𝐑𝐚𝐬𝐭𝐢, 𝐈𝐛𝐮 𝐁𝐢𝐧𝐚𝐥 𝐁𝐚𝐠𝐢𝐚𝐧 𝟏𝟕

 


Beberapa kali gue menelan ludah saat melihat bagaimana pak Asep sialan itu dengan ganas menggoyang kontolnya di memek Tante. Melihat itu gue bisa membayangkan bagaimana nikmatnya saat ada di posisi itu.
Soalnya lagi, gue yang udah kadung mupeng sampe nggak sadar kalau celana gue udah melorot dan tangan gue asik memainkan kontol gue.

Di iringi suara desahan dan perpaduan antara dia paha yang menepuk satu sama lain membuat darah di kepala gue serasa mau pecah.

Gue mupeng parah, tapi gue nggak bisa berbuat apa-apa, setidaknya untuk sekarang, gue nggak mungkin langsung asal serobot ke sana dan mengambil Tante Rasti untuk gue.

Sabar bro ...
Orak licik gue sedang berjalan sekarang.

Mengabaikan rasa nafsu gue sembari mencoba menahan diri, gue mengeluarkan ponsel dari dalam saku celana yang sudah melorot. Masuk menu kamera dan gue merekam semua kejadian yang ada di sana.

Yah... Siapa sih yang nggak butuh kayak begituan. Karena gue yakin suatu saat nih barang bukti bisa berguna.
Siapa tau aja ye kan...
Setidaknya ketololan yang gue lakukan cukup sekali dulu. Saat di mana gue mendapatkan kesempatan tapi tak gue gunakan dengan sebaik-baiknya. Kapan itu?
Ya tentu aja saat hari ulangtahun tedi enam tahun yang lalu, saat Tante Rasti memberi kesempatan untuk kami di kamar mandi. Gue dengan bodohnya menurut saja tanpa mengambil kesempatan emas itu.

Sial! Mematangkannya saja sudah membuat gue kesal.

Setengah jam berlalu. Lenguhan panjang keluar dari mulut pak Asep. Pertanda dia baru saja mendapatkan puncak kenikmatannya. Di susul Tubun Tante Rasti yang sudah kejang.

Bagus... Sekarang giliran gue.

Gue melepas celana gue. Lalu berjalan santai ke arah mereka.

"Wih tak kirain siapa, ternyata pak RT toh!" Sapa gue dengan santai.

Pak RT yang baru saja mendapatkan puncak langsung menoleh dengan wajah pucat, dia jelas kenal gue, siapa yang tidak mengenal Jaka di komplek ini. Pemuda pengangguran yang suka mencari masalah. Yah ... Gue akui gue memang biang masalah.

"Bu RT udah nggak hot lagi kah? Sampe Tante gue di embat juga?" Sama gue sembari terkekeh. Lalu duduk di sofa sebrang mereka.

"Eh ... Jaka ..." Wajah pucat pak RT langsung menyapa gue.

"Iya, pak. Masih kenal toh. Saya kira udah nggak kenal lagi. Habisnya saya masuk tadi nggak ada nyapa pun." Kata gue santai.

"Ahh .... Emm.... Ituu ..."

Jujur, gue hampir tertawa karena melihat tingkah nya itu. Seperti penjahat yang baru saja tertangkap basah dan menjadi bulan-bulanan warga..

"Udah nggak usah grogi gitu. Santai aja sama saya mah pak?" Ucap gue. Lalu melihat bungkus rokok di atas meja. "Rokok bapak?" Tanya gue sembari menyambar dan mengeluarkan satu batang.

"Iya...."

"Saya rokok boleh?"

"Silahkan."

Dia beranjak, lalu berusaha meraih pakaiannya dan memakainya dengan cepat. Tak lupa dia juga menyenggol temannya yang masih tertidur.

"Apaan sih! Ngantuk saya pak!" Ujar pak RW.

"Heh!" Bentak pak RT yang membuat pak RW bangun. Lalu terkejut saat melihat keberadaan gue.

Gue hanya memasang senyum sembari menyesap rokok dari pak RT. "Kalo udah kelar. Pulang gih, nanti Bu RT nyariin loh!" Ucap gue.

