𝐂𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐓𝐞𝐧𝐭𝐚𝐧𝐠 𝐈𝐬𝐭𝐫𝐢𝐤𝐮 𝐏𝐀𝐑𝐓 𝟐𝟓 [ 𝐊𝐀𝐑𝐌𝐀 ]

 


Entah jam berapa, ketika aku masih terlelap, kucium harum parfum perempuan, lalu kurasakan ada bibir yang mengecup lembut bibirku beberapa kali.

Aku pun terperanjat dan bangkit duduk… sungguh kaget ketika aku terbangun di kamar yang tak biasa. Ini bukan kamarku, perempuan yang mengecup bibirku pun bukan Lidya.

Ah… ternyata Vina, ternyata aku tidur di kamar Vina… aku pun berbaring lagi dengan kondisi mata yang sulit sekali untuk terbuka walau dipaksakan.

“Papah tidur lagi aja, aku pergi dulu ya Papah Sayang, kuncinya ntar bawa aja… aku bawa cadangan koq… I Love You”, ucap Vina yang kudengar samar-samar. Kali ini perempuan itu tak bisa disebut mengecup, tapi sudah melumat dan memasukkan lidahnya ke dalam mulutku. Aku hanya sedikit membalas permainan lidahnya, sampai akhirnya dia bangkit dan pergi ke kantor… dan aku masih antara sadar dan tak sadar. Mengapa ini sampai terjadi begini?

Papah? Sejauh itukah perbuatan liarku semalam? Sapaan yang seharusnya kuterima hanya dari istriku seorang, kini terucap dari perempuan lain yang tadi malam kusetubuhi berulang-ulang.

Aku masih terlalu ngantuk di pagi ini, tapi begitu kucoba untuk memejamkan mata lagi, pikiranku selalu berontak seperti ingin mengkonfirmasi, ada apa dengan perasaanku pada Vina sekarang? Tapi aku tak bisa menjawabnya.

Akupun membuka mata perlahan, pukul sembilan.. berarti Vina pun tadi terlambat berangkat kerja karena sepertinya bangun kesiangan akibat kelelahan akibat pertempuran semalam.

Aku lihat ponselku, terlihat ada 6 kali panggilan tak terjawab dari Lidya, tadi.. mulai pukul setengah delapan.. sebelum ia masuk kelas Pelatihan. Ah Lidyaaaa… maafkan aku…!!!!!

Aku bangkit mengambil air minum dari kulkas, lalu aku lihat ada roti dari mini market. Sambil mengunyah roti itu, aku makin teringat pada Lidya, seorang perempuan yang selalu menyiapkan sarapan dengan makanan buatan tangannya sendiri, walaupun sederhana seperti sandwich atau telur rebus atau nasi goreng… tapi kurasakan itu jelas lebih membahagiakanku, karena melibatkan perasaan saat ia membuatnya juga pada saat aku memakan hidangannya.

Sambil kubakar rokok, kuambil ponsel dan coba untuk men-chat Lidya, mengucapkan maaf karena telah mengabaikannya saat pagi tadi ia coba menelepon dan juga pada saat malam hari kemarin. Aku beralasan ketiduran. ‘Terlalu banyak alasan kamu, Rief!!!!!’, bentak suara hatiku sendiri.

Kuhisap rokok dalam-dalam, aku berpikir kini sudah tidak ada alasan bagiku sama sekali untuk mengingat, kecewa, marah atas perbuatan Lidya di tempo hari. Kebiadabanku pada status pernikahan kami.. jelas telah sangat jauh melampaui pengkhianatannya. Aku suami yang bobrok dan tak bertanggung jawab!!!

Pagi ini hatiku sangat tak karuan, apalagi saat kulihat foto Vina yang tergantung di dinding kamar ini… tiba-tiba ada kebencian yang teramat sangat pada dirinya. Ingin segera kutinggalkan tempat ini, dan berjanji tak akan pernah kembali lagi!

Niatnya aku mau pulang dulu saja, sebelum nanti siang berangkat ke toko, aku akan melanjutkan sejenak tidur di kamarku, di ranjang tempat aku dan istriku biasa bergumul dan bercengkrama. Pantaskah aku sebagai lelaki kotor tertidur di atas ranjang yang suci karena pernikahan?

