𝐂𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐓𝐞𝐧𝐭𝐚𝐧𝐠 𝐈𝐬𝐭𝐫𝐢𝐤𝐮 𝐏𝐀𝐑𝐓 𝟐𝟕 [𝐌𝐀𝐖𝐀𝐑 𝐘𝐀𝐍𝐆 𝐓𝐀𝐊 𝐓𝐄𝐑𝐃𝐔𝐆𝐀]

Di pagi tadi, sebelum Lidya berangkat ke kelas pelatihan, istriku itu masih menelepon untuk menanyakan kabar perkembangan kesehatanku. Aku menjawab dengan berbohong bahwa aku masih harus dirawat sekitar seminggu lagi. Lagi-lagi Lidya menangis terisak, dia sangat menyalahkan dirinya yang tak bisa menjadi istri yang baik karena membiarkan aku sendirian di Rumah Sakit. Padahal tangis dan perkataannya itu telah dia ucapkan sejak malam kemarin bahkan setiap kali menelepon, tapi tetap saja keluar lagi dari mulutnya akibat rasa sedihnya yang begitu dalam.


Siang ini aku sudah diizinkan pulang dan akan segera kudatangi istri kesayanganku, dan ya….. tentu saja akan kutumpahkan kerinduan yang sudah memuncak ini dengan melakukan “ehm ehm”, aku memang sudah menantikan dan membayangkan moment ini dari kemarin. Tunggu aku Lidya!!!

Berbekal uang yang lumayan hasil amplop pemberian kawan-kawan yang menjengukku, serta dengan mobil pinjaman, aku pulang dari Rumah Sakit dan sempat mampir ke rumah untuk mandi dan berganti pakaian. Tak lama, aku langsung berangkat menuju Puncak.

Rute Jakarta – Puncak aku lewati dengan kecepatan sedang cenderung pelan. Maklum sebenarnya aku masih trauma mengendarai mobil, tapi karena perasaan rindu yang menggebu pada istriku dan ingin segera kutumpahkan hasratku kepadanya, aku berusaha untuk menepis rasa trauma itu.

Memasuki kawasan Puncak, aku melihat ada seorang nenek yang menjajakan bunga mawar, aku menghentikan mobilku dan membelinya. Jiwa romantisku muncul, aku ingin memberikan Lidya setangkai mawar merah sebagai wujud dari perasaanku sekaligus permintaan maaf. Aku ingin memberinya kejutan kecil yang indah. Rasanya sudah lama aku tak pernah memberikan kejutan-kejutan kecil seperti ini, padahal aku tahu bahwa Lidya sangat menyukai aku berbuat seperti itu.

Tibalah aku sekitar pukul setengah 4 sore, di Wisma tempat Pelatihan. Kumasuki Wisma yang masih mempertahankan arsitektur bangunan lama itu, tak banyak orang disana. Bisa jadi karena ini hari Sabtu, sebagian besar peserta pelatihan yang kebanyakan dari Jakarta memilih untuk pulang, sehingga Wisma terlihat lengang. Lidya pun sepertinya jam segini sudah menyelesaikan kelas Pelatihannya, karena hari Sabtu menurut yang diceritakan Lidya hanya setengah hari.

Aku meminta izin kepada petugas yang berada di lobby untuk menemui Lidya. “Oh Ibu Lidya dari Available Finance? Silahkan langsung saja, Pak… di kamar 205”, ucap pegawai itu dengan ramah. Rupanya Ibu Lidya ini sudah dikenal, jadi aku tak susah mencari informasi.

Aku celingukan karena tidak hapal dimana kamar 205 yang dia maksud. Akhirnya si pegawai tadi menunjukkan arahnya. Maklum pada saat mengantar Lidya di hari pertama pelatihan, saat itu kami kesiangan sehingga Lidya langsung masuk ke ruang kelas dan akupun langsung pulang. Jadi aku belum tahu letak kamarnya.

Ternyata kamar Lidya berada di belakang Wisma, jadi dari lobby depan harus keluar bangunan dulu ke area tengah Wisma yang berupa taman yang cukup luas namun sedikit tak terurus, kemudian terlihat tangga. Ada kertas yang tertempel di dinding dekat tangga yang bertuliskan :
KAMAR PESERTA PELATIHAN PEREMPUAN,

AVAILABLE FINANCE & PT. CAHAYA SINAR BENDERANG​

Tulisan itu disertai dengan tanda panah mengarah ke atas tangga. Usai menaiki tangga aku melihat deretan 5 buah kamar memanjang di sebelah kiri, sedangkan bagian kanan atau seberang kamar hanya tembok. Aku membaca kamar pertama nomor 201… ah berarti kamar Lidya tepat berada di paling ujung lorong ini.

