berhasil melarikan diri atau terjebak di antara kobaran api.

Nathan diam tak bergerak di antara puing-puing yang mulai mendingin. Petugas pemadam kebakaran mendekat, menyadari keadaannya yang masih terguncang. Mereka mengangkat pemuda itu perlahan, menjauhkan tubuhnya dari tumpukan reruntuhan yang berantakan. Seorang petugas menggenggam lengan Nathan, menariknya keluar dari area yang hancur. Langkah-langkah berat Nathan terarah oleh tangan-tangan kokoh yang memindahkannya ke tempat lebih aman.

Livia tiba di lokasi kebakaran dengan wajah penuh kekhawatiran. Ia segera mencari Nathan di antara kerumunan petugas dan warga yang berkumpul. Matanya tertuju pada Nathan yang berdiri diam, tubuhnya terlihat kotor dan lelah. Tanpa ragu, Livia bergegas menghampiri, memeriksa kondisinya dengan cemas. Ia bisa melihat sisa abu yang menempel di wajahnya, serta tatapan kosong yang tampak tidak fokus. Livia merasa Nathan berada dalam kondisi yang sangat buruk, baik fisik maupun mental.

Livia mendekati Nathan yang berdiri diam di tepi jalan, jauh dari reruntuhan rumahnya yang telah hangus. Matanya kosong, pandangannya tidak fokus, seakan masih tertinggal di tempat yang kini hanya tersisa abu dan puing. Tubuh pemuda itu tampak lelah, dengan sisa kotoran dan debu yang menempel di pakaian. Livia melihat Nathan tenggelam dalam pikiran yang berat, seperti terperangkap dalam rasa kehilangan yang dalam.

"Nathan..." Livia berbicara dengan suara tenang namun tegas, mencoba menariknya keluar dari lamunan. "Kamu tidak bisa terus seperti ini. Ayo, kita pergi sekarang."

Nathan tidak merespons. Tatapannya tetap kosong, tidak bergerak sedikit pun, seolah suara Livia tak mampu menembus kabut yang menyelimuti pikirannya. Dia tetap berdiri kaku di sana, seakan dunia di sekitarnya sudah berhenti bergerak.

Livia merasa khawatir. Dia tahu Nathan terpuruk dalam kesedihan, tetapi dia tidak bisa membiarkan Nathan tinggal lebih lama dalam kondisi seperti ini. "Nathan, dengerin aku. Kamu nggak boleh terus di sini. Udara ini nggak baik, kamu perlu istirahat. Ayo ikut aku pulang."

Nathan tetap diam. Wajahnya masih tak menunjukkan tanda-tanda merespons kata-kata Livia. Melihat itu, Livia mendekat, lalu dengan lembut tapi penuh tekad, ia menggenggam lengan Nathan. "Kamu butuh bantuan. Aku ada di sini buat kamu. Tolong, Nathan, kita harus pergi."

Livia terus berusaha, suaranya semakin mendesak. "Kamu nggak bisa terus di sini. Ini nggak akan membantu apa-apa. Kamu harus ikut aku, Nathan."

Akhirnya, ada sedikit gerakan dari Nathan. Kepalanya sedikit menoleh ke arah Livia, meski matanya masih tampak kosong dan jauh. Livia mempererat genggamannya, memastikan Nathan tahu bahwa dia tidak sendirian. "Aku akan bantu kamu. Kita selesaikan ini bareng-bareng, oke?"

Setelah beberapa saat, Nathan perlahan mengangguk, meski tidak sepenuhnya sadar. Livia merasa sedikit lega, mengetahui bahwa setidaknya Nathan bersedia mengikuti. Dengan hati-hati, ia membimbing Nathan berdiri dan membawanya menjauh dari tempat itu.

Livia membawa Nathan menuju mobil yang diparkir tidak jauh dari lokasi. Langkah Nathan tampak berat, tubuhnya masih terasa lemah. Begitu sampai di depan mobil, Livia membuka pintu dan membantunya masuk ke kursi penumpang. Nathan tidak banyak bicara, hanya mengikuti arahan Livia dengan pandangan yang tetap kosong. Setelah memastikan Nathan duduk dengan aman, Livia menutup pintu mobil dan segera beralih mengatur hal lain.

Livia memanggil beberapa anak buahnya yang sudah menunggu tak jauh dari lokasi. Dengan cepat, ia memberikan instruksi agar mereka segera melapor kepada aparat yang berwenang. Livia meminta mereka menyampaikan informasi bahwa Nathan akan dibawa ke tempatnya untuk beristirahat. Setelah memastikan semuanya berjalan sesuai rencana, Livia masuk ke dalam mobil dan memutar kunci. Mobil melaju meninggalkan lokasi kebakaran, menuju rumahnya.

Di sepanjang perjalanan, Nathan tetap diam, hanya memandangi jalan di depannya tanpa ekspresi. Livia terus memperhatikan kondisi Nathan, memastikan bahwa dia dalam keadaan stabil. Perjalanan menuju rumah Livia berjalan lancar. Setibanya di sana, Livia segera memarkir mobil di halaman rumahnya. Ia keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk Nathan, lalu membantu Nathan turun. Tanpa banyak bicara, mereka berdua masuk ke dalam rumah, di mana Livia akan memastikan Nathan mendapatkan perawatan dan istirahat yang dia butuhkan.

Saat Natah memasuki ruang tamu rumah Livia, tiba-tiba Nathan merasakan dorongan yang tak bisa dijelaskan. Tanpa berpikir panjang, tubuhnya bergerak dan berjalan perlahan menuju sofa. Dengan gerakan yang terasa otomatis, ia duduk bersila di atas sofa, punggungnya tegak, matanya tertutup. Sikapnya berubah tenang, seakan terpisah dari kenyataan yang baru saja menghancurkan hidupnya. Nathan berada dalam posisi yang begitu hening. Hawa di sekelilingnya terasa berbeda, seperti ada sesuatu yang mengalir melalui dirinya. Pikiran pemuda itu mulai fokus, bukan pada kehilangan, bukan pada kehancuran, melainkan pada ketenangan yang dalam. Rasa sakit batin yang semula mengguncangnya perlahan menghilang. Suasana di dalam dirinya berubah drastis, seperti badai yang mereda. Dalam posisi semedi itu, Nathan seakan melakukan perjalanan batin, mencoba memahami dan menerima semua peristiwa yang menimpanya.

Seiring waktu berlalu, napas Nathan menjadi lebih teratur, denyut jantungnya melambat, dan gejolak yang sempat menguasainya perlahan menguap. Tidak ada lagi rasa takut, tidak ada lagi kebingungan. Tubuh dan jiwanya kembali seimbang. Nathan merasakan ketenangan, perasaan damai yang mengalir kuat. Sesi semedi itu mengubah seluruh perspektifnya. Kini, ia bukan lagi Nathan yang terjebak dalam kesedihan. Nathan berhasil menemukan ketenangan baru dalam dirinya sendiri.

Setelah beberapa saat duduk bermeditasi, Nathan akhirnya membuka matanya perlahan. Pandangannya kini lebih tenang, meskipun rasa kelelahan masih tampak jelas di wajahnya. Livia, yang sedari tadi memantau dari dekat dengan penuh kecemasan, segera memegang tangan pemuda itu.

"Nathan... kamu sudah merasa lebih baik?" tanya Livia dengan suara tenang, namun sarat dengan kekhawatiran.

Nathan menoleh perlahan, tatapannya kini lebih fokus, "Ya... rasanya jauh lebih baik,” jawabnya, suaranya lebih stabil.

Livia menghela napas lega, namun raut khawatir di wajahnya belum sepenuhnya hilang. "Aku benar-benar khawatir tadi. Kamu kelihatan terpukul sekali, dan aku tidak tahu harus berbuat apa selain membawa kamu ke sini."

Nathan mengangguk pelan, lalu menunduk sejenak. "Maaf kalau aku sudah membuatmu cemas. Tapi sekarang, aku merasa baik-baik saja."

Livia menatap Nathan dalam-dalam, memastikan kondisinya sudah lebih baik. "Waktu melihat kamu seperti tadi, aku gak bisa tinggal diam. Kamu gak boleh menghadapi ini sendirian."

Nathan menarik napas panjang, menatap Livia dengan penuh rasa terima kasih. "Terima kasih, Liv. Aku bersyukur sekali bisa mengenalmu."

Livia tersenyum tipis, meskipun matanya masih memancarkan kepedulian yang dalam. "Kamu tidak perlu mengucapkan terima kasih. Aku di sini untukmu, dan akan selalu begitu." Livia kemudian melihat ke arah pakaian Nathan yang masih penuh debu dan bekas kebakaran. "Kamu kotor sekali. Kamu perlu mandi dan mengganti pakaian. Aku akan menyiapkan baju bersih untukmu.”

Nathan tersenyum lalu mengangguk setuju, “Aku memang perlu mandi dan mengganti pakaian. Terima kasih, Livia. Aku benar-benar beruntung ada kamu di sini.”

Livia menyentuh lengan Nathan dengan lembut, memberi sentuhan yang menenangkan. "Kamu tidak perlu khawatir. Aku akan selalu ada di sini. Sekarang mandilah, bersihkan dirimu."

Livia menarik tangan Nathan dan membawanya ke kamar, lalu mempersilakan dia menggunakan kamar mandi. Nathan melepas pakaian kotor, kemudian mandi di bawah siraman air hangat, membersihkan tubuhnya dari debu dan kotoran. Air yang mengalir seakan meredakan sedikit beban di pikirannya. Setelah selesai, Nathan mengeringkan tubuhnya dan melilitkan handuk di pinggang. Dia keluar dari kamar mandi dengan tubuh segar, hanya mengenakan handuk, dan melihat Livia sudah menunggu di kamar dengan pakaian bersih yang telah disiapkannya.

Livia menatap Nathan yang terlihat agak tegang setelah semua yang terjadi. Livia pun mendekat dan berkata, “Nathan, kamu terlihat sangat lelah. Bagaimana kalau aku pijat sedikit untuk merilekskan tubuhmu?”

Nathan menggeleng pelan. "Terima kasih, Liv, tapi aku rasa aku baik-baik saja. Mungkin nanti, sekarang aku cuma butuh istirahat sebentar."

Livia mendekat, senyumnya menggoda, “Biarkan aku membantumu melepaskan semua keteganganmu, Nathan,” ucapnya sambil meraba lembut area di selangkangan Nathan.

Nathan menatap Livia antara terkejut dan tergoda. “Kau tahu, Livia,” ujarnya sambil tersenyum nakal, “lebih baik jangan membangunkan singa yang sedang tidur. Aku takut dia terbangun dengan cara yang tidak kau harapkan.”

Senyum Livia semakin menggoda. “Oh, tapi aku malah ingin melihat singa itu terbangun,” bisiknya, suaranya penuh sensualitas. Livia memasukan tangannya ke dalam handuk lalu melingkar di sekitar kejantanan Nathan, memicu reaksi yang menggoda.

Nathan tersenyum nakal dan berkata, "Livia … Jangan bangunkan si tampan ini terlalu pagi. Nanti bisa repot!"

Livia menyeringai nakal dan menjawab, "Jangan khawatir, Nathan. Aku tahu cara untuk mengatasinya!"

Gairah Nathan perlahan-lahan naik akibat tangan Livia yang mempermainkan kejantanannya. Setiap sentuhan lembut yang diberikan Livia membuatnya merasakan gelombang panas yang menyebar dari organ vitalnya hingga ke seluruh tubuhnya. Tetapi gairah Nathan turun kembali ketika ia teringat akan ayahnya yang hilang. Setiap kali memori itu muncul, seolah-olah gelora birahi dalam dirinya padam seketika.

“Livia … Maaf … Aku …” ucap Nathan sambil menghalau lembut tangan Livia.

“Kenapa?” tanya Livia heran dan kecewa.

“Aku tidak fokus, aku teringat ayah … Aku harus mencarinya,” jawab Nathan lalu hendak mengambil pakaian di atas kasur.

Livia menahan tangan Nathan sambil berkata lembut, “Nathan. Sebelum kamu pergi mencari ayahmu, kamu harus melepaskan bebanmu dulu. Jika kamu pergi dalam keadaan penuh tekanan, kamu mungkin akan membuat keputusan yang terburu-buru. Lepaskan sejenak, tenangkan pikiranmu.”

Nathan menarik napas dalam-dalam, tampak gelisah. “Livia, aku paham maksudmu, tapi aku tidak bisa tenang selagi ayahku masih hilang. Setiap detik yang berlalu, aku merasa semakin jauh dari dia. Bagaimana bisa aku berdiam diri ketika dia mungkin membutuhkan bantuan?”

Livia mengangguk, mencoba menenangkan Nathan. “Aku mengerti, Nathan. Tapi aku sudah menyuruh anak buahku menghubungi polisi dan meminta anak buahku untuk mencari ayahmu secara mandiri. Banyak yang sudah berusaha mencarinya. Sekarang, kita tinggal menunggu hasilnya. Jika kamu terus gelisah seperti ini, kamu tidak akan bisa berpikir jernih. Mari kita gunakan waktu ini untuk menghibur diri dan melepaskan kegelisahan.”