Aku bergegas untuk mencuci muka dulu sebentar.. sebelum ke kamar mandi kuhubungi terlebih dahulu Ilham karena ini sudah pukul 9 lebih tapi dia belum memberiku laporan. Namun teleponnya tidak aktif, aku cuci muka saja dulu.

Entah mengapa, aku sedikit panik dengan tak aktifnya telepon Ilham, apakah ini efek dari rasa bersalahku atas perbuatanku semalam? Aku tak tahu, yang pasti aku penasaran dan hatiku mulai dag dig dug berpikir hal yang tidak-tidak kepada Ilham.

Aku mengurungkan niat untuk pulang sebelum menerima kabar dari Ilham.. aku bakar rokok lagi, waktu sekarang sudah hampir jam 10, tapi telepon Ilham tak juga aktif.

Aku langsung menelepon pegawai tokoku yang hari ini masuk siang, rumahnya kebetulan dekat dengan rumah Ilham. Kuperintahkan dia untuk ke rumah Ilham dan memberitahukan untuk mengaktifkan teleponnya segera. Pegawaiku bergerak cepat. Aku menunggu kabar darinya dengan perasaan campur aduk.

Sekitar setengah jam menunggu, akhirnya ada chat masuk ke ponselku. Ya, itu dari pegawaiku.

“Pak, ternyata ini rumah bekas istrinya, udah lama cerai katanya Pak, tapi masih banyak yang nyariin Ilham kesini, nagih utang. Dia juga ga tau Ilham dimana sekarang”

Aku membaca chat itu seperti tersambar geledek. Karena masih tak percaya, aku hubungi dia bahkan kulakukan sambungan video call untuk memastikan bahwa ia mendatangi rumah yang benar. Bagaimana mungkin, sekitar minggu lalu aku mengantarkan Ilham turun di depan rumahnya.

“Coba, Wan.. kameranya arahin ke rumahnya”, perintahku dengan sedikit panik.

“Yang ini Pak…”, jawab Iwan, pegawaiku.. setelah mengarahkan kamera ke arah rumah yang didatanginya.

“Oh bukan Wan… ini dimana?”, tanyaku sedikit lega, setidaknya aku berpikir, meskipun Ilham memiliki masalah keluarga atau utang piutang dengan orang lain, mudah-mudahan itu tidak berpengaruh dengan pekerjaanku, karena memang Ilham kemarin tidak turun di rumah itu. Iwan pun menyebutkan alamat lengkap yang sedang dia kunjungi ini.

“Oh emang masih daerah situ, Wan… tapi bukan rumah ini, coba kamu jalan pake motor, aktifin terus kameranya… nanti Bapak arahin jalannya”, akupun kembali memberi perintah.

Setelah beberapa lama, melalui petunjuk arah dariku akhirnya Iwan sampai pada satu rumah dimana Ilham turun dari mobilku di saat aku mengantarnya pulang waktu itu.

“Stop Wan, masuk ke rumah itu… HP-nya sakuin dulu, tapi tetep di loudspeaker”, ucapku pada Iwan.

“Siap Pak!”, jawab Iwan cepat, dia memang pegawaiku yang paling loyal, dari awal aku membuka toko dia sudah bekerja denganku.

Betapa terkejutnya aku, setelah kudengar dari percakapan Iwan dengan penghuni rumah, kurang lebih seperti ini penjelasan dari penghuni rumah tersebut.

“Ilham cuma ngontrak kamar disini, cuma sebulan… tiga hari yang lalu pergi dari sini, kayanya sih ga balik lagi, barang-barangnya juga udah ga ada di kamarnya. Malahan kamarnya masih nunggak belom dibayar penuh”.

Kuakhiri telepon dengan Iwan, meskipun kini aku semakin panik, tapi aku harus tetap berpikir jernih dan bergerak cepat. Langsung kuhubungi teman kerjasamanya Ilham yang terakhir sebelum denganku. Kebetulan dia juga masih temanku.

“Halo, Om… ini Arief”, ucapku pada Yudi yang sering disapa dengan panggilan ‘Om’, walau umurnya tak beda jauh denganku.