Benar kata Lidya, seluruh kamar tampaknya sepi tanpa ada aktivitas, kini aku berpikir…. di kamar Wisma pun tak mengapa untuk melakukan ‘ehm-ehm’ dengan istriku, mumpung sepi. Pada awalnya aku memang berencana untuk menyewa kamar hotel di luar. Mending disini lah, gratis… aku harus mengirit pengeluaranku sekarang.

Akupun berjalan mengendap agar langkah kakiku tak terdengar. Aku ingin memberikan surprise kepada istriku yang pasti menyangka aku masih terbaring di Rumah Sakit.

Sambil menggenggam setangkai mawar merah aku mendekati kamar Lidya. Namun ketika sampai di depan kamar…. betapa terkejutnya saat aku mendengar suara lenguhan dan desahan perempuan. Aku memandang sekeliling untuk mencari arah suara, tapi sudah dipastikan bahwa suara itu datang dari dalam kamar Lidya, ya…. kamar 205, kamar istriku!!!

Aku arahkan daun telinga kiriku dan merapatkannya ke pintu, untuk memastikan apakah itu suara Lidya? Atau jangan-jangan orang lain atau bisa juga suara dari film porno?

Diantara suara desahan-desahan perempuan itu, aku dengar suara yang mengucapkan sebuah kalimat, “iiiih, jangan duuluuu….”. Suara rengekan manja yang terdengar khas dan sangat familiar di telingaku. Ya, aku yakin itu suara Lidya. Mukaku memerah, detak jantungku bertalu cepat, nafasku menderu tak beraturan.

Aku berpikiran akan membuka pintu kamar, kalau terkunci akan kudobrak saja sekalian, saking emosinya. Saat itu aku sudah tak lagi sadar kalau sebenarnya aku juga adalah lelaki yang tidak bisa menjaga kesetiaannya.

Namun ketika aku hendak membuka handle pintu, aku baru melihat… kalau handle pintu kamar tersebut masih menggunakan model lama, sehingga ada lubang kunci disana. Setelah memastikan keadaan sekitar aman, akupun langsung jongkok dan mendekatkan mata kananku ke lubang kunci tersebut. Beruntungnya!!! Tidak ada kunci yang menempel dari dalam kamar, sehingga aku bisa dengan jelas melihat ke salah satu spot di ruangan tersebut.

Aku melihat perempuan telanjang dari lubang kunci ini. Benar…. itu Lidya!!! Apa yang kulihat ini hampir membuat jantungku berhenti mendadak! Wajahnya terlihat jelas ketika ia menyibak rambutnya.

Nafasku semakin tak beraturan, keringat dingin mulai menjalar di seluruh tubuhku, tanganku bergetar hebat, sementara bunga mawar untuk Lidya yang ada di genggaman tak kusadari sudah terlepas dan terhempas di lantai. Hilang sudah angan-anganku tentang kejutan kecil, semua rencanaku buyar seketika. Aku lagi-lagi dikhianati, sama seperti aku yang berulang kali mengkhianatinya.

Tepat di seberang lubang kunci adalah tempat tidur yang menjadi tempat pergumulan antara Lidya dengan seorang lelaki yang terlihat sedang berbaring, hanya tampak bagian dada sampai kakinya saja. Kepala dan wajah lelaki tersebut berada di sebelah kiri penglihatanku, entah siapa lelaki itu.. karena terhalang oleh lemari pakaian. Apakah Koh Freddy? Atau jangan-jangan Pak Ridwan?!?!?!

Yang pasti sosok Lidya yang terlihat jelas dari lubang kunci ini, ia sedang menduduki kemaluan lelaki tersebut atau dalam posisi Woman on Top. Gila!!! Sekarang yang Lidya lakukan sudah tak lagi sekedar petting, tapi vaginanya kini sudah dimasuki oleh penis lelaki brengsek ini!!! Bisa-bisanya dia selalu menangis seolah rindu padaku, padahal di belakang ia berbuat mesum!!!

