Ahirnya kontolku masuk seluruhnya ke dalam memek Bi Narsih yang belum basah. Lalu Bi Narsih menghitung sambil menaik turunkan pantatnya hingga 7x hitungan Bi Narsih bangkit dari pangkuanku. Kupikir Bi Narsih akan berganti posisi ternyata tidak.
Bi Narsih menyuruhku berjongkok menghadap sendang Ontrowulan. Sebenarnya aku ingin bertanya, tapi Bi Narsih memberiku isyarat agar diam.
Bi Narsih mulai menyiram kepalaku dengan air kembang dari ember. Kemudian Bi Narsih menyuruhku berdiri sedangkan Bi Narsih berjongkok menghadap sendang Ontrowulan menyuruhku menyiram kepalanya dengan air kembang sebanyak 7x. Setelah itu baru kami mandi sendiri sendiri.
Dari sendang kami berjalan lurus tidak melewati jalan yang kami lalui tadi. Jalan yang kami lalui tangganya lebih terjal dari pada warung tempat kami menginap. Sepanjang jalan Bi Narsih memegang tanganku tanpa bicara sepatah katapun.
Sesampai di bangsal Sonyoyuri suasananya masih sepi. Hanya ada beberapa orang yang duduk di sisi tangga dan di samping bangunan Sonyoyuri. Maklum, baru besok malam Jum'at Pon.
Bi Narsih membeli dua bungkus kembang dan menyan, lalu kami masuk bangsal memberikan menyan dan kembang ke kuncen. Kuncen membakar menyan dan bunganya diputar di atas asap menyan yang tebal. Setelah selesai, kuncen memberikan kembali kembang kepada kami untuk ditaburkan di atas makam Pangeran Samudra.
Di makam Pangeran Samudra kami berdoa sendiri sendiri dengan khusu. Bahkan do'aku lebih khusu dari yang sudah sudah. Suasanananya terasa sangat berbeda. Seperti ada mata yang memperhatikan kami, mata yang tidak bisa aku lihat. Ada getaran aneh yang menusuk hatiku. Detak jantungku terasa berdetak lebih cepat dari biasanya. Seperti ada hawa dingin yang menyelimuti tubuhku.
Aku berusaha semampuku untuk berdoa sekhusu mungkin agar perasaan aneh yang kurasakan melebur dalam do'aku. Do'a yang akan menyempurnakan ritualku. Doa yang akan membuka sebuah rahasia besar tentang kematian Ayahku.
Selesai berdoa'a kami menaburkan bunga di makam Pangeran Samudra. Setelah bunga tertabur rat, kami mengambi bunga kantil yang sudah kami taburkan dan memasukkanya ke dalam kantong.
Bi Narsih mengajakku ke balik kelambu makam sehingga kami tidak terlihat dari depan. Hanya ada kami berdua di dalam bangunan makam.
Tangan Bi Narsih membuka resleting celanaku dan mengeluarkan kontolku yang setengah tegang. Bi Narsih mengocok kontolku perlahan hingga kembali tegang. Walaupun ketegangannya masih 90%.
Bi Narsih mengangkat rok lebar yang dikenakannya, Bi Narsih ternyata tidak memakai celana dalam. Bi Narsih menungging di depanku menghadap makam Pangeran Samudra.
"Jang, masukin kontol kamu sebanyak 7x seperti waktu di sendang Ontrowulan." busik Bi Narsih.
Aku hanya mengangguk, lalu mengarahkan kontolku ke memek Bi Narsih yang menungging. Memek Bi Narsih masih kering. Perlahan kontolku terbenam di memek Bi Narsih. Perlahan aku menggerakkan kontolku maju mundur sebanyak 7x. Setelah 7x, Bi Narsih bangkit menjauh dari kontolku dan mengajak keluar dari bagunan makan Pangeran Samudra.
