Tapi aku menginjak tempat yang salah, kakiku terpeleset menginjak kayu sebesar pergelangan orang dewasa. Reflek aku berguling sambil mengambil kayu yang tergeletak, menjauh dari jangkauan serangan Pak Shomad.
Agak jauh, aku duduk dengan kaki kiri melipat sepertti silat dan kaki kanan terjulur setengah menekuk. Dengan kuda kuda seperti ini aku bisa langsung bangun menyerang atau bertahan menghadapi serangan susulan.
Pak Shomad ternyata tidak melakukan serangan susulan, dia memasang kuda kuda mendekati perlahan. Sebagai guru silat berpengalaman dia tentu tidak akan memandang remeh posisiku sekarang. Dengan kayu yang menyilang di dada dan tangan kiri menyentuh tanah. Tangan kiriku akan meraih apapun yang ada di tanah dan melemparkannya ke musuh, disusul dengan kayu yang akan menghantam bagian pital musuh yang teralihkan perhatiannya. Dua duanya adalah gerak tipu yang mematikan.
Melihatku tidak bergerak terpancing untuk menyerang, Pak Shomad tiba tiba menendang batu yang ada di tanah mengarah ke arah kepalaku. Dengan posisi begini tidak ada jalan untuk menghindar, satu satunya cara adalah menangkis batu itu dengan kayu yang aku pegang. Dan itu adalah peluang emas bagi Pak Shomad, saat perhatianku dan tanganku tertuju ke batu, pada saat itu pula Pak Shomad melancarkan tendangan ke arah kepala. Tak ada celah untuk menghindar. Satu satunya cara adalah menangkis dengan tangan kiri, kalah tenaga kalau dibandingkan dengan tenaga tendangan. Tapi stidaknya kecepatan dan tenaga yang dihasilkan akan berkurang separuh, dan tangan kananku membantu membuang tendangan yang sudah berkurang kecepatan dan tenaganya, membuat tubuh Pak Shamad terhuyung ke samping, kehilangan keseimbangannya.
"Cukup, ternyata kemampuan kamu hebat juga." kata Pak Shomad tersenyum melihatku. Kegarangannya hilang dari raut wajahnya. Dia .engulurkan tangannya menarik tanganku agar bangun.
Aku bangkit berdiri masih dalam keadaan waspada, siap menghadapi serangan mendadak dari Pak Shomad. Mungkin Pak Shomad sedang menguji kemampuanku atau apalah.
"Aku sudah mendengar semuanya tentang kamu dari Anis semalam. Aku sering mendengar tentang Gobang, walau aku belum pernah bertemu dengannya." kata Pak Shomad sambil berjalan ke arah bale bale bambu di bawah pohon Mangga yang rimbun.
"Semalam Anis juga cerita dia sedang dikejar kejar anak buah Codet yang menginginkan Ratna, tapi Anis menolaknya. Untuk sementara Anis akan tinggal di sini, aku yakin Codet tidak akan berani ke sini. Mudah mudahan ini jadi tempat paling aman di sini." kata Pak Shomad sambil menyalakan sebatang rokok. Matanya menerawang jauh.
Dari pintu keluar Bi Darsih dan Anis membawa singkong rebus yang belum sempat aku habiskan tadi. Mereka ikut duduk di bale bambu.
"Bagaimana rencanamu menghadapi Codet, Nis? Dia tidak akan berhenti sampai mendapatkan Ratna." kata Pak Shomad.
"Anis gak tahu harus bagaimana lagi, Mang. Anis takut Codet akan mencelakakan Emak dan yang lainnya kalau Ratna tidak diserahkan ke Codet." kata Anis, menunduk gelisah.
"Ratna nau ikut ,Pak Codet. Biar semuanya selamat." kata Ratna yang tiba tiba muncul dari pintu dapur. Rupanya dia mendengar pembicaraan kami.
Kami semua terdiam dengan pikiran kami masing masing. Mata kami semua tertuju ke arah Ratna, gadis belia yang seharusnya menikmati masa mudanya. Tapi sekarang justru dia harus mengambil keputusan yang tidak diinginkannya. Ratna memeluk Anis yang menahan tangisnya.