Nathan menghela napas panjang, matanya memancarkan kegundahan yang sulit disembunyikan. "Livia, aku mengerti kamu sudah berusaha, dan aku sangat menghargai itu. Tapi ini bukan soal siapa yang mencari ayahku atau seberapa banyak orang yang terlibat. Ini tentang aku… aku yang merasa harus melakukan sesuatu. Setiap detik yang berlalu tanpa aku ikut mencarinya, rasanya seperti aku meninggalkannya begitu saja. Bagaimana jika dia sedang membutuhkan bantuanku, tapi aku malah diam di sini?"

Nathan menatap Livia dengan harapan dia bisa memahaminya. "Livia … Aku tidak bisa hanya menunggu. Aku harus melakukan sesuatu, meskipun kecil. Aku harap kamu bisa mengerti ini, Livia. Aku tidak bermaksud untuk mengabaikan waktu kita bersama, hanya saja… Ayahku sangat penting bagiku."

Livia mengangguk pelan, menatap Nathan dengan penuh pengertian. "Aku paham, Nathan. Kalau begitu, aku akan ikut denganmu. Kita cari ayahmu bersama-sama."

Nathan segera mengenakan pakaiannya yang disediakan Livia. Ia cepat memasang celana dan kemeja, memastikan tampak rapi sebelum merapikan rambutnya. Livia terdiam, memperhatikan dengan penuh pengertian. Setelah siap, Nathan memberi isyarat kepada Livia. Keduanya berjalan keluar dan menuju mobil. Nathan mengemudikan mobil dengan fokus penuh. Saat tiba di rumahnya, pemandangan mengerikan menyambut mereka. Rumah itu terbakar sebagian, asap masih mengepul. Banyak orang berkumpul, termasuk beberapa petugas pemadam kebakaran dan polisi yang menjaga area. Nathan melangkah cepat, matanya terpaku pada rumah yang hancur.

Nathan mendekati seorang petugas kepolisian yang sedang mencatat informasi di lokasi kebakaran. Ia menarik napas dalam, berusaha mengatasi kecemasannya. "Permisi Pak, saya Nathan. Saya pemilik rumah ini," katanya dengan suara tegas namun bergetar.

Petugas itu menoleh dan menjawab, "Oh … Terima kasih sudah datang. Kami sedang melakukan penyelidikan. Kebakaran di rumah Anda yang diduga bukan kecelakaan."

Nathan mengerutkan kening. "Apa maksud Bapak? Bagaimana bisa?"

Petugas tersebut melanjutkan, "Kami menemukan pola kebakaran yang tidak biasa. Api menyebar dengan cara yang tidak alami, berbeda dari kebakaran biasa."

Nathan merasakan jantungnya berdegup kencang. "Apa ada bukti bahwa ini disengaja?"

Petugas mengangguk. "Kami menemukan sisa bahan bakar di area belakang rumah dan jejak kaki yang mencurigakan di sekitar lokasi. Ini menunjukkan kemungkinan ada seseorang yang sengaja membakar rumah Anda."

Mendengar penjelasan itu, Nathan merasa marah dan bingung. "Siapa yang mungkin melakukan ini?"

Petugas itu menjawab, "Kami belum bisa memastikan. Kami akan menyelidiki lebih lanjut. Kami juga butuh bantuan Anda untuk mengumpulkan informasi lain yang mungkin berguna."

“Saya siap membantu Bapak,” Nathan mengangguk, bertekad untuk membantu dan mencari tahu kebenaran di balik semua ini.

Nathan melangkah pelan di antara puing-puing rumahnya yang hangus, matanya tajam memperhatikan setiap detail. Sisa-sisa kayu dan dinding yang hancur mengingatkannya pada kenangan yang kini musnah. Ia mengulurkan tangan untuk menyentuh salah satu potongan furnitur yang hangus, mencoba mengingat bagaimana rumah ini dulu penuh dengan hidup. Selama sekitar dua puluh menit, mereka memeriksa sisa-sisa rumah. Livia mengawasi setiap gerakan Nathan, berusaha memastikan dia dalam keadaan baik. Mereka menggeser potongan kayu dan material lain, mencari petunjuk atau barang berharga yang mungkin tersisa.

Tiba-tiba polisi tadi mendekati Nathan dan Livia, membawa kabar baru yang mengejutkan. Salah satu petugas, dengan wajah serius, berkata, “Pak Nathan, kami mendapat kiriman video dari seseorang yang tidak dikenal. Video ini menunjukkan proses kebakaran yang terjadi di rumah Anda.”

Nathan dan Livia saling bertukar pandang. Rasa penasaran dan harapan muncul di wajah Nathan. “Apa isi video itu?” tanya Nathan, suaranya tegang.

Petugas menjelaskan, “Rekaman ini menunjukkan sekelompok orang mencurigakan beraktivitas di sekitar rumah Anda. Mereka terlihat menyiram bahan bakar sebelum api menyala.”

Nathan mengambil tablet dengan tangan bergetar. Dengan hati-hati, ia menatap layar, siap untuk menyaksikan rekaman. Saat video diputar, Nathan melihat sosok-sosok berkerudung bergerak di sekitar rumahnya. Mereka menyiramkan bahan bakar dengan hati-hati, menunjukkan bahwa ini adalah aksi yang direncanakan. Gerakan mereka terkoordinasi, menambah kecurigaan dalam benak Nathan. Di tengah video, Nathan melihat salah satu pelaku mengenakan jaket dengan simbol yang familiar. Ia terdiam sejenak, mencoba mengingat di mana ia pernah melihat simbol tersebut.

Nathan bertanya kepada petugas polisi, "Apakah mungkin kita bisa menemukan pelaku kebakaran ini dengan melihat simbol di jaket itu?" Suaranya terdengar penuh harapan.

Petugas polisi menjawab, "Kami akan menyelidiki lebih lanjut. Jika Anda mengenali simbol tersebut, itu bisa membantu kami menemukan pelakunya."

Nathan mengulang video itu berkali-kali, fokus pada simbol di jaket pelaku. Ia memperhatikan setiap detil, berusaha keras mengingat di mana ia pernah melihat simbol yang sama. Meskipun keraguan menyelimuti pikirannya, rasa yakin perlahan muncul. Ia merasa simbol itu adalah kunci untuk mengungkap kebenaran yang ia cari. Ia terus memutar ulang video, berharap menemukan petunjuk yang jelas.

Nathan meminta polisi untuk mengirimkan video itu ke ponselnya. “Tolong kirimkan file video ini ke ponsel saya. Saya ingin memeriksanya lebih lanjut,” katanya dengan tegas. Petugas mengangguk, lalu segera mengirimkan file tersebut.

Setelah menerima video, Nathan dan Livia memeriksa puing-puing rumah sekali lagi. Mereka meneliti setiap sudut, berharap menemukan sesuatu yang terlewat. Setelah puas dengan pencarian mereka, keduanya akhirnya memutuskan untuk kembali ke rumah Livia. Nathan dan Livia kembali ke mobil. Nathan menyetir dengan pikiran terbagi antara perhatian pada jalan dan video yang baru saja mereka tonton. Jalanan di depannya sepi, tetapi pikiran Nathan dipenuhi berbagai pertanyaan yang membingungkan.

Livia membuka suara, "Ada apa dengan simbol di jaket itu?"

Nathan menjawab, "Aku rasa simbol itu seperti pernah aku lihat, tetapi aku lupa-lupa ingat. Aku juga gak yakin tentang itu."

Saat mereka berbincang, tiba-tiba ponsel Nathan berdering. Ia melihat layar dan terkejut ketika melihat nama yang muncul. Itu adalah Maya. Nathan menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab panggilan tersebut.

“Hallo …” sapa Nathan kepada Maya di ujung sana.

“Nathan! Aku baru saja mendengar tentang kebakaran itu. Bagaimana keadaanmu? Dan ayahmu?” suara Maya terdengar penuh kecemasan.

“Rumahku habis dimakan api, tidak bersisa. Aku baik-baik saja, tapi ayah … dia menghilang,” jawab Nathan, suaranya bergetar.

Maya terdiam sejenak, terkejut. “Menghilang? Apa maksudmu? Dia tidak ada di rumah?”

“Tidak, tidak ada jejak sama sekali. Aku belum tahu ke mana dia pergi. Mungkin ada kemungkinan ini ada hubungannya dengan masalah yang dia hadapi,” Nathan menjelaskan.

Maya menghela napas, nada suaranya berubah menjadi serius. “Nathan, ini bisa berbahaya. Jika memang ada orang-orang yang bermasalah dengan ayahmu, kita harus segera mencari tahu. Kamu harus hati-hati.”

“Ya, aku akan menunggu hasil penyelidikan polisi. Mereka sedang menyelidiki kebakaran ini,” balas Nathan, berusaha menenangkan dirinya sendiri.

“Kamu harus tetap kuat. Ingat, kita akan mencari jalan keluar dari ini. Tidak ada yang lebih penting sekarang selain memastikan keselamatanmu dan menemukan ayahmu,” Maya memberikan dorongan.

Nathan merasakan sedikit kelegaan dari kata-kata Maya. “Terima kasih, Ma. Aku akan berusaha. Meskipun aku merasa terjebak dalam kekacauan ini, aku harus tetap fokus.”

“Jangan ragu untuk menghubungiku kapan saja. Aku akan membantumu sebisa mungkin,” ujar Maya, suaranya lebih lembut.

“Baik, Ma. Aku akan berusaha,” Nathan menjawab, merasakan sedikit kelegaan.

“Jaga dirimu. Kita akan mencari solusi untuk semua ini,” Maya menegaskan sebelum mengakhiri percakapan.

Nathan menatap layar ponselnya setelah sambungan telepon terputus. Ia menyimpan ponsel itu di saku kemeja. Dalam perjalanan, Nathan dan Livia terus mendiskusikan berbagai kemungkinan mengenai kebakaran dan keberadaan ayahnya. Mereka mempertimbangkan kemungkinan sabotase atau orang-orang yang mungkin memiliki dendam terhadap Ronny.

Akhirnya, mereka tiba di rumah Livia. Begitu memasuki rumah, suasana tenang menyambut mereka. Keduanya melangkah ke ruang depan yang dihiasi perabotan sederhana namun nyaman. Nathan dan Livia duduk di sofa, mencoba mengumpulkan pikiran dan merumuskan langkah selanjutnya. Nathan merasa sedikit lebih tenang berada di samping Livia, meskipun masalahnya belum terpecahkan.

“Nathan, kamu terlihat sangat lelah. Kenapa tidak istirahat saja?” Livia menyarankan dengan perhatian.

Nathan mengangguk setuju. “Iya, aku memang butuh istirahat. Di mana aku harus beristirahat?”

Dengan senyum nakal, Livia menjawab, “Di kamarku, bersamaku. Kita bisa melakukan sesuatu yang bisa membuatmu merasa lebih enak.”

Nathan mengangkat alisnya, menggoda. “Jadi, aku beristirahat di kamarmu? Bersamamu? Itu sih bukannya istirahat, itu sih artinya ngajak begadang.”

Livia tertawa kecil, lalu menjawab dengan genit, “Jangan sampai begadang. Cukup sekali saja. Yang penting kita lepas dari ketegangan.”

“Bukankah di kamar nanti kita justru butuh ketegangan?” Nathan membalas dengan canda.

Livia menarik tangan Nathan, menatapnya dengan luwes. “Jangan banyak bicara, lakukan saja!”

Nathan merasakan sentuhan lembut Livia saat tangannya ditarik. Ia mengikuti langkah Livia. Mereka melangkah bersama menuju kamar. Livia membuka pintu dan menarik Nathan masuk bersamanya. Sesaat setelah mereka masuk, Livia menutup dan mengunci pintu. Dalam keheningan itu, suasana menjadi intim. Nathan memandang Livia, melihat ekspresi hangat di wajahnya. Livia mendekat lalu mulai melucuti pakaian pemuda itu satu per satu. Setelah tak berpakaian selembar pun, Livia memandang Nathan untuk sesaat sebelum membaringkan tubuh pemuda terlentang di atas tempat tidur. Livia terlihat tenang, seolah mengajak Nathan untuk memasuki dunia baru yang penuh rasa.

Livia duduk di sisi tempat tidur, posisinya di samping paha Nathan. Dengan lembut, dia membelai kejantanannya. Livia ingin agar Nathan segera merespons, merasakan sentuhan itu. Tak lama, Livia merasakan perubahan di bawah sentuhannya. Penis Nathan mengeras, menunjukkan reaksi yang diinginkan wanita tersebut. Livia pun kemudian memposisikan wajahnya di antara selangkangan Nathan lalu mulai menjilati ujung penis Nathan, membuat pemuda itu menggeliat geli. Tak menunggu lama, Livia langsung mengulum penis Nathan, melumatnya seperti lollipop, dan menghisapnya dengan kuat.

“Ooohhh … Liiivvv …” Nathan merasakan sensasi luar biasa, mengisi setiap sudut inderanya.

Tanpa terburu-buru, Livia mulai mengeksplorasi setiap lekukan penis Nathan dengan mulutnya, sementara lidahnya menari dengan lembut, menciptakan sensasi menggoda yang membuat Nathan mendesah-desah pelan. Setiap sentuhan terasa seperti permainan yang disengaja, penuh perhitungan, namun tetap menggugah gairah yang sulit ditahan. Sensasi panas yang menjalar di tubuh Nathan membuat denyut itu semakin terasa nyata, semakin kuat. Dengan setiap detik yang berlalu, ketegangan di dalam dirinya tumbuh, dan penis itu berdiri tegak, keras sekeras baja.

