๐‚๐ž๐ซ๐ข๐ญ๐š ๐“๐ž๐ง๐ญ๐š๐ง๐  ๐ˆ๐ฌ๐ญ๐ซ๐ข๐ค๐ฎ ๐๐€๐‘๐“ ๐Ÿ๐Ÿ [๐’๐€๐‹๐ˆ๐๐† ๐Œ๐„๐Œ๐€๐‡๐€๐Œ๐ˆ]


Kuketuk pintu kamar Vina, dan tak berapa lama kemudian pintu itu terbuka, lalu muncul Vina dengan pakaian tidur seperti kemben.

“Kang Arief… bikin panik aja!”, ujar Vina melongo seperti tak percaya. Dia buka-kan pintu lebih lebar agar aku masuk.

“Panik? emang kamu nyangkanya yang datang siapa?”, tanyaku santai.

“Bukan aku yang panik, tuh istri Akang… barusan telepon sambil nangis… emang kenapa sih kalian?” tanya Vina penasaran.

Aku mengangkat kedua bahuku, langsung duduk di karpet sambil membakar rokokku, kamar Vina memang bebas merokok, karena dia juga perokok walaupun tak banyak.

“Emangnya barusan Lidya nyeritain apa aja?”, balasku balik bertanya.

“Cuma nyeritain kalian berantem soal pekerjaan tapi ga dijelasin gimana-gimananya.. trus katanya Akang pergi…. Akang telepon dulu gih, biar dia ga panik, kasian tau.. ga boleh gitu sama istri”, lanjut Vina yang sekarang ikut duduk di depanku. Dengan pakaian kemben itu, pundak, dada mulusnya serta tonjolan payudaranya terlihat indah dipandang mata.

Aku yang tadinya datang kesini hanya untuk bertanya masalah Pelatihan, sekarang harus ngejelasin dulu soal pertengkaran tadi, karena kalau sepotong-sepotong seperti yang diucapkan Lidya, bisa jadi Vina menyalahkanku.

“Ntar lagi aja lah… lagian disini cuma bentar koq… Akang ngeganggu ga?”, ucapku menolak permintaannya untuk menghubungi istriku karena aku masih sangat kesal.

“Ngga koq..”, jawab Vina singkat tapi terdengar ramah.

Akupun mulai bercerita, persis seperti yang kuceritakan pada Lidya tentang project baru-ku, lalu aku beberkan juga alasan kenapa aku tadi marah dan meninggalkan Lidya. Vina memperhatikan ceritaku dengan serius, tumben hari ini dia terlihat tak pecicilan seperti biasanya.. kalau lagi serius begini, Vina itu cantik. Hmmmm….

“Kenapa ya Lidya? kaya yang ga pernah mau tau urusan pekerjaan Akang… apa mentang-mentang usaha Akang ga ada kemajuan gitu? sikapnya gitu terus dari dulu, bukan cuma masalah yang sekarang”, tanyaku pada Vina, mudah-mudahan dia tahu mengenai sikap Lidya ini, siapa tahu Lidya pernah cerita alasannya mengapa dia begitu.

“Aku boleh ngasih pandangan ga? Tapi maaf ya kalo aku salah…”, kata Vina usai mendengarkan ceritaku.

“Emang gimana Vin?”, tanyaku sambil menghisap rokokku dalam-dalam.

“Ini bukan tentang benar dan salah, aku ga menyalahkan Lidya… aku juga bukan orang Bisnis yang ngerti segala sesuatunya, tapi untuk saat ini aku ga sependapat dengan Lidya”, jawab Vina.

“Kalo kamu jadi istri Akang, kamu bakal setuju ga sama langkah Akang sekarang?” tanyaku lagi.

“Kalo aku jadi istri Akang…. enak dong bisa ‘enak-enak’ terus hahaha”, jawab Vina langsung kembali ke karakter aslinya.

“Eeeeh bukan gitu maksudnya Vin, maksudnya kalo kamu ada di posisi Lidya…. GITUUU!!!”, sambarku meralat ucapanku sendiri.

