𝐂𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐓𝐞𝐧𝐭𝐚𝐧𝐠 𝐈𝐬𝐭𝐫𝐢𝐤𝐮 𝐏𝐀𝐑𝐓 𝟐𝟖 [ 𝐊𝐄𝐍𝐀𝐏𝐀 𝐆𝐈𝐍𝐈 𝐋𝐀𝐆𝐈❓ (𝐚) ]​

POV ARIEF DULU BENTAR

Aku menyadari benar, bahwa kami sekarang sudah menjadi sepasang suami-istri yang sama-sama bersalah karena pengkhianatan. Aku sudah terlalu lelah untuk menyalahkan diriku sendiri, begitu juga untuk menyalahkan perbuatan istriku. Pada akhirnya, seperti biasa, aku akan… ah bahkan sudah memaafkannya, sebelum dia meminta maaf.. apapun kesalahan dia, karena aku terlalu sayang dan tak ingin kehilangannya, jadi yang sudah berlalu biarlah berlalu.

Sekarang yang kupikirkan hanyalah bagaimana cara menikmati fantasiku yang selama ini tertahan, dengan memanfaatkan kondisi seperti sekarang ini. Kenapa gini lagi? Entahlah, tapi aku bertekad untuk melakukannya hanya malam ini saja… aku berusaha untuk membuang fantasi itu setelah malam ini… semoga tak akan pernah ada lagi di hari-hari selanjutnya.

Akan aku biarkan rasa marahku meraja di jiwa, malam ini akan aku anggap istriku sesuai dengan segala pikiran kotorku… Aku akan menganggapnya sebagai seorang wanita cantik yang tak berharga.

“Kenapa gini lagi?!?!? Gimana kamu bisa kenal Nando?!?! Bener lo udah dipake lima kali?!?!?... Ceritain sekarang dari awal, sampe gimana lo bisa akhirnya ketemu Nando?!?!”, ucapku mengawali kemarahan pada Lidya di dalam mobil. Aku sudah tak memanggil istriku itu dengan sebutan ‘Mama’, kubiarkan mulutku berucap sesuai dengan kemarahan hawa nafsuku.

Dengan beberapa kali bentakan dan paksaan agar Lidya bercerita, akhirnya di perjalanan pulang Puncak – Jakarta, Lidya bercerita tentang perselingkuhannya…. yang kedua.

POV LIDYA TENTANG NANDO

Membicarakan dia adalah menceritakan masa laluku. Jadi aku akan menceritakan juga sekilas masa laluku walaupun mungkin tak berkaitan dengannya, agar semua terangkai menjadi sebuah cerita yang utuh.

Fernando, begitulah namanya. Namun berbeda dengan suamiku yang menyebutnya dengan sebutan ‘Nando’, aku justru memanggilnya sejak dulu dengan sebutan suku kata pertamanya… ‘Fer’……… ‘Bang Fer’.

Sejak dulu? Ya…. Aku sudah mengenal Bang Fer sejak 7 tahun yang lalu, saat pertama kali aku masuk kuliah di salah satu universitas swasta di Jakarta dengan mengambil program Diploma III. Bang Fer adalah kakak tingkatanku. Aku baru masuk, dia sudah tingkat akhir.

Sejak pertama aku mengikuti kegiatan Ospek, Bang Fer sudah mengajak berkenalan denganku. Betapa gembiranya ketika Kakak Tingkatan yang jadi favoritku tiba-tiba mengajak berkenalan. Tapi setelah itu ya sudah, hanya pernah kenalan saja, bahkan bisa dikatakan sudah tak kenal lagi setelahnya. Paling banter hanya tersenyum ketika berpapasan.

Sejak pertama kuliah aku memang selalu diantar jemput oleh Abah, Abah memang orang yang konservatif dan cenderung over protective. Sebagai orang yang dari daerah, aku SD di Bandung, SMP-SMA di Bogor, aku selalu mendapatkan perhatian yang lebih dari Abah begitu pindah ke Jakarta, ia selalu mengawasi bahkan cenderung membatasi pergaulanku, Ayah bilang disini banyak orang jahat, terlalu berbahaya.

Diperlakukan seperti itu, aku sih biasa-biasa saja.. maklum aku seorang anak tunggal yang memang kesayangan Abah banget. Begitu juga aku terhadap Abah, manja… tapi selalu menurut terhadap ucapan beliau.

Sekilas mengenai sosok Abah, Bah Agus.. begitu orang-orang menyebutnya.. dia tidak sama seperti orang yang berusia 60 tahunan, penampilannya nyentrik seperti anak muda. Ciri khasnya menggunakan jaket kulit, rambutnya panjang diikat rapi. Berkumis dan membiarkan janggutnya tumbuh lebat walaupun sudah berwarna putih. Meskipun sudah bisa dikategorikan usia lanjut, tapi dia orangnya masih cukup aktif. Profesinya hanyalah sebagai pedagang pasar induk, tapi seiring usianya yang bertambah, ia hanya mengontrakan beberapa los-nya kepada orang lain. Dia memang memiliki beberapa los atau kios di Pasar Bandung, Bogor, dan Jakarta.

Dengan perlakuan Abah kepadaku yang sangat memanjakan dan over protective, aku jadi belum pernah berpacaran sebelum-sebelumnya, ditambah dari akunya sendiri yang memang tak mau dan tak pernah terpikir dalam benakku untuk berpacaran. Selalu menganggap diri belum cukup dewasa. Anak yang tumbuh dengan terlalu dimanjakan orang tuanya biasanya memang selalu memiliki sifat seperti ini.

Tapi semua berubah saat kuliah, rasa ingin berpacaran itu mulai ada.. dan lelaki yang jadi impianku saat itu adalah Bang Fer.

Sebenarnya, Bang Fer ini secara fisik biasa saja, cuma menurutku penampilannya keren, serta pembawaannya cuek, santai, dan terkadang iseng. Ada sesuatu yang lain dari dirinya yang membuatku sangat tertarik, namun entah apa… aku sampai sekarang tak tahu.

Mungkin aku sudah terjerat pada ‘cinta pada pandangan pertama’, sehingga segala yang ada di diri Bang Fer, selalu tampak indah di mataku. Aku selalu curi-curi pandang setiap kali melihatnya dari jauh, yang membuat deg-degan ketika matanya balik menatap ke arahku. Serba salah, salah tingkah, aku baru mengalami Cinta Monyet justru baru setelah berstatus Mahasiswi.

Namun ya tetap.. kita tidak pernah dekat, karena selain jadwal kuliah yang jarang bersamaan, Abah juga selalu mengantar jemputku tepat waktu. Bisa dibilang hampir tak ada kesempatan untuk cowok-cowok mendekatiku.

Sampai tiba aku di Semester 2, Abah memiliki kesibukan yang lebih, pengawasan terhadapku jadi berkurang dan hanya sesekali saja mengantar jemput. Di saat bersamaan Bang Fer mulai mendekatiku. Rupanya Bang Fer selama ini memang tak mau mendekatiku, menurut pengakuannya karena tidak memiliki kesempatan untuk dekat, karena diriku ada ‘penjaganya’.

Tidak butuh waktu lama, Bang Fer mengutarakan cintanya kepadaku, tentu saja aku tak menolak, akhirnya kami resmi berpacaran. Bahagia sekali rasanya merasakan pacaran untuk pertama kalinya, Bang Fer adalah cinta dan kekasih pertamaku.

Namun di suatu ketika, ketika Bang Fer mengantarkanku pulang, sepertinya Abah ‘tidak menyukai’ kekasihku itu. Semakin hari, ‘tidak menyukai’ itu berubah menjadi ‘tidak menyetujui’.. setelah Abah tahu bahwa kita memang sedang ‘dekat’….. dan terlebih lagi Bang Fer berbeda Keyakinan.

Ketidaksetujuan Abah terhadap Bang Fer diutarakannya langsung di depan Bang Fer. Ketika itu, Abah menyuruhnya pulang dan jangan pernah untuk datang lagi ke rumah, walau dengan nada yang menurutku biasa-biasa saja. Begitu juga saat Bang Fer sudah pulang, Abah berkata kepadaku untuk tidak dekat-dekat lagi dengannya. Tapi ucapan kepadaku, jauh lebih lembut dibandingkan saat dia mengucapkan kepada Bang Fer.

Meskipun mulutku berkata ‘iya’ di depan Abah… untuk tak melanjutkan hubungan dengan Bang Fer, tapi hatiku berkata lain, bagaimana bisa ketika perasaan cinta sedang menggebu-gebu harus berakhir begitu saja? Di usia yang masih belum genap 20 tahun inilah aku akhirnya melanggar ucapan Abah. Aku dan Bang Fer tetap melanjutkan hubungan secara sembunyi-sembunyi.

Aku mulai sering mendatangi tempat kost Bang Fer diantara satu mata kuliah ke mata kuliah lainnya yang kadang waktu jedanya terlalu lama. Daripada menunggu di kampus, lebih baik mendatangi Bang Fer.

Sampai akhirnya aku larut pada hubungan yang lebih jauh dan sangat jauh… entah sudah berapa kali kami melakukan hubungan intim di kamar kost-nya itu. Awal berhubungan, kuakui memang sebenarnya aku sudah sangat bernafsu, tapi tidak ingin terlalu jauh, aku tak berani jika harus sampai penetrasi. Tapi Bang Fer terus merayu bahkan terkesan memaksa, jadilah dia lelaki yang pertama kali merenggut kehormatanku. Setelah kejadian pertama, aku sempat menolak dan tak mau lagi berhubungan intim dengannya, aku ingin pacaran yang normal-normal saja, tapi bukan Bang Fer kalau tidak mampu meluluhkan hatiku.. ia tahu cara bagaimana membakar gairahku, sehingga aku kembali jatuh kedalam perbuatan yang belum pantas aku lakukan. Hingga kami melakukannya lagi dan lagi.

Jadi sampai saat ini, sudah ada 2 lelaki yang memasukkan penisnya ke dalam vaginaku, Bang Fer dan tentu saja suamiku.

Harus kuakui, aku memang memiliki kelemahan ketika sedang dekat atau terlebih lagi sedang berduaan dengan lelaki, terutama lelaki yang aku cintai. Aku mudah terbawa perasaan dan begitu mudah menyerahkan segalanya kepada lelaki itu, di samping nafsuku yang sebenarnya cukup tinggi. Sepertinya itu memang sudah menjadi karakter diriku yang tak pernah hilang bahkan sampai sekarang.

Karena sadar memiliki karakter ‘lemah’ tersebut, aku membentengi sekokoh dan setinggi mungkin pertahanan diriku sendiri, terutama setelah aku menikah. Lebih baik aku tidak mau mengenal lelaki lain sama sekali, tidak memberi kesempatan sama sekali dan berusaha untuk tidak dekat dengan lelaki siapapun. Aku lakukannya dengan menunjukkan sikap yang tidak ramah pada lelaki manapun. Itu kulakukan daripada aku jatuh pada pelukan lelaki yang tak seharusnya kunikmati.

