Aku memeluk Lilis dengan bingung. Kubiarkan kakak iparku yang cantik menangis dalam pelukanku. Agar semua bebannya sedikit berkurang.
"A Budi, Jang....!" Lilis kembali menangis tidak bisa meneruskan perkataannya.
"Kenapa dengan A Budi, Lils?" tanyaku was was.
"A Budi ditangkep polisi di sebuah club malam di Jakarta. Club xxxxx itu tempat prostitusi terselubung kaum gay. Mereka sedang pesta sex dan narkoba Semalam Lilis ditelpon polisi." kata Lilis, setelah bisa mengendalikan dirinya.
"Terus?" tanyaku kaget dan tidak tahu harus berkata apa.
"Sekarang A Budi sedang menjalani pemeriksaan. Kalau terbukti bersalah A Budi masuk penjara. Lilis takut, Jang. Aduh maaf, Jang. Kamu baru sampe belum duduk." kata Lilis setelah menyadari keadaanku yang baru sampai dan belum sempat duduk.
Ahirnya aku bisa duduk juga, lega rasanya, apa lagi melihat istriku yang cantik keluar membawa kopi panas kesukaanku. Tampa menunggu dingin aku meminum kopi sedikit. Segar sekali rasanya.
"Lis, aku pinjem telpon buat nelpon Bi Narsih, siapa tau dia punya kenalan yang bisa bantuin buat nolong, A Budi." kataku.
"Jangan, Jang. Nanti Bi Narsih tau aib Lilis. Lilis malu, Jang." kata Lilis mencegahku menelpon Bi Narsih.
"Terus kita harus bagaimana buat nolong, Pak Budi?" tanyaku bingung.
"Biarin aja, Jang. Yang penting jangan sampai kedengeran orang lain." kata Lilis sambil memeluk pinggangku.
Perempuan memang aneh, tadi nangis. Sekarang bibirnya tersenyum bahagia. Sebenarnya apa yang dirasakan Lilis saat ini? Membingungkan.
"Eh Lilis lupa, ada Ningsih." kata Lilis tertawa. "Maaf ya, Ning." kata Lilis sambil pindah tempat duduk.
"Gak apa apa, Teh." kata Ningsih.
Lilis berdiri menarik tangan Ningsih yang duduk agak jauh dariku, diciumnya pipi Ningsih dengan penuh kasih sayang. Lalu dituntunnya tangan Ningsih agar duduk di sampingku.
"Suami baru dateng bukannya dipeluk." kata Lilis menggoda adiknya.
Aku melingkarkan tanganku di pundak istriku sambil kubelai rambutnya yang panjang dan halus. Kucium mesra pipinya yang halus. Pipinya terlihat semakin cuby saja. Bukan hanya Ningsih yang terlihat semakin gemuk, Lilis juga terlihat lebih gemuk, mungkin karna kehamilan mereka.
"Aa mandi dulu sana, terus istirahat. Pasti cape dari Gunung Kemukus ke sini kan jauh, pasti A Ujang kurang tidur." kata Ningsih melihatku yang terlihat mengantuk.
"Iya, Aa mandi dulu, ya!" kataku beranjak bangun.
Selesai mandi dan ganti baju, Aku merebahkan tubuhku yang lelah si kasur empuk. Ningsih duduk di sampingku, bibirnya menatapku tersenyum. Diciumnya bibirku dengan mesra.
"Istirahat ya, Sayang, Cintaku. Ningsih mau masak, dulu." katanya sambil meningggalkanku sendiri.
Bangun 2 siang dengan tubuh segar, Ningsih dan Lilis langsung menyuruhku makan, mereka melayaniku dengan sangat baik, aku seperti raja yang dilayani oleh dua pernah s it.
Aku lupa, seharusnya aku sudah lapor ke Bi Narsih tentang hasil penyelidikan tentang Codet ke Bi Narsih atau juga Mang Karta. Sekarang posisinya menjadi sulit, menelpon dari rumah ini, pasti akan memancing kecurigaan Lilis dan Ningsih. Belom waktunya mereka tahu tentang keadaan yang sebenarnya. Apa lagi aku juga harus merahasiakan pernikahanku dengan Anis. Harus tetap menjadi rahasia, tidak ada yang boleh tahu.