Ahirnya setelah melwati perdebatan panjang kami menerima keputusan Ratna. Yang paling terpukul tentu saja Anis, dia menangisi nasibbya harus berpisah dengan anaknya.
Setelah dapat menenangkan diri, Anis menelpon Codet agar menjemput Ratna di Cirebon. Tapi dasar licik, Codet hanya mengirim anak buahnya menjemput Ratna. Kalau saja dia yang datang sendiri, mungkin persoalannya akan selesai, karana Pak Shomad sudah menyiapkan penyambutan istimewa untuk Codet.
******
Seyelah kepergian Ratna. Kami duduk berkumpul di ruang keluarga. Rumah sebesar ini hanya diisi berdua berdua Pak Shomad dan istrinya serta 2 orang pembantu sepasang suami istri setengah baya. Sedangkan Pak Shomad dan Bi Darsih tidak mempunyai anak.
"Jang, Bapak tahu apa yang kamu lakukakan semalam dengan Anis. Perbuatan zina dan Bapak akan sebagai penghinaan. " kata Pak Shomad membuatku malu dan merasa bersalah.
"Tapi karena Anis sudah Bapak anggap sebagai anak, Bapak maafin kamu kali ini. Tapi dengan sarat, kamu harus menikahi, Anis. Tidak perlu nikah kantor dengan sarat berbelit belit. Cukup nikah sirih. Kalau kamu menolak, itu artinya kamu sudah benar benar mencoreng wajah kami." ucapan yang tegas dan mengandung ancaman.
Tak ada pilihan lagi buatku, menolak berarti aku akan mendapatkan celaka. Penyambutan istimewa yang dipersiapkan untuk Codet akan diberikan kepadaku. Menerimannya adalah pilihan terbaik saat ini, artinya aku mendapatkan sekutu yang sewaktu waktu bisa membantuku dalam rencana balas dendam ke si Codet. Ahirnya aku menyanggupi menikahi Anis. Habya Nikah siri dan Anis bisa tetap tinggal di sini seperti yang diinginkan Pak Shomad dan Bi Darsih.
Ternyata Pak Shomad benar benar orang paling berpengaruh, begitu aku menyanggupinya, malam ini juga aku akan menikah dengan Anis. Semua persiapan segera dilakukan termasuk menghubungi penghulu yang masih saudara sepupu Pak Shomad dan makanan untuk selamatan dipesan dari warung Padang sebanyak 100 bungkus.
Pernikahan yang terjadi tanpa rencana, bahkan pakaian yang aku kenakan saat ujab kabul adalah pinjaman. Kalau diperhatikan baju yang aku pakai tampak kebesaran, untung saja pecinya pas. Coba kalau kebesaran, aku pasti terlihat seperti orang tolol.
Sementara Anis memakai kebaya warna putih membuatnya terlihat semakin cantik dengan riasan sederhana. Rambutnya yang panjang digelung sehingga lehernya yang jenjang terlihat indah.
Semuanya berlangsung cepat dan sekarang Anis sudah menjadi istriku. Aneh rasanya tiba tiba aku menikahi bekas selingkuhan ayahku sendiri. Orang yang sudah mencampurkan racun ke dalam minuman ayahku. Apakah ini yang dibilang karma? Sehingga aku harus menanggung perbuatan ayahku. Entahlah dan aku malas berpikir selain menjalani semuanya.
Sekarang aku pindah ke kamar yang semalam di tempati oleh Anis dan anaknya Ratna. Dengan ranjang besi yang sudah jarang ditemui jaman sekarang.
Sekarang malam Jum'at Kliwon, seharusnya malam ini adalah malam terahir aku di Gunung Kemukus dengan Bi Narsih, tapi sekarang malah jadi malam pernikahan dan malam pertamaku sebagai pengantin baru. Hidupku benar benar sulit diterka. Semuanya berjalan begitu cepat. Berubah tanpa bisa aku cegah.