Setelah melihat reaksi Nathan yang begitu kuat, Livia tersenyum penuh kepuasan. Dengan gerakan yang anggun dan penuh percaya diri, Livia mulai melepaskan pakaiannya. Dia membuka kancing dengan perlahan, memperlihatkan kulitnya yang halus sedikit demi sedikit, membiarkan Nathan menatap setiap detil yang terungkap. Setelah melepaskan pakaiannya, Livia dengan langkah perlahan menaiki ranjang, matanya tak pernah lepas dari Nathan yang kini terdiam, terhipnotis oleh setiap gerakan anggun darinya. Tanpa ragu, Livia naik ke atas tubuh Nathan. Livia menggoyangkan pinggulnya sedikit, menyelaraskan posisinya di selangkangan Nathan, membuat jarak kelamin mereka hampir menghilang sepenuhnya.

"Aku yang akan menyetubuhimu,'' bisik Livia sambil meremas dada Nathan dengan nakal. Pemuda itu pun tersenyum.

Masih dengan menatap mata pemuda itu, tangan kanan Livia menggapai ke bawah untuk memegang sesuatu yang sedari tadi sudah menegang di bawahnya. Dengan lembut Livia menuntun milik pemuda itu menuju gerbangnya dan mengesekkan berulang kali sebelum ia memasukkannya. Membuat vaginanya semakin basah.

“Aaaaahhh …” Livia mendesah menikmati pergesekan kelamin mereka berdua. Ia sengaja tidak langsung memasukannya karena ia ingin melihat ekspresi Nathan. Rupanya ia ingin sedikit menggoda pemuda itu.

“Kamu kelamaan sayang … Kalau kamu seperti itu terus, aku yang akan mengambil alih permainan ini," ucap Nathan tidak sabaran dengan nafas yang berat. Mata sang pemuda sudah dilapisi oleh kabut nafsu. Livia tersenyum menggoda.

"Ya, ini aku ….'' dan bersamaan itu Livia segera menghempaskan tubuhnya turun ke bawah. Membuat penis Nathan melesak masuk sangat dalam.

“Aaaaccchhh ….”

Seketika Livia menjerit dengan keras. Kedua matanya terpejam rapat saat di rasakan miliknya agak ngilu ketika di tembus oleh milik Nathan yang besar. Begitu pun dengan pemuda tersebut. Ia tengah menikmati goa hangat milik Livia yang rapat. Livia memandang pemuda yang berada di bawahnya yang sedang menutup mata, merasakan nikmat ketika vaginanya tengah di masuki oleh penis pemuda itu. Livia mendiamkan sejenak. Hingga ia melihat Nathan membuka matanya. Dan mata mereka pun saling mengunci satu sama lain.

Livia membaringkan tubuhnya di atas tubuh Nathan. Kedua tangan Nathan berlabuh pada buah pantat Livia, mengusapnya lembut. Sedangkan kedua tangan mulus Livia melingkar di kepala pemuda itu. Dengan cepat Nathan melumat bibir Livia, mendorong lidahnya memasuki mulut Livia, membuat Livia mengerang pelan. Mereka berdua berciuman dengan panas masih dengan milik Nathan yang tenggelam dalam lubang hangat Livia. Pemuda itu meremas pelan bokong Livia.

"Hmppp… Nath-tan… Ohhhh..." Livia mendesah, memanggil nama pemuda itu di sela-sela ciuman panas mereka. Nathan terus melumat dan menyapu mulut dan bibir Livia hingga salvia meluncur dari kedua sudut bibir Livia.

"Mmmhh…'' Livia melenguh dalam ciuman panas mereka manakala Livia mulai menggerakkan pinggulnya ke atas dan ke bawah dengan pelan.

"Ku kira kamu akan mengoyangku keras,” bisik Nathan pelan.

"Baiklah, kalau itu yang kamu inginkan," ucap Livia pelan.

Pinggul Livia bergoyang semakin cepat, menciptakan gelombang sensasi yang menghanyutkan mereka berdua. Nathan merespon dengan meraih pinggul Livia dengan kedua tangannya, membantu menyeimbangkan gerakan yang semakin liar, sementara tubuhnya mulai bergerak selaras dengan ritme yang diciptakan Livia, mempertemukan kelamin mereka dengan sempurna di setiap tarikan dan dorongan. Setiap kali kelamin mereka bersatu, gelombang sensasi nikmat menyapu keduanya, membuat momen itu terasa semakin mendalam.

Livia tidak menurunkan kecepatannya; sebaliknya, dia semakin cepat, seolah-olah tengah mengejar puncak dari setiap sensasi yang mereka ciptakan bersama. Tubuh Nathan bergerak dalam irama yang sempurna, mengikuti setiap gerakan yang Livia ciptakan, keduanya saling memberi dan menerima, tenggelam dalam tarian keintiman yang semakin bergelora.

"Ouggghhh ..." Nathan mendesah kenikmatan.

Livia mengerang, menghentakkan miliknya ke penis Nathan dengan cepat. Nathan pun balas menyodok Livia dengan keras hingga membuat ranjang yang mereka tempati itu pun berdecit. Suara racauan dan erangan Livia bertambah keras manakala Nathan makin menyodoknya dengan kuat, menekan pinggulnya ke bawah di saat penisnya menyodok milik Livia ke atas.

"Ouggghh Nath-thaann…''

Livia tak mampu menahan erangan yang keluar dari bibirnya, nyaring dan penuh hasrat. Gerakan pinggulnya yang semakin cepat dan liar membuat tubuhnya bergetar, dan setiap hentakan yang dia lakukan membawa mereka berdua lebih dalam ke dalam lautan gairah. Buah dadanya, yang lumayan besar, ikut memantul mengikuti irama gerakannya. Setiap kali Livia menggoyangkan pinggulnya, tubuhnya turut terangkat dan turun dengan lembut, menyebabkan buah dadanya terpantul dengan ritme yang sama. Saat punggung Livia meregang ke belakang, lengkungan tubuhnya memperlihatkan keindahan yang menggoda. Buah dadanya semakin terlihat hendak melompat keluar dari tubuhnya, terguncang oleh dorongan yang kian cepat dan kuat.

"Oughhh ....'' Nathan mengerang keras. Nathan dapat melihat Livia yang sedang bergoyang liar di atasnya, merintih dan mengerang memanggil namanya saat ia makin melesakkan ke dalam hingga menyentuh rahimnya.

"Kau sangat rapat Livia.'' Erang Nathan ketika ia merasa miliknya sedang diremas oleh lubang hangat Livia dengan kasar dan liar, pemuda itu makin menyodoknya.

"Aaaakhhh … Kamu akan merobeekk-ku sayang ...'' Ucap Livia ketika dirasa Nathan makin menghujamkan miliknya sangat kasar. Livia mempererat pelukannya pada leher Nathan. Kenikmatan besar memeluk sekujur tubuhnya.

Livia bangkit membungkuk ke depan dan tangannya bertumpu pada dada Nathan untuk menahan tubuhnya. Kedua pahanya mencengkram erat di kedua sisi Nathan. Goyangannya semakin bertambah liar. Buah dadanya terayun, hampir menghantam wajah Nathan. Kedua tangan Nathan menahan pantat Livia agar bisa menusukkan penisnya sekeras mungkin. Membawa ledakan orgasme Livia yang semakin dekat. Nafas Livia semakin terasa berat, tersenggal. Sudah begitu dekat dan sangat dekat. Hingga akhirnya Nathan mencengkram tubuh Livia dan membalikan tubuh hingga Nathan berada di atas Livia. Kalu Nathan mencabut penisnya hingga mendapatkan protes dari Livia karena sebentar lagi ia akan mendapatkan orgasmenya.

"Apa yang kamu lakukan?!'' ucap Livia marah karena Nathan membatalkan orgamesnya yang hampir meledak tadi. Nathan pun menyeringai.

"Tenang saja, sayang. Kali ini, aku yang akan memuaskanmu," bisik Nathan dengan suara rendah dan penuh keyakinan. Dengan lembut, ia bangkit dari atas tubuh Livia, menatapnya sejenak sebelum membalik tubuh Livia sehingga punggungnya menghadap dirinya. Rupanya, Nathan telah memutuskan untuk membawa mereka ke posisi yang lebih menggoda, doggie style.

"Bukankah sudah kubilang kalau aku yang akan memuaskanmu,'' Ucap Livia gusar terdengar seperti orang frustasi.

Nathan menyeringai nakal, lalu dengan perlahan mendorong tubuh Livia ke depan hingga kedua tangan wanita itu bertumpu pada kepala tempat tidur. Gerakan itu membuat punggungnya melengkung indah, dan Nathan tak bisa menahan diri untuk merapatkan tubuhnya pada Livia yang begitu menggoda di depannya. Rambut hitam Livia yang sedikit berantakan semakin menambah kesan liar dan memikat. Nathan menatap lubang kecil berwarna merah muda yang tampak berkedut, seolah-olah menunggu dengan penuh gairah untuk segera diisi.

"Kamu sangat seksi sayang…" geram Nathan.

Dengan satu gerakan cepat dan kuat, Nathan langsung memasukkan penisnya ke dalam vagina hangat Livia. Tubuh mereka menyatu dengan sempurna, dan erangan keras keluar dari bibir Livia saat sensasi itu menyebar di seluruh tubuhnya. Nathan terus mengulang gerakan itu dengan ritme yang mantap. Setiap kali ia menarik penisnya keluar, hanya ujungnya yang tetap berada di dalam, menciptakan jeda singkat sebelum dengan sekali hentakan, ia kembali mengisi vagina Livia sepenuhnya. Gerakan itu terus berulang, semakin dalam dan semakin intens, sementara tubuh Livia terus bereaksi dengan gairah pada setiap dorongan Nathan.

Livia menggeram keras, "Fuck meeeee …"

Nathan pun mengabulkannya. Dengan berpegangan pada pinggul Livia yang indah dan juga ramping, Nathan menyentakkan penisnya dengan keras hingga Livia ikut juga terdorong ke depan setiap hentakkannya. Livia mencoba mengimbangi setiap gerakan gila Nathan, di dorong tubuhnya ke belakang saat tubuh Nathan mendorong ke depan sehingga vaginanya tertusuk begitu dalam dengan keras. Nafas Livia dan Nathan tersengal keras. Memburu kenikmatan yang sangat ingin mereka capai.

Livia tidak berhenti mengerang, mendesah, melenguh, dan memohon lagi dan lagi pada Nathan. Penis Nathan meluncur masuk hingga pangkalnya. Mereka melakukannya hingga selama 30 menit lamanya hingga akhirnya Livia sudah tidak bisa menahan gelombang orgasmenya yang sempat tertunda tadi.

"Aku akan keluar Nathan…! arrrgghhh… Nathaaan… Oooohhh …'' rintihan kenikmatan itu membuat Nathan semakin cepat menghentak-hentakkan pinggulnya.

Orgasme Livia membuat Nathan tak mampu lagi menahan tekanan dari vaginanya. Vagina sempit itu berdenyut-denyut, meremas batangnya dengan kuat, menciptakan sensasi luar biasa yang mengguncang kendalinya. Setiap denyutan seakan-akan menarik Nathan lebih dalam, seolah-olah tubuh Livia sedang menghisap habis seluruh kekuatannya. Nathan merasakan gelombang gairah yang begitu intens, dan akhirnya, ia tak bisa lagi menahan klimaksnya.

"Arggghhh… Livia…" erang Nathan sambil melepaskan spermanya.

Livia menoleh ke belakang, lalu dengan cepat menarik kepala Nathan mendekat, mengunci bibir pemuda itu dalam sebuah ciuman yang penuh gairah.

"Hmmm Nathan…" Livia melenguh dalam ciumannya ketika ia merasa tembakan sperma lelaki itu menembak mulut rahimnya dengan cepat.

Livia merasa hangat di dalam. Hingga beberapa menit kemudian Livia melepaskan ciumannya dan terbaring lemas di atas kasur, dengan Nathan menindih tubuhnya. Batang penisnya saat itu masih tertanam dalam milik Livia. Nathan tidak ingin cepat-cepat mengeluarkannya karena ia masih ingin merasakan lubang hangat dan sempit Livia yang meremas-remas penisnya. Kurang lebih 4 menit kemudian Nathan mulai bangkit, mencabut penisnya dari cengkraman vagina Livia.

Nathan lalu menjatuhkan tubuhnya di atas kasur di samping Livia yang masih tengkurap. Nathan menoleh menatap wanita yang menatapnya juga. Wanita itu masih berusaha mengatur nafasnya akibat permainan gila mereka.

Livia menatap Nathan dengan mata berbinar. “Kau memang luar biasa, Nathan. Kau sangat perkasa di atas ranjang.”

Nathan tersenyum, merasa sedikit canggung. “Ah, Livia, kamu tidak perlu memujiku seperti itu. Masih banyak laki-laki yang lebih perkasa dariku.”

Livia menggelengkan kepala, ekspresinya serius. “Tidak, Nathan. Aku pernah memiliki lima teman laki-laki sebelum kamu, dan tak satu pun yang bisa membuatku puas.”

Nathan mengernyit, merasa penasaran. “Yang bener?”

Livia mendekat, suaranya lembut. “Serius … Kamu adalah laki-laki keenam, dan hanya kamu yang bisa membuatku merasa puas.”

