RARAS APA YANG KAMU LIHAT???
Apa yang lebih memalukan daripada kehilangan harga diri?
Sepertinya itu yang terlintas dipikiranku ketika kenikmatan yang berbuah aib diketahui oleh seluruh keluarga.
“Tidak! ini tidak boleh terjadi pikirku”.
“Mah aku ke luar sebentar yahhh” ujarku sambil menatap Mama Sisca yang terlihat sangat khawatir.
Aku mengenakan pakaian dan segera memeriksa keluar.
Aku melihat bayangan di tembok tangga menuju lantai 2. Aku perhatikan dengan seksama bayangan itu masih ada.
Tangga menuju lantai 2 berbentuk leter U. Untuk naik ke lantai 2 kita harus membelok ke arah berlawanan setelah tembok. 8 langkah ke tembok dan 8 langkah ke atas.
Aku melangkah sampai pijakan besar di tembok. Kuperhatikan ke arah sumber
Bayangan ditembok terlihat bergerak-gerak. "Tidak asing bayangan ini" pikirku.
Aku menatap ke arah atas.
“Huhhhh…” agak lega kali ini. Terlihat korden ruangan atas sedikit bergoyang-goyang tertiup angin. Sekilas serupa dengan gerakan yang membentuk bayangan menyerupai orang di tembok.
Angin cukup besar siang ini. Mungkin itulah kenapa pintu kamar bisa terbuka pikirku.
Aku lantas menuju kamar atas dan memeriksa kamar Raras melalui kamera pemantau yang berbentuk jam burung.
Rupanya Raras sedang sholat Zuhur...huhhh...agak tenang aku sekarang.
Aku menenangkan diri, dan kemudian turun kembali ke kamar Mama Sisca.
“Angin dari atas” kataku menenangkan Mama Sisca.
Mama Sisca sudah mengenakan pakaian.
“Beneran? bukan Raras?” Kata Mama Sisca. “Raras sedang Dzuhur” kataku keceplosan.
Mama Sisca terlihat sedikit heran dengan jawabanku.
“Ohhh…” untungnya Mama Sisca tidak memperpanjang keheranannya.
Aku berpamitan ingin mandi dan berangkat untuk kerja.
#RUTINITAS
“Belum bisa Pak kalau sekian” ujarku.
“Banyak yang mau kasih saya harga segitu, jika gak bisa ya mungkin lain kali” ujar Bapak di depanku.
Aku hanya terdiam tidak bisa menanggapi.
Pembicaraan yang alot hari ini. “Baik Pak ya namanya sedang masa serba sulit Pak” ujar Budi, rekan kerjaku mengambil alih pembicaraan.
Biasanya kalau negosiasi diawali dengan keterlambatan, pasti akan berlangsung alot.
Aku menunggu bersama temanku sekitar 2 jam baru orang di depan ku ini datang, benar-benar calon buyer yang tidak bisa diandalkan pikirku.
Usut punya usut sudah ada kompetitor yang mengajukan penawaran pada jam 11. Bisa kutebak pasti kompetitor ini perempuan yang punya sex appeal, manner, dan wangi zara.
Model begini bukan perkara harga yang dipermasalahkan, ini persoalan libido. Komoditi yang aku jual hampir mudah diketahui harganya oleh orang yang lama berkecimpung di bisnis ini.
Tinggal apakah good will dan chemistry di antara seller dan customer berlangsung baik. Harga dasar dan limit sudah pasti bisa dinegosiasikan. Pemasalahannya ketika penawaran terlalu rendah, sudah bisa dipastikan ada udang di balik celana. Agak picik pikiranku saat ini.
Perinsip ekonomi sederhana. Libido yang membuat jadi tidak sederhana lagi.
Diselingi percakapan temanku dengan klien yang rumit ini ponsel ku bergetar...
“Zzzzz...Ting…” pesan masuk di ponselku.
“Mas Ale, Mbak Raras minta tolong dianterin tuh besok”. Smita mengirim pesan padaku.
“Bilangin kontak aku aja sayang”. Balasku.
“Oke papih” Balas istriku.
"Zzzzz…zzz…Ting"
“Mas Ale tadi Raras pinjem mukena di kamar Mas Ale”. bunyi pesan itu disertai foto.
Aku mengingat-ingat dimana mukena itu disimpan. Tapi aku lupa dimana mukena itu diletakan.
“Iya Ras, gak papa”. tadi aku lagi diluar rumah ujarku berbohong.