Kemudian terdengar lenguhan pendek dari sang lelaki. Lidya pun menghentikan gerakannya. Dengan posisi vagina yang masih tertancap di batang kemaluan itu, kini Lidya sedikit menyondongkan tubuhnya ke depan, tangan kanannya bertumpu ke kasur, sementara tangan kirinya terlihat mengelus-elus mesra dada pasangannya itu. Terlihat dari gerakan mulut Lidya sepertinya ia mengatakan sesuatu namun tak terdengar jelas apa yang mereka bicarakan, karena sepertinya setengah berbisik.

Sesaat kemudian tangan kiri Lidya memukul-mukul manja lawan mainnya, lalu mereka tertawa-tawa seperti sedang bercanda. Lidya pun kembali menegakkan kembali tubuhnya sambil berkata manja, “tuuuh kan Abang mah godain Dya teruuus…… ga tau ah, pokoknya terusiiin”.

‘Abang’? ‘Dya’? Abang siapa lagi ini Lid? Sok manja banget memanggil nama kamu sendiri dengan sebutan Dya!!! Bang siapa sih? Bang Ridwan? Atau jangan-jangan Bang Mandra sodaranya Si Doel anak Sekolahan?

Menyaksikan adegan live istriku ini penisku pun mengeras sekeras-sekerasnya, yang sebenarnya sudah mulai mengeras sejak dari awal aku mengintip.

Tubuh Lidya kembali memulai gerakannya secara perlahan, pinggulnya ia gerakan maju mundur. Tampak sekali Lidya menikmati permainan ini. Desahan dari mulutnya terdengar lagi.

“sssssh aaaah…… mmmmm….. ssssshh, iya Baaaang…. teruuus… eenak iih… enak banget iniiii….”, desahan ditambah racauan yang tak pernah aku dengar dari mulut Lidya selama berhubungan badan denganku. Kecuali melalui ceritanya saat ia menceritakan perselingkuhannya dengan Koh Freddy waktu itu.

Biasanya denganku ia hanya mendesah-desah pelan, kecuali saat akan orgasme bisa terdengar agak sedikit keras, tak pernah sekalipun ia berkata-kata saat ML denganku, selain kata ‘Papah’ yang berulang. Tapi yang kudengar kini sangat berbeda, ternyata benar-benar sangat binal sekali mulut istriku ini!

Kedua tangan Lidya kini terangkat dan mengacak-acak rambutnya sendiri. Ketiak mulus di lengan kiri Lidya kini sedikit terlihat olehku. Masih dengan gerakan tersebut terkadang jemari tangannya bermain-main di mulutnya, jari telunjuknya ia masukan ke dalam mulutnya seperti gerakan menghisap-hisap. Sementara tangan yang satunya masih mempermainkan rambut yang kini berantakan dan menutupi sebagian wajahnya.

Seiring gerakan pinggulnya yang semakin cepat, kedua tangannya kini menyibakan kembali rambutnya yang menutupi wajah. Ia benahi rambutnya, seperti yang akan mengikat rambutnya ke belakang, dengan gerakan tersebut membuat kedua tangan Lidya terangkat lebih tinggi, ketiak putih mulusnya itu sepertinya terpampang jelas dari tempat pasangannya berbaring. Sepertinya sengaja Lidya bergaya seperti itu untuk menggoda dan menambah gairah pasangannya. Sebuah pemandangan yang erotis. Mengapa kamu tak pernah melakukan yang seperti ini selama dengaku, Lid????

Kini kedua tangan lelaki yang sedang diberi kenikmatan itu menyentuh puting dan meremas payudara bulat dan kenyal istriku… Ya, itu harusnya payudara milikku, tapi kini orang lain yang sedang menjamahnya!!! Jantungku semakin cepat dan tak beraturan.

DEG DEGDEG DEG DEG DEG DEGDEG

Gerakan Lidya semakin cepat, ia mendongakkan kepalanya sehingga memampangkan leher mulus jenjangnya. Dari ekspresi Lidya, aku tahu sepertinya ia sedang menahan kenikmatan yang tiada tara.

“ABAAAAANG… AHHHHHHHH… OUUUGHH…. ENAK BAA…NGEET BAAAANG…. DYA… SUKKKA BAAANG… OOOOH”, Lidya menjerit cukup keras. Teriakannya itu membuatku kaget dan sempat menoleh sekeliling untuk memastikan tak ada yang mendengar lagi di luar kamar selain aku. Aman!