"Kok ngelamun, A? Aa nyesel nikah sama, Anis yang lebih tua?" tanya Anis menatapku lembut.
"Gak, cuma aneh aja tiba tiba Anis jadi istriku. Padahal aku sudah punya istri." kataku menatap Anis yang sudah mengganti kebaya yang dipakainya dengan baju tidur tipis dan transparan sehingga puting teteknya samar samar terlihat.
Anis tersenyum lalu mencium bibirku dengan mesra, aku membalasnya dengan sepenuh hati. Kami berciuman cukup lama sambil tanganku meremas dadanya dengan lembut. Walau usianya sudah 33 tahun, dadanya masih keras.
"Nis, hari Sabtu pagi pagi aku harus sudah sampe rumah. Kamu ngertika ?" tanyaku sambil mengusap pipi Anis yang halus.
"Iya, A. Anis ngerti, bisa nikah dengan Aa aja Anis sudah bahagia. Anis tinggal di sini sampai semuanga aman." kata Anis sambil membuka kancing baju kemejaku. Seperti seorang ibu yang membuka baju anakknya.
Kembali kami berciuman mesra, lalu Anis menciumi leherku, terus menyusur ke dadaku, lidahnya lincah menggelitik putingku yang sensitif. Nafsu bangkit, kontolku terbangun dari tidurnya yang lelap.
Aku menarik baju tidur Anis lepas lewat kepala, tubuhnya kini bugil, begitu sexy dan sedikit lebih langsing dibandingkan saat bertemu di Gunung Kemukus. Aku meraih dadanya yang sekal. Kuciumi permukaanya yang berkulit halus sehingga urat uratnya yang biru terlihat. Lalu hingga diputingnya yang sudah mengeras. Kuhisap dengan lembut membuat Anis mendesis nikmat.
Tanganku meraba memeknya yang sudah basah, kupermainkan itilnya dengan gemas.
"Aa, memek Anis jangan dikobel." kata Anis sambil menatik tanganku dari memeknya.
"Kenapa?" tanyaku heran.
"Gak suka aja. Kalau memek Anis dijilatin, Anis suka." kata Anis sambil mencium pipiku.
Aku segera menarik Anis terlentang, kakinya langsung mengangkang tanpa Aku suruh. Aku segera merunduk menciumi memeknya yang berbau lembut. Memek yang terawat dan rajin dicukur jembutnya. Aku membuka belahan memeknya sehingga bagian dalamnya yang berwarna merah dan berlendir terlihat jelas. Aku menjulurkan lidahku menjilatinya dengan lembut.
"Aa, ennnnak banget...." Anis memegang kepalaku yang berada di selangkangannya.
Setelah puas menjilati memeknya, aku merangkak di atas tubuhnya yang indah, Anis menuntun kontolku tepat di pintu masuk memeknya. Dengan mudah kontolku menerobos masuk memeknya yang sudah sangat basah.
Aku mulai memompanya dengan pelan tak perlu terburu dan takut diketahui orang sedang ngentot. Sekarang wanita yang aku entot adalah istriku. Entah aku beruntung atau tidak, bisa mempunyai dua orang istri yang sama sama cantik. Istri pertamaku seusia diriku dan yang ke dua sebelas tahun lebih tua dariku.
"A, ennnak banget kontol Aa. Sampe mentok. Anis lagi subur sekarang, mudah mudahan langsung jadi ya, A.." kata Anis sambil menggerakkan pinggulnya menyambut hujaman kontolku.
Aku semakin mempercepat kocokan kontolku di memek istriku sambil menghisap susunya yang sekal dan indah hingga ahirnya Anis mnyerah terhsmpas oleh badai kenikmatan.
"A, Anissssss kelllluarrrrr... Ennnnak banget kontol Aa." Anis memeluk erat tubuhku, tubuhnya sendiri mengejang mendapatkan orgasme pertamanya.