“Mas besรถk berangkat pagi apa siang?”
“Sekitar jam 12 siang. Ada yang bisa Mas bantu?"
“Mas besรถk pagi aku minta tolong dianterin ke rumah. Mau ambil laptop, sama baju boleh gak?”. Raras melanjutkan.
“Ya boleh dong Ras.” balasku.
“Terimakasih Mas Ale” diselingi emoticon love.
Aku hanya tersenyum melihat membaca isi hp ku.
Tiba-tiba…
“Bagaimana Pak Ale?” tanya temanku yang ku tak pahami maksudnya…
“Sorry bisa diulangi sedikit?” mukaku tersenyum kecut dengan alis naik dua-duanya…
Ku lihat bapak didepanku menaikan alisnya setengah…
#KEESOKAN HARI
Aku membawa mobil pagi itu untuk mengantar Smita bekerja, sekaligus mengantar Raras. Kami keluar pukul 7 pagi supaya bisa segera sampai dan menghindari kemacetan Jakarta.
Kami harus buru-buru kembali ke rumah karena Didit diurus oleh Mama SIsca di rumah.
Tentunya Raras menghindari hal yang berpotensi menjadi emosional jika bertemu dengan suaminya di rumah. Akan menyulitkan jika Didit diajak ikut dalam kondisi seperti ini.
Raras mempunyai pekerjaan sampingan seller, dan bermain saham dengan bantuan autoboat selain menjadi ibu rumah tangga.
Raras bisnis produk-produk kecantikan yang sangat populer di ibu kota. Dia sangat berbakat di bidang ini. Orang akan sangat percaya apabila Raras yang menawarkan. Kulitnya yang putih berseri, terawat, imagenya sehat untuk menjadi maniken berjalan produk ini.
Praktis sudah 4 hari Raras tidak melakukan aktifitas bisnisnya. Meskipun membuka aplikasi bisa dilakukan di hp. Permasalahannya ada program penjualan yang hanya bisa dibuka di laptop. Lagipula ponsel Raras masih tertukar dengan punya suaminya.
Affandi pernah berniat menukar ponselnya beberapa hari lalu. Namun dia mengurungkan niatnya setelah aku menjelaskan untuk datang beberapa hari lagi.
Kemacetan membuat jarak yang dekat menjadi serasa jauh ketika diperjalanan.
“Affandi ada di rumah Ras?” aku menatap lampu merah yang enggan menjadi hijau.
“Gak tau aku Mas. Harusnya masih ada jam segini.” Raras melihat jam tangannya.
“Baru jam 9 kok. Nanti Mas dimobil saja ya, aku cuma sebentar kok”. lanjutnya lagi.
“Kamu gak mau bicara dulu Ras?” tanyaku…
“Ngapain, tega mempermainkan istrinya sendiri. Gila kelakuannya…Mas Ale bayangin, kan gak mungkin Mas Ale bolehin temen Mas megang-megang Mbak Sita kan? Kalau ini niat banget…ya kan Mas?” Seakan Raras meminta dukunganku.
Aku sebenarnya hanya berniat mendengarkan tanpa niat untuk membantah apa yang dia katakan. Namun ketika diminta pendapat aku sedikit menyampaikan pikiranku.
“Manusia semua punya kekurangan Ras.”
“Kekurangan yang manusiawi pastinya Mas bukan yang sakit kayak dia” Raras menyela ucapanku. Tampak agak emosional dia.
“Termasuk ke’sakitan’ adalah kekurangan Ras”.
Raras sejenak terdiam mendengar perkataanku. “maksudnya?” lanjut Raras.
“Iya, termasuk kesakitan adalah kekurangan yang memang ada pada tiap manusia Ras. Mmmm...Memang kadarnya berbeda-beda setiap orang”. Aku sok bijak. Bijak-bijak ngehek.
“Gak ngerti aku Mas”. Tanggapan Raras mendengar aku bull shit.
“Gini lho, Andi melakukan itu bukan berarti dia gak sayang kamu Ras.”
Raras menunjukan ekspresi yang semakin bingung. Lampu hijau menyala dan mobil mulai jalan.
Aku menjelaskan kemudian...
“Ada bentuk kesakitan yang aneh seperti itu. Contoh banyak pria yang suka jika istrinya dikagumi oleh orang lain. Makanya mereka suka istrinya pakai-pakaian agak terbuka, dandan yang menarik, urus badan kayak kamu gini. Bangga suami punya istri yang good looking kan”
“Ya pastinya semua perempuan sukanya begitu kan Mas”. Ujar Raras...