Tanpa bertanya, aku mengikuti Bi Narsih keluar dari bangunan makam. Untung tadi Bi Narsih menyuruh aku memakai celana panjang katun, sehingga kontolku tidak tertekuk. Coba kalau aku pake celana jeans, bisa dibayangkan kontolku akan tertekuk dan akan terasa sakit..
Tapi karna aku memakai celana panjang katun, maka pas bagian kontolku yang tegang terlihat menggelembung. Untungnya dari area makam ke penginapan tidaklah jauh, jadi aku tidak terlalu lama menanggung malu kalau ada yang melihat celanaku menggelembung.
Aku lega setelah sampai warung tempat kami menginap. Bi Narsih, memesan sesajen lalu membawa masuk kamar.
"Hihihi, kasian kontol ponakan Bibi udah tegang gitu." Bi Narsih tertawa kecil.
"Kok tadi di sendang dan makam pake acara ngentot cuma 7x celup, Bi?" tanyaku penasaran.
"Ssst, nanti bibi jelasin. Sekarang kamu sila, kita mulai membaca mantra agar permohonan kita terkabul." kata Bi Narsih menempelkan telunjuknya di bibirku.
Aku segera duduk bersila di atas kasur. Bi Narsih memegang kontolku dan kembali memasukkanya ke dalam memeknya. Bi Narsih duduk di pangkuanku dengan kontolku yang bersarang di memeknya.
"Ikutin Bibi baca mantranya, ya !" Bi Narsih merangkul leherku dan mulai membaca mantra dengan pelan. Aku mengikuti setiap kata yang diucapkan Bi Narsih dengan khusu, tidak ada satu katapun yang terlewat aku ucapkan.
Irama mantra yang kami ucapkan membaur dengan jiwa kami. Hembusan kami seirama dengan mantra yang semakin lancar aku ucapkan. Aku tidak.lagi merasakan beban tubuh Bi Narsih di pangkuanku. Bahkan aku tidak merasakan tubuhku sendiri. Yang kurasakan hanyalah mantra yang mengalir dari bibirku. Semuanya sudah lebur menjadi mantra.
Hingga ahirnya mantra selesai kubaca, Bi Narsih langsung memacu kontolku yang masih tertanam di memeknya. Bibirnya mencumbu leherku.
Bukan, yang sedang memacu kontolku bukan Bi Narsih, dai sosok yang sudah beberapa kali hadir dalam mimpiku. Dan ini bukan lagi tubuhku yang sedang dipacu oleh wanita itu.
*******
"Jang, bangun sudah jam 5. Kamu gak lapar?" tanya Bi Narsih sambil menepuk nepuk pipiku.
Bi Narsih membelai pipiku, Bibirnya tersenyum melihatku yang membuka mata. Aku membalas senyumnya yang lembut.
"Ujang ketiduran ya, Bi?" tanyaku. Perlahan kesadaranku pulih dantubuhku terasa lebih segar. Perlahan aku bangkit dari ranjang kecil yang hanya cukup untuk berdua.
"Iya, kamu tadi benar benar hebat. Bibi sampai kecapean dientot kamu. Ga keitung berapa kali Bibi orgasme. " kata Bi Narsih memelukku dan mencium pipiku.
Aku tidak tahu apa yang terjadi setelah ritual membaca mantra. Aku kehilangan kesadaran dan aku baru saja dibangunkan. Aku tidak mau menceritakan apa yang kualami tadi dan akan membuat Bi Narsih menjadi ketakutan. Aku harus menuntaskan ritual ini walau harus kehilangan kesadaran setiap kali ngentot dengan Bi Narsih.
Aku baru sadar ternyata tubuhku masih telanjang begitu juga Bi Narsih. Untung saja aku tidak membuka pintu dan keluar kamar.
"Ujang mau mandi dulu, Bi !" kataku sambil memakai celana training dan kaos bersih yang kumbil dari Tas.
"Bareng, Jang. Bibi juga mau mandi badan Bibi lengket gara gara kamu entot sampe 3 ronde. Hihihi." kata Bi Narsih yang sudah memakai piyama mandi.