Sekarang tubuh Lidya sudah ambruk ke tubuh pasangannya, namun gerakan pinggulnya masih terlihat bergoyang-goyang pelan. Payudara Lidya kini berhimpitan dengan dada lelaki brengsek yang beruntung ini. Tangan Lidya tampak merangkul sehingga jemari tangannya kini berada di bawah tubuh pasangan mesumnya itu. Kepala Lidya tidak bisa aku lihat karena sudah sejajar dengan kepala sang lelaki.

Tak lama kemudian aku mendengar suara yang membuat aku begitu terangsang hebat, suara yang timbul akibat beradunya dan saling menghisap lidah berliur di sebuah rongga mulut yang basah.

Mmpphhh aamphh ccrrrk auumpph cccrrrk ccrrrok mmmphhh….. aahhhhhh

Lidya… bibir indah manismu itu sekarang sedang berciuman dengan lelaki lain? Hembusan nafasmu sedang kau bagi dengan lelaki selain aku? Lidahmu kini sedang beradu dengan lidah orang lain? Basah disana Lid?? Oh, jangan Lidya…. Please hentikan…!

Setelah melakukan ciuman sekitar 15 detik, ternyata mereka belum selesai, kini tubuh Lidya kembali bangkit. Gerakannya semakin liar, jika sedari tadi pinggulnya hanya maju mundur, kini tampak Lidya menggerakan tubuhnya turun naik. Membuat payudaranya bergerak dengan bebas mengikuti gerakan tubuhnya.

Sekarang juga pinggul sang lelaki mulai terlihat ikut bergerak dari bawah, kedua tangannya memegang kedua pinggul Lidya seperti membantu istriku ini untuk membuat gerakan turun naiknya menjadi sesuai ritme yang diinginkan lelaki tersebut. Desahan dan racauan dari mulut Lidya semakin jelas terdengar, begitu juga lenguhan dari lelaki yang sedari tadi tak kudengar apapun darinya, kini seolah saling bersahutan dengan Lidya.

“aaaah…… eeenak enak eeenak bangett Bangggg mmmmm….. ssssshh, iya…. teruuus… Shaa…yaaang aku….. aaaahh terus enak banget iniiiii Ayaaaang…”, Racau Lidya yang kali ini selain menyebut pasangannya dengan sebutan ‘Bang’, sepertinya sudah tak sungkan lagi menyebutnya juga dengan sebutan ‘Sayang’ atau ‘Ayang’.

ANJGGGGG!!

Aku merasakan dilematis, ada pertempuran batin di dalam diriku. Apakah aku harus pergi? Membiarkan istriku ‘bermain’ dengan lelaki itu sampai selesai, seperti selalu tuntasnya setiap permainanku bersama Vina. Aku anggap ini mungkin hukuman untukku. Tapi tetap saja aku ingin marah. Masih pantaskah seorang suami peselingkuh marah ketika mendapati istrinya melakukan hal yang serupa?

Jika mengikuti hawa nafsu.. jujur, aku sangat menikmati apa yang kulihat ini. Aku sangat ingin menyaksikan persetubuhan terlarang istriku ini sampai tuntas. Ada dua pilihan… apa aku harus pergi?.... atau menyenangkan fantasiku sendiri dengan mengeluarkan batang penisku dan mengocoknya sekarang? Tapiii….. masih pantaskah seorang suami yang tak berguna seperti aku… dengan tak punya rasa malu mengocok penisnya…? Apa aku harus mengambil kesempatan untuk tetap mengintip istriku meraih kenikmatan bersama orang lain?

Huh!!! tetap saja rasa cemburu yang kurasakan kali ini sudah sangat terlalu besar, sesalah-salahnya perbuatan yang pernah aku lakukan.. rasanya kini sudah tertutup ego ke-lelaki-anku. Kemarahan dari lelaki egois sudah tak terbendung lagi. Dan aku sudah memutuskan…. untuk menghentikan kegilaan ini sekarang juga!!!

Masih dengan posisi mengintip di lubang kunci… aku mengetuk pintu kamar Lidya. Tampak di dalam ruangan ada kepanikan setelah mendengar suara ketukan pintu yang kugedor cukup keras. Mereka menghentikan aksinya, sepertinya Lidya tampak bingung tak tahu apa yang harus dilakukannya. Aku menggedor pintunya lagi, karena aku lihat mereka hanya duduk mematung di ranjang tanpa mengeluarkan suara apapun. Aku masih belum bisa melihat siapa lelaki yang bersama Lidya. Walaupun lelaki itu kini berada dalam posisi duduk, tapi ia menyender di tembok yang masih terhalang oleh lemari.