“Iya, tapi ada tingkatannya. Ada yang suka jika kenikmatan yang dia rasakan juga bisa dirasakan oleh orang lain”.
“Hahhh?!?! Gila apa Mas, itu sakit namanya !!!” Raras benar-benar protes kali ini.
“Ya itu tadi Ras…sakit memang sakit. Itu termasuk kekurangan, sayangnya adalah kekurangan pasangan kita. Sekarang bagaimana kita bijaksana menghadapi ini semua”. Bijak ngehek lagi nih...
Mobil sampai di depan rumah Raras. Tidak tampak mobil Affandi di garasi rumahnya.
“Mmm, sekarang hari selasa. Biasanya memang berangkat pagi karena harus ke kantor di wilayah lain”. ujar Raras memperhatikan garasinya.
Setelah aku parkirkan mobil di dalam garasi, aku dan Raras masuk ke ruang tamu.
“Mas Ale mau minum apa?.” ujar Raras sembari menuju ke belakang.
“Air biasa aja Ras”. Ujarku berdiri di sekitar ruang tamu.
“Ya udah, sebentar ya Mas, aku siapin barang-barang dulu”. Raras ke dapur dan memanaskan air. Raras kulihat naik tangga menuju ke lantai atas.
Kuperhatikan ruangan ini tampak foto pernikahan Raras dan Affandi dalam ukuran besar di dinding.
Ruang tamu Raras dan Affandi memang cukup enak. Ruang tamu ini punya open cyling dipojokan yang ada taman kecilnya. Jadi terasa seperti di teras rumah. Affandi memang punya pekerjaan yang cukup bagus.
Dia direktur operasional sekaligus pemilik sebagian saham pabrik furniture yang memproduksi barang-barang untuk pasar Eropa. Teman yang sering bersama dengan dia adalah teman semasa kuliah arsitektur di salah satu PT yang sejuk dan terkenal perempuan-perempuannya yang 'semolakhai'. Raras satu kampus dengan Affandi dulunya. Mereka beda 6 angkatan. Affandi sempat bekerja menjadi asdos di kampus Raras. Akhirnya mereka berpacaran dan menikah.
Foto-foto Didit dan keluarga menghiasi meja hias. Aku agak terenyuh menyadari kebahagiaan ini harus terusik karena permasalahan yang tengah terjadi.
“Sorry Mas agak lama…” Raras berbicara dari balkon ruang tengah.
“Iya gak papa Ras.” ujarku menenangkan Raras.
Raras turun ke bawah membawa sebuah tas baju dan tas laptop yang diletakan di ruang tamu.
Raras kemudian ke belakang, dan membawa 2 cangkir teh hijau panas ke meja tamu.
Dia berganti baju di atas. Selama beberapa hari di rumah Mama Sisca, Raras meminjam baju-baju Smita. Aku mengambil posisi duduk. Nyaman juga kursi ini untuk bercinta pikiran nakalku muncul.
Raras beberapa kali mondar mandir sebelum akhirnya duduk sedikit menyamping di hadapanku.
Mataku ku arahkan ke ponsel sok sibuk. Padahal aku mencuri-curi pandang ke arah sepupu istriku ini.
“Mas kamu lihatin apa sih dari tadi” Ujar Raras memperhatikanku.
“Ini pekerjaan banyak yang belum beres” Jawabanku asal-asalan.
“Oh ya udah, minum dulu Mas Ale, nanti langsung jalan.” Raras duduk lurus di depanku sambil menyeruput teh.
Aku ikut menyeruput teh hijau buatan Raras. "Memang berusaha menjaga badan sepupu istriku yang bohay ini" pikirku.
Padahal tidak masalah jika agak lama berduan dengan Raras pikiranku.
"Srupppp…hhhh..."
“teh hijau ya Ras?"
“Iya Mas, Mas Ale suka gak?” tanya Raras padaku.
“Memang yah kamu jaga badan banget” Kataku…
Raras memperhatikan lengannya sendiri. “Sekarang ya pasti lagi gemukan Mas, stress banget aku"
“Ras, madep sini Smita nanya aku nemenin kamu ke sini gak”. Aku mengambil gambar Raras. Sebenarnya hanya akal-akalanku saja. Padahal Smita tidak menanyakan sama sekali.
Raras berpose manis banget gaes.