“Si paling serius! iya lah aku mah setuju, soalnya kalo aku tebak… Akang itu tipenya orang yang ga mau keluar dari zona nyaman”, ucap Vina kembali serius.

Aku mengernyitkan dahi, tak mengerti dengan maksud ucapannya.

“Iya Kaang, karena sifat Akang gitu makanya begitu usaha mandeg dalam jangka waktu lama, Akang ga nyari usaha alternatif lain, sekarang yang aku denger dari Akang barusan, Akang justru mau nyoba tantangan baru… nah ini harus didukung… jadi, kalau aku jadi istri Akang ya pasti bakalan ngedukung…. namanya usaha pasti ada resiko, kalau ga dicoba ya mana tau berhasil apa ngga-nya”, lanjut Vina.

Aku menatap perempuan di depanku ini dengan rasa kagum, kalau dipikir-pikir aku dengan Lidya hampir tak pernah curhat, memintanya saran atau diberi saran, atau deep talk lainnya kecuali saat bercerita soal perselingkuhannya. Tapi Vina ini berbeda….. dia selalu memberiku saran-saran, dan lebih hebatnya lagi pendapatnya itu selalu bisa aku terima. Ah, rumput tetangga memang selalu tampak lebih hijau! Kekagumanku pada Vina membuat penisku ini menegang, apa hubungannya ya kagum sama penis? Ini mah bisa-bisanya aku aja!

“Kenapa Kang? ngeliatinnya gitu amat….. jadi malu”, ucap Vina setelah melihat tatapan mataku pada dirinya yang memang berbeda.

“Makasih ya Vin, sekarang Akang jadi semangat lagi, padahal tadi udah nge-drop”, aku mengucapkan rasa terima kasih yang tulus dari dasar hati paling dalam.

“Iya Kang… ayo semangat… aku yakin Akang pasti bisa koq”, sambut Vina lagi.. makin memberiku tambahan energi untuk bangkit dari keterpurukan.

“Ada pertanyaan yang belom aku jawab soal kenapa Lidya ga mau tau urusan pekerjaan Akang…. Akang jangan buruk sangka dulu sama Lidya, sebenernya karakter kalian itu sama.. idealis dalam pekerjaan”, lanjut Vina menjawab pertanyaan yang hampir saja aku lupakan karena tadi keburu membahas hal yang lain.

“Maksudnya?”, lagi-lagi aku tak mengerti dengan maksud Vina ini.

“Dibalik sikap lemah lembutnya Lidya, dia itu idealis banget kalo udah nyangkut tentang pekerjaan, kalo udah gini ya gini, gitu ya gitu, punya standar sendiri.. kadang ga bisa diganggu gugat. Begitu juga Akang, sama! Ketika Lidya mandang cara kerja Akang, pasti di pikirannya harus gini harus gitu sesuai dengan standarnya yang belom tentu sama dengan standarnya Akang. Karena itu selama ini Lidya milih diem soal kerjaan Akang, seolah ga mau ikut campur urusan Akang, daripada harus berdebat dengan standarnya masing-masing, jadinya malah berantem kaya sekarang. Tapi Kang….. walaupun Lidya diem untuk urusan kerjaan Akang, tapi di belakang.. Lidya tetep selalu berdo’a yang terbaik buat Akang”, urai Vina membeberkan karakter sahabatnya sekaligus istriku itu.

Aku terpaku sekaligus merasa malu, selama ini aku tak mengenal karakter istriku sendiri, malah orang lain yang lebih mengenal karakter istriku.

Untuk masalah project, aku sudah memutuskan dan bertekad dengan yakin untuk melanjutkan serta menerima tantangan baru ini, apalagi aku sudah diberi suntikan semangat dari Vina yang membuatku makin percaya diri. Sementara untuk sikap pada istriku, harus kuakui yang kulakukan tadi rasanya terlalu berlebihan, dan aku sudah memahami mengapa Lidya begitu, sepertinya kita memang harus bisa lebih saling memahami.

