๐‚๐ž๐ซ๐ข๐ญ๐š ๐“๐ž๐ง๐ญ๐š๐ง๐  ๐ˆ๐ฌ๐ญ๐ซ๐ข๐ค๐ฎ ๐๐š๐ซ๐ญ ๐Ÿ๐Ÿ• [๐๐ˆ๐‘๐“๐‡๐ƒ๐€๐˜ ๐๐€๐‘๐“๐˜]


Sudah 2 hari terakhir ini aku mengantar jemput istriku bekerja, seperti apa yang disarankan Vina.
Di kantor Lidya, aku tak pernah sekalipun melihat terparkir mobil sedan hitam mewah milik Koh Freddy. Mungkin benar apa yang dikatakan Vina, kalau Boss Besar itu memang hanya datang 2-3 kali dalam sebulan.

Ada raut bahagia dari istriku setelah aku menjemputnya di 2 hari ini, namun ia sepertinya belum menyadari kalau ini akan menjadi kegiatan rutinku… mungkin Lidya hanya menyangka kalau waktuku kebetulan sedang lengang saja, sehingga bisa menjemputnya di dua hari terakhir ini.

Setiap menjemput Lidya, tentu saja aku bertemu Vina. Dia memang selalu menumpang pulang bersama kami, dan aku kembali ke ‘setelan pabrik’…. kaku! Tapi kali ini bukan kaku yang natural seperti sikapku yang dulu, lebih ke berpura-pura untuk menjaga rahasia besar diantara kita di hadapan Lidya.

Bagaimana sikap Vina? Dia bersikap seperti Vina yang biasanya, riang, ceplas-ceplos, namun untungnya tetap menjaga rahasia kita. Walau tadi sore ucapan Vina di dalam mobil seperti sengaja ‘nyerempet’ pada peristiwa di malam kita bertemu. Ketika kita melewat Cafรฉ tempat pertemuan di malam itu, dia langsung membahas tentang enaknya makanan di Cafรฉ itu pada Lidya. Aku perhatikan Vina yang duduk di kusi belakang melalui kaca spion dengan rasa was-was. Vina menceritakan hal itu sambil cengengesan, lalu kami saling menatap melalui spion mobil itu. Aaah Vina…. selalu bikin deg-degan.

Hari Rabu ini Lidya tidak pergi ke gym seperti yang biasanya dilakukan rutin setiap pekan. Dia mengatakan bahwa masih kapok dengan pegal-pegal akibat nge-gym di hari Minggu kemarin, walaupun itu di tempat yang berbeda. Akhirnya karena Lidya tak ada kegiatan, sebelum pukul 6 sore kita sudah berada di rumah.

Setelah selesai memasak, Lidya menyajikan masakannya itu di meja makan, kemudian memanggilku untuk segera makan. Sementara dia masih melanjutkan tugasnya sebagai ibu rumah tangga yang baik, yaitu mencuci piring. Begitulah memang Lidya, menciumi harum masakan saat ia memasak sudah merasa kenyang, sehingga ketika masakan sudah siap, dia malah tidak makan.

Akupun menyantap makanan itu sendiri. Tentunya dengan nasi dan lauknya yang sudah diambilkan oleh Lidya di atas piring, begitu juga dengan air minumnya. Aku tinggal menikmatinya saja, oh.. sungguh baik sekali istriku ini.

Ketika aku makan, kita mengobrol ringan dan Lidya masih dengan kegiatan mencucinya itu. Jadi kita mengobrol dengan posisi saling membelakangi.

“oh ya Pah… hari Sabtu malam aku mau ke acara ulang tahun”, ucap Lidya seperti kebiasaannya di beberapa bulan terakhir ini. Hanya bermaksud memberikan pemberitahuan untuk pergi BUKAN meminta izin.

“Ulang tahun siapa, Mah?”, tanyaku sambil melahap nasi plus cah kangkung sea food buatan Lidya.

“Koh Freddy, bos kantorku”, jawab Lidya santai.

Mendengar nama itu aku langsung tersedak karena kaget. Aku langsung meneguk minuman di gelasku untuk mengatasi makanan yang sepertinya mendadak tak mau turun dari kerongkongan ini. Sepertinya Lidya tak menyadari dengan kepanikanku ini. Akupun berdiri dan berjalan ke arah dispenser yang ada di area dapur bersih untuk mengambil lagi air minum yang sudah habis kuteguk.