Aku memperhatikan foto di hp ku. “Gak gemuk kok”. Ujarku pada Raras sambil memperhatikan gambar yang aku ambil.
Raras berdiri dan mencari posisi duduk disebelah kananku ingin melihat gambar yang ku ambil.
“Mana coba lihat” tanya Raras.
"Nihhh…” aku memperlihatkan ponsel itu dari tanganku. Praktis kepalanya mendekat kepadaku. Wangi tubuh Raras semerbak membangkitkan rasa horny kali ini.
"Walah tegang si joni" Perasaanku berkata semakin sempit celana ini. "Cium gak nih, cium gak nih" pikiran yang berputar terus di kepala.
“Gemukkk itu aku, hapus ah Mas”. Raras berusaha mengambilnya. Aku menjauhkan ponselnya dengan tangan kiriku.
Posisi Raras berhimpitan dengan ku…walah dadanya sudah terasa membumbung dibahuku.
Menyadari dia tidak dapat menjangkaunya, Raras menunjukan ekspresi ngambek.
“Mas Ale jahat” ujarnya...
“Jangan dihapus Ras, ini cantik” balasku sambil kembali melihat hp dengan tangan kiri...
Wajah Raras berubah menjadi sedih.
“Aku cantik Mas?” tanya Raras
“Iya Ras, kamu cantik banget…sexy, sedap dah pokoknya” balasku sungguh pada Raras terkesan agak berlebihan sih...
Raras tampak terpaku.
“Kalau aku cantik kenapa Mas Affandi gak jagain aku ya?” ucap Raras seperti menatap dengan kosong, dan agak sentimentil mengungkit perlakuan Affandi membiarkan temannya mencium dan bertindak tidak senonoh pada dirinya.
Berpikir sejenak aku terbawa ke arah pembicaraan Raras.
“Rasa cemburu membangkitkan gairah yang lebih Ras” ujarku menjelaskan
Raras bingung menatapku.
“Maksudnya?”
“Ada beberapa orang merasa jika melihat pasangannya dilecehkan orang lain bisa memicu gairahnya Ras”. “Kamu jangan terburu-buru mengatakan sakit” aku melanjutkan.
“Berarti dia gak sayang aku dong.” Balas Raras.
“Belum tentu Ras”. aku menjawab.
“Gak ada hubungannya dengan rasa sayang. sakit ya sakit aja, itu salah satu kelemahan dia”. Jelasku kemudian...
“maksudnya gimana sih mas? kalau aku berhubungan dengan orang lain lantas dia menikmati begitu?” Tanya Raras.
“Bisa jadi”. Aku menjawab.
“Jadi kalau aku dicium, di raba orang, lantas Mas Affandi bisa menikmati?” Muka Raras agak sedikit bingung menatapku.
“Iya Ras…”Aku menjawab.
“Gila kali ya…kalau dia mau begitu, kenapa gak dia bilang aja”. Ucapan Raras membuat aku tersentakkk…tak tak tak...(Echo...)
“Hah, memangnya kamu mau Ras?”. Entah mengapa aku yang jadi bersemangat kali ini.
“Maksud aku, buat apa bikin aku gak sadar terus diapa-apain sama orang lain tanpa persetujuan aku. Kalau itu bisa bikin suami aku bahagia, aku bisa nekat lakuin itu kok mas. Pahit tapi apa yang gak kalau buat suami ya kan...”
“memang kamu sering acara keluargaan bareng sama temen temen Affandi”. Tanyaku pada Raras.
“Sering Mas, mmm gak terlalu juga, tapi tiap libur panjang pasti jalan bareng2”.
Raras terdiam sejenak.
“Aku gak tau sudah berapa lelaki yang pernah sentuh aku pas aku gak sadar”. Raras terdiam sejenak. Sebentar lagi agak dramatis pasti nih pikiranku...
“Aku kotor Mas…”Raras tiba-tiba menangis dan menutup wajahnya di sampingku.
Aku berinisiatif memeluknya, samar wangi tubuhnya merasuk ke dalam sukma. Baru kali ini aku sedekat ini dengan Raras..."Pahanya putih banget"
“Apa perlu aku tidur dengan orang supaya Mas Afandi senang?” Raras meneruskan menangis.
Seharusnya dipelukan affandi dia mengatakan ini. Kenapa saat ini, disini, bersamaku.
Sejenak kemudian…Raras sambil terisak melihatku seperti orang tidak sadar...
“Mas Ale…” katanya , aku sontak menatapnya.