“Iya Kang tau, kan disimpen nomornya hehehe”, jawab Yudi tertawa, sepertinya dia tidak mengerti dengan perasaanku saat ini yang sedang tegang.

“Om tau Ilham kan? Bener pernah kerjasama sama Om?”, tanyaku.

“Iya bener Kang…. hmmm Akang ada masalah sama dia?”, jawab Yudi dan balik bertanya. Seolah-olah dia sudah bisa menebak.

“Kenapa Om tau kalo Ilham ada masalah sama saya?”, balasku semakin penasaran.

“Ngga sih, nebak aja… mudah-mudahan salah… soalnya kalo sama saya sih bermasalah, dia bawa kabur uang ampir seratus juta, ga tau dia kemana… udah dicari-cari juga ga ketemu”, jawab Yudi hampir menghentikan detak jantungku. Dunia kini terasa gelap bagiku.

“Tapi saya denger kabar, waktu kerjasama sama Om, dia pernah kaya..”, aku mencoba mengkonfirmasi kebenaran kabar itu.

“Ah siapa bilang? Dia sendiri? Atau jangan-jangan cuma komplotannya aja yang nyebarin, biar orang-orang pada percaya”, Yudi membantah berita itu.

“Nah itu dia, saya lupa dari siapa dulu dapet info itu”, kataku mengakui kebodohanku yang percaya pada kabar burung.

“Lagian Akang ga nanya ke saya sebelumnya sih, kalo udah gini kan susah.. Akang ketipu berapa?”, Yudi seolah menyalahkan ketololanku. Ya, aku harus menerima itu. Aku memang benar-benar ceroboh telah ditipu mentah-mentah.

“Ya udah deh Om, saya nyari info dulu, mudah-mudahan orangnya masih sekitaran Jakarta, soalnya ngilangnya baru 3 hari yang lalu, kalo lewat telepon sih tadi malem masih komunikasi”, kataku mengakhiri pembicaraan tanpa menyebutkan nominal kerugianku, daripada ngobrol ngalor ngidul lebih baik aku cari Ilham dengan segera.

“Kalo orangnya ketemu, kasih tau saya ya…”, ucap Yudi yang juga sepertinya masih gregetan pada Ilham.

Sekarang aku menghubungi konveksi, aku lihat nomornya ada di kwitansi pembayaran DP yang tersimpan di dompetku. Telepon konveksi B tidak aktif, sementara konveksi A diangkat tapi dia mengatakan tidak tahu menahu tentang pekerjaan orderan ini. Meskipun aku telah mendesak bahwa kita pernah bertemu minggu lalu, akhirnya dia mengaktifkan kameranya melakukan video call, dan ternyata orangnya memang beda dengan orang yang kutemui saat itu. Aku meminta maaf dan menutup telepon.

Aku bergegas mengambil kunci mobil dan segera kupacu mobilku menuju lokasi pertemuan dengan 2 orang yang mengaku pemilik konveksi tempo hari. Aku yakin kalau ini aku akan bisa memergokinya.. minimal satu orang dulu yang tertangkap, karena pertemuan dilakukan di rumahnya, bahkan saat disana aku sempat melihat anak dan istrinya.

Cuaca dingin sehabis hujan seharusnya aku melanjutkan tidur karena kurang tidur, tapi sekarang aku malah harus melakukan perjalanan cukup jauh ke daerah Tangerang.

Memasuki tol Jakarta-Banten, aku selalu teringat pada Lidya… dia yang tidak pernah setuju pada pekerjaanku ini, betapa dia akan kecewa kalau mengetahui kabar ini. Kepada Vina aku justru semakin membencinya, seandainya aku tak mendengarkan saran dan perkataan yang menyemangatiku, bisa saja saat itu akhirnya kuturuti pendapat istriku… AAAAAAARRRGGGH!!!!

Ketika kulihat ke arah kiri, aku baru sadar kalau sandaran jok mobil masih dalam keadaan terbaring bekas perbuatanku dengan Vina kemarin, “ANJNGGGG!!!!!”, aku berteriak dengan sangat keras, mengutuk perbuatanku sendiri. Ingin sekali kukembalikan posisi sandarannya itu ke posisi normal agar setidaknya menghilangkan bayangan akan perbuatan kotorku kemarin, tapi mobil dalam keadaan melaju kencang.. terlalu beresiko jika aku melakukannya sekarang.