Nathan hanya tersenyum lemah, rasa kantuk dan lelah mulai menyergapnya. Livia mengusap wajahnya dengan lembut, membuat pemuda itu merasa lebih tenang. Meskipun ada sentuhan hangat itu, Nathan tidak bereaksi. Ia hanya menutup matanya, menikmati momen tenang di antara mereka. Dalam sekejap, rasa lelah mengalahkan segalanya. Nathan tertidur lelap, membiarkan suara detak jantung dan napas Livia menjadi latar belakang mimpinya.

-------

Nathan terbangun dari tidurnya saat mendengar suara-suara dari luar kamar. Ia menoleh ke samping, tetapi tidak menemukan Livia di sisinya. Nathan bangkit dari tempat tidur, merasakan dingin lantai di bawah kakinya. Ia turun dengan hati-hati. Di sudut ruangan, ia melihat setumpuk pakaian pria tergeletak di atas meja. Tanpa berpikir panjang, Nathan mengambil pakaian tersebut dan segera menuju kamar mandi. Di dalam kamar mandi, ia mandi dengan cepat. Setelah selesai, Nathan berpakaian rapi dan merapikan diri. Ia memeriksa penampilannya sejenak di cermin, memastikan semuanya terlihat baik. Setelah merasa puas, Nathan melangkah keluar kamar.

Nathan mendengar bunyi peralatan dapur yang beradu. Segera, ia melangkah ke arah dapur. Ketika ia masuk, Nathan melihat Livia sedang membersihkan peralatan dapur. Di atas meja, terdapat sepiring nasi goreng hangat dengan telur dadar yang disusun rapi. Livia tersenyum saat melihat Nathan duduk di salah satu kursi depan meja makan.

"Nasi goreng dan telur dadar yang di atas meja adalah sarapanmu, Nathan. Maaf ya, ini saja yang bisa aku siapkan," ucap Livia sambil mengeringkan tangan yang basah dengan serbet.

"Tidak masalah, Livia. Asal rasanya enak saja," jawab Nathan dengan senyum lebar saat melihat hidangannya.

Livia mengangguk dan kemudian duduk di samping Nathan. "Coba cicipi dulu. Kalau tidak enak, kita bisa sarapan di luar saja," pintanya, matanya penuh harap.

Nathan mengambil sendok dan mencicipi nasi goreng itu. "Wah, ini enak sekali!" serunya, wajahnya bersinar.

"Terima kasih! Itu bikin aku senang banget!" balas Livia, wajahnya berbinar mendengar pujian Nathan.

"Eh … Kamu sudah sarapan belum?" tanya Nathan dengan penasaran.

"Rencanaku sih mau sarapan di kantor," jawab Livia sambil menggerakkan tangannya.

"Gimana kalau kita makan bersama? Sepiring berdua?" ajak Nathan dengan nada menggoda.

Wajah Livia memerah, namun dia tersenyum malu-malu. "O..oke, sepiring berdua. Kenapa tidak?" katanya, merasa senang dengan ajakan itu.

Nathan menyuapi Livia nasi goreng. Mereka saling bertukar suapan sambil menikmati makanan. Piring berkurang seiring tawa yang mengisi ruang. Livia merasa senang bisa sarapan berdua. Setelah selesai, mereka membereskan meja bersama.

Livia melihat Nathan dan bertanya, "Apa rencanamu hari ini apa?"

Nathan menjawab, "Aku akan ke kantor polisi untuk menanyakan perkembangan penyelidikan mereka."

Livia tersenyum dan mengatakan, "Itu ide yang cemerlang. Tapi aku tidak bisa mengantarmu. Aku harus mengurus kepindahanku ke Jakarta."

Nathan mengangguk dan berkata, "Tidak masalah. Setelah urusan di kepolisian selesai, aku akan menghubungimu. Kalau memungkinkan, aku akan bantu beres-beres."

“Terima kasih,” ucap Livia.

Nathan dan Livia keluar dari rumah, dan Livia menutup pintu lalu menguncinya. Livia berjalan menuju mobilnya yang terparkir rapi di depan rumah. Dia membuka pintu dan memasukkan tas ke dalam mobil. Nathan berdiri di samping motornya, memeriksa motor sebelum memakainya. Livia menghidupkan mesin mobil, suara mesin menggema di pagi yang tenang. Nathan menghidupkan motor dan segera merasakan getaran di tangannya. Mereka berdua melaju bersamaan, keluar dari halaman.

Livia melaju pelan, sementara Nathan memacu motornya lebih cepat. Nathan melaju dengan mantap, dia berfokus pada jalan di depan. Dalam waktu sekitar sepuluh menit, Nathan sampai di kantor polisi. Dia memarkir motornya di tempat yang disediakan, turun dan mengatur napas sebelum memasuki gedung.

Nathan masuk ke kantor polisi. Langkahnya mantap, mata mencari sosok polisi penyidik yang semalam memeriksa rumahnya. Setelah bertanya pada petugas di meja depan, dia diarahkan ke ruang penyidik. Nathan mengetuk pintu, lalu masuk setelah dipersilakan. Di dalam, penyidik yang dia cari sedang duduk di depan meja, sibuk dengan beberapa berkas. Nathan memperkenalkan diri, memastikan polisi itu mengingat kejadian semalam.

Penyidik mengangkat wajah, lalu mengenali Nathan. "Oh, ya, saya ingat. Rumah yang terbakar semalam, benar?" tanyanya, tanpa basa-basi.

Nathan mengangguk, kemudian duduk di kursi yang disediakan. Penyidik mengeluarkan map berisi laporan semalam, membuka beberapa lembar dokumen, dan mulai membicarakan hasil sementara dari penyelidikan mereka.

Pak Penyidik duduk di depan Nathan dan berkata, "Hasil penemuan sementara menunjukkan ada bekas bahan bakar di beberapa titik lokasi kebakaran. Kami juga menemukan jejak kaki yang mencurigakan di sekitar rumahmu. Namun, saat ini belum ada tambahan bukti lain yang bisa mengarahkan kami ke pelaku."

Nathan menatap Pak Penyidik dan bertanya, "Bagaimana dengan simbol di jaket pelaku? Apakah sudah ada perkembangan soal itu?"

Pak Penyidik menjawab, "Kami baru membuat gambar sketsa simbol tersebut berdasarkan video itu.”

Nathan menerima gambar sketsa simbol dari tangan penyidik. Matanya menelusuri setiap detail simbol itu, dan perasaan familiar mulai muncul. Namun, pikirannya masih kabur, ia tidak bisa langsung mengingat kapan atau di mana pernah melihat simbol ini sebelumnya. Ia merasa terganggu oleh keasingan yang samar namun kuat. Nathan memejamkan mata sejenak, mencoba menggali lebih dalam ke ingatannya. Gumpalan-gumpalan memori mulai bermunculan di benaknya, tapi tetap tak jelas. Dia tahu, simbol ini bukan hal baru baginya, namun mengapa ia tidak bisa mengingatnya dengan pasti?

Nathan memaksa pikirannya untuk fokus, seolah mencari sesuatu yang tersembunyi jauh di balik lapisan memori lama. Setiap bentuk dan garis pada simbol itu mengusik perasaannya, membuatnya semakin yakin bahwa ia pernah melihatnya. Lalu, perlahan, gambaran mulai terbentuk. Nathan merasakan kilatan memori yang lebih nyata. Hari itu, di gudang bawah tanah rumah Maya. Saat itu, ia menemukan sebuah kotak kecil yang berisi tumpukan kertas tua dan foto-foto masa kecilnya. Ia mulai ingat dengan jelas, memori yang tadinya kabur kini menjadi lebih tajam. Di antara kertas-kertas tersebut, ada satu kertas yang memiliki gambar simbol yang sama seperti yang ia lihat sekarang.

Rasa aneh kembali muncul. Saat itu, ia sempat menganggap simbol tersebut ganjil, tapi tidak berpikir lebih jauh. Sekarang, kesadaran penuh datang. Simbol yang dilihatnya ini adalah simbol yang pernah ia lihat di kotak kecil itu, dan kertas tua bergambar simbol itu masih tersimpan di lemari pakaiannya di rumah Maya. Nathan merasa ketegangan menyelimuti pikirannya, memahami bahwa simbol ini pasti berhubungan dengan kebakaran yang menghancurkan hidupnya.

Nathan berkesimpulan bahwa insiden semalam berkaitan dengan rumah Maya. Ia merasa tidak memiliki alasan untuk mempersangkakan ibunya. Maya selalu menunjukkan perhatian dan tidak pernah mengganggu ketenangan ayahnya. Namun, kini semua perhatian Nathan tertuju pada Denis aka Alex. Denis pernah mencoba mencelakakan Nathan dengan mengirim anak buahnya untuk menyerangnya, bukti bahwa Denis belum menerima kegagalannya untuk mencelakai Nathan dan masih penasaran terhadap Nathan, yang mendorong terjadinya insiden semalam. Rasa marah dan ketidakpuasan membara di dalam hati Nathan. Ia bertekad untuk mencari keadilan. Nathan ingin meminta pertanggungjawaban Denis atas semua tindakan yang telah mengacaukan kehidupannya.

-------

Nathan duduk di kursi pesawat menuju Jakarta. Dalam pikirannya, ia merencanakan pertemuan dengan Denis. Pemuda itu mengenang semua yang terjadi, termasuk kebakaran rumah dan hilangnya Ronny. Setiap detil insiden itu membakar semangat sang pemuda untuk menghadapi Denis. Di dalam pesawat, suasana tenang, tetapi pikiran Nathan penuh dengan pertanyaan dan kemarahan. Denis tidak bisa terus-menerus lepas dari tanggung jawabnya. Nathan bertekad untuk tidak membiarkan Denis berlaku seenaknya tanpa konsekuensi.

Setelah terbang selama dua jam dari Pontianak, Nathan tiba di Jakarta. Ia melangkah keluar dari bandara dengan perasaan tak menentu. Suara ramai lalu lintas dan hiruk-pikuk kota langsung menyambutnya. Nathan segera mencari taksi. Ia memasuki taksi dan memberi alamat kediaman Maya kepada sopir. Selama perjalanan, ia melihat gedung-gedung tinggi dan kerumunan orang. Pikiran tentang Denis dan perhitungan yang akan dilakukan memenuhi benaknya. Taksi melaju di jalanan yang padat. Nathan merasakan detak jantungnya meningkat. Setiap detik terasa semakin mendesak. Setelah beberapa waktu, taksi berhenti di depan gedung megah. Nathan membayar sopir dan keluar. Ia berdiri sejenak di depan gerbang, mengumpulkan keberanian sebelum melangkah masuk.

Nathan melangkah masuk ke halaman rumah Maya yang sangat luas. Ia disambut ramah oleh para security yang menjaga area tersebut. Nathan berjalan menyusuri halaman, mengamati taman yang tertata rapi. Hatinya kini bulat, tak ada keraguan. Ia akan menghadapi Denis dan meminta pertanggungjawaban. Saat mencapai gedung utama, kepala rumah tangga menyambutnya dengan sopan. Nathan melenggang masuk ke dalam rumah megah itu. Setiap langkah Nathan mengantarkannya lebih dalam ke dalam ruangan yang mewah. Akhirnya, ia tiba di ruang tengah. Suasana tegang langsung terasa. Maya dan Denis sudah menunggu kedatangannya di seputar sofa besar.

Nathan berdiri di ambang pintu ruang tengah, menatap Maya dan Denis. Rasa marah membara di dalam hatinya. Denis tersenyum tipis, sementara Maya menunjukkan ekspresi datar. Nathan melangkah maju, suara detakan jantungnya menggema di telinga. Ia tidak bisa menahan diri lebih lama. Semua rasa sakit dan kerugian menumpuk di pundaknya.

"Selamat datang, Nathan. Akhirnya kamu sampai di sini," kata Maya, suaranya bernada kuasa.

Namun, Nathan tidak menanggapi Maya. Ia langsung mengalihkan pandangannya kepada Denis, menatap dengan tatapan tajam. "Aku menantangmu, Denis. Duel."

Denis awalnya terkejut, alisnya terangkat dan matanya membesar mendengar tantangan Nathan. Namun, setelah sejenak, ekspresinya berubah. Senyuman sinis muncul. Ia melipat tangan di depan dada dan sedikit memiringkan tubuhnya, memberi kesan meremehkan. Sorot mata Denis menyiratkan bahwa ia tidak menganggap Nathan serius. Denis menatap Nathan dengan tatapan kosong, seolah menganggap tantangan itu sebagai hal yang konyol.

Berbeda dengan Maya. Kejutan hebat melintas di wajah wanita itu. Ia berteriak, "Nathan, bersikap sopanlah kepada Denis!" Suaranya menggema, memecah ketegangan di ruangan. "Bukankah kamu datang ke sini untuk memenuhi kesepakatan yang kita buat?"

Nathan tidak gentar, "Kesepakatan itu batal. Ayahku hilang. Aku menerima kesepakatan itu untuk menyelamatkan ayahku."

Maya meluruskan postur tubuhnya, "Ayahmu sedang kami cari. Dalam waktu tidak lebih dari satu minggu, dia akan ditemukan."

Nathan menatap Maya dengan tajam. "Maya, kamu akan mudah menemukan ayahku. Karena Denis lah yang membawanya."

Maya tidak bisa menahan diri. Dalam sekejap, tubuhnya melesat ke arah Nathan, seolah terbang dengan kecepatan luar biasa. Angin menyusup di sekelilingnya, menciptakan aura kuat yang mengguncang ruangan. Dalam hitungan kurang satu detik ia sudah berada di depan Nathan.