"Kenapa Ras?" Balas ku...
Raras menatapku kali ini. Dapat kulihat tetesan air mata membasahi pipinya.
Aku bisa merasakan lukanya saat ini.
Sambil terisak-isak...
“Cium Raras Mas…” Raras memejamkan matanya.
Terkejut aku dengan permintaannya kali ini.
"Gak kulakukan , akan memukul dan membuat terpuruk harga dirinya. Aku lakukan (kepengen juga sih) sepertinya bisa membawa permasalahan semakin pelik."
Timbang-timbang 3 detik...damn lah.
Apa boleh buat, bibir Raras bersentuhan dengan bibir suami dari sepupunya sendiri kali ini.
Raras terlihat tenang. Dia benar-benar membutuhkan lelaki yang bisa membuatnya nyaman sepertinya.
Sejenak berhenti, kemudian Raras berinisiatif melumat dan mengulum bibirku kali ini.
Lipstik Raras terasa dibibirku sekarang. Sambil berposisi berpelukan aku berdirikan Raras dan ku baringkan dia di kursi yang panjang.
Raras hanya pasrah.
“Ras, kamu yakin?” Aku bertanya padanya sambil memegang kepalanya.
Raras hanya menganggukan kepala.
Aku keluar sebentar menutup pintu rumah, dan kembali, lantas membuka celana panjang dan celana dalam ku di hadapan Raras.
Aku berinisiatif membuka celana supaya Raras tahu bahwa aku nyaman memperlihatkan bagian intimku kepadanya.
Raras fokus menatap benda yang menggantung di bawahku kali ini.
Aku hanya terdiam menunggu inisatif dia.
Tepat prediksiku. Raras kembali duduk dan mulai berani membuka bajunya satu persatu, kemudian wajahnya di arahkan ke mataku. Perempuan memang sulit di mengerti. Tapi yang pasti ini tanda sedang birahi.
Bahu putih dan bersih terlihat ketika dia menyingkirkan kemejanya.
Sulit dipercaya, sepupu istriku sedang berusaha membuka bajunya di hadapan suami sepupunya sendiri.
Mungkin ini payudara termontok yang pernah aku lihat secara langsung seumur hidup aku.
Perasaan yang sulit dijelaskan. Sebenarnya tidak terlalu sulit juga jika sudah pernah meniduri Ibu Mertua sendiri.
“Mas bantuin..,”Pinta Raras ketika dia kesulitan membuka behanya sendiri.
Aku menghampirinya, duduk di belakangnya, dan melepaskan kaitan beha putih Raras kali ini.
Sejenak Raras agak ragu melepaskan cupnya.
"Gila kamu Mas, pertaruhin harga diri segitunya" Ujar Raras melihat aku sudah bugil terlebih dahulu, dan kini sedang menghampirinya.
"Aku tahu kamu gak akan nolak". Ujarku...
"Tahu darimana?" Tanya Raras.
"Just this, nothing left..." balasku...
Raras terpaku terbawa gombalan kali ini.
Posisi Raras memunggungi aku sekarang. Bahunya putih kemerahan, "mulus banget" pikirku.
Aku cium tengkuknya…Raras menggeliat menikmati dan menyingkapkan rambutnya. Ku cium anak rambut Raras disekitar lehernya. Tubuh raras terlalu mudah ditebak reaksinya.
Terlalu sensitif sepertinya.
Aku cium agak gemas lehernya kali ini.
“Akhhhh…, aduh geli Mas Ale…” terlihat tanda sedikit kemerahan akibat ciumanku kali ini. Aku cium dan genggam tangannya untuk menurunkan beha Raras.
Payudara putih montok yang aku lihat di kamera pengintai kini terpampang tiada bercacat dihadapanku. Puting Raras merah muda sedikit agak kecoklatan.
Sambil aku mencium tengkuknya aku remas kedua payudaranya dengan tangan kiri dan kananku.
"Semangka empuk" menakar besarnya payudara Raras ditelapak tanganku. Aku remas agak perlahan kemudian mengerucut sampai ke ujungnya.
Raras mendesah menikmati pilinan jemari di ujung putingnya.
“Akhhhh…ahhhhh…” Suara kenikmatan yang mengalun terus menerus dari perempuan dihadapanku. Mulut raras menganga, aku arahkan mulutku ke bibirnya. Bukan hanya mulut.
lidah kami saling bertalian. Wangi ceri...nyaman sekali bibir raras terasa dimulutku.