Kalau sekarang aku ke rumah Bi Narsih tentu juga akan menimbulkan kecurigaan. Masa baru pulang sudah mau jalan lagi. Belum lagi kios yang harus aku kelola dan menurut Ningsih sudah mulai buka sejak aku pergi. Ningsih menjaganya berdua dengan Lastri, hari ini Ningsih sengaja libur karna aku pulang. Aku juga belum menemui ibuku tercinta. Biarlah urusan laporan ke Bi Narsih dan Mang Karta aku lakukan besok.
Kadang menikahi Anis adalah keputusan yang sangat bodoh, dia orang yang meracun ayahku. Tapi menolak pernikahan itu juga bukan hal yang mudah. Aku sudah bisa merasakan kehebatan Pak Shomad. Kalau sampai menolak menikahi Anis, bukankah aku akan celaka saat itu juga. Bukan hanya menghadapi Pak Shomad, bisa jadi aku akan menghadapi banyak orang. Aku belum pernah bertarung di pertarungan yang sebenarnya apa lagi harus menghadapi lebih dari satu orang. Bukankah itu artinya mati konyol.
Walau dari kecil aku berlatih silat Cimande yang asli dan tidak dipertarungkan di pertandingan resmi IPSI. Sejak pertama kali aku berlatih jurus, sudah langsung menghadapi lawan. Satu orang melancarkan pukulan dan yang lain akan menangkis lalu memukul. Selalu bergantian menangkis dan memukul. Dimulai dengan duduk sambil menangkis dan memukul. Lalu berdiri dengan kuda kuda, kemudian berlatih tendangan, barulah kami berlatih bantingan dll. Hanya ada 7 jurus yang aku ulang ulang selama belasan tahun.
Tapi apakah ilmu silat yang aku pelajari bisa berguna menghadapi pertarungan sebenarnya? Pertarungan brutal dengan gaya yang berbeda. Tapi bukankah prinsip dasar ilmu bela diri di manapun ada 3 ? 1. Serangan, bisa berupa pukulan tangan maupun tendangan. 2. Menangkis serangan atau menghindari serangan. 3. Bantingan atau kuncian seperti yang diperagakan dalam ilmu gulat.
"Sayangku, cintaku. Kok Lilis perhatiin dari tadi kamu ngelamun ?" tanya Lilis memeluk leherku dari belakang. Diciumnya pipiku dengan mesra.
"Ujang lagi mikirin, apa ritual Ujang sudah benar benar sempurna apa belom." kataku sambil mengusap rambut Lilis yang panjang bergelombang. Di dalam rumah Lilis selalu melepas jilbabnya.
"Mudah mudahan sempurna, A. " menjawab pertanyaan yang sebenarnya aku tujukan pada diriku sendiri.
"Mudah mudahan. Kamu makin gemuk aja, Sih!" kataku sambil memperhatikan Ningsih yang baru duduk di depanku.
"Namanya juga orang hamil, A. Pasti ngegemukan. Teh Lilis aja ngegemukin. Liat aja pipi Teh Lilis jadi tembem." kata Ningsih menunjuk Lilis yang berjalan dan kemudian duduk di sampingku.
"Biarpun Lilis jadi gemuk, tapi tetap cantik ya, Jang.?" kata Lilis sambil melumat bibirku. Sementara tangannya meraba kontolku yang mulai bangkit.
"Ujang, baru dicium aja kontolnya langsung bangun. Hihihi." kata Lilis menggodaku.
"Teteh, yang punya aja belom megang." kata Ningsih cemberut.
"Iya, adekku sayang. Tuch, Jang. Ningsih minta jatah. Hihihi." kata Lilis sambil menghampiri Ningsih yang cemberut. Ditariknya tangan adiknya agar mendekat ke arahku.
Aku menarik tangan istriku hingga jatuh ke dalam pelukanku. Kulumat bibirnya yang mungil dengan mesra. Aku menumpahkan semua kerinduanku lewat kulumanku di bibirnya.
"Aa kangen !." bisikku, lalu kucium belakang telinga Ningsih menggelitiknya membuat Ningsih tertawa geli.