Maya pun menampar Nathan keras. "Sopanlah kepada Denis!" Suaranya penuh kemarahan dan kekuatan. Nathan merasakan panas di pipinya, tetapi ia tidak akan mundur. Pertarungan ini baru saja dimulai.

“Ternyata kamu menamparku dengan sungguh-sungguh, Maya … Pipiku terasa gatal,” ucap Nathan dengan nada bercanda sambil mengusap pipinya yang terasa panas.

Maya terbelalak saat melihat efek tamparannya. Ia merasa tidak ada dampak yang berarti, hanya gatal yang dirasakan Nathan. Sebenarnya, Maya telah mengeluarkan salah satu ilmunya untuk membuat Nathan kehilangan kemampuan berbicara. Namun, ilmunya tidak berjalan sesuai rencana. Nathan justru merespons dengan sikap santai, seolah tidak terpengaruh sama sekali. Keterkejutan melanda Maya, dan ia mundur selangkah, menilai situasi dengan cermat. Tatapan tajamnya tertuju pada Nathan, mencerminkan kebimbangan dan kebingungan.

Maya menatap Nathan dengan tajam, suaranya membara. "Kau memang berani, Nathan. Tapi jangan anggap ini permainan." Ia melanjutkan, "Setiap tindakanmu akan ada konsekuensinya." Ekspresi wajahnya mengeras, menegaskan betapa seriusnya situasi ini.

Nathan tetap berdiri, tidak terpengaruh oleh ancaman Maya. Ia tahu bahwa ia harus tetap berfokus. "Aku di sini untuk memperjuangkan keadilan, Maya. Ini bukan tentang permainan."

“Keadilan apa yang kamu inginkan?” tanya Maya, suaranya penuh tantangan. "Apakah kamu ingin membuat kekacauan? Atau sekadar mencari perhatian?"

Nathan menatap Maya dengan tegas. "Aku ingin keadilan untuk ayahku. Aku ingin tahu di mana dia, dan mengapa semua ini terjadi. Ini bukan tentang kekacauan atau mencari perhatian. Ini tentang membongkar kebenaran yang telah kau sembunyikan." Suara Nathan mantap, menegaskan tekadnya untuk menghadapi kenyataan yang pahit.

“Aku tidak menyembunyikan ayahmu!!!” teriak Maya, suaranya menggema di ruang tengah.

“Kamu tidak … Tapi, dia!” tunjuk Nathan kepada Denis.

Denis menanggapi dengan senyum meremehkan, menatap Nathan seolah ia hanya lelucon. "Nathan, kau benar-benar tidak paham. Berteriak tidak akan mengubah kenyataan. Ayahmu hilang, dan itu bukan tanggung jawabku. Sadarilah, kau tidak memiliki kendali di sini." Denis berdiri dengan percaya diri, menegaskan posisinya yang lebih tinggi.

Maya menatap Nathan dengan tegas. "Dengar Nathan … Denis tidak tahu menahu tentang hilangnya Ronny. Dia tidak terlibat dalam hal ini. Kami semua berusaha mencarinya. Jangan menyalahkan orang yang tidak bersalah." Suaranya penuh ketegasan, berusaha menjernihkan situasi yang semakin panas.

Nathan merasakan gelombang emosi yang semakin menguat. Pemuda itu mengeluarkan selembar kertas dari saku celananya. Ia memperhatikan Maya dengan tajam, lalu melemparkan kertas itu ke arahnya. Maya menangkap kertas tersebut di udara, matanya terpaku pada Nathan.

Nathan menatap Maya dengan serius. "Lihat isi kertas itu, Maya. Aku sudah punya cukup bukti kalau Denis lah di belakang semua ini. Denis selalu menunjukkan ketidaksukaannya padaku. Dia mencampuri urusan pribadiku dan bahkan mengirim anak buahnya untuk mencelakakan aku. Semua ini mengarah pada satu kesimpulan. Ditambah lagi simbol yang ada di kertas itu, juga menjadi petunjuk bagiku untuk menyimpulkan kalau dia adalah pelakunya." Nathan berharap kata-katanya bisa membuka mata Maya.

Maya membuka kertas yang terlipat di tangannya. Seketika itu juga, mata Maya terbelalak hebat saat melihat gambar di atas kertas tersebut. Gambar itu jelas menunjukkan simbol yang sangat ia kenali, simbol yang terkait dengan urusan gelap yang melibatkan Denis. Hati Maya berdegup kencang, dan kekhawatiran mulai menyelimuti pikirannya. Dalam sekejap, Maya mengalihkan tatapannya kepada Nathan.

“Apa artinya ini?” tanya Maya ingin mengetahui pengetahuan Nathan atas simbol ini.

Nathan membalas dengan tegas, "Kamu yang lebih tahu, Maya." Ia tidak mengalihkan pandangannya, menunggu reaksi dari Maya.

“Bagaimana bisa gambar ini kau jadikan bukti?” Maya tidak ingin terpancing oleh permainan Nathan.

Nathan menjelaskan dengan tegas, "Simbol itu ada di salah satu jaket orang yang membakar rumahku. Aku punya video yang menangkap semuanya. Dalam video itu, jelas terlihat simbol tersebut. Aku juga pernah menemukan kertas di gudang bawah tanah yang bergambarkan simbol itu. Dari situ, aku berkesimpulan bahwa siapa pun yang menggunakan simbol ini pasti memiliki kaitan dengan rumah ini."

Denis tersenyum sinis, menatap Nathan dengan percaya diri. "Kau memang penasaran padaku, Nathan. Jika duel adalah cara untuk menyelesaikan semua ini, aku tidak keberatan. Mari kita lihat siapa yang lebih kuat dan siapa yang bisa membuktikan ucapannya." Suaranya tenang, tetapi mengandung tantangan yang jelas.

“Diam!!!” bentak Maya pada Denis, telunjuknya terangkat dengan tegas. “Jaga mulutmu! Ini bukan saatnya untuk bersikap sombong.” Suara Maya menggema, menekankan betapa seriusnya situasi ini. Maya berusaha mengendalikan amarahnya. Ia tidak ingin pertikaian antara Nathan dan Denis semakin memanas.

Maya berdiri di antara Nathan dan Denis, berusaha meredakan ketegangan yang semakin membara. "Dengarkan … Duel bukan cara yang tepat untuk menyelesaikan masalah ini. Kita harus fokus pada apa yang benar-benar penting," ucapnya, suaranya tegas namun penuh harap. Maya melirik Nathan, berharap bisa meyakinkannya untuk tidak terjebak dalam provokasi Denis.

Nathan mengalihkan pandangannya kepada Maya, wajahnya penuh ketegangan. "Aku ingin kepastian keselamatan ayahku, Maya. Itu yang paling penting bagiku sekarang. Jika ada cara untuk menemukan ayahku tanpa harus berkelahi, aku ingin tahu. Aku tidak peduli tentang pertarungan ini. Fokusku hanya pada ayahku." Suaranya penuh penekanan, menggambarkan betapa dalamnya rasa cemas yang menggerogoti dirinya.

Maya menatap Nathan dengan penuh keyakinan. "Tunggu satu minggu, Nathan. Aku berjanji sebelum waktu itu, ayahmu akan ditemukan. Kami semua berusaha mencarinya, dan aku akan memastikan bahwa dia aman." Suaranya tegas, berusaha memberikan harapan di tengah kekhawatiran yang melanda.

"Aku menginginkan ayahku selamat, Maya. Jika dia terluka atau, lebih parah lagi, meninggal dunia, aku bersumpah akan membalasnya dengan taruhan nyawaku." Kata-katanya menggema di ruangan, diiringi tatapan tajam yang diarahkan kepada Denis.

Maya menatap Nathan dengan penuh ketegasan. "Aku menjamin keselamatan ayahmu, Nathan. Aku tidak akan membiarkan apa pun terjadi padanya. Kami memiliki sumber daya untuk mencarinya, dan aku berjanji, sebelum seminggu berlalu, dia akan kembali dengan selamat."

Nathan membalikkan badan, siap melangkah pergi dari ruang tengah yang tegang. Ia merasa beban di dadanya sedikit terangkat setelah mendengar janji Maya, meski keraguan masih menyelimuti pikirannya. Namun, sebelum Nathan bisa melangkah lebih jauh, Maya memanggil namanya, menghentikan pemuda itu sejenak. Suara itu membuat Nathan berhenti dan menatap kembali.

Maya menatap Nathan, berusaha menunjukkan keseriusan dalam permintaannya. "Tinggallah di sini, Nathan. Ini saatnya kamu dan Denis saling mengenal. Kita semua perlu menciptakan suasana yang lebih baik. Dengan berbaikan, kalian bisa bekerja sama demi tujuan yang lebih besar."

Nathan menatap Maya, mengekspresikan keraguan di dalam hatinya. "Aku belum siap menerima Denis," ujarnya dengan tegas.

Maya menatap Nathan dengan penuh keyakinan. "Denis berjanji tidak akan mengganggu kamu lagi. Dia siap untuk menerima kamu tinggal di sini."

Nathan membalikkan badan, tetapi ketika Maya memanggil namanya, ia berhenti melangkah lagi. Kali ini, ia tidak membalikkan badan. Sementara Maya berdiri di belakangnya, mengharapkan perubahan sikap.

Maya berkata serius. "Jika kamu tidak ingin tinggal di sini, aku sarankan kamu tidak meninggalkan Jakarta. Aku ingin kita tetap dekat."

Nathan melanjutkan langkah tanpa berkata-kata. Ia keluar dari rumah megah Maya, dan para security mengantarkannya hingga gerbang. Langkahnya terasa berat saat ia menyusuri jalan, mengingat ucapan Maya sebelumnya. Keyakinan Maya untuk menyelamatkan ayahnya mengusik pikirannya, begitu pula pernyataannya tentang Denis yang dianggap bukan penyebab hilangnya Ronny. Semua itu membingungkan, dan Nathan merasa terjebak dalam ketidakpastian. Setelah beberapa saat, ia menemukan taksi dan meminta sopir mengantarkannya ke hotel terdekat. Dalam perjalanan, pikirannya melayang antara keraguan dan harapan, mempertimbangkan semua yang baru saja terjadi.

Bersambung​


 

Read More

𝐋𝐢𝐤𝐚 𝐋𝐢𝐤𝐮 𝐊𝐞𝐡𝐢𝐝𝐮𝐩𝐚𝐧 𝐏𝐚𝐫𝐭 𝟏𝟐

Livia, yang memperhatikan Nathan terus-terusan gelisah kemudian mengajak pemuda itu untuk makan siang. Hari sudah berada di pertengahan, dan Livia merasa Nathan butuh istirahat sejenak dari pikirannya yang kacau. Nathan awalnya menolak, merasa belum ingin pergi ke mana pun, namun Livia terus mendesak. Ia tahu, meskipun Nathan enggan, dia sebenarnya butuh waktu untuk menenangkan diri. Setelah beberapa kali dipaksa, akhirnya Nathan menyerah dan setuju untuk menerima ajakan tersebut.

Nathan berjalan menuju pintu bengkel lalu memutuskan untuk menutupnya lebih awal dari biasanya. Ia kemudian pergi ke ruang belakang untuk berganti pakaian, memilih baju yang lebih rapi dan bersih daripada yang dipakainya saat bekerja. Setelah siap, Nathan keluar dan menemui Livia, lalu mereka berdua berangkat menuju tempat yang belum disebutkan oleh Livia.

Ketika mereka sampai, Nathan sedikit terkejut. Ternyata Livia mengajaknya ke sebuah rumah makan yang tampak asri dengan pemandangan alam di sekelilingnya. Rumah makan itu memiliki konsep yang menarik, di mana setiap meja terletak di dalam gazebo-gazebo kecil yang tersebar di berbagai sudut. Mereka memilih salah satu gazebo di bagian yang agak tenang, dan Nathan mulai merasakan suasana sejuk serta nyaman yang perlahan mengurangi kegelisahannya. Setelah duduk, mereka mulai memesan makanan, dan Nathan merasa setidaknya, meskipun pikirannya masih sibuk, ia bisa sejenak menikmati suasana di tempat ini.

Setelah makanan tersaji di atas meja, Livia menatap Nathan yang terlihat masih termenung. Suasana di sekitar mereka tenang, namun ekspresi Nathan menunjukkan bahwa pikirannya masih jauh dari situasi saat ini. Livia, dengan suara lembut, mulai membuka percakapan.

“Bagaimana sekarang? Apa kamu sudah merasa lebih tenang?” tanya Livia, menatap Nathan dengan penuh perhatian.

Nathan menghela napas panjang sebelum menjawab, “Lumayan. Tapi, masih ada banyak hal yang mengganjal di hati.”

Livia tersenyum tipis, berusaha memberikan dukungan. “Apa yang ingin kamu ketahui? Kamu bisa bertanya apa saja. Aku akan mencoba menjawab, tapi sebatas yang aku tahu.”

Nathan terdiam sejenak, matanya menatap jauh ke arah luar gazebo. Sesaat kemudian, ia mengangguk pelan, merasa bahwa mungkin inilah saatnya ia mulai mencari jawaban atas kegelisahan yang selama ini membebaninya.