Kembali ke Bang Fer di masa kuliahku, kami hanya berpacaran sekitar 3-4 bulan. Jalinan cinta kami terhenti karena… aku….. HAMIL!! Ya, aku pernah menyimpan benih Bang Fer di rahimku.

Begitu paniknya kami berdua saat itu, Bang Fer memberikanku 2 pilihan. Dia mau menikahiku, yang tentunya pergi dari orangtuaku atau menggugurkan kandungan. Saking paniknya aku memilih opsi yang kedua. Pilihan yang masih aku sesali sampai saat ini, bagaimana tidak… aku telah membunuh anakku sendiri, walau usia kandunganku saat itu masih relatif baru.

Aku tidak memilih opsi pertama karena secara mental belum siap berumah tangga, terlebih lagi aku tak siap jika harus berpisah dengan orangtuaku, kemudian masa depan Bang Fer pun masih terlalu gelap, saat itu Bang Fer belum memiliki usaha apapun.

Setelah kejadian itu aku mulai menjauhi Bang Fer, aku memutuskan untuk tak akan menemuinya lagi, karena aku takut akan terulang lagi kejadian itu… dan sepertinya memang pasti akan terulang, karena dia selalu memaksa sementara aku selalu sangat bergairah saat di dekatnya.

Selama aku menjalani pacaran sembunyi-sembunyi, sepertinya Abah curiga dengan bebarapa perubahan sikapku, akhirnya justru ketika aku sudah menjauh dari Bang Fer, Abah baru mulai menjaga dengan ketat lagi putri kesayangannya ini, karena kegiatan Abah sudah mulai berkurang lagi.

Bang Fer sempat beberapa kali mencoba mendekatiku, tapi aku selalu bisa menghindar. Sampai di suatu hari, Bang Fer nekat mendatangi rumahku dan menemui Abah. Aku yang sedang berada di dalam kamar mendengar Abah memanggil dari arah ruang tamu.

Ketika masuk ke ruang tamu, aku melihat Bang Fer sudah duduk tepat di depan Abah yang dipisahkan oleh meja yang terbuat dari kayu jati. Aku disuruh duduk diantara Abah dan Ambu. Ruangan yang berisi 4 orang itu tampak hening seolah mencekam. Aku lihat raut muka Abah terlihat sangat tidak ramah walau tetap berwibawa.

“Coba utarakan sekali lagi maksud kamu datang kesini, di depan anakku satu-satunya ini…”, kata Abah kepada Bang Fer, nada suaranya masih normal.

“Saya… euuh Saya bermaksud menikahi… menikahi putri Bapak”, jawab Bang Fer sambil tertunduk dan terlihat gugup.

Abah mengangkat tongkat kayu yang dipegangnya secara perlahan, dan kini ujung tongkat itu mengarah tepat di depan wajah Bang Fer yang tertunduk. Dia angkat dagu Bang Fer pelan-pelan dengan ujung tongkatnya.

“Agus.. Bah Agus… jangan panggil saya Bapak…………. kalo kamu laki-laki… lihat muka saya waktu kamu ngomong…”, ucap Abah tenang. Setelah itu Abah kembali menopangkan kedua telapak tangannya di pegangan kepala tongkatnya yang sudah dalam posisi seperti semula.

“Euuh… Maaf Bah…. punten”, jawab Bang Fer sambil wajahnya tertunduk kembali karena refleks dan semakin gugup.

“Gimana Neng….?”, kini Abah bertanya kepadaku, tapi tatapan matanya tetap menatap tajam Bang Fer.

Aku menggelengkan kepala pelan.

“Abah ga denger suara kamu…”, suara Abah lembut tapi tegas, seperti biasanya jika ia bicara kepadaku. Sepertinya Abah memang tak berniat untuk menatapku dan ia hanya ingin mendengar aku berbicara langsung.

“Ngga Bah… Neng ga mau…”, ucapku pelan sambil tetap menggelengkan kepala. Bang Fer sempat melirik kepadaku saat aku bicara, terlihat raut wajah sangat kecewa dengan jawabanku ini.

“Tapi saya yakin Lidya masih mencintai saya, Bah… tolong bilang jujur sama Abah, Dya….”, Bang Fer langsung berkata seperti itu, seakan dia ingin aku berkata jujur tentang perasaanku. Bang Fer memang selalu menyapaku dengan sebutan ‘Dya’. Sebenarnya memang benar.. aku masih mencintainya, tapi sekarang aku hanya ingin menuruti apa yang pernah Abah katakan dulu.

“Ga ada yang bisa maksa sama anak kesayangan Abah, kecuali Abah sendiri…. kamu siapa?....... Kalo dia bilang ga mau, berarti ga mau… NGERTI KAMU!!!!!”, ucapan Abah yang tenang di awal kalimat berubah menjadi bentakan di akhir kalimat. Dan disertai dengan gebrakan meja dengan tangan kanannya sangat keras sekali.

BRRRAAAAAGGG!!!!

Aku yang mendengarnya menjadi kaget dan sempat terperanjat. Tapi aku berusaha untuk tetap tenang. Sambil menghela nafas panjang. Aku ingin pertemuan ini segera usai.

“Tapi saya pernah menghamili putri Abah……. sekarang saya beritikad baik untuk menikahinya…… maafkan saya, saya sekarang akan bertanggung jawab menikahi putri Abah…”, ucap Bang Fer sambil bangkit dari kursi dan langsung merangkul kedua kaki Abah. Bang Fer mendatangi Abah dengan memutar ke arah kiri meja, sehingga tak melewati aku dan Ambu.

Aku tak percaya dengan apa yang Bang Fer ucapkan. Mengapa dia sampai mengatakan hal itu?!?! hal yang sudah aku pendam dan tutupi rapat-rapat… kini justru dia yang mengatakannya hanya demi ingin menikahiku. Sekarang aku benci Bang Fer!!!! Benci pada orang yang telah membuka aib didepan kedua orang tuaku. Aku kini bersiap menghadapi kemarahan Abah, yang sepertinya akan marah besar kepada kami berdua.

Aku langsung mendekap Ambu dan menangis di pelukannya. Ambu pun sepertinya ikut menangis karena perbuatanku ini… walau ia tahan. Ambu ini orangnya memang tenang, penyabar dan tak banyak bicara.

Tiba-tiba aku dengar suara raungan keras seperti yang kesakitan, aku menoleh dan mendapati Bang Fer sedang meraung dengan posisi sujud dengan wajah yang tertekan kuat ke lantai setelah belakang lehernya kini ditekan oleh ujung tongkat Abah. Abah tetap bersikap tenang dengan posisi duduk yang tetap menopang tongkat, pandangannya tetap lurus ke depan, seolah tak melihat apa yang ada di sekitar kakinya, tapi dari matanya kini kulihat ia berkaca-kaca.

“Sudah berapa bulan cucu Abah, Neng….?”, tanya Abah tetap tenang bertanya kepadaku. Kali ini Abah menoleh ke arahku, matanya tajam namun yang kulihat bukan sorot kemarahan, melainkan kekecewaan. Sikap Abah seolah masih tak terjadi apa-apa dan tak menghiraukan raungan Bang Fer yang kini diselingi dengan kata ‘ampun’.

Dalam dekapan Ambu, aku menggelengkan kepala, aku tak tahu harus berkata apa…. Aku tak kuasa untuk menjawabnya.

“Kalau tadi kamu bilang pernah menghamili….. waktu cucu Abah di usia kandungan berapa kamu membunuhnya….?”, BUUUUGG!!!! Pertanyaan yang tetap tenang itu berbanding terbalik dengan gerakan kaki kiri Abah yang menginjak punggung Bang Fer yang membuat tubuhnya menjadi tertelungkup di lantai.

Bang Fer mengaduh semakin keras, bahkan sepertinya ia menangis dengan berkali-kali mengucap kata ‘ampun.. ampun’.

Tak lama kemudian tongkat Abah menyentuh punggung Bang Fer yang masih posisi telungkup, namun kali ini seperti sebuah ketukan pelan tiga kali. Wajah Bang Fer terangkat dari lantai, masih tampak kesakitan merasakan kesakitan yang teramat sangat.

“Duduk lagi…”, perintah Abah pada Bang Fer, tapi pandangannya tidak ditolehkan sedikitpun pada lelaki yang tersungkur di bawah lantai itu.

Bang Fer sudah duduk kembali di kursinya dan sepertinya sudah siap untuk menerima ucapan kemarahan Abah kembali, tapi Abah malah menelepon dengan santainya.

“Sep, siapin mobil… Abah mau ke pasar, mau sekalian bawa daging”, ucap Abah pada yang diteleponnya. Setelah itu tanpa basa-basi telepon ditutup.

“Abah ini orang biasa-biasa saja dan ga pernah memandang harta, apalagi dulu Abah miskin…. Tapi ketika ngelamar Ambu.. setidaknya Abah sudah punya pegangan… sekarang kamu sudah punya apa?.......”, ucap Abah sinis kepada Bang Fer.

Ya, aku tahu.. bukan maksud menghinakan, tapi memang benar kalau Bang Fer tidak memiliki apapun kecuali motor tuanya, dia belum bekerja, tak punya usaha… bahkan kost-nya pun aku tahu sudah menunggak beberapa bulan. Sekarang dia malah nekat ingin menikahiku.

“Saya akan berusaha, Bah…. dan….”, jawab Bang Fer semangat seperti mendapat harapan untuk menikahiku setelah Abah bertanya seperti itu.

“JANGAN MENYELA KETIKA BAH AGUS SEDANG BICARA!!! Saya belum selesai…..”, ucap Abah dengan keras karena ucapannya dipotong oleh Bang Fer. Sekarang Bang Fer kembali tertunduk.

“Untuk menikahi anak Abah.. sudah pinal… TIDAK!!!! Tapi saya mau bicara sama kamu.. kamu masih muda, usaha dulu yang giat baru mikirin kawin… dengan siapapun……………… Sekarang Abah mau ingatkan kamu lagi…. Dulu Abah pernah bilang kalo kamu jangan datang kesini lagi, kamu ga bisa denger? SATU!. Dulu Abah pernah bilang kalo kamu kuliah dulu yang bener, malah tetep deketin anak Abah. DUA!!. Setelah itu kamu ngehamilin anak Abah dan ngegugurin cucu Abah. TIGA!!!......... silahkan kamu pulang sekarang..”, ucap Abah seperti yang tidak memberikan kesempatan bicara lagi pada Bang Fer. Bang Fer kemudian pamit dan sempat akan bersalaman pada Abah namun tangan Abah menepisnya.

Setelah Bang Fer pulang, sekitar beberapa detik kami terdiam membisu. Posisi duduk Abah masih seperti semula, pandangannya lurus ke depan, begitu juga Ambu yang tak mengucapkan sepatah katapun, tapi dia tetap memeluk dan mengelus-elus lembut kepalaku.