“Kenapa Pah, airnya kurang? Kenapa ga bilang aku?”, tanya Lidya sambil badannya berbalik ke arahku. Tak kujawab pertanyaan itu, dengan cepat aku menghabiskan lagi segelas air yang baru saja kutuangkan. Lidya pun kembali melanjutkan mencuci piringnya.

“Aku ikut….”, ucapku pada Lidya tegas.

Lidya langsung melihat lagi ke arahku, tapi kali ini ekspresi kaget di wajahnya sangat terlihat sekali. Bahkan ia langsung menghentikan keran air, seperti yang akan menghentikan kegiatan mencucinya. Padahal aku lihat di bak cuci masih ada beberapa peralatan dapur dan piring yang belum tercuci.

“Kenapa? Ga boleh?”, tanyaku dengan nada sinis.

Akupun pergi meninggalkan area dapur bersih itu… melewati Lidya yang masih mematung di depan tempat cuci piring. Aku langsung duduk di sofa depan TV. Kini rasa cemburu yang sempat hilang kembali muncul. Aku sudah tak berselera menyelesaikan makan malamku yang masih tersisa setengah piring. Sekelebat bayangan-bayangan tentang istriku dan si Freddy itu datang lagi dalam benakku.

Kemudian Lidya datang menghampiri dan duduk di sampingku, tampak matanya berkaca-kaca, kemudian memeluk tubuhku dengan erat. Aku kaget dengan apa yang Lidya lakukan ini, sungguh tak kumengerti. Tak lama kemudian aku dengar isakan tangis pelan dari mulutnya yang berada di samping belakang kepalaku.

Apakah Lidya tak mau aku ikut? agar tak terbongkar perselingkuhannya? Atau apakah tangisannya ini karena sekarang dia akan membuat pengakuan tentang perselingkuhannya? Hatiku berdebar-debar menantikan apa yang akan diucapkan Lidya di malam ini.

Lidya melepaskan pelukannya dan masih menatapku dengan mata yang sendu, masih tampak air mata keluar dari sudut matanya yang indah. “Beneran Papah mau ikut?”, tanya Lidya dengan tempo ucapannya yang lambat, suaranya pelan dan tampak cemas… seolah ingin memastikan kebenaran perkataanku tadi.

Aku mengangguk pelan tapi pasti, masih tanpa senyum…. dan sorot mataku kini memandang kedua matanya dengan tajam.

Lidya kembali memelukku erat, dengan posisi tangannya yang membelit tubuhku itu, kali ini dia gerak-gerakan tubuhku ke kanan dan ke kiri sehingga sofa yang kududuki ini sedikit bergeser.

“Paah…. udah lama aku nunggu moment ini, aku udah kangeeeen banget bisa jalan keluar lagi sama Papah….. makasih banyak ya Pah.. udah mau nemenin aku lagi”, ucap Lidya yang kini wajahnya menatapku kembali, sudah ada senyum yang indah tersungging disana.. meski sisa-sisa air mata masih membekas di kedua pipinya.

***

Pukul setengah tujuh malam di hari Sabtu aku sudah rapi dengan setelan batik berlengan panjang pilihan Lidya, yang dipadukan dengan celana kain berwarna hitam. Aku hampiri Lidya yang masih berdandan di meja riasnya. Kali ini Lidya berdandan sewajarnya, tak seperti yang ia lakukannya di hari Minggu kemarin. Namun tentu saja tetap cantik. Akupun merunduk tepat di belakang Lidya sambil merangkul pundaknya. Dari cermin itu tampak Lidya tersenyum cantik sekali, dan dalam hati aku bergumam, “ah lumayan lah…. ga terlalu malu-maluin jadi pasangannya Lidya”, sesaat setelah melihat penampilanku sendiri dari pantulan cermin yang bersanding dengan Lidya yang bagaikan bidadari.

Ya, aku memang sedang membangkitkan rasa percaya diriku sendiri, karena Lidya tidak mengomentari sama sekali tentang penampilanku malam ini yang kuanggap sudah keren maksimal.

Lidya sendiri saat itu mengenakan dress berwarna hitam panjang semata kaki, yang aku tak tahu kapan ia membelinya, dan seingatku dress ini baru kali ini dipakainya. Bagian dada atas ke leher, juga kedua lengan panjangnya berbahan brukat, memang diantara motif flora-nya membuat kulit di balik brukat ini masih bisa diterawang, tapi dress ini jauh lebih tertutup, sopan dan terkesan elegan dibandingkan dengan dress biru muda yang dipakai di hari Minggu kemarin yang cenderung sexy. Apakah pemilihan dress yang sopan ini dikarenakan karena aku ikut dengannya?