"Eh... Emm... Itu..."

"Udah pulang sana! Males gue liat muka lu pada lama-lama"

Sebenernya gue udah nggak tahan ingin menikmati tubuh Tante Rasti yang masih terengah di sana, menikmati puncak kenikmatannya tanpa memikirkan kehadiran gue. Tipikal Tante Resti sekali, walau seperti ada yang berbeda kali ini. Mungkin 6 tahun berlalu banyak hal yang berubah dari dirinya.

Seingat gue, Tante Rasti yang dulu tidak mudah terkapar setelah bermain, tapi sekarang. Apa mungkin karena sudah lama tidak menerima tamu, yang membuat Tante begitu puas menikmati puncaknya?

Entahlah.

Pak RT tanpa menjawab langsung mengenakan celana dan beranjak.

"Rokoknya tinggal aja!" Ujar gue.

Pak RT tak menjawab lalu keluar dari rumah. Di susul pak RW yang baru saja siap mengenakan pakaiannya.

"Dasar! Tau aja barang bagus!".
Gue menggeleng pelan, laku fokus pada Tante rasti yang masih terkapar.

"Setelah 6 tahun lamanya...." Gue tersenyum kecil sembari mendekat ke arahnya.

Melihat tubuh molek itu tergeletak dengan napas sedikit terengah membuat gue semakin horni. Siapa yang tak tergoda saat disuguhkan oleh pemandangan ini. Bahkan 6 tahun lamanya, Tante Rasti belum ada berubah sama sekali, justru payudara yang semakin besar dan sekal membuat gue semakin ingin menyesap dan membenamkan wajah gue di sana.

Paha putih bersih, kemaluan tembem tanpa bulu dengan warna pink kecoklatan yang begitu menggoda.

Bak bidadari yang baru saja menikmati surga dunia, Tante tergeletak tak berdaya. Entah dia menyadari keberadaan gue atau nggak, gue nggak peduli.
Gue berjalan mendekat, menoleh sebentar ke arah kamar tedi untuk memastikan. Siapa tau kan dia nggak terima kalo gue pake mamanya.

Tapi, janji yang dulu Tante ucap masih gue anggap sebagai hutang, dan saat ini adalah pembayaran hutang yang sudah sekian lama gue nantikan.

Gue mendekati, lalu berlutut di sebelah tubuhnya. Tangan gue terjulur mengelus kaki jenjangnya. Terasa lembut dan halus. Sensasi ini masih sama seperti 6 tahun lalu, sensasi luar biasa yang gue rasakan.

Bahkan setelah beberapa wanita yang pernah gue tiduri. Tante Rasti masih menjadi juara di hati gue. Tubuhnya, payudaranya, bibir tipisnya yang menggoda membuat kepala gue seakan mau pecah hanya untuk membayangkannya saja.

Ini, momen ini yang selalu gue tunggu.

Ku kecup lembut paha Tante Rasti. Kecupan demi kecupan hingga lidah gue mulai menjulur, menjilat setiap inci dari kulit paha yang mulus. Terasa nikmat tanpa ada lecet sedikitpun.

Bidadari akan selalu sempurna di mata gue.

Lidah gue terus menari di paha Tante, perlahan namun pasti, lidah gue mulai bergerak naik. Tangan ku pun tak mau tinggal diam. Mereka seolah tahu dimana mereka ingin menyentuh.

Gundukan lembut Tampa bulu, sedikit becek karena pejuh dari dua pria tua tadi tidak membuat semangat gue mengendur. Jari gue mulai nakal menyeruak masuk. Mengelus dan mencari klitorisnya. Mencari titik lemah dari kebanyakan wanita.

Hingga saat jari ku menemukannya, lenguhan panjang terdengar dari bibir seksinya itu.

"Oghm......"

Ku tersenyum. Yah desahan itulah yang ku tunggu-tunggu, bak bisikan lembut yang membuat ku semakin horni, deru napas yang panjang membuatnya semakin terlihat seksi.

Tubuhnya mulai menggeliat saat kecupanku mulai naik. Pangkal paha yang mulus menjadi sasaran ku. Tanpa seincipun ku lewati. Aku ingin meluruhkan seluruh rindu yang selama ini ku pendam.