Sampai akhirnya Abah bangkit dari duduknya. Dia mengecup kening Ambu, kemudian keningku. Setelah itu dia membalikan badan ke arah pintu rumah.. “Abah ke pasar dulu”, ucapnya.

Namun setelah beberapa langkah ia kembali lagi dan mengusap-usap rambutku… “Lain kali dengerin kalo Abah ngomong…”, ucapnya dengan suara yang lembut namun berwibawa. Setelah itu ia pergi.

***​


Sejak kedatangannya ke rumah di hari itu, Bang Fer tak pernah lagi mencoba mendekatiku lagi, bahkan di kampus pun aku tak pernah melihatnya.

Memasuki Tingkat 2, orangtuaku pindah ke Bandung. Tentu saja aku dibawa karena mereka tidak ingin meninggalkan aku seorang diri di kota seperti Jakarta ini. Tempat kuliahku pun otomatis pindah.

Setelah kurang dari 2 tahun kami tinggal di kota ini, atau ketika aku sudah menyelesaikan seluruh mata kuliah dan hanya menunggu waktu wisuda, Abah bertemu dengan Arief… yang selalu dia sebut namanya dengan sebutan ‘Arip’! Abah order kaos pada Arief, untuk acara kegiatan wisata di lingkungan rumahku, kebetulan Abah adalah panitianya. Arief sendiri saat itu usahanya sedang mulai berkembang di kota Bandung.

Entah apa yang membuat Abah tertarik pada Arief, yang pasti di suatu sore Abah mengundang Arief datang ke rumah dan mengenalkannya kepadaku, walau santai dan tidak formal tapi seolah perkenalan aku dan Arief itu adalah seperti perjodohan dari Abah.

Jujur, aku tidak memiliki perasaan apapun pada Arief, tapi aku tak mau menolak keinginan ‘halus’ Abah. Karena aku merasa pernah sangat bersalah telah melanggar perkataan dan mengkhianati kepercayaan Abah kepadaku, yang menyebabkan aku hamil dan ****** tepat 2 tahun sebelumnya, akhirnya aku dan Arief mulai dekat atau mungkin bisa dibilang berpacaran tanpa perasaan.

Jujur, dalam hatiku masih selalu membanding-bandingkan Arief dengan Bang Fer, cinta pertamaku. Dan hampir di segala aspek, penilaianku selalu memberi nilai yang lebih tinggi pada Bang Fer. Meskipun telah 2 tahun tak berjumpa, mungkin rasa itu masih ada.

Satu-satunya nilai plus Arief yang melebihi Bang Fer adalah hubungan aku dan Arief yang tidak pernah sama sekali menjurus pada hubungan seks. Jangankan itu, berpegangan tangan pun sepertinya tidak pernah, hanya mengobrol biasa... itu pun tidak terlalu nyambung karena perbedaan usia kita cukup jauh, yaitu 7 tahun.

Tapi justru ‘kekolotan’ Arief dalam memandang seks adalah nilai plus, karena jujur aku masih trauma pada hubungan bebas seperti yang pernah aku lakukan bersama Bang Fer, dan aku tak ingin terulang lagi. Aku menjadi merasa aman bersama Arief yang bersikap ‘kolot’ seperti Abah.

Bahkan sampai 6 bulan kemudian Arief melamarku, perasaanku kepadanya belum juga berkembang. Tapi entah mengapa aku menerima lamaran itu, mungkin keinginan besarku untuk bisa membahagiakan Abah dan Ambu. Direncanakan 2 bulan lagi kami akan melangsungkan pernikahan setelah lamaran itu.

Disaat pernikahan sudah di depan mata, persiapan sudah hampir seluruhnya siap, seminggu sebelum pernikahan…… Abah dan Ambu meninggalkanku sendiri tanpa ada siapapun di dunia ini. Mereka mengalami kecelakaan lalu lintas yang merenggut nyawa mereka. Hanya Arief-lah satu-satunya orang yang selalu siap mendampingiku kapanpun juga. Aku yang sedang mengalami kesedihan yang luar biasa ini, sekarang sangat merasa membutuhkan kehadiran sosok Arief. Aku berpikir, seolah-olah Abah memang telah menitipkan aku kepada Arief sebelum memutuskan untuk ‘pulang’.

Pernikahan tetap berlangsung seminggu kemudian, kami baru menjalani ‘malam pertama’ setelah kurang lebih satu bulan setelah pernikahan, karena saat itu mentalku masih jatuh pasca kehilangan orangtuaku yang mendadak.

Ada kekhawatiran saat melakukannya pertama kali, aku takut suamiku kecewa mendapati aku yang sudah tak perawan, tapi untungnya suamiku itu tak pernah membahas dan menanyakannya.

Permainan seks suamiku standar-standar saja meskipun memuaskanku, tapi gairah yang kurasakan sangat jauh lebih kecil dibandingkan dengan ketika aku melakukannya dengan Bang Fer, dulu. Ya, sampai titik ini aku masih membanding-bandingkan suamiku dengan Bang Fer. Memang sudah lumayan jauh berkurang, tapi belum hilang sepenuhnya.

Permainan seks standar suamiku itu akhirnya menjadi standar seks kami selanjutnya bahkan sampai hari ini. Kekolotan suamiku dalam memandang seks berimbas pada permainan seksnya yang begitu-begitu saja, tapi akhirnya aku pun mengikutinya dan sudah terbiasa dengan cara yang seperti itu. Aneh rasanya jika tiba-tiba dengannya melakukan hal yang lebih dari kebiasaan ini, seperti bukan dengan suamiku.. dan aku tak mau.

Kemudian suamiku membawaku pindah ke Jakarta, melanjutkan usahanya di kota ini. Aku sempat mengurus beberapa peninggalan Abah, yaitu kios-kiosnya di pasar, walaupun aku tak memiliki surat kepemilikannya. Aku dan suamiku juga tak mengerti hukum.. kiosnya itu kini sudah berpindah tangan, aku tak mendapatkan apa-apa.

Penjualan peninggalan rumah kecil Abah di Bandung, ditambah hasil penjualan rumah orang tua Arief yang juga tak terlalu besar, kami gunakan untuk uang muka rumah di Jakarta. Sisanya digunakan untuk keperluan rumah tangga dan sedikit tambahan modal untuk suamiku yang kebetulan usahanya semakin maju.

Benih-benih cinta mulai tumbuh dan mengembang semakin besar justru setelah pernikahan. Kini, suamiku adalah orang yang paling aku cintai dibandingkan dengan siapapun, tidak ada yang lebih besar dari rasa cintaku pada suamiku. Nama Fernando telah benar-benar terhapus dari hidupku. Jangankan membayangkannya, teringat namanya saja sudah tidak.​

******************
Pertemuanku kembali dengan Bang Fer terjadi hampir bersamaan dengan periode dimana aku mulai merubah password ponsel agar suamiku tak mengetahui hubungan kedekatanku dengan Koh Freddy… Periode dimana mulai tumbuhnya perasaan suka diriku pada Koh Freddy… Periode mulai suka tapi belum mau mengungkapkannya. Ya, itu kejadiannya memang baru-baru saja.

Di suatu malam, saat aku chat dengan Koh Freddy sembunyi-sembunyi di kamar, suamiku yang kutahu sedang menonton TV terdengar berbincang dengan seseorang. Aku menyudahi chat-ku, karena aku harus menyuguhkan air minum pada tamu suamiku, begitulah memang kebiasaanku.

Pintu kamarku itu tepat menghadap ke ruang tengah, dan itu hanya 2 atau 3 meter di belakang ruang tamu yang tanpa sekat apapun dengan ruang tengah. Jadi otomatis begitu keluar kamar tidurku, orang yang duduk di ruang tamu sudah pasti melihat orang yang keluar kamar. Kecuali orang yang duduk di kursi single seat yang menghadap ke kaca jendela, tidak akan bisa melihat karena posisinya membelakangi ruang tengah.

Dan saat aku keluar kamar, aku sempat menoleh ke arah ruang tamu. Begitu juga sang tamu yang sedang duduk di kursi panjang, otomatis melihat padaku yang tiba-tiba keluar kamar. Kami saling bertatapan, ketika aku menyadari bahwa itu Bang Fer, jantungku serasa mau copot, aku langsung panik kembali masuk ke kamar. Sementara suamiku tak melihat saat tadi aku keluar kamar, karena posisi duduknya memang membelakangiku.

Kaget campur heran, mengapa ada dia datang kesini? Kenapa suamiku mengenalnya? ‘Nando’…. Ah ya baru kuingat sekarang, beberapa kali suamiku pernah menyebut nama itu, tapi memang aku tak pernah fokus mendengar suamiku kalau bercerita tentang pekerjaannya, itu karena perbedaan prinsip aku dan suamiku dalam memandang pekerjaan. Dan Nando yang disebut suamiku itu, tak pernah kusangka sama sekali bahwa itu adalah Bang Fer.

Aku ingat lagi pertemuan sekejap tadi, dari raut muka Bang Fer, sepertinya dia juga kaget ketika tahu bahwa istri dari temannya ini adalah aku.. sepertinya dia benar-benar tak tahu kalau Kang Arief, temannya itu beristrikan aku, mantan kekasihnya yang pernah dia hamili!

Masih dengan perasaan campur aduk, aku terduduk di tepian tempat tidur sambil memikirkan kenapa hal ini bisa terjadi. Selama ini aku sudah tak memikirkannya sama sekali bahkan tak mau bertemu dengannya lagi. Tahu kan mengapa? Ya, aku takut pada kelemahanku yang terlalu mudah main perasaan, yang tadi sempat aku ceritakan. Takut terjadi hal-hal yang akan mengganggu keutuhan rumah tanggaku. Belum selesai dengan masalah tentang mau dibawa kemana perasaanku pada Koh Freddy? kini sudah muncul lagi seseorang yang berpotensi merepotkan perasaanku.

Saat pikiranku sedang kemana-mana, tiba-tiba suamiku masuk ke kamar.

“Mah, ada tamu Papah… bisa Mamah bikinin minuman? Atau sama Papah aja?”, ucap suamiku dengan sopan, suamiku yang sangat kucintai ini memang selalu bersikap begitu. Dia selalu sungkan untuk memerintahku, tak mau merepotkanku, walaupun berulang kali aku mengatakannya bahwa aku selalu ikhlas mengerjakan apapun untuknya.

Tapi untuk kasus di malam ini, sepertinya aku memang sangat malas membuatkan minum tamunya itu. Huuufft, coba saja kalau aku tadi langsung pura-pura tidur, pasti aku tidak akan semakin gundah antara menolak permintaan suamiku dengan harus bertemu dengan mantan kekasihku.

“Ya udah Mah, ga apa-apa.. sama Papah aja…”, ucap suamiku lagi setelah melihatku tak merespon apa-apa.