Nathan menatap meja di depannya, lalu berbicara dengan nada pelan namun tegas. “Kalau Denis itu Alex, seharusnya mereka tinggal di satu rumah, kan? Tapi selama aku tinggal di rumah Maya, aku cuma lihat Denis sekali. Itu pun, setelah itu, Maya dan Denis langsung pergi ke Australia.”

Livia mengangguk pelan dan berkata, “Iya, Maya dan Denis memang hidup di rumah itu bersama-sama. Mereka tinggal di sana.”

Nathan mengerutkan kening, merasa bingung dengan jawaban Livia. “Tapi kenapa selama aku ada di sana, aku hampir nggak pernah melihat Denis?”

Livia tampak ragu sejenak, lalu menjawab, “Aku nggak tahu pasti kenapa, Nathan. Mungkin ada sesuatu yang mereka sembunyikan darimu. Tapi, kalau kamu benar-benar mau tahu, sebaiknya kamu tanya langsung ke Maya. Dia yang paling tahu soal itu.”

Nathan terdiam, mencerna jawaban Livia, merasa ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi di belakang layar. Nathan mengernyitkan alis, mencoba memahami semuanya. "Kalau Denis memang Alex, kenapa Maya yang memimpin perusahaan? Bukannya Denis harusnya lebih berperan besar?"

Livia tersenyum tipis, lalu menjawab, "Karena Maya lebih kuat daripada Denis. Dia punya kekuatan kanuragan yang jauh lebih besar. Jadi, Maya lah yang menguasai perusahaan. Denis nggak bisa menandingi kekuatan Maya."

Nathan, yang semakin bingung, mengangkat alis. "Kekuatan kanuragan? Memangnya itu jadi syarat buat menguasai perusahaan?"

Livia mengangguk pelan, "Iya, di dunia mereka, kekuatan itu penting. Maya butuh kekuatan kanuragan untuk melindungi perusahaan dari pesaing. Banyak yang berusaha menjatuhkannya, jadi dia harus kuat, bukan cuma dalam bisnis, tapi juga dalam hal lain. Selain itu, di lingkaran orang-orang seperti Maya, kanuragan bukan cuma soal kekuatan fisik, tapi juga tanda kekuasaan. Pemimpin yang nggak punya kekuatan dianggap lemah dan jadi sasaran mudah, nggak cuma dari luar, tapi dari orang-orang dalam juga. Kalau nggak kuat, bisa ditumbangkan kapan aja."

“Apakah kamu tahu darimana asal kekuatan Maya itu?” tanya Nathan selanjutnya.

Livia menarik napas, tampak sedikit ragu sebelum menjawab. “Dia mendapatkannya lewat sebuah ritual khusus. Bukan cuma itu, Maya juga melalui latihan yang berat selama bertahun-tahun untuk memperkuat kemampuannya.”

Nathan mengerutkan dahi, rasa penasaran semakin tumbuh. “Ritual khusus? Maksudnya semacam ilmu hitam?”

Livia menggeleng. “Bukan ilmu hitam, tapi ritual itu memang bukan sesuatu yang biasa. Ada prosesnya, melibatkan hal-hal yang nggak semua orang tahu atau bisa lakukan. Maya harus menjalani tahapan-tahapan tertentu dan, setelah itu, dia terus melatih dirinya supaya kekuatannya semakin besar. Itulah kenapa Maya bisa mengendalikan banyak hal dengan kekuatan itu. Denis mungkin penting, tapi Maya yang sebenarnya punya kekuatan untuk benar-benar memimpin.”

Nathan mengernyit, kebingungan jelas terlihat di wajahnya. “Ritual ya...?” gumamnya, sambil menggaruk belakang kepalanya, mencoba memahami apa yang dimaksud Livia. “Tadi kamu bilang Maya melakukan ritual kegelapan untuk memasukkan arwah Alex ke tubuh Denis. Sepengetahuan aku, ritual kegelapan itu untuk mendapatkan kekuasaan dan kekuatan.”

Livia langsung menggeleng, “Nggak, itu nggak benar, Nathan. Ritual kegelapan yang Maya lakukan bukan buat kekuasaan. Itu proses memasukkan arwah seseorang ke tubuh orang lain, dan itu yang dia lakukan dengan Alex dan Denis.”

Nathan masih belum puas. “Jadi, kekuatan Maya diperoleh dari ritual lain?”

Livia mengangguk. “Ya, benar.”

Nathan menghela napas panjang, “Berarti Maya melakukan banyak ritual?”

“Ya,” jawab Livia, lalu menambahkan, “dan tempat ritualnya ada di gedung di belakang rumah besar Maya. Tempat itu sangat dianggap suci oleh Maya. Nggak sembarang orang boleh masuk ke sana, hanya yang dia percayai.”

Nathan langsung teringat kejadian beberapa waktu lalu saat dirinya tanpa sengaja memasuki gedung di belakang rumah besar Maya. Waktu itu, dia penasaran dengan tempat yang terlihat tertutup rapat dengan pintu gerbang yang menawan. Begitu dia masuk ke halaman gedung tersebut, dua orang penjaga langsung menyerangnya. Sekarang, setelah mendengar penjelasan Livia, semuanya mulai masuk akal. Gedung itu bukan sembarang tempat, melainkan pusat dari semua ritual yang dilakukan Maya.

Nathan memandang Livia dengan rasa ingin tahu yang mendalam. "Siapa yang mengajarkan Maya semua ritual yang dia jalani? Dari mana dia belajar semua ini?"

Livia menggelengkan kepala, ekspresinya serius. "Nggak ada yang tahu, Nathan. Semua itu masih jadi misteri. Maya tidak pernah berbagi informasi tentang guru atau sumber ilmunya. Dia seperti mengunci rapat-rapat semua yang berhubungan dengan hal itu."

Nathan mengerutkan dahi. "Jadi, dia tidak belajar dari satu guru tertentu? Semua ini berasal dari pengalaman dan kepercayaan?"

"Ya, sepertinya begitu," jawab Livia. "Dia selalu terlihat kuat dan mandiri, tapi itu justru membuat orang semakin penasaran. Semua ritual yang dia lakukan, dan kekuatan yang dia miliki, itu semua datang dari dirinya sendiri. Tidak ada jejak yang bisa diikuti."

Nathan terus merenungkan tentang Maya, sosok yang sangat misterius baginya. Ia merasa ada banyak hal yang belum terungkap. Livia menjawab pertanyaan-pertanyaan Nathan sejauh yang dia ketahui, memberikan sedikit gambaran tentang sosok Maya. Tanpa mereka sadari, lebih dari satu jam telah berlalu sejak mereka mulai makan. Suasana di restoran semakin ramai, dan keduanya sepakat untuk menyudahi makan. Setelah membayar makanan, mereka beranjak keluar. Nathan dan Livia melangkah perlahan, pikiran Nathan masih terfokus pada misteri seputar Maya yang belum sepenuhnya terpecahkan.

Livia mengantar Nathan kembali ke bengkelnya. Sepanjang perjalanan, mereka berbincang ringan dan sesekali bercanda. Setibanya di bengkel, mereka langsung berpisah. Livia mengatakan kalau dirinya harus segera kembali ke kantor. Meskipun hari masih siang, dorongan untuk pulang semakin kuat. Ia masuk ke dalam bengkel, mengambil motor kesayangannya. Nathan pun melaju pulang, membiarkan jalanan yang dikenal membawanya kembali ke rumah.

Nathan masuk begitu saja ke dalam rumahnya karena pintu terbuka lebar. Saat melangkah ke ruang depan, dia terkejut melihat ayahnya menunduk dengan kedua tangan menjambak rambutnya sendiri. Nathan hanya bisa geleng-geleng kepala melihat sikap ayahnya yang tampak putus asa. Dia tahu apa yang dipikirkan Ronny, yaitu masalah keinginannya untuk membeli rumah. Dengan perasaan kesal, Nathan lantas duduk di sofa dekat ayahnya, merasa frustrasi dengan situasi yang terus berulang ini.

“Kenapa ayah begitu frustrasi?” tanya Nathan. “Tidak bisakah bersabar selama enam bulan saja? Nanti yang ayah ingin bisa terbeli semuanya.”

Ronny geleng-geleng kepala. “Ayah butuh uang cepat,” jawabnya.

Nathan terkejut. “Kenapa tidak bisa menunggu?”

Ronny mengangkat kepalanya dengan wajah pucat. “Uang itu sebenarnya bukan untuk membeli rumah. Ayah perlu membayar tebusan.”

Nathan semakin terkejut dan bertanya, “Tebusan apa?”

Ronny menghela napas berat dan mulai menceritakan, “Selama enam bulan terakhir, ayah punya affair dengan seorang wanita bersuami. Suaminya tahu tentang kita dan akan melaporkan ayah ke pihak berwajib. Ayah sudah coba pendekatan kekeluargaan, dan suaminya mau berdamai asal ayah membayar kompensasi sebesar lima milyar.”

"Lima milyar?" pekik Nathan panik, suaranya bergetar. "Ayah pikir uang sebanyak itu bisa datang dari mana?"

Ronny menunduk lagi, menghindari tatapan Nathan. "Ayah tidak tahu, Nak. Itulah kenapa ayah begitu tertekan. Ayah sudah coba mencari pinjaman, tapi tidak ada yang bisa memberi dalam jumlah sebesar itu."

Nathan menggelengkan kepala dengan keras, matanya melebar tak percaya. "Jadi, selama ini semua omong kosong tentang rumah itu cuma alasan?”

Ronny mengangguk pelan. "Ayah tidak tahu harus bagaimana lagi. Kalau ayah tidak bisa membayar, ayah bisa dipenjara, Nathan."

Nathan meremas rambutnya, berdiri dari sofa. "Ini gila! Kenapa ayah bisa terjebak dalam situasi seperti ini?" Nathan berjalan mondar-mandir di depan ayahnya, kepalanya masih sulit menerima kenyataan. "Ayah, bagaimana mungkin bisa seceroboh itu? Ayah tahu konsekuensinya, kenapa tetap melakukannya?" Nada suaranya semakin tinggi, bercampur frustrasi.

Ronny menghela napas panjang. "Ayah memang bodoh, Nathan. Ayah tergoda dan tidak berpikir jernih. Wanita itu... ayah tidak bisa menjelaskan. Semuanya terjadi begitu cepat."

Nathan berhenti, menatap ayahnya tajam. "Ayah tahu, lima milyar bukan uang kecil! Kita bahkan tidak punya uang sebesar itu. Jadi, apa rencana ayah sekarang? Pinjam? Menjual rumah ini? Apa pun yang ayah pikirkan, ini tidak masuk akal!"

Ronny menatap lantai, diam beberapa saat, lalu berkata pelan, "Ayah sudah mencoba, Nathan. Semua jalan sudah buntu. Ayah bahkan berpikir untuk menjual aset, tapi itu pun tidak cukup. Satu-satunya harapan ayah adalah bantuanmu."

Nathan benar-benar pusing tujuh keliling. Dia berjalan mondar-mandir di ruang tamu, tetapi pikirannya buntu. Segala kemungkinan yang coba dipikirkan, tidak satu pun memberikan solusi. Tiba-tiba terdengar bisikan di telinganya, samar tapi jelas, berkata satu kata: “Maya.” Nathan terperanjat hebat. Nama itu menggema di kepalanya, membawa kembali ingatan tadi malam. Perlahan, dia menoleh ke arah Ronny, menatap ayahnya lekat-lekat, seakan mencoba mencari jawaban yang tersembunyi di balik wajah ayahnya yang terlihat semakin lelah.

“Apakah ayah mendengar sesuatu?” tanya Nathan, suaranya penuh keraguan.

Ronny mengerutkan kening, menatap Nathan dengan bingung. “Mendengar apa, Nak?” jawabnya lemah.

Nathan berdiri terpaku, pikirannya berputar liar setelah mendengar bisikan kata "Maya" lagi. Kali ini, bisikan itu terasa berbeda, seakan ada kekuatan di baliknya. Dia tidak bisa mengabaikannya. Nama itu bukan sekadar kebetulan dan Nathan mulai merasa bahwa ini adalah semacam wangsit, sebuah petunjuk yang muncul di saat dia sedang terdesak mencari solusi. Perlahan, kesimpulan terbentuk di benaknya, “Maya” adalah kunci untuk menyelesaikan masalah ayahnya.

Nathan merasa dadanya sesak, pikirannya kacau. Perang batin yang begitu dahsyat berkecamuk di dalam dirinya. Dia tahu, meminta bantuan kepada Maya adalah pilihan terakhir yang dia miliki. Namun, setiap kali nama itu terlintas, perasaan muak dan marah meluap di dalam hatinya. Maya bukan orang yang ingin dia temui, apalagi minta bantuan. Masa lalu mereka penuh luka yang masih membekas, dan harga dirinya berteriak menolak gagasan itu. Tapi semakin lama dia mencoba mencari jalan lain, semakin jelas bahwa tidak ada opsi lain. Waktu semakin mendesak, dan ayahnya berada di ujung jurang. Nathan mengepalkan tangannya, memandang lantai dengan rahang terkatup rapat. Dia ingin melawan takdir yang seolah memaksanya, tapi dia tahu perlawanan itu sia-sia. Dengan penuh amarah pada situasi dan dirinya sendiri, Nathan akhirnya menyerah pada kenyataan. Tidak ada pilihan lain. Dia harus meminta bantuan Maya.