Raras menyambut ciuman dengan menyamping sembari menikmati dadanya diremas oleh suami sepupunya sendiri.
Entah mengapa sejak pertamakali melihat live bugil Raras di kamera pengintai, aku sudah tahu akan mengalami peristiwa ini cepat atau lambat.
Tidak kusangka hari ini menjadi hari bersejarah itu...
Hari yang setara dengan hari kemerdekaan buatku...
Tangan kanan aku turunkan mencari bagian bawah Raras.
Aku usap perutnya, terasa seperti ada bekas luka. Tanganku turun kemudian menelingsap kedalam celana Raras.
Agak ketat celana Raras.
Raras berinisiatif membuka kancing atas celananya untuk mempermudah akses masuk tanganku mengobok liang kenikmatan Raras.
Sedikit longgar celana Raras kurasakan, kuturunkan tanganku dan menemui bulu-bulu halus nun di bawah sana.
Agak lembab jemariku merasakan hawa di dalam celana Raras.
Labirin empuk mulai kutemui ketika jaritengah menerobos agak ke dalam.
“Rintihan Raras setiap kali aku menyentuh bagian tertentu menjadi penanda bagian sensitif Raras.
Titik utama sudah bisa aku rasakan sambil mengukur seberapa dalam konto#ku bisa kubenamkan nanti.
“Sebentar, buka aja Mas semuanya” Pinta Raras kali ini…
Dia berdiri, dan melepaskan celana termasuk celana dalamnya ke bawah.
Raras menghadapku lalu berposisi dipangku brhadapan dengan ku. Kelamin kami sudah dalam jarak yang dekat sekali.
Aku bisa menatap payudaranya yang besar kali ini. Payudara putih dengan tahu lalat kecil di persis ditengah dada Raras.
Kami berciuman lidah kali ini. Berusaha mencapai persiapan sempurna menyambut persetubuhan panas.
Raras merangkul leherku seakan akulah satu-satunya lelaki dalam kehidupannya.
Gila memang Affandi membiarkan aset seindah ini dinikmati oleh teman-temannya.
Aku mulai bisa memahami kekecewaan Raras.
Apakah ini sebagai pembalasan dendam? aku sungguh tidak bisa memahami.
Pinggul raras bergoyang-goyang menggeliat tanda siap disetubuhi.
Aku pastikan dengan meraba kembali memek Raras kali ini.
Sangat basah…
Aku hentikan ciumanku pada Raras, dan posisikan kali ini sejenak ke bawah agar kemaluanku tepat mengarah ke lubang kemaluan Raras.
“Ras, Mas masukin yahhh…”Ijinku pada Raras…
Raras hanya mengangguk setuju dalam keheningan.
Tanpa kusia-siakan waktu takut jika ia berubah pikiran, aku benamkan kepala konto#ku ke vagina Raras.
“Sempit…sangat sempit…” Aku perhatikan parutan bekas luka cesar di perut Raras.
"Pantas sempit, belum pernah digunakan untuk mengeluarkan bayi” pikirku.
“Akkkhhhhh…slowdown Mas Ale please…” rintih Raras.
Aku coba masukan perlahan kali ini…
“Akkhhhh…I feel you Mas, that’s go inside" Raras menggigit bibirnya sendiri sembari memejamkan matanya menikmati kenikmatan hakiki.
“Why you so tight Ras…" komentarku.
“I, don’t know…punya kamu kegedean kali” balas Raras.
Kami seperti pasangan cabul amatiran kali ini.
“Akkhhhh…”Raras agak meringis ketika agak aku paksakan sekarang.
perlahan masuk seluruh batang kemaluanku ke vagina Raras.
Tanganku kupindahkan ke pantat Raras kali ini.
Kubiarkan raras menikmati sejarah kelaminnya dimasuki kelamin suami sepupunya beberapa saat.
Aku tekan panggulku ke atas, “Akkhhhh…” Raras berekspresi terhadap kelaminku.
Perlahan aku goyangkan panggulku naik turun. Raras sejenak mulai menyesuaikan diri.
Pinggul Raras mulai dinaik turunkan megikuti sejenak gerakan panggulku.
Raras menatapku membuka bibirnya.
Minta dicium “suami” barunya kali ini pikirku.
Kami mulai mengulum sembari bergoyang dengan tempo lambat.
Payudara Raras bergoyang-goyang seesekali bersentuhan dengan dadaku.