Ketika suamiku berbalik badan, aku langsung mengucapkan.. “eh Pah, udah biarin sama aku aja..”, aku mengatakan itu sambil langsung berdiri karena baru sadar aku telah mendiamkan suamiku, aku merasa tak enak dan tak ingin membuat suamiku kecewa. Namun setelah berdiri, lututku gemetar, rasanya berat sekali aku harus melangkah keluar kamar.

Ketika keluar kamar.. aku bergegas dengan cepat langsung menuju dapur bersih untuk menyiapkan minuman, tak sedikitpun menoleh ke arah ruang tamu saat kaki ini melangkah. Perasaan semakin tak menentu saat menuangkan minuman ke dalam cangkir. Apalagi setelah cangkir itu sudah kusimpan di atas baki, siap untuk disajikan…. rasanya ingin menjerit berada di posisi seperti ini.

Tapi bagaimanapun ini harus kulakukan, akhirnya aku bawa 2 cangkir minuman itu ke ruang tamu dengan hati yang tak karuan. Aku sajikan 2 cangkir itu di atas meja dengan kepala menunduk tak mau melihat ke arahnya, juga tanpa sepatah kata basa-basi pun terucap dariku untuk mempersilahkan sang tamu minum.

“Mah, kenalin dulu… ini Nando, supplier baju ke toko Papah…”, ucap suamiku santai, ia tak tahu menahu perasaan yang sedang kuhadapi.

DEG DEG DEG

Jantungku bertalu cepat, akhirnya kuberanikan diri untuk mengangkat kepala, dengan anggukan dan sedikit senyum yang kupaksakan. Aku melihat Bang Fer tersenyum dan sudah berdiri untuk menyalamiku. Tapi aku segera menelungkupkan kedua tanganku sebagai gestur bersalaman tanpa bersentuhan. Setelah itu aku langsung masuk kamar, bahkan saking paniknya aku bawa baki masuk ke dalam kamar.

***​

Setelah Bang Fer pulang, ketika aku dan suamiku sudah terbaring hendak tidur. Suamiku malah dengan polos-nya bercerita bahkan memuji tentang Nando, dia bilang orangnya ramah, sopan, ngomongnya halus dan baik banget walaupun sudah menjadi pengusaha sukses.

Walaupun aku tak mau mendengarnya, tapi dari penuturan suamiku itu, aku berpikir bahwa Bang Fer yang aku kenal dulu ternyata kini sudah berbeda karakternya.

Kalau dulu sih yang aku tahu orangnya suka iseng, tapi kalau ramah sama baik, ya dari dulu dia memang begitu, baik banget malahan. Yang aneh lagi suamiku bilang Bang Fer bicaranya sopan, halus.. sepertinya dulu standar-standar saja, apalagi kalau sedang bermain bersamaku di atas kasur kamar kost-nya…. Hmmmm mulutnya kotor!
***​

Setelah pertemuan di ruang tamu itu, akhirnya pada keesokan harinya sampai kurang lebih 16 hari setelahnya… banyak telepon masuk dari nomor yang tak dikenal. Sering juga berupa chat yang ternyata dari Bang Fer. Darimana dia mendapatkan nomor teleponku?

Jika telepon tak pernah ku-angkat, sedangkan isi chat kurang lebih intinya keinginan ingin bertemu. Tentu saja semua itu aku abaikan dan tak pernah kubalas sekalipun. Setiap ada nomor baru yang telepon atau chat.. nomor tersebut langsung aku blokir. Selama kurun waktu 16 hari itu, entah berapa puluh nomor yang Bang Fer gunakan untuk menghubungiku, karena dalam satu hari bisa sampai 3-5 kali menghubungi dan tentunya dengan nomor yang berbeda-beda karena nomor sebelumnya telah aku blokir.

Sampai akhirnya sebuah chat masuk dan sempat aku baca, dari situ-lah aku mulai masuk perangkapnya. Isi chat tersebut adalah, “Dya.. kita ketemuan… Abang pengen ngobrol.. kalo kamu ga anggap telepon Abang terus, Abang ceritain sejujurnya ke suamimu. Tentang hubungan kita dulu, tentang anak yang kita gugurkan”.

Chat yang berupa ancaman itu aku terima saat aku diantar pulang oleh Koh Freddy. Itu setelah 3 atau 4 kali Koh Freddy mulai mengantarkanku pulang ke rumah, pokoknya kalau tidak salah.. saat itu aku sedang cinta-cintanya pada Koh Freddy.

Pesan Bang Fer aku balas untuk pertama kalinya dengan perasaan kesal, marah, sekaligus takut. Pesan balasan pertamaku itu hanya untuk mengatakan, “Buat apa mengungkit-ungkit lagi masa lalu?” Tapi dia jawab dengan tulisan chat yang sama. Jadi aku tebak kalau intinya, dia tetap mengancam dan ingin bertemu.

Mengapa aku akhirnya membalas chat atau teleponnya? Karena jujur aku takut masalah kehamilan dan ****** itu diketahui oleh suamiku. Jika sekedar status mantan kekasih sih bagiku tak masalah, tapi kalau sudah menyangkut 2 hal tadi, kehamilan dan ******…. aku sangat ingin merahasiakan aib besarku itu pada siapapun, apalagi suamiku. Kecuali kali ini, saat aku diminta bercerita semuanya tentang Nando oleh suamiku, dengan sangat terpaksa aku menceritakannya… semoga suamiku memaafkan masa laluku.

Setelah itu akhirnya aku selalu balas setiap chat dan juga kujawab teleponnya, walaupun dengan balasan yang sekedarnya, tapi setidaknya aku sudah memberikan respon dengan tujuan agar ia tak nekat memberitahukan pada suamiku. Nomornya pun tak lagi aku blokir, bahkan aku save dengan nama kontak BANG FER…. agar aku bisa tahu dan mudah mengidentifikasi jika suatu saat orang yang mengancamku ini menghubungiku lagi.

Mengenai permintaannya untuk bertemu, kali ini aku menolaknya dengan cara halus, karena aku takut pada ancaman.. maka aku menjanjikan pertemuan di suatu hari. Saat itu aku tak tahu harus bagaimana, aku tak memiliki solusi yang lebih baik selain menjanjikan pertemuan. Ya hanya menjanjikan… belum ditentukan tanggalnya.

Kadang jika dia sudah mengajak bertemu begitu, aku akhirnya ajak berbincang hal yang lain untuk mengalihkan perhatiannya. Tentu dia merasa mendapatkan angin karena sekarang aku sudah mau diajak mengobrol. Dari pembicaraan yang mengalihkan perhatian itu akhirnya aku tahu, kalau dia memperoleh nomor telepon dari akun sosial mediaku, bagaimana caranya? Ternyata ada effort yang cukup ‘njelimet’ yang dia lakukan untuk mendapatkan nomor terleponku.

Pada saat malam dia bertamu ke rumah, setelah melihatku.. dia pura-pura bertanya basa-basi pada suamiku, “Istrinya bisnis juga Kang?”. Suamiku tanpa curiga langsung menjawab, “Ngga, dia mah kerja kantoran... di Available Finance”.

Dari informasi itu, Bang Fer langsung mencari akun sosial media kantorku, di beberapa postingan kantor memang ada aku dengan kegiatan kantornya berfoto dengan karyawan yang lain.. postingan itu sekaligus men-tag akun-akun yang ada di foto.

Akhirnya Bang Fer mengetahui akun media sosialku, itu memang tujuan utamanya, hanya ingin stalking foto-fotoku, dia scroll hingga postinganku yang sudah lama. Sampai kemudian tak disengaja ia mendapatkan nomor teleponku di salah satu postingan. Aku memang sebelum bekerja.. sering membantu menjualkan T-shirt suamiku secara online di akun sosial mediaku, di banner produk yang suamiku buat dulu, memang tercantum nomor suamiku dan nomorku untuk pemesanan. Aku baru ingat itu, dan baru kusadari ternyata Sosial Media memang tak aman untuk masalah privasi.

Tapi setelah dipikir sekarang-sekarang, aku menduga bahwa sebenarnya Bang Fer itu takut atau minimal menghormati suamiku. Kalau saja dia berani, sudah pasti ia nekat mendatangi rumah atau kantorku. Jika nomor telepon saja dari postinganku yang dulu bisa ia dapatkan, seharusnya mudah saja bagi dia untuk mengetahui alamat kantorku. Tapi ternyata hal itu tidak pernah dia lakukan, beraninya hanya menggertakku saja.

Masih ingat ketika peristiwa Minggu pagi dimana aku panik karena akan dijemput oleh Koh Freddy ke rumah? Di tengah kepanikanku, Bang Fer menelepon dan tentu saja aku semakin panik tak karuan.

Sambil berdiri menatap jendela kaca untuk sedikit menjauhi posisi suamiku berada, sekaligus sambil memperhatikan ke arah luar rumah, kalau-kalau Koh Freddy sudah datang, Bang Fer meneleponku untuk hal yang tak penting.

“Halo Dya, kapan ketemu?”, tanya Bang Fer.

“Hmmm”, jawabku antara malas campur gelisah.

“Hmmm gimana maksudnya?”, tanya dia tak mengerti dengan jawabanku. Memang aku juga tak mengerti dengan apa yang aku ucapkan.

“Hmmm”, aku masih menjawabnya dengan ogah-ogahan.

“Oh… ada… Kang Arief ya…?”, ucap Bang Fer yang tampak sedikit gugup.

“Hmmm”, jawabku dan langsung kumatikan hubungan telepon, karena kulihat mobil Koh Freddy sudah sampai di depan rumahku.

Keesokan harinya, disaat aku telah menyesal telah melangkah terlalu jauh dengan Koh Freddy di kejadian tempat Squash. Aku merasa ingin sedikit beristirahat setelah melakukan kesalahan itu, aku ingin tenang. Maka ketika Bang Fer menelepon.. kujawab teleponnya itu dengan ramah… karena aku memiliki maksud, aku menjanjikan pertemuan di bulan depan, dengan syarat dia tidak men-chat atau menelepon dulu untuk satu bulan ini, jika tidak.. pertemuan batal. Aku beralasan akan konsentrasi dulu pada pekerjaan yang menumpuk, hal itu memang benar, karena aku sedang dihadapkan pada persiapan menghadapi Pelatihan sehingga laporan-laporan kantorku harus diselesaikan sebelum aku berangkat Pelatihan.

Apakah aku akan benar-benar mau bertemu di bulan depan? Tidak. Yang pasti itu hanya alasanku saja untuk men-delay pertemuan dan agar dia tak terus-menerus mengganguku melalui telepon, dan untungnya dia setuju. Urusan bulan depan, bagaimana nanti saja dan aku akan mencari cara lagi untuk menghindarinya.

Itulah kenapa ketika hubunganku dengan Koh Freddy sudah benar-benar berakhir setelah peristiwa di pesta ulang tahunnya, aku berani untuk mengganti lagi password ponselku ke nomor sandi yang dahulu, yang tentunya password berangka tahun kelahiranku itu sudah diketahui oleh suamiku. Karena aku merasa sudah aman, sudah tidak akan ada lagi yang mengganggu, siapapun itu.