Tak lama kemudian Lidya bangkit dari kursi meja riasnya mengakhiri acara berdandannya. Setelah berdiri itulah aku baru sadar kalau ternyata dress ini memiliki belahan panjang di kakinya sampai hampir ke area paha. Jika kaki Lidya dilangkahkan tentu saja membuat kulit putih mulus kaki kanan hingga bagian bawah pahanya itu menjadi terbuka. Belum lagi dress ini ternyata begitu ketat di tubuh Lidya. Payudara, bokong dan setiap lekuk di tubuhnya itu menjadi tercetak menggairahkan.

“Gimana Pah?”, tanya Lidya sambil berlenggak lenggok di tempat seolah ingin dinilai penampilannya olehku.

“Ada yang lain ga?”, jawabku tegas, karena dress ini kuanggap akan membuat aku tidak nyaman selama berada di pesta ulang tahun.

Tidak ada raut kecewa di wajah Lidya, ia langsung menuruti perintahku untuk mengganti dress yang sudah rapi dikenakannya ini. Sambil melihat-lihat isi dalam lemarinya, Lidya berkata.. “yang mana ya Pah? Aku emang ga punya koleksi baju formal lain lagi sih….”, ucap Lidya seperti memintaku untuk membantu mencarikan model yang lain.

Akupun sempat menengok ke dalam lemarinya, dan memang tidak ada pakaian yang cocok untuk dikenakannya malam ini. Ah… memang salahku juga sih, sudah lama aku ga pernah membelikan dia baju!

Akhirnya aku putuskan untuk membiarkan Lidya tetap mengenakan dress ini, dan kami pun berangkat menuju acara ulang tahun sang Boss Besar yang disinyalir menyimpan hati pada istriku ini.

***

Sebuah ruangan ballroom Hotel mewah berbintang 5 yang disulap menjadi ruangan pesta glamour kini sudah ada di depan mataku. Ini adalah pesta termewah yang pernah aku datangi seumur hidupku.

Namun glamour-nya pesta ini seolah teralihkan sejenak begitu kami melangkah dari pintu masuk hingga ke tengah area, sepertinya seluruh mata memandang kepada Lidya yang berjalan anggun di sampingku. Tua, muda, laki, perempuan, tanpa kecuali memandang istriku ini mungkin dengan perasaan kagum, atau untuk para laki-laki mata keranjang bisa saja horny melihat istriku ini. Beberapa mata lelaki itu memang sempat tertangkap oleh sudut mataku sedang melirik dan menelanjangi seluruh lekuk tubuh Lidya dan tentu saja paha mulusnya yang terlihat setiap kali Lidya melangkah. Aku sebagai lelaki pencemburu tentunya merasa tak nyaman dengan keadaan ini.

Lidya menghentikan langkahnya dan melihat ke sekeliling area ruangan, seperti yang sedang mencari seseorang. Lidya kemudian bercerita kepadaku bahwa jajaran Direktur sampai level Manager dari berbagai divisi di tempat kerjanya diundang ke acara ini, hanya Lidya dengan jabatannya yang bukan Manager yang diundang ke acara ini. Maklum lah ‘anak emas’…. HUH!!!!!

Posisi Lidya berada satu tingkat di bawah Pak Ridwan yang menjabat sebagai Manager, sementara posisi Vina masih berada di bawah Lidya. Karier Lidya memang bisa dibilang cukup melesat walaupun ia bekerja di perusahaan itu kurang lebih baru 1,5 tahun, namun dengan kemampuan dan etos kerjanya yang sangat baik, meski tanpa harus menggunakan faktor ‘perasaan’ dari sang Big Boss pun…. sudah sepantasnya Lidya berada di posisi yang sekarang ia tempati. Dan aku pikir Koh Freddy memang tidak salah menjadikannya sebagai ‘anak emas’. Jika soal pekerjaan, aku benar-benar fair dan mengakui kehebatan istriku itu.

Aku mencoba beradaptasi dengan keadaan sekitar, mulai memperhatikan seluruh tamu undangan yang seluruhnya hadir berpakaian formal. Beberapa orang besar dan terkenal yang biasanya aku lihat di layar kaca tampak hadir berlalu lalang di acara ulang tahun Koh Freddy ini.