Setelah orgasmenya reda, Anis memintaku berganti posisi, dia ingin di atas. Aku bangkit dari atas tubuhnya dan berbaring disampingnya. Kemudian Anis membungkuk dan menjilati kontolku yang berlumuran lendir memeknya. Lalu kontolku dimasukkan ke mulutnya. Dihisapnya dengan bernafsu membuatku menggelinjang nikmat.
Setelah puas mengulum kontolku, Anis berjongkok di atas kontolku, perlahan kontolku menerobos memeknya dengan mudah. Wajahnya nampak meringis merasakan kontolku yang menembus memeknya hingga dasarnya. Setelah kontolku amblas di memeknya, Anis menindihku sambil menggerakkan pinggulnya memompa kontolku.
"A, kontol Aa benar benar enak. " kata Anis sambil menciumi Bibirku sementara pinggulnya memompa kontolku dengan cepat.
Aku meremas pantat Anis yang bulat dan berisi ikut membantunya bergerak memompa kontolku dengan kencang dan bertenaga hingga mengeluarkan bunyi keciplak yang merdu.
"A, anis kelluar lagiiii." Anis mengedutkan pantatnya menyambut orgasme yag kembali melandanya. Memeknya berkintraksi meremas kontolku dengan keras, seperti vacum memberikan efek menyedot yang nikmat.
"Enak, ya Sayang?" kataku sambil meremas pantatnya yang sekal.
"Ennnnak banget, A. Rasanya belum pernah Anis mendapatkan kenikmatan seperti ini. Aa ngentotnya gak kasar." kata Anis kembali mencium bibirku dengan mesra.
Tanganku menngerakkan pantat Anis naik turun memompa kontolku dengan lembut. Kubiarkan istriku tetap menindihku memberikan rasa hangat di udara yang dingin. Perlahan Anis ikut menggoyangkan pinggulnya naik turun memompa kontolku dengan sedikit lebih cepat dan semakin cepat.
"Memek Anis ennnnak banget." kataku sambil mengelus kulit punggunya yang halus.
"Anis bahagia bisa nikah denga orang yang Anis cintai, A." kata Anis semakin cepat saja memompa kontolku.
Hingga ahirnya aku tidak mampu menahan orgasmeku lebih lama lagi.
"Nissss, akuuuu kelllluarrrrr...."" aku mengangkat pinggulku dibarengi kontolku yang menyemburkan pejuh ke mulut rahimnya.
"Annnnissss juga, A. ...." Anis menekan pinggulnya sehingga kontolku terbenam semakin dalam di lobang memeknya yang berkedut meremas kontolku.
Setelah sisi sisa orgasme hilang, Anis bangkit dari atas tubuhku dan merebahkan tubuhnya disampingku. Kepalanya bersandar di dadaku sambil memelukku.
*********
Hari Sabtu aku bangun jam 3 pagi, kata Pak Shomad sudah ada bis ke Bogor. Bisa nyetop Bis dari Semarang yang ke Bogor. Untungnya aku tidak menunggu lama.
Jam 8 aku sudah sampai Bogor. Tidak sampai 30 menit aku sudah berada di depan rumah. Ningsih yang sedang beli sayur di tukang sayur keliling berteriak girang melihatku datang.
"Aa...!" Ningsih mencium tanganku lalu memelukku. Pelukannya dilepas begitu mendengar suara tukang sayur berdehem. Wajahnya langsung bersemu merah.
Ningsih buru buru membayar sayuran yang dibelinya lalu menarikku masuk rumah. Sepi, aku tidak melihat Lilis. Seperti mengerti apa yang aku pikirkan, Ningsih mengetuk pintu kamar, Lilis.
"Teh, A Ujang sudah pulang" kata Ningsih memanggil, Lilis.
Tidak lama pintu terbuka. Wajjah Lilis terlihat sembab seperti habis menangis. Lilis menghampiriku dan mencium tanganku. Lalu Lilis memelukku dan langsung menangis dipelukanku.
Aku heran kenapa Lilis menangis seperti ini? Aku menoleh ke arah Ningsih yang hanya menggeleng dan memberiku isyarat agar bertanya langsung ke Lilis.
Bersambung.....