Gemas aku isap payudara kanan Raras kali.
“Geli yanggg…” Raras mengucap kata sayang kali ini.
“Plakkkk….” Aku tampar pantat Raras
“AOwW…” Raras berteriak meringis.
Aku goyangkan agak cepat dan dalam kali ini, ruangan mulai bertambah panas kali ini.
Beberapa saat kemudian...
“Akkkhhhh…shitttt, I’m coming, coming, coming,,,Mas Alleee… akkhhhh”
“Srrrttttt…” Aku merasakan kempotan brdenyut-denyut dan guyuran hangat di kepala konto# ku sekarang. Tepat detik ini…
Gila kempotan vagina Raras pikirku…sangat menggigit berkali lipat ketika orgasme
Raras memeluk erat, dengan nafas sersengal-sengal. Detak jantungnya bisa kurasakan di dadaku.
“Aku selalu cepet keluar kalau posisi gini…” Raras seperti berbisik ditelingaku.
Aku cium bibir Raras, dibalas Raras dengan menjulurkan lidahnya kedalam mulutku.
Aku memagut Raras beberapa saat.
“Kamu baringan Ras…” ujarku
“Di kamarku aja Mas…"
Raras menggandeng aku menuju kamar depan.
Pemandangan yang sedikit aneh ketika sepupu istri menggandeng suami dari sepupunya sendiri dalam kondisi telanjang bulat.
Aku sendiri masih mengenakan kaos dengan telanjang di bagian bawah.
Kami masuk ke dalam kamar, lalu Raras rebahan di springbednya.
Aku lantas melepas kaos yang ku kenakan dan menghampiri Raras.
Raras menekukan, dan membuka kakinya seperti mengharapkan lubangnya segera dimasuki kelamin laki-laki.
Aku mencium Raras tanpa basa basi mengarahkan si “joni” ke pintu vagina Raras.
“Akhhhhh…” Lenguh Raras ketika vaginanya membenam kelamin suami sepupunya kali ini.
“I wanna fuck U Ras…” Ujarku berbisik.
“Go on honey, come on…just do it like U did with Tante Sisca”.
“What the…” batin ku bergejolak. Aku menatap Raras kaget. Raras menatapku horny dan nanar kali ini.
Aku tidak mau bertanya jauh, mulai aku goyangkan maju mundur kelaminku kali ini.
Pelan namun dalam dan agak kasar,
“akhhh…AKKhhh…AAKHHHH…”Teriak raras mulai keras seiring gerakan ku yang semakin kasar.
Aku seperti menghukum Raras kali ini…
“Bandel kamu tukang ngintip…” Bisik ku di telinga Raras...
Raras mulai menarik-narik bedcover abu-abu di kamarnya.
“Peepers! you bitch…” makin menjadi-jadi. Entah kenapa aku gemas menghukum Raras kali ini.
“Akhhh….Akhhh…AKKHHH…I’m so sorry Masss…” Teriak Raras sambil mendesah-desah hebat.
Aku cupang seluruh bagian tubuh Raras yang bisa tersentuh dengan bibirku.
Aku benar-benar ingin “menandai" dia kali ini...
Paha Raras ku tampar berkali-kali…sampai dia memohon untuk menyudahinya.
“Stop it Mas…sakit Mas please” Pinta Raras kepadaku…
Raras melenguh ketika AKu menghujamkan sedalam-dalamnya konto# ku padanya
dannn….
“Aku keluarrr Rasss…AKKHHHH”
Raras berteriakkk histeris kali ini…
“AKKhhhh Masss Aleee…” Ku rasakan semburan deras dari dalam kemaluan Raras kali ini…
7 kedutan lahar panas mendarat dalam rahim Raras sepupu istriku saat ini...
Kami berpelukan eraaaatttt sekali.
Nafas demi nafas tersengal bersautan dari Raras dan sang suami sepupu.
Siapa yang menyangka hari ini jadi hari yang panjang, semakin lemas semakin lemah tumpuanku.
Badan terasa lunglai di tubuh Raras kali ini. Kami bermandikan keringat yang sangat dahsyat.
Entah kenapa bisa seliar ini. "Tidak ada perencanaan kalau harus berakhir, atau bermulai lebih tepatnya sedini ini" dalam benakku.
Raras mengatur nafasnya, dan berusaha mendorong tubuhku ke samping.
“Mas, berat Mas” merasakan tindihan tubuhku kali ini.