Ketika suamiku bercerita tentang project barunya dan mempunyai rencana untuk meminjam modal pada Bang Fer, itu jelas makin membuat aku tak setuju dengan pekerjaannya. Walaupun tentu saja alasan ketidak-setujuanku ini tak kuceritakan ada kaitannya dengan Bang Fer. Menurutku, semakin bekerjasama, maka semakin besar juga peluang dia datang ke rumahku. Dan aku tak mau itu.

Pada saat Pak Ridwan menelepon sehari sebelum Pelatihan untuk menanyakan kesiapanku menghadapi Pelatihan, aku panik karena hanya menampilkan nomor saja, terlebih ponselku tadi dipegang oleh suamiku. Sempat terpikir itu dari Bang Fer, karena memang nomornya sudah kuhapus dari daftar kontakku.

Untuk urusan nama di kontak, dari dulu memang hanya ada 2 lalaki yang namanya kusimpan, suamiku dan almarhum ayahku yang sampai kapanpun tak akan kuhapus meskipun ia sudah tiada. Sebelumnya ada nama Koh Freddy dan juga Bang Fer, tapi keduanya sudah kuhapus. Pak Ridwan? rasanya tak perlu kusimpan. Karena kita memang jarang telepon, lagian kalau urusan pekerjaan bisa diobrolkan saat di kantor saja. Urusan simpan menyimpan nomor telepon di kontak, memang begitulah kebiasaanku, sebenarnya mudah dan lumrah bagi orang lain dan pasti mereka menganggapku aneh dengan kebiasaanku ini, biar saja lah… toh aku tidak merugikan mereka.

Sialnya, aku baru ingat kalau waktu pertemuan dengan Bang Fer itu sudah tepat 1 bulan seperti janjiku. Aku baru mengingatnya saat Pak Ridwan menelepon yang kusangka itu Bang Fer, yang hendak mengkonfirmasi kembali pertemuanku dengannya. Karena itulah di saat itu aku sangat panik.

Untungnya tempat Pelatihanku berada di Puncak selama 10 hari, sehingga jika Bang Fer mulai kembali menelepon atau chat, tidak akan diketahui oleh suamiku yang sering bermain game di ponselku. Rencananya akan kumundurkan lagi waktu pertemuan dengan Bang Fer, alasannya sedang Pelatihan yang tentunya dia tidak akan tahu lokasi Pelatihanku. Aku pun belum sempat berpikir bagaimana setelah Pelatihan jika Bang Fer kembali menelepon, saat aku sudah ada di rumah bersama suamiku… Aaaaah bingung, aku tak tahu!!!
***​

Rencanaku untuk menunda kembali pertemuan itu buyar seketika, ketika tanpa disangka.. Bang Fer sudah berada di gedung Wisma, tepat saat bubaran kelas pembekalan materi di hari pertama.

Rasanya ingin kabur saja, tapi aku tak tahu harus kabur kemana? Ingin juga aku luapkan kemarahan pada Bang Fer yang berani-beraninya menemuiku di tempat Pelatihan, tapi aku tak ingin orang-orang disini tahu. Akhirnya dengan kesal aku membawanya ke Lobby, sebetulnya sempat ragu karena pada saat istirahat tadi siang, ada Pak Ridwan yang mengecek segala kebutuhan karyawan Kantor Pusat selama pelatihan disini. Bagaimana kalau Pak Ridwan tahu kalau aku didatangi oleh tamu laki-laki? Bisa-bisa jadi bahan gosip baru di kantor. Tapi untungnya tak kulihat dia, sepertinya ia sudah pulang.

Lobby saat itu kosong, hanya terlihat satu orang pegawai Wisma yang berada di meja Resepsionios. Sementara peserta Pelatihan usai menyelesaikan kelasnya langsung masuk ke kamar untuk istirahat atau mandi sebelum nanti menjelang malam mereka mendatangi ruang makan prasmanan yang ada di sebelah lobby ini.

Kami duduk bersebelahan, maksudnya aku duduk di single seat, sementara dia duduk di ujung kursi panjang yang paling dekat dengan kursiku, masih bisa disebut bersebelahan kan? Kupandangi wajahnya dengan sorot mata tajam dan raut muka tak ramah, aku benar-benar marah karena dia datang tanpa mengkonfirmasi dulu sama sekali.

“Kenapa kaya yang marah sih? Harusnya juga aku yang marah”, tanya Bang Fer seolah tak bersalah.

“Kenapa harus kesini sih? Aneh… emangnya kamu harus marah kenapa?”, balasku semakin kesal.

“Kan emang udah waktunya ketemu”, jawab Bang Fer dengan muka serius. Anehnya, tampak dari sorot matanya, sepertinya dia tak seperti lelaki yang memiliki rasa ingin mendekatiku, tapi justru…. ada sorot kebencian di bola matanya.

“Ya tapi ga disini juga…! Darimana kamu tau kalo aku lagi Pelatihan disini?”, tanyaku lagi yang heran mengapa dia bisa sampai tahu keberadaanku.

“Dari Sosmed kantor kamu..”, ujar Bang Fer memberikan jawaban.

Huh, lagi-lagi Sosmed. Disaat aku sudah sangat berhati-hati dalam memposting apapun di Sosmed, sejak nomor teleponku diketahui oleh orang ini, kini justru akun kantorku yang ‘membocorkan’ acara ini.

Beberapa hari yang lalu memang 8 orang peserta dari kantorku sempat diminta berfoto, aku tak tahu kalau itu akan dimasukkan ke dalam postingan sosmed kantor. Sampai tadi siang, aku diperlihatkan oleh temanku foto postingan itu. Di bawah fotonya tertulis… ‘Peserta Pelatihan, Selamat dan Sukses Untuk Para Karyawan Karyawati Terbaik Available Finance”.. setelah itu di caption-nya tertulis tanggal dan tempat Pelatihan. Saat aku diperlihatkan postingan itu tadi, tak sempat terpikir bahwa postingan ini akan ‘membahayakan’ bagiku, yang ada di benakku saat itu hanya rasa bangga karena telah dianggap sebagai salah seorang pegawai terbaik.

“Kenapa waktu itu kamu bilang ‘Ngga mau’ waktu aku nyoba ngelamar kamu?.... kamu ga jujur, Dya!!!”, ucap Bang Fer seperti melepaskan uneg-uneg yang masih mengganjal di hatinya selama bertahun-tahun.

“Udahlah ga usah dibahas! Itu udah lewat! Udah ya, pertemuan kita udah cukup.. aku udah ga ada ‘utang’ ketemuan lagi”, ucapku ingin mengakhiri pertemuan karena pembahasan sepertinya hanya akan mengungkit memori masa lalu yang tak perlu lagi dibicarakan.

“Buat kamu itu udah lewat… tapi buat aku sakitnya masih kerasa”, kata Bang Fer sambil tajam menatapku.

“Ya terus? Aku ini sekarang udah punya suami! Ngapain harus mikirin rasa sakit kamu…!!!!”, aku semakin marah dan nadaku semakin naik.

“Kalau kamu ga bilang seperti itu, kalo saja kamu jujur waktu itu, aku ga bakal kaya gini!”, ucap Bang Fer, masih juga membahas masa lalu.

“Terserah!!! Itu bukan urusanku…”, aku mengucapkan sambil bangkit berdiri untuk meninggalkannya. Tapi telapak tangan kiriku digenggamnya, dia menahanku untuk pergi.

“Heh! Apaan ini..? lepasin ga? Atau aku teriak..?!”, kataku yang sangat kaget ketika tiba-tiba dia memegang tanganku. Bang Fer tak menjawab apapun, dia hanya tajam menatapku, tangannya masih menggenggam tanganku lalu sedikit menariknya pelan, dan itu membuat aku duduk kembali.

Kenapa aku tak teriak? Sebenarnya itu hanya gertakan yang ternyata tak berhasil, karena aku tak mau membuat gaduh di hari pertama Pelatihanku.

“Okey, ‘ini bukan urusanmu’….”, ucap Bang Fer, kini wajahnya menoleh ke arah kanan, jari telunjuknya menyentuh dan mengetuk-ngetuk bagian atas daun telinga kirinya.

Aku baru sadar, daun telinga kirinya seperti yang terpotong di bagian atasnya. Yang aku tahu dulu tidak begitu, normal-normal saja.

“Apa hubungannya denganku?”, tanyaku heran campur penasaran.

“Sepulang dari rumahmu.. motorku dipepet oleh mobil, kemudian turun 3 orang yang menarik paksa aku ke dalam mobil…. Didalamnya sudah ada Ayahmu… Aku dibawa ke area bongkar muat di belakang Pasar… Ayahmu meminta orang-orangnya untuk mengiris telingaku!!!”, cerita Bang Fer mengenai pengalaman buruknya, aku sangat kaget mendengar ceritanya, tak bisa berkata-kata… seolah tak percaya dengan apa yang telah Abah lakukan kepadanya.

“Bohong!”, ucapku karena tak percaya dengan apa yang dia ceritakan.

“Hmmmm, bohong? Bahkan aku tak bisa melanjutkan kuliah padahal sudah tinggal membuat Tugas Akhir… itu karena orang-orang suruhan Ayahmu yang selalu mengusirku setiap aku memasuki area kampus, Aku juga diusir paksa dari tempat kost, bahkan… diancam untuk meninggalkan Jakarta jika ingin nyawaku selamat! Aku sempat kembali ke Medan setahun memulihkan fisik terutama mentalku, sampai akhirnya kembali lagi dan memulai usaha di Jakarta…. Itu semua gara-gara kamu yang menolakku, Munafik….!! Coba kamu dulu berkata terus terang, Ayahmu pasti mengabulkan perkataan anak kesayangannya!!”, lanjut Bang Fer panjang lebar. Aku dulu berpikir dia tak pernah terlihat di kampus karena sudah lulus kuliah, ternyata bukan itu sebenarnya yang terjadi.

Tak sempat aku menyela, tiba-tiba dia berdiri tepat di depan aku duduk, tubuhnya menghalangi pandanganku pada petugas resepsionis yang berjaga di ujung lobby. Tangannya mengambil tanganku.. kemudian dengan cepat ia menuntun tanganku mengusap-usap penisnya yang sudah mengeras. Aku berontak dan coba untuk berdiri namun dia cegah dengan tangannya yang satu, kemudian dia berkata…. “Batangku masih bisa berdiri, tapi coba kamu rasakan… ada yang berbeda?”.

Aku sangat ketakutan, mulutku membisu, tubuhku membeku seolah tak bisa bergerak.. apa yang dia katakan sama sekali tak kumengerti. Sampai kemudian dia menuntun tanganku sampai ke bagian buah zakarnya, aku merasakan ada yang berbeda, namun aku tetap tak mau berkata.. karena aku tidak yakin dengan apa yang kusentuh itu.

Bang Fer duduk lagi di posisinya semula, namun tanganku masih ia genggam kuat, mungkin agar aku tidak lari.