"Geli, Aa...hihihihi !" Ningsih menjauhkan kepalanya.
"Ngentotnya di kamar ajayuk, A. Kalau di sini nanti Teh Lilis kepengen." kata Ningsih sambil melirk Lilis.
"Teh Lilis gak akan pengen. Paling juga suami Ningsih Teteh perkosa." kata Lilis menghampiri Ningsih lalu menggelitik perutnya. Ninggsih menggelinjang kegelian di pangkuanku. Aku memegangnya erat agar tidak terjatuh.
"Sudah ah, jangan becanda mulu. Emang badannya Ningsih, enteng? Berat tau. Kita langsung maen bertiga aja, biar gak saling iri." kataku sambil menarik tangan Lilis agar duduk di sampingku.
Kulumat bibir Lilis yang duduk di sampingku sambil memanggku istriku. Lilis membalas ciumanku dengan mesra, semua ingatannya terhadap suaminya hilang begitu saja. Kami saling berciuman mesra. Ningsih tidak mau kalah, dia menciumi kuping belakangku, lidahnya menjilat dengan lincah.
Tiba tiba Ningsih turun dari pangkuanku, ditariknya celana panjang dan CD ku berbarengan, lepas lewat kakiku. Kontolku yang sudah mulai menegang, berdiri dengan gagahnya walau kekerasannya baru mencapai 80%. Melihat Ningsih membuka celanaku, Lilis ikut ikutan membuka bajuku.
Ningsih mulai menjilati kantong pelerku hingga batang kontolku, lidahnya begitu lincah. Sedangkan Lilis menjilati dadaku dan menghisap hisap pentilnya. Aku benar benar dimanjakan oleh kakak beradik yang cantik. Mereka berlomba memberikanku kenikmatan surga dunia.
Ningsih mengulum kontolku dengan lahap dan dia semakin ahli mempermainkan kontolku di mulutnya yang mungil, sehingga giginya tidak mengenai kontolku. Ningsih benar benar belajar cara memberiku kenikmatan.
Sementara Lilis menciumi dadaku dan menghisap pentilnya dengan mesra menambah kenikmatanku semakin menjadi. Aku mengangkat wajah Lilis, lalu kulumat bibirnya yang tipis dan selalu terlihat basah. Kami berciuman dengan mesra menumpahkan kerinduan setelah hampir 2 minggu berpisah.
Aku merasakan kontolku sudah tidak disepong, Ningsih. Pandanganku ke arah Ningsih terhalang wajah Lilis sehingga aku tidak tahu apa yang sedang dilakukan istriku. Tiba tiba aku merasakan Ningsih naik ke pangkuannku. Kontolku di pegang dan menyentuh daging lunak yang lembab. Lalu kontolku memasuki lobang sem0it yang hangat. Hmmm kontolku sudah masuk memek istriku.
"Aduh, ahirnya memek Ningsih disodok kontol A Ujang, lagi." kata Ningsih saat kontolku terbenam di memeknya yang sudah sangat basah.
"Ningsih, udah ngeduluin, aja!" kata Lilis sambil mencubit pelan pipi adiknya yang tembem.
"Biarin, kontolnya A Ujang kan punya, Ningsih." kata Ningsih tersenyum menggoda Lilis. Pinggulnya memompa kontolku dengan pelan dan berirama.
Perlahan aku meremas tetek istriku yang semakin membesar sejak kehamilannya. Ningsih mencium bibirku dengan penuh perasaan, lidahnya menggelitik rongga mulutku.
"Ennnak A,...!" kata Ningsih sambil mempercepat goyangannya memacu kontolku.
Kulihat Lilis membuka pakaiannya hingga bugil, matanya nemandang cemburu melihat adiknya memacu kontolku.
"Ennnnak, Ningsih. Kok memek kamu rasanya makin rapet aja..." kataku sambil memegang pantatnya yang bulat, aku membantu menggerakkan pantat istriku agar tidak terlalu capek karna kehamilan muda sangat berisiko.
Lama juga Ningsih memacu kontolku, dia bergerak begitu santai seakan inging menggoda Lilis yang menyaksikan kami. Hingga ahirnya Ningsih tidak mampu menahan orgasmenya lagi. Dia mengeram kuat diiringi tubuhnya yang mengejang.