“Sekali lagi makasih banyak ya Vin…. soal kerjaan Akang sementara udah clear….. Sekarang Akang mau cerita tentang maksud Akang kesini… mau nanya soal Pelatihan, ada info?”, tanyaku mulai bertanya tentang Pelatihan yang kucurigai ada ‘udang dibalik batu’.

“Hmmm pelatihan ya….. info apa nih?”, Vina balik bertanya.

“Aman ga buat Lidya? Maksudnya bakal ada yang deketin Lidya ga waktu ntar Pelatihan? Soalnya 10 hari Vin, Akang jadi khawatir”, jawabku.

“Koh Freddy maksudnya?”, ucap Vina sambil tertawa.

“Iya sih, dia terutama… tapi kalo ada selain dia yang kira-kira mau deketin juga, ya kasih tau aja…”, jawabku mendesak.

“Info pelatihan…. mmmm…. ada sih, tapi info mahal ini mah”, balas Vina semakin membuat aku penasaran. Saat berkata Vina menatapku dengan tatapan yang menggoda, tajam sekaligus menggairahkan.

“Semahal apa sih?”, tanyaku lagi seolah menantang, meskipun aku sudah tahu kemana arah pembicaraan Vina ini.

Jujur saja, tak seperti pertemuan pertama, kali ini aku lebih santai dan sudah siap jika Vina meminta hal yang sama dengan yang waktu itu. Bahkan sebenarnya sejak masuk ke kamar dan melihat Vina dengan pakaiannya itu, juga dengan sikapnya yang menyemangati aku…. aku sudah sangat ingin sekali mencumbui dirinya. Entahlah, apa benar aku bernafsu karena melihat wajah dan tubuhnya, atau aku sekedar ingin melampiaskan dendam atas perselingkuhan Lidya tempo hari atau karena gara-gara sekarang aku dan Lidya sedang tak akur?

“Ya minimal kaya yang waktu itu lah….”, jawab Vina santai.

Aku langsung mematikan rokok, bangkit dan langsung mengulurkan kedua tanganku untuk membuat Vina berdiri. Vina menyambut tanganku untuk bangkit. Setelah berdiri, tanpa basa-basi langsung kubopong tubuh Vina ke arah tempat tidur. Saat tubuhnya dalam gendonganku ini kutatap wajah Vina dengan penuh gairah, ia terlihat kaget dengan sikap ‘berani’-ku ini.

“Wow… ini beneran Kang Arief kan?”, ujar Vina setengah tak percaya melihatku berbuat seperti ini.

Kubaringkan tubuhnya di atas kasur dengan perlahan. Tanpa bicara kubuka baju dan celanaku hingga kini aku benar-benar telanjang. Aku naik ke atas tubuhnya dan berkata, “Makasih ya Vin, kamu udah ngertiin Akang.. kamu juga udah bikin Akang semangat lagi….”.

Aku langsung memagut bibirnya lembut, yang tentu saja disambut oleh Vina. Tidak sekedar nafsu, tapi kali ini rasanya ada suatu rasa yang entah apa, apakah aku mulai terbawa perasaan? Oh tidak…. Jangan sampai itu terjadi!!!

Mmmmpphhh mmuah mmmph cckppk mmmmphh

Saat sementara menghentikan ciuman, Vina pun mulai bercerita, “Mengenai pelatihan itu….”. Tapi langsung kututup mulutnya dengan jari telunjukku.

“Ssssttt… nanti aja cerita soal Pelatihan-nya… sekarang Akang cuma mau kamu dulu….”, kataku yang lagi-lagi memagut bibirnya. Tanpa melepaskan ciuman, tubuhku berguling, sekarang tubuh Vina menindih tubuhku.

Mmmmpphhh ssshrrpp mmmph cckppk sshhhrrrppp mmmmphh

“Kang…. apa Akang kaya gini sama aku gara-gara Akang lagi marahan sama Lidya? Apa aku cuma jadi pelampiasan Akang?”, tanya Vina penasaran dengan perubahan sikapku. Aku menyibakkan helai rambut Vina di sekitar pelipisnya.

“Ngga Vin, Akang emang pengen sama kamu….. kamu dewasa banget malem ini”, jawabku sudah tak malu-malu lagi.