Nathan duduk kembali di sofa. Dia mencoba menenangkan hati yang masih berkecamuk, berusaha mengatur napas agar pikirannya lebih jernih. Perlahan, dengan tangan yang bergetar, dia merogoh saku celana dan mengeluarkan ponselnya. Perasaan ragu kembali menguasai dirinya. Jari-jarinya terasa berat, seakan menolak untuk bergerak mencari kontak Maya. Tetapi dia tahu, tidak ada pilihan lain. Setelah beberapa detik, dia menemukan nama Maya di daftar kontak. Nathan memandangi layar ponsel itu sejenak, mempertimbangkan sekali lagi keputusan yang akan diambil. Namun, tanpa menunggu lebih lama, dia akhirnya menekan tombol panggil.

“Hallo …” suara merdu seorang wanita terdengar di telinganya.

“Ma …” suara Nathan seakan terputus di tenggorokan.

“Nathan?” Maya menjawab dengan nada tenang namun penuh otoritas, seperti biasa. “Ada apa?”

Nathan menelan ludah, merasakan beratnya permintaan yang akan disampaikan. “Aku… butuh bantuan,” ucapnya, akhirnya bisa berbicara meski suaranya terdengar sedikit gemetar.

Maya terdiam sejenak, lalu suaranya terdengar dingin. “Bantuan apa?”

Nathan mengambil napas dalam, berusaha untuk tenang. “Aku butuh uang… lima milyar.”

“Lima milyar?” nada Maya sedikit meninggi. “Untuk apa uang sebesar itu, Nathan?”

Nathan merasa ada keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. Dia tidak bisa mengatakan kebenaran. “Aku… aku ingin mengembangkan usaha, Ma. Aku butuh modal untuk proyek baru.”

Hening sejenak di ujung telepon. Nathan tahu Maya sedang mencerna ucapannya. Lalu, dengan nada yang tidak lagi dingin tapi penuh pertimbangan, Maya menjawab, “Baik. Aku bisa memberikan uang itu.” Nathan hampir bernapas lega, tapi kemudian Maya menambahkan, “Tapi ada syaratnya.”

Nathan mengernyit, merasa firasat buruk mulai muncul. “Syarat apa?” tanyanya dengan hati-hati.

Maya tersenyum kecil di balik telepon, meski Nathan tidak bisa melihatnya. “Kamu harus kembali ke sini, Nathan. Tinggal di rumahku. Aku ingin mengawasi apa yang kamu lakukan dengan uang itu, dan aku ingin kamu belajar langsung dari Denis.”

“Apa?!” Nathan terlonjak dari duduknya. “Ma, aku tidak mau tinggal di rumah itu, apalagi dengan Denis! Dia selalu memperlakukanku seperti aku tidak ada!”

“Dia orang kepercayaanku, Nathan,” jawab Maya tegas. “Dia tahu banyak tentang bisnis. Ini adalah kesempatan untukmu belajar dan berkembang.”

Nathan merasa marah. “Tapi ini bukan tentang bisnis! Ini tentang keluargaku dan masalah ayah. Kenapa harus melibatkan Denis?”

“Sebentar … Kamu bilang ini tentang masalah ayahmu? Kamu bilang tadi ini masalah pengembangan usahamu? Jangan coba-coba membodohi aku, Nathan. Aku tahu kamu sedang berbohong,” ucap Maya.

Nathan benar-benar terkejut, pemuda itu keceplosan karena emosi. Nathan pun merasa terdesak. Dia tidak terbiasa berbohong, dan itu membuatnya gugup. “Aku… sebenarnya, uang itu untuk ayah. Dia sedang bermasalah dan butuh tebusan.”

Maya terdiam sejenak, mengamati setiap kata yang keluar dari mulut Nathan. “Tebusan? Untuk apa? Apa yang terjadi?”

Nathan menghela napas, tidak ada gunanya menyimpan rahasia lebih lama. “Ayah terlibat masalah besar. Dia dikejar oleh orang-orang karena sebuah kesalahan. Jika tidak ada uang itu, dia akan dalam bahaya.”

“Jadi, kamu butuh uang untuk menyelamatkan ayahmu?” Maya tersenyum tipis, tampak menguasai situasi tersebut. “Aku akan membantu, tapi kamu harus memenuhi syaratku. Tinggal di sini, belajar dari Denis, dan buktikan bahwa kamu bisa dipercaya.”

“I..itu tidak mungkin …” ucap Nathan pelan.

“Mengabaikan Denis sama saja dengan mengabaikan peluangmu, Nathan,” kata Maya, suaranya tetap datar. “Kamu tidak akan mendapatkan uang itu tanpa syarat.”

“Jadi, aku harus memilih antara uang dan kebanggaanku?” Nathan merasa frustrasi. “Itu tidak adil.”

“Kadang, kita harus mengorbankan sesuatu untuk mendapatkan yang lain,” jawab Maya. “Jika kamu benar-benar ingin membantu ayahmu, kamu harus melakukan syaratku. Ini satu-satunya cara.”

Nathan terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Kepalanya berputar memikirkan semua konsekuensi dari permintaan Maya. Uang itu penting untuk menyelamatkan ayahnya, tetapi tinggal bersama Maya dan Denis terasa seperti terjebak dalam jaringan yang lebih rumit. Beberapa detik berlalu dalam hening yang berat, membuat suasana semakin menegangkan.

Tiba-tiba, suara Maya memecah keheningan. “Nathan…” Suara itu tegas, tidak memberi ruang untuk ragu. Nathan tersentak, menyadari bahwa dia masih belum memberikan jawaban. “Kamu masih di sana?” tanya Maya, nada suaranya menuntut kepastian.

Nathan mengangkat napas dalam-dalam, berusaha mencari kata-kata yang tepat. “Aku… aku butuh waktu untuk memikirkan semuanya, Ma,” jawabnya, suara bergetar.

“Waktu untuk apa?” potong Maya dengan nada tajam. “Ini masalah hidup dan mati bagi ayahmu. Apakah kamu akan terus bertele-tele, atau siap mengambil risiko ini?”

“Aku butuh waktu, Ma …” ulang Nathan.

“Dengar, Nathan,” Maya melanjutkan, suaranya semakin dingin. “Jika kamu tidak mengambil kesempatan ini, aku tidak bisa menjamin apa yang akan terjadi pada ayahmu. Dia terlibat dalam masalah yang sangat serius, dan waktu tidak berpihak padamu.”

Keringat dingin mulai mengalir di pelipis Nathan. “Apa maksudmu?”

“Jika kamu tidak setuju untuk tinggal bersamaku dan Denis, aku tidak akan memberikan uang itu. Ayahmu akan menghadapi konsekuensi dari kesalahannya,” ancam Maya dengan tegas. “Dan aku tidak bisa menjamin keselamatannya. Pilihan ada di tanganmu, Nathan.”

Mendengar kata-kata itu, Nathan merasakan jantungnya berdegup kencang. Dia tahu, jika tidak setuju, masa depan ayahnya bisa hancur. Dalam situasi tertekan seperti ini, tidak ada pilihan lain. “Baiklah, aku setuju,” ucapnya akhirnya, tak berdaya.

Maya di ujung telepon mengeluarkan desahan lega. “Bagus, Nathan. Aku tahu kamu akan membuat keputusan yang tepat. Uang lima milyar yang kamu perlukan sudah ada di Livia.”

Nathan terkejut. “Livia?”

“Ya ... Segera hubungi Livia dan atur semuanya. Setelah itu, kamu tidak akan bisa mundur dari kesepakatan ini,” jawab Maya tegas.

Nathan menelan ludah, menyadari bahwa dia terikat pada syarat Maya. “Ba..baiklah,” ucapnya pelan.

“Jangan lupa, Nathan, ini adalah kesempatan. Jangan sia-siakan,” kata Maya sebelum menutup telepon. Nathan melihat layar ponsel, merasa berat dengan keputusan yang telah diambilnya.

Nathan termenung, pikiran berkecamuk tentang keputusan yang baru diambil. Ia masih merasakan beratnya beban yang akan ditanggung. Tiba-tiba, bisikan yang memperingatinya kembali terngiang dalam benaknya, seakan menuntut perhatian. Dua kali bisikan itu muncul, mengingatkannya pada sesuatu yang lebih besar dari sekadar masalah pribadi. Nathan berpikir, mungkin ini adalah jalan yang ditunjukkan oleh leluhurnya untuk menyelamatkan Maya. Namun, ia merasa bingung, karena tidak melihat alasan yang kuat bagi Maya untuk diselamatkan. Wanita itu sudah terjun jauh ke dalam dunia bisnis yang gelap dan penuh ambisi. Meski begitu, rasa tanggung jawab dan amanah para leluhur membuatnya mempertimbangkan kembali langkah yang harus diambil.

“Jadi …?” tanya Ronny yang tiba-tiba membuyarkan lamunan Nathan.

“Uangnya sudah ada, tinggal diambil …” jawab Nathan sambil berlalu dari hadapan ayahnya.

Nathan membuka pintu kamarnya dan melangkah masuk. Dia menuju lemari, membuka pintunya, lalu mengambil handuk yang tergantung di dalamnya. Nathan juga menarik satu set pakaian bersih dan menggenggamnya di tangan. Setelah itu, Nathan berjalan keluar kamar menuju kamar mandi yang terletak di dekat dapur. Saat melewati ruang dapur, pandangannya sekilas tertuju ke teras belakang. Di sana, ayahnya duduk di kursi rotan sambil merokok. Asap rokok mengambang di udara, dan meskipun wajah Ronny tidak sepenuhnya cerah, ekspresi pria paruh baya itu terlihat lebih tenang dibandingkan sebelumnya.

Nathan tidak lama memandang ke arah ayahnya. Ia segera masuk ke kamar mandi. Ia menyalakan keran, merasakan air yang mengalir di kulitnya, dan mulai membersihkan diri. Setelah mandi, ia mengenakan pakaian bersih yang sudah dipersiapkannya tadi. Nathan keluar dari kamar mandi dan kembali ke kamarnya. Di sana, dia berdiri di depan cermin, merapikan rambut dan memastikan penampilannya terlihat rapi sebelum melanjutkan aktivitas lainnya. Nathan keluar dari kamarnya dan berjalan menuju teras belakang rumah. Nathan mendekati ayahnya di teras belakang. Tanpa berkata apa-apa, ia menarik kursi rotan yang ada di sebelah Ronny dan duduk di sana.

Nathan memecah keheningan. "Aku terpaksa harus pindah ke Jakarta," ucapnya tanpa basa-basi. "Maya memberi uang untuk menyelesaikan masalah ayah, tapi ada syarat. Aku harus tinggal bersama dia dan Denis. Sebenarnya aku nggak mau tinggal di Jakarta, tapi tidak ada pilihan lain."

Ronny terdiam, mendengarkan dengan seksama.

Nathan melanjutkan, "Menggadaikan sertifikat tanah bukan jalan yang baik. Risiko terlalu besar. Nilai tanah itu tinggi, dan aku nggak mau kalau sampai hilang atau malah jadi masalah di kemudian hari."

Ronny menarik napas panjang. "Maafkan ayah, Nathan. Seharusnya kamu nggak perlu menanggung semua ini. Ini semua salah ayah."

Nathan berdiri dari kursinya tanpa berkata apa-apa lagi. Ia berjalan meninggalkan teras belakang, melewati dapur yang sepi, dan keluar menuju halaman depan rumah. Udara sore terasa hangat saat Nathan mendekati motornya yang terparkir di sudut halaman. Ia memegang setang motor lalu menyalakan mesin. Suara motor yang menyala memecah ketenangan sore ketika Nathan mulai melaju meninggalkan rumah. Perjalanan ke pusat kota dimulai, jalanan yang tidak terlalu ramai memudahkan Nathan melaju dengan kecepatan stabil. Tujuannya adalah rumah Livia. Setelah sekitar setengah jam perjalanan, Nathan tiba di depan rumah Livia. Matahari mulai rendah di ufuk barat, sinarnya masih memberikan cahaya lembut di sekitar rumah.

Nathan mematikan motor dan turun, kemudian berjalan menuju pintu rumah Livia. Ia berhenti sejenak di depan pintu dan menekan bel rumah. Suara bel terdengar dari dalam, membuat Nathan menunggu beberapa detik. Tak lama, pintu terbuka. Livia berdiri di sana dengan senyum lebar, wajahnya terlihat cerah. Tanpa berkata apa-apa, ia langsung mendekati Nathan, lalu menyambutnya dengan ciuman di bibir. Nathan membalas ciuman Livia, dan setelah beberapa detik, mereka melepaskan ciuman itu.

“Hi hi hi … Ada kabar lucu sekaligus gembira,” ucap Livia sambil menarik tangan Nathan, dan mereka msuk ke dalam lalu duduk di sofa panjang berhimpitan.

“Kabar apa?” tanya Nathan agak lesu.

“Gara-gara kejadian tadi, Maya memindahkan aku ke Jakarta. Kejadian tadi membawa berkah buatku yang sudah lama ingin pindah ke Jakarta,” ucap Livia dengan wajah berseri, penuh semangat dan harapan.

“Oh …” respon Nathan yang tetap lesu membuat Livia mengerutkan dahi.

“Kenapa kamu terlihat begitu? Ini kan kabar baik,” ucapnya, mencoba mengubah suasana.

“Kabar baik buatmu, tapi kabar buruk buatku,” ujar Nathan.