3 ronde ? Dan selama itu aku kehilangan kesadaranku? Tubuhku terasa dingin dan merinding. Apa yang sebenarnya terjadi padaku? Tidak, aku harus menyelesaikan ritual ini. Aku tidak boleh kabur. Aku mengepalkan telapak tanganku dan menarik nafas panjang untuk membulatkan tekad yang masih tersisa.
Selesai mandi kami memesan makanan tidak lupa segelas kopi hitam kesukaanku. Aku makan dengan lahap sekali. Bahkan sampai nambah.
"Jang, kamu makan apa doyan? " tanya Bi Narsih menggodaku.
"Si Ujang kalau habis ngentot makannya banyak." kata Mbak Wati yang tiba tiba sudah ada di belakangku. Aku hanya tersenyum.
Selesai makan Bi Narsih mengajakku duduk di samping bangunan makam, ada tembok besar untuk duduk bagi para peziarah. Bi Narsih menyenderkan kepalanya ke bahuku.
"Jang, selama di sini kamu jangan manggil Bibi, ya! Selama di sini kita suami istri." bisik Bi Narsih. Aku hanya mengannguk.
"Aku harus manggil, apa?" tanyaku bingung.
"Narsih saja. Kan kita suami istri." kata Bi Narsih.
Udara mulai terasa dingin, aku melingkarkan tanganku di pundak Bi Narsih memberinya kehangatan. Kucium kepalanya dengan mesra. Suasananya romantis sekali, kami duduk sambil ngobrol seperti sepasang kekasih yang dimabuk asmara.
"Dingin, Jang. Ke kamar lagi yuk!" ajak Bi Narsih.
Ahirnya kami kembali ke kamar. Ternyata Mbak Wati di kamar sebelah sudah mulai duluan. Terdengar rintihan Mbak Wati yang khas. Seperti inilah suasana penginapan di kemukus kita bisa mendengar suara suara orang yang sedang bercinta.
Bi Narsih langsung memelukku. Kami berciuman sambil berdiri. Tanganku meremas pantat bi Narsih yang besar dan keras. Pantat Bi Narsih selalu membuatku horny.
"Kamu seneng amat ngeremes pantat Narsih!" kata Bi Narsih.
Aku menarik daster bi Narsih keatas melewati kepala, aku juga membuka BH dan celana dalam Bi Narsih. Mungkin aku adalah keponakan paling kurang ajar yang menelanjangi Bibi sendiri. Aku kagum dengan bentuk tubuh Bi Narsih yang terawat. Teteknya yang berukuran sedang walau sudah kendur namun masih terlihat indah. Perutnya yang rata tanpa lemak dan pinggulnya yang lebar dan besar, tampak sexy di mataku.
Kuremas tetek Bi Narsih dengan gemas. Kuhisap putingnya dengan rakus. Bi Narsih menekan kepalaku ke dadanya seperti seorang ibu ke anaknya.
Puas dengan teteknya, aku mendorong Bi Narsih ke atas ranjang, Bi Narsih merebahkan tubuhnya di pinggir ranjang sedangkan kakinya dikangkangkan seperti tahu maksudku. Aku langsung membenamkan wajahku di memek Bi Narsih. Aku menjilati itilnya yang mencuat imdah. Kugigit pelan sambil kuhisap.
"Iya sayang, hisap memekku agar terhisap semua sari madu yang terkandung di dalamnya." sekali lagi bukan suara Bi Narsih yang aku dengar. Suara yang datang dari masa lalu. Suara yang pernah aku dengar di dalam mimpiku dan saat aku ngentot dengan Anis.
Aku tidak berusaha mengabaikan suara itu. Aku berusaha untuk tidak melawan. Aku pasrah membiarkan setiap bisikan itu menyatu dengan jiwaku.
"Buka bajumu, entot aku. Puaskan dahagaku yang sudah ratusan tahun bergejolak. " kembali suara itu terdengar menyuruhku membuka baju. Aku menurutinya. Tidak ada lagi rasa takut dan ragu. Aku membuka seluruh pakaianku.