Jika hanya mengetuk pintu saja, aku yakin mereka tidak akan keluar. Maka aku bangkit dari posisi jongkokku. Aku mengambil ancang-ancang mundur dua langkah. Dengan menggunakan bagian bawah sepatu kananku aku menerjang pintu kamar itu.

BRAAAAAAGGGG!!!!!

Mungkin karena saking emosinya.. sehingga aku seolah mendapatkan tenaga extra, pintu itu terbuka dengan sekali hentakan kakiku!

Melihat ternyata aku yang datang, Lidya terlihat sangat shock seolah tak percaya. Ia yang masih dalam kondisi telanjang bulat langsung bangkit dari duduknya kemudian memburuku yang masih berada di depan pintu. Segera ia bersimpuh di kakiku sambil menangis histeris.

Aku tak melihat lelaki itu! Tapi aku yakin dia sembunyi di balik antara lemari dan tempat tidur.

“Mana si Anjng itu!”, teriakku penuh kemarahan sambil melangkah mencari keberadaan lelaki brengsek dan mencoba melepaskan pelukan tangan Lidya yang membelit di lututku seolah menghalangiku.

Lidya semakin kuat menghalangiku agar aku tak bisa melangkah lebih jauh ke depan. “SIAPA DIA?!?!!!!”, bentakku pada Lidya sambil mendorong tubuhnya untuk menjauh. Aku lihat Lidya menangis dengan ekspresi ketakutan melihat aku semarah ini, melebihi kemarahan yang pernah kulakukan kepadanya saat bertengkar waktu lalu.

Tiba-tiba dari balik lemari, sesosok pria keluar sambil berkata dengan nada yang tegas namun terlihat tenang, “Saya Kang….!!”.

DUARRRRRRR!!!

Bagai tersambar aliran listrik ribuan volt, aku bergumam…. “Nando?!”, antara kaget dan tak percaya…. tak pernah terlintas sedikitpun jika dia lah yang ternyata membuat Lidya bermain serong di belakangku. Dia yang kesehariannya sopan ternyata seorang bajingan! Kebaikan hatinya kepadaku saat menolong kesusahanku ibarat bunga mawar yang berduri, akhirnya menusukku!!! Tapi bagaimana bisa Lidya berhubungan dengan Nando?????

Wajah Nando tampak sekali dibuat tenang, walaupun wajahnya menatapku tajam, aku bisa melihat ada sorot mata ketakutan disana. Tubuhnya masih telanjang bulat dengan batang kemaluannya yang masih berdiri tegak. Ukurannya hanya sedikit saja lebih besar dari ‘milik’ku. Tapi mengapa Lidya bisa begitu bergairah dalam menikmatinya?

Aku dorong tubuh Lidya dan segera memburu lelaki yang kukenal baik itu. Tak berpikir panjang dengan sekuat tenaga langsung kulayangkan sebuah tinju yang mendarat telak di wajahnya. Nando terjengkang ke belakang, terhempas ke atas ranjang bekas pergumulan panasnya dengan istriku. Tak cukup sampai disitu, Nando yang mencoba bangkit langsung menerima kembali tendangan yang mengenai tepat di ulu hatinya. Aku pun menendang sekali lagi, kali ini yang menjadi sasaranku adalah batang kemaluannya.. namun sayangnya power tendangan yang kedua ini tak sekeras tendangan pertama, karena sempat terhalang oleh tangan Nando yang mencoba menepis namun tak bertenaga.. tapi tetap saja setidaknya tendanganku itu membuat dia merasa kesakitan. Nando Ambruk dalam posisi bersujud sambil memegangi perut dan kemaluannya.

Ketika aku akan melanjutkan untuk menginjak leher belakangnya, tubuhku ditarik oleh dua orang yang sepertinya pegawai Wisma yang ternyata tanpa disadari sudah masuk ke dalam kamar. Aku lihat Lidya segera meraih kain pantai berukuran kecil yang ada di sekitarnya, untuk menutupi tubuhnya yang masih telanjang.

Aku mendengar Nando berkata lirih disela kesakitannya, “Rief, beresin utang lo…. paling lambat besok….”. Kali ini Nando sudah tak lagi menyebutku dengan sebutan ‘Akang’.