“Akang suka liat aku dewasa?”, tanya Vina. Aku mengangguk pasti.

Vina tiba-tiba bangkit dan duduk diatas penisku, ia buka kembennya, ternyata dia sudah tak memakai bra dan celana dalam. Terpampang kulit Vina nan eksotis yang sangat menantang gairahku. Kuberikan tanda kepadanya agar segera memasukan penis yang sudah tegang ini ke dalam vaginanya. Pinggulnya diangkat dan tangannya mengarahkan penisku ke lubang kenikmatannya….. BLEESSSHH bersamaan dengan tubuh Vina yang perlahan turun.

“Aaaaghh……”, aku mengerang menerima kenikmatan itu, begitu Penis ini masuk sempurna ke dalam Vaginanya.

“Kang….ssshhhhm”, ucap Vina setengah berbisik seperti memanggilku, dengan gerakan pinggulnya yang maju mundur dan dilakukan dengan tempo yang sangat pelan.

“iya, Vin….”, jawabku setelah mendengar dia memanggil. Tapi Vina hanya diam, matanya terpejam seperti menikmati apa yang sedang ia rasakan.

“Mau ga…. Akang.. jadii…. ahhhh… sssssh oooh”, ucapan Vina bersaing dengan desahannya sendiri.

Ucapan Vina itu tak diteruskan, ia berkonsentrasi dengan dunianya yang sedang membuainya dalam kenikmatan. Sedangkan aku terpana menatap wajahnya yang menggairahkan juga kulit mulusnya…. serta tubuhnya yang indah. Ditambah lagi vaginanya yang semakin lama terasa makin mencengkram.

Entah berapa lama ia lakukan gerakan ini, tempo gerakannya semakin cepat. Sampai ia merebahkan tubuhnya di atasku, tapi pinggung dan pantatnya terus bergerak, kuremas dan kutepuk dengan gemas pantatnya yang berbentuk sempurna ini.

"Yang kerr…raasss Kaaangg ahhhh ooough”, lenguh Vina, kini kepalanya sedikit menengadah, matanya terpejam dengan mulut yang sedikit menganga.

Gerakan pinggulku semakin aktif menyodok batang kemaluanku dari bawah, tepukan di bokong Vina semakin keras, mungkin kini lebih tepat jika disebut tamparan. PLAK PLAAK!!

Sepertinya Vina senang diperlakukan seperti itu, bahkan gerakannya semakin mengganas setiap kali aku menampar pantatnya dengan keras, tak berapa lama ia pun ambruk lagi di atas tubuhku.

“Aku nyampe Kaaaang... ooohhh...... enak baa… nget say…yaaang.... uuooooghh….......OOOOHHHHH", teriaknya dengan tubuhnya yang terus menggelinjang beberapa kali melepaskan sisa-sisa kenikmatannya.

Vina menatapku mesra, dia mengelus mesra pipi dan area daguku.

“Lupa, belum cukuran”, ucapku sambil tersenyum, tapi tak percaya diri pada bulu-bulu yang sudah mulai tumbuh di wajahku. Aku biasanya memang selalu mencukur habis karena Lidya menyukai aku berpenampilan bersih, tapi seminggu ini rasanya malas untuk mencukur kumis yang menyambung ke dagu, area rahang serta sedikit naik ke pipi ini.

“Jangan dicukur aja Kang, cakep kaya gini”, balas Vina sambil terus memperhatikan dan memainkan jarinya di bulu-bulu kecil yang bila disentuh seperti menusuk jari yang menyentuhnya.

Cakep? Ga salah denger tuh…? rasanya baru kali ini ada perempuan yang mengatakan itu, bahkan Lidya pun rasanya belum pernah mengatakannya.

“Tadi kamu mau bilang apa? ‘Mau ga Akang jadi…?’ perasaan tadi Akang denger gitu”, tanyaku sambil menunggu Vina rehat sebentar memulihkan energinya.

“Ga jadi ah…. ntar Akang marah, malah jadi sebel sama aku”, Jawab Vina yang kulihat mukanya menjadi merah saat aku menanyakan hal itu.