“Saat di Pasar, Ayahmu memang hanya duduk.. ia tidak ikut turun tangan, hanya melihat dan sesekali mengarahkan anak buahnya untuk menjalankan yang ia mau, banyak orang disana tapi tidak ada satupun yang mau menolongku. Aku disiksa Dya… disiksa!! ....diludahi, dikencingi, dan apa yang kamu pegang barusan adalah salah satu efek dari penyiksaan itu, satu testisku kemudian harus diangkat pada akhirnya karena cedera yang parah, sekarang…. batangku ini memang masih bisa berdiri, tapi kini aku mandul!!! Selama 4 tahun aku sudah 2 kali bercerai…. Istri-istriku meninggalkanku karena aku tak bisa memberinya keturunan….. Lalu, dengan mudahnya kamu bilang ‘semua itu udah lewat’?!?!”, ucap Bang Fer yang bercerita dengan nada yang getir, tampak juga matanya berkaca-kaca. Aku diam masih tak bisa berkata apa-apa.

“Bahkan saat akan pulang.. aku ditelanjangi. Aku telanjang dengan tubuh penuh luka dan lebam di sekujur tubuhku… aku lari dari belakang sampai depan pasar, benar-benar merasa dihinakan… aku tahu, aku telah melakukan kesalahan…. kesalahan bersama, yang kita buat karena saling mau dan saling cinta…. Aku tahu saat aku mendatangi rumahmu pun sebenarnya kamu masih mencintaiku….. tapi kamu tak mengakuinya di depan Ayahmu…. lantas pantaskah aku dihinakan hanya sebab aku benar-benar mencintaimu?…. pantaskah aku dihinakan seperti itu hanya gara-gara aku ingin bertanggung jawab atas apa yang kulakukan padamu?....”, lanjut Bang Fer, dia bangkit melepaskan tanganku, lalu pergi meninggalkanku yang masih tak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar darinya.
***​

Setelah Bang Fer pulang, sambil menuju kamarku aku telepon suamiku dengan pikiran kalut karena masih terngiang-ngiang apa yang diceritakan oleh Bang Fer. Suamiku saat itu ada di Bandung, sebenarnya aku malas juga untuk mengetahui kegiatannya ini, tapi bagaimanapun juga aku rindu pada suamiku ini meskipun baru berpisah sekitar 10 jam, aku ingin berbagi perasaan kalut ini, tapi rasanya tak mungkin juga dengan suamiku.

Setelah mandi dan makan, aku rebahkan tubuhku di kasur, aku melihat ponselku sudah ada chat masuk yang sepertinya dari Bang Fer karena hanya menampilkan nomor saja.. dia tulis, ‘urusan dengan kamu belum selesai’.

Apakah dia melakukan chat saat menyetir mobil? Karena seharusnya dia belum sampai ke Jakarta, apalagi perjalanannya ini di waktu sedang padat-padatnya, ditambah lagi sekarang hari Senin.

Aku balas chat-nya…, “urusan apa lagi?”. Tapi dia tak membalasnya. Hatiku mulai merasakan sesuatu yang tidak enak dengan maksud perkataan Bang Fer ini. Tapi aku tak tahu itu apa? Untuk meredakan kebingunganku pada ucapan Bang Fer, aku melakukan video call dengan suamiku sangat lama. Selain karena benar-benar rindu, di video call juga terkadang aku menangis karena aku bingung dengan apa yang diinginkan oleh Bang Fer selanjutnya. Tentu saja tak kuungkapkan tangisanku pada suamiku itu tentang suasana perasaanku yang sebenarnya, suamiku mungkin hanya menduga bahwa tangisku ini karena rindu ingin bertemu.

Suamiku bilang kalau besok atau Kamis dia akan menginap di sini, sebenarnya aku sangat senang mendengar kabar itu. Tapi ada kekhawatiran tentang Bang Fer. Memang aku yakin kalau ada suamiku, Bang Fer pasti tidak akan berani mendatangiku, tapi bagaimana kalau dia telepon sedangkan ponselku di tangan suamiku? Ah, membingungkan.​

***************

8 Sep 2023
Add bookmark
#2.996
PART 28

KENAPA GINI LAGI? (C)​



MASIH POV LIDYA TENTANG NANDO

PELATIHAN HARI KE-2​

Sore hari, suamiku kembali video call saat dia berada di tokonya, karena sudah sangat rindu maka dia bilang akan ke tempatku malam ini juga, jelas saja aku tolak karena… khusus untuk suamiku memang kularang untuk bepergian jauh di malam hari kalau tak terlalu penting, bukan berarti rasa rindu ini tak penting, tapi kalau saja dia datang sore hari pasti aku perbolehkan, memang aku memiliki trauma ditinggalkan orangtuaku yang mengalami kecelakaan di malam hari. Video call berakhir karena suamiku akan melayani pembeli, tapi sebelum ditutup.. dia mengatakan akan video call lagi malam hari nanti setelah pulang dari toko, dan dia juga mengatakan jadinya besok sore saja datang dan menginap disini.

Hatiku campur aduk, antara senang dan khawatir, bagaimana jika Bang Fer menelepon saat ada suamiku besok? Saking paniknya, aku memutuskan untuk mengganti saja nomorku ini… ya mungkin cara itu akan kulakukan, besok siang saat istirahat Pelatihan aku akan keluar kompleks Wisma, mudah-mudahan ada counter HP di sekitar sini.

Setelah itu aku malas-malasan berbaring di tempat tidur sambil menonton TV. Sekitar 1 jam kemudian, tiba-tiba aku mendengar ketukan di pintu kamar, aku kaget siapa yang datang mengetuk, apakah peserta Pelatihan juga? Tapi aku belum terlalu akrab dengan penghuni kamar yang se-lantai denganku. Ah, tapi mungkin saja. Aku pun membuka pintu setelah ketukan kedua.

“Fer…..”, ucapku kaget dan langsung kututup kembali pintu kamarku. Tapi tangannya dengan cepat menahan pintu yang kudorong ini, tenagaku tak cukup kuat sampai akhirnya Bang Fer berhasil masuk ke dalam kamarku.

Ia langsung menutup pintu kamar, kemudian membekap mulutku dan menggiring tubuh ini ke atas ranjang. Setelah aku dibaringkan, mulutku masih dibekapnya, dia tindih tubuhku… sorot matanya penuh dengan kemarahan dan kebencian. Aku menangis…. Sangat takut dengan apa yang akan dia lakukan kepadaku.

“Kalau kamu teriak atau berusaha kabur atau ngelaporin sama siapapun… aku mau buat kamu seperti aku! NGERTI?!”, ucap Bang Fer tepat di depan wajahku. Aku terpaksa mengangguk karena takut dengan ancamannya, walau tak mengerti jelas apa yang dimaksud ‘mau buat seperti aku’ itu.

Setelah itu dia membuka paksa bajuku, walaupun tangannya sudah dilepaskan dari mulutku, tapi aku sangat takut untuk kabur atau sekedar berteriak meminta tolong, aku sibuk menepis-nepis dengan tenagaku yang tak terlalu besar.

Akhirnya aku diperkosa di malam itu!!!!!

Dia melakukannya 2 kali, yang pertama aku masih terus meronta dan menghindar sambil menangis, tapi yang kedua… sudah benar-benar habis tenagaku, bahkan untuk menangis pun aku sudah lelah… kelelahan karena terus meronta dan memberontak, juga lelah karena perasaan takut dan marah yang tak terlampiaskan. Sehingga di pemerkosaan yang kedua ini seolah-olah aku pasrah dan menikmatinya. PADAHAL TIDAK!!!! Sama sekali tidak. Mungkin inilah yang sering dijadikan alibi dari para pemerkosa bahwa perbuatan bejatnya itu sebenarnya dilakukan secara suka sama suka… HIH!!

Tidak ada sama sekali kenikmatan yang kurasakan, kalaupun ada lenguhan atau desahan, itu hanya reaksi alamiah saja, bukan berarti menikmatinya. Tak ada kenikmatan yang dilakukan tanpa perasaan, apalagi di bawah ancaman seperti ini.

Begitupun juga dengan Bang Fer, sepertinya kali ini dia hanya menuntaskan rasa amarah dan dendamnya saja… di malam ini aku tidak melihat sikap Bang Fer yang seperti dulu saat melakukannya denganku.

Setelah 2 kali mengeluarkan spermanya di dalam vaginaku, Bang Fer pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepatah katapun, seperti meninggalkan seorang pelacur yang telah digaulinya.

Aku pun menangis histeris, kali ini tangisanku mulai bisa keluar lagi bahkan tak terbendung. Aku memikirkan bagaimana aku harus bersikap selanjutnya, apakah melaporkan? Aku tak tahu, panik, bingung…. Jika dahulu aku membaca di koran-koran tentang kasus pemerkosaan, kemudian aku berkomentar “Bodoh, kenapa ga dilawan? Kenapa ga dilaporin langsung? dll”. Sekarang aku bisa merasakan langsung, seperti inilah rasanya menjadi korban pemerkosaan…. Tubuh dan pikiran seolah freeze, serba takut dan serba salah.

Sekitar pukul 9 malam, setelah sekian lama, setelah tangisanku mulai mereda dari isakan-isakan yang terus menerus tak bisa berhenti, aku raih ponselku ingin sedikit berbagi perasaan kalut ini dengan suamiku, walau tentunya aku belum bisa dan berani berkata jujur kalau aku telah diperkosa oleh temannya itu. Ya, aku takut… bahkan sangat takut kalau Bang Fer kemudian membocorkan tentang kehamilan dan ****** kepada suamiku. Masih hal itu juga yang jadi pertimbanganku.

Aku menghubungi suamiku.. tapi tak diangkat, kemana dia? Apakah dia sudah tertidur? Aku coba menghubunginya kembali, sambil menunggu suamiku mengangkat telepon tiba-tiba aku teringat pada sperma Bang Fer yang tadi dikeluarkan di ‘dalam’. Walaupun dia pernah berkata bahwa sekarang ia mandul, tetap saja membuatku panik….

Aku langsung teringat pada Vina yang pernah bercerita selalu meminum sebuah obat penunda kehamilan setelah berhubungan. Aku tutup telepon dan kupakai pakaianku lagi, aku langsung turun ke lobby, disana aku meminta sopir kantor yang memang diperintahkan oleh Pak Ridwan untuk stand by di Wisma apabila Peserta Pelatihan dari kantorku membutuhkannya, untuk mengantarkanku mencari Apotik. Akhirnya sopir itu mengantarkanku ke Apotik. Setelah keliling-keliling, untungnya masih ada Apotik yang buka, aku langsung beli merk yang pernah Vina sebutkan.