Kuarahkan kontolku ke lubang memek wanita dari masa lalu itu. Aku tidak lagi melihat wujud Bi Narsih, tapi wujud wanita dari masa lalu itu. Tanpa hambatan kontolku menerobos masuk wanita itu yang sudah sangat basah.
"Nikmat sekali kontolmu yang perkasa menusuk hingga mulut rahimku." erang wanita itu.
Aku mulai memompa kontolku dengan lembut dan cepat. Memeknya yang basah memperlancar gerakan kontolku dan rasanya bebar benar sangat nikmat. Cengkeram memeknya begitu terasa.
"Enak banget memek Narsih.!" kataku yang kembali melihat Bi Narsih mengerang nikmat oleh sodokan kontolku.
"Ennnnak banget Jang kontol kamu." Bi Narsih mengerang menerima sodokan kontolku.
Aku semakin mempercepat sodokan kontolku karna aku tahu Bi Narsih sangat suka dengan sodokan yang cepat dan bertenaga. Dan aku menarik nafas lega setelah sekian lama aku menyodok memek Bi Narsih, wajah Bi Narsih tidak berubah.
"Jang, Narsih kelllluarrrrr...." Bi Narsih berteriak lirih mendapatkan orgasme pertamanya. Kudiamkan kontolku beberapa saat di dalam memek Bi Narsih hingga badai orgasmenya reda.
"Jang, gantian Narsih pengen di atas." kata Bi Narsih mendorong tubuhku.
Aku segera merebahkan tubuh di ranjang. Bi Narsih langsung berjongkok di atas kontolku. Setelah tepat, Bi Narsih menurunkankan pinggulnya hingga kontolku terbenam di memeknya yang berdenyut denyut seperti meremas kontolku dengan lembut.
"Sih, memek kamu ennnak bisa empot empotan. " kataku kagum.
"Ini namanya empot ayam, sayang." kata Bi Narsih tersenyum. Pinggulnya bergerak naik turun dengan cepat.
Gerakakan Bi Narsih semakin cepat, bibirnya mendesis nikmat. Tidak perlu waktu lama, Bi Narsih kembali meraih orgame ke duanya. Memeknya berkontraksi lebih kuat dari yang pertama.
"Kamu hebat, Jang. Narsih udah dua kali keluar. Narsih di bawah lagi ya, Sayang !" Bi Narsih bangkit dan berbaring di sampingku.
Aku merangkak di atas Bi Narsih, kontolku langsung menuju memek Bi Narsih tanpa perlu dituntun. Bles dengan mudah kontolku menusuk masuk memek Bi Narsih. Aku langsung memompanya dengan cepat dan bertenaha sehingga tumbukan kontolku dan memek Bi Narsih menimbulkan suara yang merdu.
"Gilllla Jang, ennnnak banget dientot kamu." bi Narsih tersenyum menatapku. Aku mencium bibir Bi Narsih dengan mesra.
Ahirnya aku tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Kontolku mulai berdenyut akan menembakkan pejuhnya.
"Sih, Ujang kelllluarrrrr....!" aku berteriak tertahan. Tubuhku mengejang dilanda kenikmatan yang sangat dahsyat.
"Narsih jugaaaaaa Jang....!" Bi Narsih memelukku dengan erat. Saking hebatnya orgasme yang dialaminya, Bi Narsih sampai menggigit pundakku.
******
Di mana aku? Jalan yang kulalui sangat sepi seperti tidak ada kehidupan. Di kiri kananku hanya ada pohon jati. Tiba tiba ke dua tanganku ada yang memegang dengan keras. Mereka menarikku. Aku bertteriak sekuat tenaga, tapi suaraku tidak keluar. Aku melihat ke kiri dan kanan.
Siapa mereka yang menarikku? Salahku apa. Tenaga mereka begitu kuat sehingga aku tidak mampu berontak.