Tak lama kemudian aku dikagetkan setelah mendapatkan tepukan di punggung. Begitu kutengok ternyata Pak Ridwan yang datang bersama istrinya. Kami pun bersalaman, kali ini aku bisa bersikap ramah kepadanya, sudah kubuang kecurigaanku selama ini pada Pak Ridwan. Dengan setengah tertawa Pak Ridwan berkata, “kita kena prank pas ke Hotel V, ya….. hahahhahaha”, ujar Pak Ridwan sok akrab mengawali percakapan sambil menepuk punggungku berulang kali.

Aku yang sebenarnya sudah tahu tentang hal itu dari Vina berpura-pura tak mengerti dengan apa yang dimaksud Pak Ridwan, sampai akhirnya Lidya berkata, “Ya ampuuun aku lupa mau nyeritain soal itu ke Papah… ngeselin banget tau, Pah…”, ujar Lidya yang diakhiri dengan ekspresi kesal, tapi justru makin terlihat cantik di mataku.

Ketika mereka membahas dan mengingat tentang kejadian konyol di Hotel V dengan penuh tawa, tampak pasangan yang sepertinya suami istri mendekat ke arah kami berdiri.

Sang lelaki itu pernah aku lihat sebelumnya, ya benar…. si Mr. X!!! Dialah laki-laki yang sempat kulihat berfoto bersama Lidya di postingan sosmednya di suatu acara pernikahan.

“Itu Koh Freddy, Lid….”, ujar Pak Ridwan pada Lidya sambil menunjuk Mr. X. Lidya memang belum menyadari pada sosok yang sedang mendekat itu, karena posisi Lidya memang sedang menghadap ke arah yang lain.

Aku memang sudah menduga dari sebelumnya bahwa si Mr. X itu adalah Koh Freddy. Namun yang membuat aku kaget, aku yang sempat menebak dari foto jika usianya kira-kira seumuran denganku, yaitu 32 tahun-an, namun tadi sempat aku baca dari beberapa karangan bunga ucapan selamat yang memenuhi halaman hotel, tertulis ini perayaan ulang tahun yang ke-40 tahun. Benar-benar awet muda lelaki ini.

Setelah melihat aslinya… sepertinya aku pun salah lagi, ternyata posturnya jauh lebih besar dan atletis daripada yang kulihat di foto. Jika tamu undangan kompak menggunakan setelan formal, Koh Freddy sebagai pemilik acara justru cuek hanya tampil dengan kemeja putih polos dan celana pendek!!! Orang kaya mah bebas.

Setelah Koh Freddy mendatangi posisi kami, Lidya langsung memberikan ucapan selamat, saat bersalaman itu aku lihat dari lengan kanan Koh Freddy yang berotot itu tampak seperti tattoo naga yang setengah gambarnya tertutup oleh lengan kemeja putihnya.

“Kenalin Lid, ini istriku…. Ci Lani”, ucap Koh Freddy pada Lidya mengenalkan perempuan di sampingnya. Aku yang sempat akan menyalami Koh Freddy untuk memberikan ucapan selamat menjadi tertunda karena terhalang oleh tubuh Lidya yang maju untuk menyalami Ci Lani.

Sepertinya Ci Lani ini orangnya ramah dan sangat welcome, saat bersalaman dengan Lidya ia langsung memberikan ciuman pipi kanan dan kiri. Akupun melihat sekilas jika sepertinya Lidya tak menyangka dengan sikap Ci Lani yang humble itu, Lidya tampak kikuk ketika melakukan hal itu.

Jika melihat wajahnya, sepertinya usia Ci Lani jauh lebih tua daripada Koh Freddy… tapi entahlah mungkin aku salah. Akupun menilai jika secara fisik, Lidya memang jauh lebih unggul segalanya dibandingkan dengan Ci Lani, pantas saja jika Koh Freddy jadi menyukai istriku ini.

Setelah bersalaman dengan Lidya, Ci Lani masih dengan sikapnya yang sangat ramah kemudian menyapa dan menyalamiku. Setelah itu aku baru sempat menyalami dan mengucapkan selamat ulang tahun pada Koh Freddy. Aku yang berusaha untuk ramah pada lelaki itu dibuat menjadi gondok setengah mati, di awal bersalaman Koh Freddy dengan anggukan kecil hanya sesaat memandangkan wajahnya yang tanpa senyum itu kepadaku, dengan posisi masih bersalaman denganku, pandangannya sudah kembali ke arah Lidya sambil berkata “kamu udah makan, Lid?”, tanyanya ramah sambil melepaskan tanganku tanpa menoleh lagi.