Aku bergeser berbaring di sebelah kanan Raras. Menatap langit-langit sejenak. Adakah kesempatan lain? tidak ku hiraukan.
Hanya suara nafas di kamar ini.
Cukup, tiada yang lain…Rasa yang merupakan sejarah. Sejarah menikmati sepupu istriku untuk pertamakalinya. Perempuan yang sedang rapuh ini kini menatap ke arah yang sama denganku. Langit-langit.
Langit-langit bukan langit. Jauh lebih sempit dari langit meskipun namanya dua kali lebih banyak. Suatu saat aku ingin melihat langit bersama Raras. Bukan langit-langit...
Aku mau awan, mau bintang, mau bulan dan matahari.
"Dengan Raras, dengan Smita, atau Mama Sisca? Entahlah...pikiranku terasa semakin sempit saat ini"
Sejenak....
"Mas..."
"Mas..." sembari mengatur nafas.
Beberapa saat kemudian, Raras bertumpu pada tangan menyiku menyamping ke arahku. Aku melihat dia, dia hanya menunjukan ekspresi seperti perempuan yang menang.
Wajah 'cleopatra'.
“Kamu tahu dari mana ?” Tanyaku curiga…
“Aku lihat kamu kemarin…” Kata Raras.
“Kapan?”
“Pas mau cari mukena.”
“Emang kamu carinya dimana”
“Kamar Risca…habis aku cari di atas gak ada” balas Raras. "lha katanya kemarin ambilnya dikamar aku" Raras pinter menyembunyikan fakta juga ternyata.
“Hah…kok bisa tahu?”Aku masih penasaran
“Suara Tante Sisca suara lagi keenakan banget Mas…kenceng banget, serumah kedengeran kalau suaranya kayak kemarin.” Jelas Raras.
“Tahu darimana Mama Sisca keenakan?"
“Ya tahu lah. kan aku perempuan…” balas Raras
"Lha, terus...?”
"Aku buka pintu kamar Tante Sisca, and I saw the doggy style couple from behind"
“Oh my god…” Balasku menutup mataku dengan tangan kananku.
Sejenak kemudian,
“Kasihan Tante Sisca…
Kasihan Smita Mas…”
Raras seakan memberi nasehat.
Agak tersenyum mendengarnya. Selingkuhan yang memberikan nasihat dalam kondisi telanjang bersama di ranjang.
"Kasihan aku juga Mas..."lanjut Raras.
"Lho kok kamu juga?" Balasku...
"Aku niatnya mau ibadah, malah lihat hal yang gak seharusnya". "Gak konsen sepanjang sholat aku jadinya, kamu sih...". Lanjut Raras
Senyumku jadi makin kecut kali ini...
“Lalu kamu akan bilang ke istriku?”
“Nggak lah, gila aja kali. Aku gak mau lihat keluarga orang berantakan lah. Kamu sendiri yang bilang semua orang punya ‘kesakitan’. Aku anggap itu kesakitan kamu”
“Mungkin aku belajar menerima ‘kesakitan’ Affandi (suami) mulai saat ini.”
Melihat aku hanya terdiam menatap kosong,
Raras melanjutkan.
“Don’t worry my cousin’s husband, Your secret is our secret, I promise”. Raras kali ini yang menenangkanku.
Lantas, Raras mengecup dahiku kali ini. Aku terpaku sembari melihat menatap bercak-bercak merah bekas keganasanku pada Raras sepanjang hari ini.
"Sorry ya Ras..." ucapku pada Raras.
Raras menatap payudaranya yang kemerah-merahan akibat cupangan2 sepanjang persetubuhan hari ini.
"Gak apa apa, 3 harian semoga hilang." santai banget Raras menanggapi kekhawatiranku.
Cukup aneh pikirku, harusnya aku yang menenangkan Raras. “Aku kan yang baru ‘pakai’ dia kali ini, kenapa dia yang menenangkan aku?”
“Mas, rapi-rapi yuk, Tante Sisca pasti nunggu kita” ajak Raras.
“eh…” Aku hanya terpaku bengong , kosong. Raras mengambil ponselnya yang posisinya berdiri di meja rias.
"Berdiri di meja rias...?" Aku hanya bisa bertanya tanpa berpikir kali ini.
Dunia yang aneh...
NYAMBUNG LAGI KAPAN KAPAN...Seruput kopi lagi sambil menatap Smita, dan Mama Sisca yang duduk disamping menanyakan apa yang kutulis.
"budidaya belut dalam tong" jawabku.