Setelah sampai ke kamarku lagi, aku minum satu tablet kemudian kucoba menghubungi suamiku lagi… tapi lagi-lagi tak diangkat. Aku yakin kalau sekarang suamiku pasti sudah tidur. Akhirnya kucoba menghubungi Vina, karena dia satu-satunya temanku yang bisa diajak ngobrol, memang bukan untuk membicarakan kejadian ini, tapi setidaknya malam ini aku butuh teman mengobrol untuk sedikit melupakan kejadian burukku tadi. Tapi Vina pun sama, teleponnya tak diangkat. Ahhhh kesaaal!!!
PELATIHAN HARI KE-3​

Pagi hari sebelum masuk ke ruang kelas, aku kembali menghubungi suamiku, tapi tetap tak diangkat.. bahkan sampai 6 kali aku menghubunginya tetap saja tak ada jawaban. Kesal sekali rasanya, walau aku tahu suamiku pasti masih tidur. Aku rindu dia, bahkan rasanya aku ingin pulang saja… tapi saat aku membutuhkannya, dia tidak ada, selalu saja begitu!!!

Seharian ini aku mencoba untuk tetap fokus pada Pelatihan meskipun hati dan pikiranku sedang kalut bercampur takut. Setelah istirahat makan siang, ada pengumuman yang menyebutkan namaku masuk ke salah satu peserta test lanjutan. Test-nya akan dilakukan besok. Aku sangat senang mendengar pengumuman itu, moment buruk yang tadi malam kualami sedikit terlupakan. Berarti sekarang aku sudah selangkah lebih maju untuk pencapaian karier menjadi Manager.

Karena tertutup berita yang cukup membanggakan itu, aku sampai lupa kalau siang ini aku akan membeli nomor baru untuk teleponku. Ah!! kenapa tak kubeli kemarin saat ke Apotik? Bodoh! Begitulah orang panik, tidak bisa berpikir apa-apa saat malam kemarin. Sekarang sudah waktunya untuk masuk kelas kembali, tapi aku sempat membuka ponselku dan ada chat dari suamiku yang mengatakan ‘maaf ketiduran’, tak kubalas chat itu karena kesal. Kumatikan lagi ponselku karena kebiasaanku yang selalu fokus ketika bekerja.

Pembekalan materi hari ini lebih cepat selesai dari biasanya, pukul setengah 4 sudah keluar kelas. Aku langsung mencari sopir kantor untuk mengantarkanku mencari Counter HP untuk membeli nomor baru, sambil mencari sopir itu kubuka ponselku dan ada chat dari suamiku… “Mah, Papah kecelakaan di jalan tol, sekarang Papah di Rumah Sakit M, di lantai 3 ruang 08”.

Tubuhku gemetar, lututku lemas…. Mengapa kejadian demi kejadian buruk begitu beruntun menimpa aku dan suamiku?

Dengan tenaga yang ada kuhubungi suamiku melalui video call, aku ingin melihat kondisinya. Begitu dia angkat, suamiku sedang terbaring di ranjang RS dengan kondisi perban di pelipisnya, selang infus… memang hanya itu yang tertangkap oleh layar kamera… itu sudah membuatku menangis histeris… aku mengatakan bahwa aku akan segera datang kesana saat ini juga. Langsung kututup telepon.

Aku langsung menghubungi Ketua Panitia Pelatihan yang kebetulan masih ada, sambil menangis aku mengatakan kejadian yang menimpa suamiku.. aku meminta izin kalau besok tidak bisa mengikuti Pelatihan. Untungnya Ketua Panitia itu sangat mengerti keadaanku dan mengizinkan aku untuk izin di hari Kamis besok.

Selain menyatakan rasa simpati atas musibah yang menimpa suamiku, dia juga menghiburku.. “Bu Lidya, sebenarnya dari assesment yang kami peroleh dari kantor Ibu dan penilaian selama 3 hari ini, tanpa mengikuti test besok pun… Ibu Lidya itu sudah layak masuk ke tahap selanjutnya. Tapi karena ini prosedur dan untuk semakin meyakinkan kami, test besok untuk Ibu kami pindahkan ke hari Minggu.. dan hari Jum’at dan Sabtu Ibu tetap boleh mengikuti materi lanjutan meskipun belum test, kalau Ibu dianggap layak di materi lanjutan, maka Minggu Ibu Lidya harus melakukan dua kali test sekaligus”, ucap sang Ketua Pelatihan.

Aku berkali-kali mengucapkan terima kasih atas izin dan pemberian dispensasi ini, meskipun konsekuensinya aku tak bisa pulang di hari Minggu, biarlah.. tak mengapa. Aku langsung keluar gedung Wisma, tanpa sempat mengganti pakaian apapun. Aku mencari sopir kantor untuk mengantarkanku ke Rumah Sakit di Jakarta, mobilnya ada tapi sopirnya belum terlihat. Sampai kemudian ada Mobil merah jenis SUV masuk ke area parkir Wisma dan bagian samping mobilnya berhenti di depanku berdiri, kacanya gelap aku tak bisa melihat jelas siapa di dalam mobil ini.

Tiba-tiba seseorang dari tempat kemudi berjalan memutar ke belakang mobil dan langsung menyergap dan menyuruhku dengan paksa masuk ke kursi depan setelah ia buka pintunya. Orang itu adalah Bang Fer!

“Fer, aku harus ke Rumah Sakit… suamiku kecelakaan…”, ucapku setelah dipaksa duduk di kursi depan sambil menangis ketakutan, aku mengatakan itu ketika pintu mobilnya belum tertutup.

“Ya, aku tau… aku anter kamu ke Rumah Sakit!”, jawab Bang Fer. Ia langsung masuk melalui pintu yang sama dan melangkahi tubuhku menuju kursi kemudi, lalu menarik tubuhku karena aku sempat mencoba untuk keluar. Aku tak percaya dengan ucapannya akan mengantarkanku ke Rumah Sakit. Dia mendekapkan tubuhku ke tubuhnya yang sedang mengemudikan mobil keluar Wisma.

“Kamu ga usah kabur atau macem-macem, aku anterin kamu”, ucapnya tenang sambil sedikit menghentakkan tubuhku ke tubuhnya, lalu ia melepaskan pelukannya setelah melihat aku tak melakukan pergerakan lagi.

Kendaraan sudah melaju jauh, tapi aku tetap merasa tak yakin dengan Bang Fer.. bagaimana mungkin orang yang telah memperkosa ini sekarang mau mengantarkan korban untuk menemui suaminya? Kemudian berulang kali aku bertanya pada Bang Fer, apakah aku benar-benar akan diantar ke Rumah Sakit? Bang Fer pun menjawab dengan jawaban ‘Ya!’, berkali-kali pertannyaanku dijawabnya dengan jawaban yang sama.

Aku mulai merasa tenang ketika arah mobil memang menuju arah Jakarta. Tapi aku terus menangis karena kini mulai khawatir kembali dengan kondisi suamiku.

“Udah jangan nangis, suamimu baik-baik saja…”, ucapnya sambil membelai rambutku seolah mengetahui apa yang aku pikirkan. Aku heran dengan perlakuan Bang Fer ini. Sangat berbeda dengan hari kemarin saat memperkosaku, kali ini nadanya bicaranya biasa saja, tidak ada amarah dalam dirinya. Seperti memiliki kepribadian ganda!

“Udah tenang aja…. liat ini… scroll aja ke atas, ada videonya juga”, kata Bang Fer sambil menyerahkan ponselnya kepadaku. Aku melihat Group Chat dari circle T-Shirt sepertinya. Aku melihat foto dan video suamiku yang dibagikan oleh teman-temannya di group itu, suamiku yang sedang terbaring di RS memang tak terlalu mengkhawatirkan, setelah melihatnya aku merasa lebih tenang. Saat mencoba akan melihat video yang lain, tak sengaja aku melihat pesan yang dibagikan…

“Bro, kita cari si Ilham yang udah nipu 72 juta ke Kang Arief, tolong sebarkan ke temen yg ga ada di group ini”.

Tertipu Ilham? Rasanya ingin teriak saja… padahal sudah kuperingatkan untuk tidak menerima project itu… Apakah aku kesal? Ya, tentu saja! Tapi bagaimanapun dia adalah suamiku, dan aku sudah berjanji untuk menjalani kehidupan ini selalu dengannya, apapun kondisinya…..

Astaga cobaan apa lagi ini? Mengapa datang silih berganti? Dan orang yang sedang duduk disampingku ini adalah orang yang meminjami uangnya untuk modal suamiku….. sepertinya dia sudah tahu dengan membaca Group Chat ini, atau mungkin suamiku telah memberitahukannya masalah penipuan ini? Entahlah.

“Fer… suamiku tertipu?.....”, ucapku sambil menangis.

“BANG!!! BANG FER!!! JANGAN PERNAH PANGGIL AKU FER!”, tiba-tiba Bang Fer berteriak sambil mengangkat daguku agar mataku melihat wajahnya. Apa yang dilakukan Bang Fer ini membuatku kembali ketakutan bercampur heran, kenapa tiba-tiba ia menjadi marah lagi setelah tadi bersikap biasa? Kemudian ia lepaskan tangannya lalu melanjutkan dengan suara yang normal lagi, “iya… padahal sudah kuperingatkan sebelumnya….”. Terlihat Bang Fer menghela nafas panjang, sepertinya ia juga kecewa dengan langkah suamiku itu.

“Suamiku berutang berapa banyak sama Abang?.....”, tanyaku yang mulai kembali menggunakan panggilan ‘Abang’ karena terpaksa. Aku sudah membaca tadi 72 juta, tapi jangan-jangan ada yang lain lagi yang aku tak tahu.

“Ga perlu kamu tau…”, jawab Bang Fer singkat, tatapannya serius menatap jalan.

“Tapi aku istrinya…”, balasku, menuntut jawaban dari Bang Fer.

“Urusan utang, itu urusanku dengan suamimu”, Bang Fer masih bersikukuh tak mau memberitahuku.

“Apa perlakuan Abang kemaren malem di kamarku itu ada hubungan sama utang suamiku?”, tanyaku lagi. Entah mengapa aku tiba-tiba memiliki asumsi seperti ini, mungkinkah Bang Fer berpikiran ‘menikmati tubuhku’ sebagai balasan pada suamiku karena dia tahu kalau suamiku tak akan mampu membayar utangnya?

“Sudah kubilang urusan utang itu antara aku dengan suamimu… ga ada hubungan sama kamu!!! Urusanku sama kamu itu menyangkut masa lalu, NGERTI KAMU!!!!”, jawab Bang Fer yang tiba-tiba kembali marah. Aku pun diam.

Jalanan sore ini sangat macet sekali, aku sudah ingin segera bertemu dengan suamiku, terlebih lagi aku ingin segera meninggalkan Bang Fer. Karena jalanan macet, aku chat Vina.. minta tolong supaya dia jagain suamiku dulu, takutnya aku lama datangnya dan suamiku kalau perlu apa-apa tidak ada yang menolong.

“Selama Pelatihan, kamu milikku Dya…. malam ini juga kamu harus balik sama Abang”, ujar Bang Fer tiba-tiba mengagetkanku ketika aku sedang men-chat Vina.