Tubuhku bergerak kesamping. Tangan kiriku mulai mencari gundukan indah. Mencari puting yang segera ku pilin serta lidah yang sudah mencapai titik pusat.

Aroma khas yang tak pernah ku lupa. Aroma yang membuat kontolku semakin tegang, aku ingin segera memulai permainan, namun sebisa mungkin aku menahan, aku tidak ingin terlalu terburu-buru, terlebih Tante baru saja mendapatkan kenikmatannya. Aku ingin dia memulai dari awal lagi bersamaku.

Meniti puncak kenikmatan bersama. Dengan rakus lidahku menari di atas kemaluannya, klitoris menjadi sararan utamaku, tanganku pun seolah tak mau kalah, tak henti-hentinya dia meremas dan memilin puting yang sudah mengacung.

"Ugh ... Oh.... Hmm...."

Lenguhan demu lenguhan kian terdengar indah, bak nyanyian dari surga. Tubuh yang mengejang membuat senyumku terukir lebar.

Yah, Tante mulai mendapatkan kembali kenikmatannya. Walau belum usai, karena aku tak ingi menyelesaikannya.

Aku mengangkat wajahku, lalu mengakat tubuhku dan beranjak naik. Kini aku ingin menyesap payudara indah itu. Puting yang mengacung menatang menjadi keinginanku selanjut. Lidahku mulai menjilat setiap inci payudara, hingga akhirnya aku mendapatkannya, puting indah itu menjadi sasaranku.

Aku menyesap dengan lembut, perlahan namun pasti lenguhan kembali terdengar.

Kini tangan Tante Rasti mulai bergerak, aku tahu apa yang dia cari, aku sedikit mengangkat pinggangku, memberikan tangan itu akses untuk menyentuh kemaluanku.

Yah dia mendapatkannya. Tangan halus itu menyentuh kontolku yang tegang. Aku masih dia memperhatikannya.

Hingga perlahan mata sayu itu terbuka, mungkin dia merasa asing dengan apa yang dia dapatkan.

Saat mata itu terbuka sepenuhnya aku tersenyum menyambutnya.

"Selamat siang Tante..." Ujarku dengan lembut.

Tante Rasti terdiam beberapa saat sebelum akhirnya dia membelalak, mungkin dia terkejut karena pria yang ada diatasnya bukan lagi pak RT atau pak RW. Melainkan pria yang baru saja datang bersama anaknya tadi.

"Kamu....." Tante menggantung kalimatnya, mencoba mengingat-ingat dengan ekspresi yang lucu.

"Iya...." jabawku sembari menahan senyum.

"Eh.... Tunggu... Ini.... Emhhhh..." sebelum Tante menyelesaikan kalimatnya, aku langsung melahap bibir tipisnya itu. Menyesap setiap bibir tipis yang dia miliki. Lidahku memaksa untuk masuk. Menyusuri tiap rongka mulutnya.

Lidah kami saling bertukar, Tante tidak menolak. Dia justru menerima apa yang ku lakukan, kami saling bertukar lidah untuk beberapa saat sebelum akhirnya aku melepas cumbuan itu.

Ku pandangi wajahnya yang terlihat berpikir di sana.

"Jaka...." Ucapnya seperti berbisik.

Mendengar dia menyebut namaku, tentu membuatku senang, yah... Akhirnya dia mengangkat ku. Anak kecil yang dulu dia beri janji, janji yang indah hingga ku anggap sebagai hutang hingga saat ini.

Aku menunduk, membisikkan sesuatu di telinganya.

"Iya Tante.... Dan sekarang aku ingin menagih hutangku..." Dengan senyum lebar aku mengangkat wajahku, menatapnya utuk melihat reaksinya.

Yah... Aku sudah tidak bisa menahan syahwat ini. Aku ingin segera memulai semuanya. Dengan amat Perlahan dan menghabiskan waktu tanpa ada yang terlewat dari semua hal yang sudah kuba
yangkan selama ini.

Ini adalah keinginan yang sudah ku idamkan sejak dulu.


Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.
You will be redirected to the script in

seconds

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com