“Enak banget Anjng!... lo Anjng masih ngomongin masalah duit abis nidurin bini Gw!!!!!”, teriakku sambil meronta bermaksud mencoba lepas dari pegangan pegawai Wisma.

“Oh jadi maksudnya lo pengen lunas? Emang lo hargain berapa sih… bini lo sendiri…. gw baru pake lima kali lho, utang lo seratus juta… emang sekali pake 20 juta ya?.... Mahal amat…..“, ucap Nando yang kini mulai duduk namun masih memegangi perutnya dan sesekali badannya membungkuk menahan sakit. Terlihat dari pelipis matanya mengeluarkan darah yang segar.

“Hah? 5 kali?!? Kenapa bisa, Liiid!!!!”, umpatku dalam hati yang bergemuruh seperti ombak di Segitiga Bermuda.

“Ga usah banyak bacot Bangsat!!! Gw beresin utang-utang lo semuanya….. pake duit!!”, balasku dengan suara lantang. Aku sudah tak bisa berpikir jernih, padahal darimana bisa kudapatkan uang sebanyak itu dalam jangka waktu satu hari?

“Kalo lo ga bisa bayar….. seperti kebiasaan lo selama ini……. lo boleh bayar pake bini lo lagi…. berapa semalamnya?....... jangan 20 juta dong, Rief…. kurangin lah…. kan kita temenan lama”, tanya Nando benar-benar meledek dan menghina harkat martabatku sebagai seorang laki-laki di depan istriku, dan juga 2 orang petugas Wisma yang masih memegangiku.

Emosiku sudah tak tertahan pada Arief yang sudah sangat keterlaluan ini, sempat terpikir untuk membunuhnya saat ini juga, pikiranku sudah gelap… namun tangan 2 petugas Wisma masih juga memegangiku bahkan semakin kuat.

Daripada aku tak bisa berbuat lebih banyak lagi disini, hanya emosi yang tak tersalurkan, lebih baik aku keluar dari kamar ini dengan perasaan yang masih menyimpan bara. Aku langsung menarik lengan Lidya yang tampak shock berada dalam kondisi runyam seperti ini. Aku menyeretnya keluar kamar untuk pulang bersamaku, tidak ada penolakan yang berarti darinya. Hanya saja ia tampak kikuk untuk menutupi tubuhnya dengan kain yang sebenarnya tak cukup lebar untuk menutupi seluruh tubuhnya.

Sementara itu sebelum keluar sempat kulihat kedua petugas hotel yang sudah melepaskan pegangannya tampak melongo dengan apa yang dilihat dan didengarnya barusan. Kemudian mereka tampak berbisik-bisik seperti menerka-nerka masalah yang terjadi di kamar ini.

Dengan kondisi Lidya yang masih menangis tersedu-sedu dan bertelanjang kaki, ia pun aku giring keluar, bunga mawar yang sudah tergeletak di lantai pun terinjak saat aku melewatinya.

Kuturuni tangga dan melewati taman dengan tergesa dan masih menyisakan kemarahan yang luar biasa. Sial, Wisma yang pada saat aku datang terlihat lengang kini justru sangat ramai sekali oleh orang yang berkumpul di lobby. Sepertinya mereka peserta Pelatihan yang sedang duduk-duduk santai disana. Aku mendengar ada yang berkata, “kenapa ini?”. Entah siapa yang mengatakan itu, yang pasti aku tak peduli.

Kupercepat langkah melewati ruangan lobby yang saat itu mendadak terasa besar dan sangat jauh untuk mencapai pintu keluar. Beberapa bagian tubuh indah Lidya yang terpampang jelas, menjadi santapan gratis bagi orang-orang yang berada di lobby itu. Kain pantai yang Lidya kenakan hanya cukup untuk menutupi bagian payudara sampai sedikit dibawah pinggul. Sudah pasti bagian pantat Lidya terbuka dan ter-ekspos, seandainya saja ada yang sedikit merundukan kepala, bagian kemaluan Lidya pun bisa dengan mudah terlihat.

Akhirnya kami sampai juga ke tempat parkiran dan langsung memasukkan Lidya ke dalam Mobil. Mobil kupacu dengan kecepatan tinggi keluar dari kompleks Wisma tersebut.


Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.
You will be redirected to the script in

seconds

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com