“Ga mungkin Bang, aku harus nungguin suamiku…”, jawabku cepat dan aku mulai panik lagi dengan permintaannya itu.

“Lepasin seat belt nya..”, ucap Bang Fer. Aku laksanakan perintahnya, meskipun tak mengerti apa kemauannya… tapi feeling-ku mulai tak enak.

Benar saja, kini tubuhku langsung didekapkan ke tubuhnya, erat sekali. Aku mulai menangis lagi.

“Bilang sama suamimu, kamu ga dapet izin dari kantormu untuk izin besok….”, Bang Fer mulai menyuruhku untuk berbohong. Aku langsung menggeleng dan berkata.. “Ga bisa Ba…”.

“JANGAN MENYELA KALO ABANG LAGI BICARA!! Kamu udah izin dari kantormu untuk bolos?”, lagi-lagi Bang Fer berteriak dan kemudian bertanya dengan normal di kalimat berikutnya. Aku mengangguk.. “Udah, Bang.. udah diizinin koq”.

“Hmmm tapi kamu ga dapet izin dari Abang… udah Abang bilang selama Pelatihan.. kamu milik Abang!!! seharian besok kamu temenin Abang….. tapi Abang kasih waktu lebih sama kamu buat nungguin suami kamu sampe Subuh”, ucap Bang Fer. Itu semakin membuatku takut dan gundah, apa yang harus kulakukan? Aku tak bisa berpikir apa-apa, apalagi dekapannya kini semakin erat sehingga membuatku sulit untuk bernafas.

“Iya Bang….. i…iiya”, ucapku dengan harapan dia melepaskan dekapannya itu, karena aku sudah tidak kuat dengan dekapannya itu.

“Jangan coba-coba buat kabur… meskipun pulang Subuh, tapi semaleman Abang tetep nunggu kamu di depan RS!... nanti Sabtu kamu boleh pulang dulu jenguk suamimu, aku yang anter. Tapi tetep seperti hari ini cuma sampe Subuh…. apalah alesannya terserah kamu mau bilangnya gimana sama suamimu…. yang penting hari Minggu kamu harus jadi milik aku!!! Iya?!?!?!”, lanjut Bang Fer yang kembali mengintimidasi.

“I.. iya Bang…..”, jawabku cepat. Untuk Minggu, tanpa berbohong pun aku memang ada test. Tapi aku tak mau terus menerus berada dalam situasi ini!!!!

Tiba-tiba dalam keadaan macet, masih dalam keadaan mendekap tubuhku, aku lihat tangan Bang Fer mulai melepaskan ikat pinggang dan ia pelorotkan celana dan celana dalamnya sampai benar-benar tanpa penutup sama sekali. Tanganku dia tuntun untuk memegang penisnya yang sudah menegang. Aku pun memegangnya, tanganku diam saja.. tak melakukan gerakan apa-apa.

Bang Fer kemudian menjambak bagian belakang rambutku dan mendorong turun kepalaku dengan kasar menuju batang kemaluan itu. Bibirku kini sudah menyentuh kepala penisnya. Tapi aku tetap diam, aku memejamkan mata… aku tak mau melakukan ini.

“ISEP!!!!”, teriak Bang Fer dengan merundukkan kepalanya sehingga teriakan itu terdengar begitu dekat dengan telingaku.

Meskipun aku dalam keadaan sangat ketakutan, tapi aku tetap tak mau menghisap bahkan membuka mulutku pun tidak. Melihat aku yang mungkin dianggapnya membangkang, dia jambak lagi rambutku membuat kepalaku sedikit terangkat, tangan kanan Bang Fer menggenggam penisnya ke mulutku dan kadang melepaskan genggamannya itu untuk memaksa bibirku terbuka.

Kini kepala penisnya itu sudah masuk ke dalam mulutku, tangan yang kiri Bang Fer tetap menjambak lalu mendorong dan mengangkat kepalaku sehingga kepalaku turun naik dalam keadaan mulut ini terisi oleh batang kemaluannya. Aku terpaksa melakukan itu sambil menangis.

Sempat terpikir untuk menggigit sampai putus penisnya ini, tapi aku tak memiliki keberanian untuk itu, tapi aku memiliki ide untuk menggunakan gigiku agar mengenai penisnya, sehingga membuatnya ngilu, dan dia menghentikan aksinya ini. Tapi ketika itu dijalankan, aku mendapatkan tamparan yang sangat keras di pantatku.

PLAAAKKKKK!!!!

“JANGAN PAKE GIGI!!!!!!”, ucap Bang Fer sepertinya emosi.

Kini dia mengganti posisi tangan yang menjambak rambut dan menaik-turunkan kepalaku ini dengan tangan kanannya, sementara tangan kiri sepertinya dia siapkan untuk memukul lagi pantatku, jika gigiku kembali mengenai penisnya. Rencanaku gagal, akhirnya aku menghisapnya seperti biasa.

Cukup lama Bang Fer memperlakukan aku seperti ini, sampai aku membuat kesalahan…. lama-lama ada getaran yang lain dalam tubuh dan perasaanku, aku mulai hanyut kedalam bayangan ketika aku membandingkan penisnya ini dengan milik Koh Freddy. Penis Koh Freddy itu jauh lebih besar dari milik Bang Fer, kalau penis Bang Fer ini panjangnya kurang lebih sama dengan milik suamiku, cuma sedikit lebih gemuk.

Apa yang kurasakan di mulutku sekarang ini ternyata lebih pas untukku, walaupun untuk panjangnya tetap tak muat masuk seluruhnya ke dalam mulut, tapi diameter Bang Fer membuat mulutku ini lebih nyaman, tidak seperti saat aku menghisap miliknya Koh Freddy yang terlalu besar sehingga memenuhi mulutku yang membuat pipiku mungkin jadi menggembung dan rahangku mudah pegal.

Aaaah… tapi sebenarnya sama nikmatnya, hanya saja milik Bang Fer ini tidak membuatku pegal…. Darahku berdesir pelan, bulu kudukku mulai berdiri, aku sudah bertekad akan melakukan hal seperti ini dengan suamiku saat dia sembuh nanti, ukurannya sama… membuatku nyaman. Selama ini aku selalu menolaknya karena jika melakukannya bakal mengingatkan pada kejadianku bersama Koh Freddy. Tapi nanti tidak… akan kupuaskan suamiku apapun maunya, selama ini aku hanya memuaskan lelaki yang tidak seharusnya merasakan nikmat dariku.

Kini yang terbayang di pikiranku penis di dalam mulutku ini milik suamiku, aku menghisapnya begitu menggunakan perasaan, sepertinya perbedaan itu dirasakan juga oleh Bang Fer yang mulai melenguh menahan nikmat.

“pfff…... ooh Dya… kenapa kamu dulu bilangnya jijik kalo Abang suruh ngisep.. ini eenak banget.. Dya Sayaang…ouugh”, kali ini Bang Fer mulai mengerang.

Mmmmpphhh cpkk cckppk sshhhrppmmuah mmmph……

Suara pertemuan antara mulut dan penis semakin terdengar memenuhi ruang kabin mobil ini. Sebenarnya tak kuhiraukan apapun yang terucap dari mulut Bang Fer, yang ada di otakku hanyalah…. ini milik suamiku. Saking menikmatinya aku tak sadar kalau jambakan dan dorongan dari tangan Bang Fer sudah terlepas, kini kepalaku yang bergerak atas kemauan sendiri.

Sshhhrppmmhhh mmmpphhh cpkk cckppk sshhhrpp ccpppkk mmmph……

“Ssshhh Kamu.. nakal banget sekarang… Dya… oough.. suami di rumah sakit sssshhh malah… nyepongin… kontol Abang….”, ucap Bang Fer sambil mendesah-desah.

Mendengar ucapan itu aku langsung sadar dan menghentikan gerakanku. Aku merasa hina telah melakukan hal tadi kepadanya. Kukeluarkan penis dari mulutku dan kembali bangkit untuk duduk di kursiku, namun tangan Bang Fer kembali menarikku.

“TERUSIN SAMPE TUNTAS!!!!… GA USAH KABUR-KABUR SEGALA!!!!.”, bentak Bang Fer yang kembali membuatku takut dan menuruti permintaannya.

“Dya, bilang kalo… kontol Abang enak, kamu suka… ssshh”, perintah Bang Fer sambil menarik kepalaku dengan cara dijambak. Kepalaku menengadah, Bang Fer sepertinya menunggu aku mengucapkan perkataan kotor yang dia inginkan.

“I..iya Bang… aku suka…”, ucapku ragu-ragu dan jelas saja bukan keluar dari dalam hati.

“Sambil jilatin luarnya… bilangnya yang lengkap kaya Abang bilang tadi.. JANGAN GA NURUT SAMA ABANG!!!”, Bang Fer memberikanku lagi perintah, karena ia tak puas dengan ucapanku.

Aku pun mulai menjilati bagian luar dari batang milik Bang Fer, meskipun tak ingin.. tapi aku melakukannya berkali-kali tanpa diperintah, dari bawah ke atas begitu seterusnya.

“Iya gitu Dya…. enak… cepet bilangnya mana…. sambil liatin muka Abang… sshhhh mmph…….”, pinta Bang Fer lagi.

“ssspppphhh……………….. kontol.. Abang.. enak, aku suka… ssspppphhh…. ”, ucapku sambil menjilat-jilat sekaligus melihat ke wajahnya, sebenarnya aku tak rela mengucapkannya, tapi apa dayaku?

“Ooougghhh”, lenguh Bang Fer yang sepertinya sangat terangsang dengan ucapanku itu. Ia benamkan lagi kepalaku ke batang kemaluannya.

“Cepet Sayang…. yang cepet Sayang… Abang.. mau.. keluar!!”, ucapnya lagi sambil tangannya menekan-nekan kepalaku semakin cepat. Tak lebih dari semenit akhirnya…. “OOOUUUGGGHHHH…. Enak banget, Sayaaang aaaaahh…. OOOOUUUGGGH”, teriak Bang Fer sambil melepas kenikmatan.

CRRRT CRRT CRT

Spermanya kini ada di dalam mulutku, kutarik kepalaku dan aku bangkit mencari tisu untuk membuang sperma yang tak banyak ini.

“TELEN!!!!”, teriak Bang Fer sambil melepas kenikmatan.

Lagi-lagi karena takut akan ancamannya, dengan terpaksa aku menelannya, secara rasa dan tekstur sama saja dengan sperma Koh Freddy, tapi ketika menelan sperma dilakukan dengan paksaan, membuat aku ingin muntah dan tidak merasakan sensasi kenikmatan seperti saat menelan sperma Koh Freddy. Perutku bereaksi, seperti tak mau menerimanya. Membuat tubuhku melonjak ketika tekanan dari perut naik ke kerongkongan seperti ingin memuntahkannya kembali. Tapi aku tahan walaupun rasa mual ini begitu luar biasa, aku tak mau menjadi masalah lagi.​


 


Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.
You will be redirected to the script in

seconds

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com