"Aa, Ningsih kelllluarrrrr, ennnak...!" kata Ningsih sambil menghisap leherku. Ahirnya setelah badai orgasmenya reda, Ningsih turun dari pangkuanku.
Melihat kontolku yang basah oleh lendir memek Ningsih, Lilis segera berjongkok lalu menjilati kontolku dengan bernafsu. Tidak ada perasaan jijik menjilati lendir memek adiknya.
"Teh Lilis, kontol Aa kan bekas memek, Ningsih. Kok dijilat !" kata Ningsih melihat Lilis yang rakus menghisap kontolku.
"Biarin,...!" kata Lilis sambil bangun dan kemudia naik ke pangkuanku. Tangannya meraih kontolku, stelah pas, pinggulnya bergerak turun menelan kontolku.
"Jang, kontol kamu kok ennnak banget. Bikin Lilis ketagihan." kata Lilis sambil memacu kontolku. Nikmat sekali rasanya kontolku masuk di dua memek kakak beradik yang sama sama cantik.
"Lis, terus goyang. Memek kamu ennnak..." kataku sambil meremas pantat Lilis yang sekal.
Semakin lama Lilis memompa kontolku dengan cepat tapi tetap lembut. Bibirnya mengulum bibirku dengan mesra, tangannya memeluk leherku.
"Ennnnak, A..... Lilis benar benar bahagia bisa selalu dekat dengan Ujang. " kata Lilis. Matanya yang sayu menatapku bahagia.
Setelah beberapa lama aku merasakan memek Lilis berkedut semakin kencang meremas kontolku. Matanya terpejam merasakan sensasi yang luar biasa.
"Jang, Lilis kelllluarrrrr..... nikmat banget kontol kamu...." Lilis memelukku sangat erat dan saat yang sama kontolku menembakkan pejuh.
"Ujang jugaaaa, Lissss ennnak...!" kami berpelukan erat menikmati orgasme yang dahsat.
******
"A, bangun sudah jam 4, Aa mau ke pasar gak?" Ningsih membangunkan. Tangannya menggoyangkan tubuhku dengan pelan.
Aku menggeliat malas, Ningsih duduk di pinggir ranjang dengan tubuh bugil menggoyang goyang tubuhku. Kulihat ke sampingku, Lilis masih terlelap dengan tubuh bungil. Semalam kami tidur bertiga atas permintaan Lilis.
Aku bangun, Ningsih mengajakku mandi bareng. Selesai mandi, Ningsih membuatkanku kopi. Jam 4:30 aku berangkat ke pasar. Suasana jalan masih begitu sepi.
Aku berlari lari kecil sambil menggerakkan tanganku ke samping. Sampai pinggir jalan raya tiba tiba dua orang menghampiriku dengan membawa pentungan kayu. Melihat gerak gerik mereka yang mencurigakan membuatku meningkatkan kewaspadaan.
Dan kecurigaanku terbukti, salah seorang tiba tiba menghantam kepalaku dengan pentungan kayu yang bisa digunakan untuk bermain kasti. Reflek aku menghindar ke samping, tapi belum lagi aku siap. Pria satunya menghantamkan pentungannya mengarah kepalaku. Sekali lagi aku bisa menghindar, mundur berusaha menjauhi ke dua orang itu.
Tapi langkah mereka begitu ringan mengejar langkah mundurku. Mereka berdua sudah terbiasa dengan pertarungan jalanan, sehingga mereka bisa menduga apa yang akan aku lakukan. Kembali pentungan kayu itu mengarah kepala dan tulang igaku secara bersamaan, menutup semua gerakanku untuk menghindar. Benar benar serangan mematikan dan satu satunya cara menghindar yang paling mungkin aku lakukan adalah menangkis pentungan kayu yang mengarah ke tulang igaku dan membungkuk, sehingga pentungan yang mengarah kepalaku dapat kuhindari.
Sementara aku membungkuk menghindari pentungan yang mengarah kepalaku, tulang kering tanganku beradu dengan pentungan kayu yang keras,. Sakit sekali rasanya, tanganku seperti patah.