Pikiran tentang Lidya terus memenuhi otakku, aku telah mengkhianatinya dan kini aku telah mengecewakannya. Entah pikiran tentang Lidya itu dilakukan dalam lamunan atau dalam impian… yang pasti tiba-tiba aku sadar di depanku sudah ada mobil orang lain dengan jarak kurang lebih 1-2 meter dari mobilku. Beruntung aku masih bisa menghindarinya dengan membanting stir-ku ke arah kanan. Akan tetapi……

DAARRRRRRRRRRR

Aku dengar ledakan yang sangat keras, mungkin suara ban yang meledak pecah… yang pasti aku kehilangan kendali atas mobilku. Ban meledak ketika kondisi jalan licin sehabis hujan. Antara sadar dan tidak sadar, dalam hitungan sepersekian detik mobilku melayang berpindah jalur lalu terguling entah berapa kali. Meskipun mobilku bukan mobil yang terbilang mewah, tapi airbag masih berfungsi dengan baik dan langsung mengembang menopang kepalaku agar tak terbentur, walau tetap saja kurasakan ada benturan dari arah lainnya.

Aku membuka mata pelan-pelan, kondisi tubuhku kini terbalik, kepala ada di bawah. Sialnya, ternyata aku masih hidup…. mengapa aku masih hidup?!?!?!

Sampai aku dengar ada orang di luar yang mencoba mengeluarkanku, entah bagaimana caranya mereka melakukannya.. yang pasti pintuku kini berhasil terbuka. Ada beberapa orang yang mencoba membuka sabuk pengaman dan mencoba menarikku keluar.

Hujan kembali turun dengan cukup lebat. Saat beberapa orang masih mencoba bersusah payah mengeluarkan tubuhku dari dalam mobil. Tiba-tiba terdengar suara teriakan… “Api…. Apiiiii…”, “Jauhin…. Jauhin cepet, jangan deket-deket!!!”, beberapa orang yang sempat menolongku lalu menjauh dariku bahkan sepertinya mereka berlari.. mungkin api yang dimaksud orang-orang di luar itu memang berasal dari mobilku yang terguling ini.

Hanya ada satu orang yang tetap menolongku, akhirnya dia berhasil mengeluarkanku dan memapah menjauh dari mobil… setelah beberapa langkah aku menolak untuk dipapah, aku masih kuat untuk berjalan sendiri walaupun lutut ini masih gemetaran akibat peristiwa yang baru saja terjadi dan takkan kulupakan seumur hidupku.

Setelah sampai di pinggiran jalan tol, aku rasakan tubuhku lunglai dan memilih untuk duduk, kulihat mobilku terbakar hebat. Meskipun itu mobil cicilan dan akhir-akhir ini Lidya yang membayar, tapi itulah hartaku yang menurutku sangat berharga dan memiliki banyak kenangan bersama istriku, di kursi belakang juga ada laptop dan berkas-berkas toko-ku, kalau tidak salah juga ada uang hasil penjualan beberapa hari terakhir yang kusimpan di tas kerjaku. Uang tersebut belum sempat kusetorkan ke Bank atau kubayarkan pada supplier. Sepertinya semuanya sudah habis terbakar.

Melihat kondisi mobil yang hancur dan kini terlalap api, aku masih tak habis pikir mengapa aku selamat? Kondisi fisikku pun rasanya masih baik-baik saja, hanya ada rasa dingin di sekitar pipi kiriku, dan begitu kuraba dengan tanganku ternyata darah segar yang telah bercampur dengan derasnya hujan yang mengguyur tubuh penuh dosaku.

Sampai akhirnya ada sebuah mobil pribadi yang mendatangiku dan menawarkan untuk membawaku ke rumah sakit, akhirnya aku mengikutinya antara sadar dan tak sadar. Ternyata memang benar.. masih banyak orang baik di sekitar kita, diantara orang-orang brengsek yang ada. Dan orang brengsek itu salah satunya aku!!!​



Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.
You will be redirected to the script in

seconds

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com