“Nathan … Aku tahu kalau kamu akan pindah juga ke Jakarta. Tadi Maya bicara padaku semuanya. Aku tahu semuanya,” ucap Livia dengan penuh semangat. “Maya akan membimbingmu untuk menjadi pengusaha hebat. Ini kabar baik buatmu,” kata Livia lagi coba memberi semangat pada Nathan.

“Kalau aku dengan Maya mungkin aku masih bisa, tetapi dengan Denis rasanya aku sulit menerima dia setelah apa yang dia lakukan padaku,” ungkap Nathan.

Livia mengangguk, memahami perasaannya. “Aku mengerti. Tapi cobalah untuk melihat sisi baiknya. Mungkin ada cara untuk menjalin hubungan yang lebih baik dengan Denis.”

“Aku belum melihat sisi baik Denis,” jawab Nathan, suaranya masih penuh keraguan. “Dia selalu bersikap seperti orang yang berkuasa, dan itu membuatku merasa tidak nyaman.”

“Hi hi hi … Aku akan kasih tahu sebuah rahasia. Aku bicara dengan pegawaiku yang kamu hajar. Mereka bilang kalau kamu bukan manusia. Mereka bilang kalau kamu sakti dan tidak mempan senjata tajam. Aku ceritakan itu kepada Maya dan Maya kelihatannya sangat tertarik,” ucap Livia dengan nada bersemangat.

“Kenapa dia tertarik dengan hal itu?” tanya Nathan yang sebenarnya dia tahu karakter Maya seperti itu, namun Nathan ingin mengetahui lebih dalam.

Livia mengangguk, menatap Nathan dengan penuh semangat. “Nathan, kamu tahu, Maya selalu mencari cara untuk memperkuat posisinya. Jika dia tahu tentang kemampuanmu, dia pasti akan memanfaatkan itu untuk bisnisnya. Dia juga mungkin merasa terancam oleh saingan atau musuh. Dengan memiliki orang-orang kuat di sekitarnya, dia akan merasa lebih aman dan terlindungi. Selain itu, menjalin hubungan dengan orang kuat sepertimu bisa meningkatkan citranya di mata publik, membuatnya terlihat lebih berkuasa dan mengesankan. Ini bisa jadi kesempatan besar bagimu, lho!”

“Tetap saja masalah terbesarku kan dengan Denis …” Suara Nathan penuh keraguan.

Livia menjawab dengan yakin, “Tapi aku rasa Denis sudah tahu tentang kejadian yang menimpa pegawaiku yang menjadi suruhan dia. Sekarang, Denis pasti sadar akan kemampuanmu. Dia mungkin akan lebih menghargaimu setelah melihat betapa kuatnya kamu.”

Nathan menatap Livia dengan ragu. “Kamu yakin? Dia tampak sangat arogan.”

“Percayalah,” kata Livia, “Denis bukan orang yang bodoh. Dia pasti mengerti bahwa kamu bukan sembarang orang. Dengan semua yang terjadi, dia akan berpikir dua kali sebelum meremehkanmu lagi. Ini bisa jadi titik balik dalam hubungan kalian. Justru, ini kesempatan untuk menunjukkan siapa dirimu yang sebenarnya.”

Penjelasan Livia sangat masuk akal bagi Nathan. Ia mulai memahami bahwa Denis mungkin tidak akan meremehkannya lagi karena sudah mengetahui kekuatannya. Pikiran pemuda itu mulai terbuka, dan keyakinan baru muncul dalam dirinya. Nathan merasakan perubahan dalam suasana hatinya. Ia membayangkan Denis yang sebelumnya tampak sombong kini akan memperlakukannya dengan lebih hormat.

Perubahan ini memberikan pencerahan bagi Nathan. Rasa percaya diri mengalir ke dalam dirinya, dan ia merasa senang dengan kemungkinan baru yang terbuka. Beban yang selama ini mengganggu terasa mulai terangkat. Nathan membayangkan momen di mana ia bisa menunjukkan kemampuannya dan mendapatkan pengakuan. Senyum muncul di wajahnya, dan ia merasa siap menghadapi tantangan yang ada di depan.

“Livia, Terima kasih. Kamu telah membuatku siap pergi ke Jakarta,” kata Nathan dengan tulus.

“Aku juga mau ucapan terima kasih sama kamu, Nathan … Gara-garamu aku pindah ke Jakarta,” balas Livia dan tiba-tiba wanita itu menggeser duduknya hingga di pangkuan Nathan. Dengan senyuman nakal, ia menggigit bibirnya dan menatap Nathan dalam-dalam.

Nathan menahan napas, matanya berkilau. “Kamu tahu, aku paling tidak tahan kalau ada wanita yang duduk di pangkuanku. Rasanya… langsung saja kepingin gituan,” ujarnya sambil tersenyum nakal, tangannya secara tidak sengaja mengelus pinggang Livia.

Livia mencubit hidung Nathan dengan geli. “Aduh, otak kamu itu harus dicuci, deh! Kenapa sih selalu ngeres melulu?” katanya sambil tertawa, matanya menyorot penuh canda.

Nathan berpura-pura merengut. “Eh, siapa yang ngeres? Justru kamu yang berani menggoda punyaku,” balasnya, sambil melengkungkan senyumnya.

Livia tertawa lebih keras, senyumnya membuat Nathan semakin tidak bisa menahan rasa. “Ya ampun, Nathan! Kamu ini ya… bisa-bisanya berpikir begitu!” Lalu Livia mencondongkan tubuhnya, mendekatkan wajahnya ke wajah Nathan, matanya berkilau dengan tantangan. “Tapi… kalau kamu mau, mungkin kita bisa bahas lebih serius di kamarku.”

“He he he … Ketahuan kan, siapa yang ngeres,” Ujar Nathan sambil menangkup buah dada kiri Livia.

“Habisnya kamu yang duluan,” kata Livia agak mendesah.

Nathan tidak lagi merespon ucapan Livia. Ia memfokuskan perhatian pada buah dada wanita itu di tangannya, menggerakkan jari-jarinya dengan lembut. Sementara itu, Livia merasakan sentuhan Nathan yang menyalakan reaksi nikmat. Livia pun mendesah pelan, tidak mampu menahan efek dari sentuhan lembut itu, tubuhnya merespon dengan cara yang semakin jelas.

Livia merasakan dorongan hangat dalam tubuhnya. Ia bergerak perlahan, tubuhnya kini berhadapan dengan Nathan, dan tanpa ragu, ia langsung menempelkan bibirnya pada bibir Nathan. Keheningan di antara mereka pecah seketika. Ciuman itu terasa mendalam, dan cepat membakar hasrat di antara mereka. Sensasi yang muncul semakin kuat, menyelimuti keduanya dalam gairah yang tak tertahankan. Bibir mereka saling melumat, bertemu dengan penuh tenaga. Lidah mereka bertaut, seolah mencari dominasi, sambil bertukar saliva yang membuat rasa di antara mereka semakin nyata, memicu hasrat yang membara, membangkitkan keinginan yang terus meningkat. Nathan melanjutkan gerakannya dengan meremas payudara Livia. Sentuhan tangannya semakin menjelajah, mengikuti ritme yang tercipta di antara mereka.

Di tengah intensitas yang terus memanas, dering ponsel tiba-tiba memecah momen tersebut. Nathan langsung menghentikan aktivitasnya. Ada sedikit rasa jengkel saat dia mengambil ponsel itu dari saku celana. Dia melihat nama tetangganya muncul di layar. Rasa penasaran muncul, meskipun terganggu, dan dia memutuskan untuk menerima panggilan itu.

"Hallo …" sapa Nathan.

Suara di seberang terdengar tergesa, hampir tercekik, "Nathan... Tuhan, rumahmu... kebakaran!" Suaranya bergetar, diselingi hembusan napas yang berat.

Nathan membeku sejenak, tidak percaya. "Apa?! Kebakaran? Rumahku?" Rasa terkejut langsung menyergapnya, suara Nathan semakin keras, penuh ketidakpercayaan.

"Iya! Apinya besar sekali, Nathan! Dari bagian belakang! Asap tebal... kami sudah panggil pemadam, tapi apinya cepat menyebar!" Tetangganya hampir terbata-bata, suaranya diwarnai kepanikan yang nyata, terdengar sedikit terisak.

Nathan tersentak, napasnya mulai tak teratur. "Ya ampun! Seberapa parah?!"

"Parah, Nathan! Setengah rumahmu sudah dilalap! Cepat ke sini! Tuhan, ini makin buruk!" Suara tetangganya semakin panik, hampir tak terkendali, sirene pemadam semakin jelas terdengar di latar belakang.

Nathan menutup telepon dengan gemetar, jantungnya berdegup kencang.

“Ada apa?” tanya Livia, suaranya bergetar, jelas ikut panik melihat perubahan mendadak pada Nathan.

“Rumahku kebakaran…” jawab Nathan dengan suara berat, sembari mengangkat tubuh Livia dari pangkuannya.

Nathan segera berdiri, mengatur napas yang memburu, lalu bergegas menuju pintu. Suasana yang tadinya penuh gairah kini berubah drastis menjadi situasi penuh ketegangan dan kepanikan. Ia membuka pintu dengan kasar, hampir terbanting, lalu keluar rumah secepat mungkin. Di luar, Nathan langsung menghidupkan motornya dengan sekali tarikan. Suara mesin motor menggelegar, seiring dengan tarikan gas yang kencang. Tanpa menoleh ke belakang, Nathan melaju keluar dari halaman, meninggalkan jejak debu di jalan.

Livia, yang terkejut melihat kepanikan Nathan, buru-buru menyusul. Dia meraih kunci mobilnya yang tergeletak di meja, lalu berlari keluar. Matanya mengikuti sosok Nathan yang semakin jauh di depan. Tak ada waktu untuk berpikir. Livia segera masuk ke dalam mobilnya, menyalakan mesin, dan memutar setir dengan cepat, berusaha mengejar Nathan yang sudah melaju kencang di kejauhan.

Nathan memacu motornya dengan kecepatan tinggi di jalan yang lengang. Angin malam menerpa wajahnya, namun pikiran pemuda itu hanya terfokus pada satu hal, ayahnya. Jalanan di depan terasa panjang, namun desakan dalam dirinya membuat setiap detik terasa lambat. Matanya lurus ke depan, cemas akan keadaan ayahnya. Benak Nathan dipenuhi kekhawatiran, apakah ayahnya berhasil keluar sebelum api melalap segalanya.

Setibanya di daerah rumah, asap hitam tebal mulai terlihat dari kejauhan. Nathan terus melaju, hingga akhirnya pandangannya tertuju pada lokasi rumahnya yang kini hampir rata dengan tanah. Puing-puing berserakan di sekelilingnya, dengan bara api yang masih menyala di beberapa titik. Petugas pemadam masih berusaha memadamkan sisa api, sementara aroma hangus menyengat menusuk hidung. Nathan berhenti tepat di depan reruntuhan yang dulunya adalah tempat tinggalnya. Rumah itu kini hanya tersisa puing dan bara yang menyala. Dalam kepanikan, ia mencari-cari sosok ayahnya di antara kerumunan.

Nathan melesat, bergerak menuju puing-puing rumahnya. Nathan bergerak cepat di antara puing-puing yang masih panas, matanya mencari-cari sosok ayahnya di tengah kekacauan. Teriknya api dan asap tidak menghalangi pemuda itu. Ia tidak merasa panas berkat Ajian Brajamusti yang dimilikinya. Setiap langkah Nathan penuh semangat dan harapan, meski suara sirene dan teriakan orang-orang di sekelilingnya berusaha memperingatkannya untuk tidak mendekat. Nathan mengabaikan semua itu, fokus pada satu tujuan.

Ia terus menerus memanggil ayahnya, suaranya nyaring dan penuh kepanikan, "Ayah! Di mana ayah?!" Teriakan itu menggema di tengah suasana yang kacau, menambah kesedihan di hatinya. Dengan tangan yang terulur, ia menjelajahi reruntuhan, meraba setiap potongan kayu dan besi, berharap menemukan ayahnya di antara sisa-sisa kehampaan. Saat keringat mengucur di wajahnya, Nathan tetap melangkah, bertekad untuk menemukan ayahnya, terlepas dari bahaya yang mengancam.

Nathan terus meraba puing-puing yang masih menyisakan bara, harapannya semakin memudar seiring waktu yang berlalu. Setiap detik terasa berat, seakan ada beban yang menekan dadanya. Ia tidak menemukan ayahnya di antara reruntuhan. Hati Nathan hancur, seolah seluruh dunia runtuh bersamanya. Setiap kali ia melihat sisa-sisa barang yang hangus, terbayang kenangan-kenangan indah bersama ayahnya, semuanya kini sirna dalam api.

Perasaan kesedihan melanda, mengisi ruang kosong yang tersisa. Air mata mulai mengalir, tak mampu lagi ia tahan. Keringat bercampur debu membuat wajahnya kotor, namun rasa sakit di hatinya jauh lebih menyakitkan. Ia merasa sendirian, terasing di tengah keramaian. Suara kepanikan di sekelilingnya menjadi samar, berganti dengan keheningan yang menyakitkan. Nathan terjatuh di antara puing-puing, merasakan kehampaan yang menguras semua semangatnya. Kegelapan menyelimuti pikiran dan jiwanya, hanya menyisakan kesedihan yang mendalam.


 

Read More

Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

BTemplates.com

POP ADS

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com