“Apa sih? Ga akan marah koq”, Balasku sambil memagut mesra bibir Vina.

“mmmmppphhh…. Akang mau ga jadi pacar aku?”, tanya Vina tanpa basa-basi dan sudah berani berterus terang, mungkin karena aku rangsang ia dengan ciuman sebelumnya.

“Ngga…”, jawabku tegas tapi sambil tersenyum.

Muka Vina langsung sangat terlihat berubah. Sepertinya antara kecewa, malu, dan menyesal telah mengatakan itu.

Aku langsung memeluknya erat dan menciuminya lagi dengan mesra, “ngga Vin…. Akang kan udah punya istri…. Kalo belum punya mah pasti Akang mau lah sama kamu….”, kataku mencoba mengingatkan sekaligus menghiburnya.

“Ya udah ga usah jadi pacar juga ga apa-apa, tapi Akang sering-sering ya main kesini…”, ujar Vina penuh harap.

“Ngapain?”, tanyaku menggoda karena mengerti maksudnya.

“Ya kaya gini lah…. Hihihihi… sekarang aku cuma pengen main sama Akang aja, udah ga mau ganti-ganti”, ucap Vina jujur mengakui kenakalannya, kini wajahnya kembali ceria. Diluar kenakalannya, menurutku Vina ini tak munafik, nakal ya ngaku nakal, tidak seolah baik padahal di belakang nakal.

“Gonta-ganti juga ga apa-apa Vin”, kataku sambil mencubit pipinya.

“Iiiiih Akang mah, orang mau bener disuruh nakal… sejak terakhir sama Akang juga… aku udah ga pernah sama orang lain lho Kang”, jawab Vina seakan bangga dengan pencapaiannya, nadanya makin manja.

“Hmm…. gimana ntar aja deh”, jawabku yang semakin bernafsu, kubalikkan lagi tubuh Vina, entah mengapa aku selalu terangsang melihat kulitnya yang eksotis, apalagi dalam kondisi berkeringat seperti saat ini. Aku memasukkan kembali penisku untuk menggenjotnya lagi. Kali ini aku lakukannya dengan menjilati area payudara serta dada dan lehernya.

“Kulit kamu, Vin….. sexy kalo lagi keringetan gini”, lanjutku sambil terus menjilati dan mengecup dengan gemas area dada dan lehernya.

Vina tak menjawab, matanya terpejam sambil menggigit bibir bawahnya, tubuhnya terhentak-hentak akibat genjotan penisku yang dilakukan dengan tempo sedang. Payudaranya indah bergerak kesana kemari seiring gerakan tubuhnya yang terhentak, ukuran payudaranya sedikit lebih kecil dari miliknya Lidya, bentuknya pun beda.. jika Lidya bundar, sementara Vina seperti buah pepaya yang menggantung…

“ssshshh hmmmpfff….. oohh enak bangeet Sayang… oooh oooooh”, erangnya sambil tangan kirinya terangkat lalu seperti menggapai-gapai sesuatu di belakang atas kepalanya.

Di kepala tempat tidurnya memang banyak barang yang terpajang, ada beberapa figura foto kecil, ponsel dan sebuah botol. Vina mengambil botol itu setelah beberapa saat menggapai-gapainya tanpa melihat ke belakang karena sedang berkonsentrasi dengan penetrasi yang kulakukan.

Ia membuka tutup botolnya lalu seperti menuangkan isinya yang berupa oil itu ke bagian tubuhnya. Kemudian ia menuntun telapak tanganku untuk membaluri area payudara dan dadanya dengan minyak itu agar merata… tubuhnya kini jadi makin mengkilap dan sexy yang membuat gairahku semakin tinggi.

“oohh Viiin… sexy Viin…”, aku mengerang karena kenikmatan dari gesekan di vaginanya, juga tak tahan melihat keindahan kulit dan tubuhnya yang mengkilap. Aku memompa penis dalam vaginanya semakin cepat.

“oooouughhh ssshhmm aaaah….. Sayang suka liat aa…kuu… paa.. ke.. ooo..il.. kayyaa gi… niii?? Aaah terruuus Kaaaang oooooh”, ucap Vina sambil terus mendesah.

Tiba-tiba dari ponselnya terdengar nada dering, aku yang dalam posisi menghadap ke arah kepala tempat tidur, tempat di mana ponsel Vina berada bisa membaca dengan jelas nama penelepon itu adalah…… LIDYA!!!!

Vina yang sepertinya sedang tak mau diganggu, tak menghiraukan bunyi telepon yang ada di belakang atas kepalanya itu. Aku memelankan hentakan penisku sesaat lalu sedikit merebahkan diri dan menggapai ponsel itu dengan tangan kananku. Kuangkat telepon itu dan mengaktifkan loudspeaker sambil menyerahkan pada Vina.

Ekspresi wajah Vina kebingungan seolah bertanya-tanya siapa yang menelepon sampai-sampai aku yang mengangkat telepon itu. Begitu ia melihat layar ponselnya bersamaan dengan suara di ujung telepon itu mulai menyapa.

“Halo Vin…”, ucap Lidya yang membuat Vina panik, bahkan matanya melotot kepadaku seakan kesal dengan apa yang telah aku lakukan. Aku hanya tersenyum dan memberikan gestur kepada Vina untuk menjawab telepon itu.

“Kang Arief belom pulaang…”, lanjut Lidya dengan nada yang sedih bermaksud untuk curhat pada sahabatnya tentang keberadaanku yang tak kunjung pulang. Aku mulai menaikan tempo genjotanku. Entah mengapa, yang kurasakan saat ini.. dibandingkan dengan penyesalan, aku malah justru semakin bernafsu mendengar suara istriku sendiri saat aku melakukan hubungan badan dengan sahabatnya.

Saat menerima telepon, Vina menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya agar tak mengeluarkan suara desahan. Kali ini aku pun menghentikan gerakanku, memberi kesempatan pada Vina untuk bicara.

“Paling… ngumpul… sama…temennya Lid, udah.. tenang aja…. pasti… balik koq…”, jawab Vina berbohong dengan nafas yang masih terengah.

“Iya sih, tapi takutnya dia masih marah sama aku…… Eh, kamu lagi apa sih Vin, kaya ngos-ngosan gitu? Jangan-jangaaaan…..”, tanya Lidya.

Aku pun memberi kode dengan mengangguk-anggukan kepala pada Vina, tapi sepertinya Vina tak mengerti, sehingga aku harus berbisik ke telinganya, “bilangin aja lagi ML…”.

Vina memukulku lenganku pelan, tampangnya seperti kesal bercampur kaget dengan permintaanku ini… tapi anehnya dia mengikuti saranku.

“Lagi enak nih Lid…. Sshhhh mmmmh aah”, jawab Vina dan kali ini aku kembali sesekali menghentakkan penisku dengan dorongan yang kuat ke vaginanya dalam-dalam.

“Iiiih dasaaar!!! Temennya lagi sedih masih sempet-sempetnya ML sambil ngangkat telepon”, jawab Lidya seperti kesal, tapi tampak terdengar seperti ada nada penasaran.

“Aaaah…. Sayaang bentar duluuu aah….. mmmphh aah…. Lid, pacar aku naakal baa.. ngeet iniii hhmm.. sshhhhmmm”, balas Vina sambil mendesah tapi tetap bicara meskipun kini gerakan penetrasiku tak kuhentikan. Sepertinya Vina mulai menikmati ide permainanku ini.

“Siapa Vin? koq ga cerita sih punya pacar baru…. Ah udah ah! jadi gangguin orang ML…..hehehe”, tanya Lidya lagi dan ia baru sadar kalau dia telah mengganggu aktivitas sahabatnya itu.

“Mmmmph mmuaah MMUAAH sssprrroook mmh sspplllok aaaghh Sayaaang……”, suara Vina yang tiba-tiba menerima pagutan liarku di bibir mulutnya, aku sengaja membuat suara ciuman sedikit agak keras agar terdengar oleh Lidya yang masih belum menutup teleponnya.

“Udah ah udah, udaah!!!!! Bye Vina…. hahaha”, ucap Lidya sambil tertawa dan langsung menutup teleponnya.

“Akang jahat sama istrinya…!”, ucap Vina kepadaku sesaat telepon dari Lidya mati.

“Jadi Akang pulang aja nih?”, tanyaku menggodanya sambil tiba-tiba menghentikan gerakanku.

“Jaaangan Sayaaang….. aaaah terussiiiiin mmmmhhh”, rengek Vina manja dan kembali kulanjutkan gerakan panggulku.

“Aaaah…. teruuuushhh Sayaang teruuuus duluuu aah….. ouuugh… Akang enaak… mmmphh aah…. Saa.. yaaaang ini enaaak”, jerit Vina semakin tak terkendali.

Semakin cepat gerakan panggulku dan aku semakin tak bisa menahan untuk menjilati kulit mengkilapnya yang sangat eksotis.. tanpa mengeluarkan penis, dengan secepat kilat aku merubah posisi menjadi duduk sehingga tubuh Vina menduduki pahaku. Tubuh kami berhadap-hadapan.

Gerakan turun naik dari Vina semakin cepat, tubuhnya melonjak-lonjak, sementara aku liar menjilat, menghisap, kadang menggigit payudaranya. Semua yang ada di depan wajahku aku jilati dengan begitu liar, kubenamkan wajah ini diantara kedua payudaraku, tercium harum zaitun oil… makin menambah sensasi dalam hubungan seks kali ini. Tangan Vina melingkar di leherku, kadang ia meremas rambutku dengan begitu erat seolah menjambak.

“OOOOUGGH SAYAANG…. ENAAAK…. PFFFFFHHMM SSSHHH AAAAAH SAYAAAANG… AAAKUUU….SAAMPEE AAAAAHHHHH…”, Vina menjerit, nadanya di bagian akhir semakin keras mungkin bisa terdengar hingga keluar kamar.

“Akang juga kelllluaaaar Viiiiiin OOOOUGGHHH… AARRGGHH AHHH”, ucapku di waktu yang hampir bersamaan dengan klimaks-nya pasangan mainku. Spermaku dihamburkan di dalam vaginanya. Rasanya selama ini aku tak pernah klimaks hingga mengeluarkan lenguhan keras seperti barusan. Rasanya nikmat sekali permainan bersama Vina ini.

Tubuh kami berpelukan erat seolah tak mau berpisah, lalu aku merebahkan tubuhku ke belakang masih dengan posisi erat memeluk Vina yang berada di atas tubuhku. Kepala Vina terbenam tepat di samping kepalaku. Kami terdiam seribu bahasa, hanya ada suara nafas menderu tak teratur, beberapa kali tubuh kami masih bereaksi dengan gelinjangan kecil sisa kenikmatan pertempuran yang baru saja terjadi.

“Enak banget barusan, Vin.. makasih yah..”, ucapku berbisik di telinganya.

Vina mengangkat kepalanya, kini wajah kami berhadap-hadapan dengan jarak yang sangat dekat.

“I Love You, Kang Arief….”, bisik Vina dengan mata yang menatapku erat. Sinar bola matanya yang beradu dengan tatapan mataku seolah mengatakan hal yang sama seperti kata yang terucap dari lisannya.

Aku hanya menjawab dengan senyuman, aku tak mau menjawabnya, tak akan pernah…. meski hatiku mungkin tak mengingkarinya. Meski tak terucap, tapi dari perlakuan dan sikapku pada Vina selama permainan di malam ini, sepertinya Vina pun sudah merasakan perasaanku, yang sebenarnya tak boleh ada itu.

Setelah beberapa lama kami dengan posisi menindih berpelukan, penisku mulai keluar dari sarang barunya PLLKKK…. Tubuh Vina bangkit lalu bibirnya mencium dalam-dalam pipiku. Seolah mulutnya tak mau lepas dari pipiku, kurasakan ada hisapan dari mulutnya, sementara lidahnya digerakan secara berputar.. aaah geli sekali rasanya.​


Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.
You will be redirected to the script in

seconds

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com