Anjg!!! Aku benar-benar merasa tak dihargai. Bukan hanya tak dihargai sebagai suami Lidya, bahkan sikapnya itu seolah tak menghargaiku sebagai tamu undangan. Kesan pertamaku tentang Koh Freddy adalah….. angkuh!!!

Namun kekesalanku pada sosok Koh Freddy itu tersela oleh tangan Ci Lani yang menepuk dua kali lenganku, “Silahkan Pak…. ayo Lid…. makan dulu, semoga hidangannya kalian suka yah”, ujar Ci Lani yang begitu sopan, sangat berbeda dengan suaminya itu. Ci Lani mau menyapaku dengan sebutan ‘Pak’. Kemudian ia mempersilahkan aku dan Lidya untuk segera menikmati beragam sajian makanan yang super mewah di pesta yang bagiku mulai menjengkelkan.

Aku tinggalkan mereka, Pak Ridwan dan istrinya masih sempat berbincang sesaat dengan Koh Freddy. Sampai akhirnya pasangan konglomerat itupun kemudian bergerak untuk menyalami tamu undangan yang lain.

Dengan menu makanan baik lokal maupun internasional, yang hampir seluruhnya mengundang selera, ditambah dengan perut lapar yang sengaja tak kuisi sejak dari rumah, seharusnya aku bisa memanfaatkan kesempatan mencicipi sepuasnya hidangan mewah yang belum tentu aku jumpai lagi ini. Tapi hatiku berkata lain, aku sudah benar-benar kesal dengan keadaan ini. Aku biarkan Lidya mengambil makanan apapun yang dia mau, aku hanya memakan puding buah yang sepertinya di undangan Pak RT juga ini mah ada. Tapi ya begitulah, lapar tapi gengsi, ini soal harga diri bung!!

Lidya pun sepertinya heran dengan sikapku yang seperti tak berselera ini, dia sempat mau mengambilkan makanan untukku tapi aku tolak. Walaupun aku kesal hanya pada Koh Freddy, tapi entah mengapa melihat Lidya pun sekarang aku menjadi gusar, meskipun kegusaran ini tak diungkapkan dengan kata-kata.

Tapi jika dipikir-pikir, pada saat tadi berjumpa, sebenarnya aku terus memperhatikan sikap dari Lidya kepada Koh Freddy ataupun sebaliknya, mereka tidak menampakkan sesuatu yang mencurigakan, walau Koh Freddy memang bersikap lebih ramah dan perhatian kepada Lidya dibandingkan pada Pak Ridwan, namun semuanya masih dalam tahap wajar.

Setelah kurang lebih 30 menit…. kami, atau lebih tepatnya Lidya saja, sudah menikmati beberapa hidangan. Saat Lidya masih menyisakan beberapa suapan Crรจme Brulee-nya. Tampak Koh Freddy dan Ci Lani mendatangi kami kembali. Sepertinya memang ada yang special dari perasaan Koh Freddy kepada Lidya, dari sekian banyak tamu undangan, mengapa Koh Freddy kembali mendatangi kami lagi? Atau ini hanya perasaanku saja?

Kemudian Koh Freddy, Ci Lani, dan Lidya asyik berbincang dengan topik-topik yang ringan, aku yang berdiri tepat di samping Lidya hanya menyimak saja, tak ikut nimbrung pembicaraan mereka. Koh Freddy masih juga bersikap sama…. tak sekalipun menatapku, pandangannya saat mengobrol itu terus saja tertuju pada Lidya, aku yang semakin kesal sedikit terhibur karena Ci Lani yang sesekali masih mau memandangku, sebuah tanda bahwa Ci Lani masih menganggapku ada bersama mereka.

Di sela-sela perbincangan mereka, Lidya berbisik kepadaku bahwa dia ingin ice cream, sambil menunjuk ke arah salah satu stand, rupanya dia ingin aku yang ambilkan karena Lidya masih mengobrol dengan Koh Freddy dan Ci Lani.

Sebenarnya aku tak mau meninggalkan Lidya, tapi aku juga sebenarnya sudah jenuh menjadi ‘patung’ disitu. Meski sempat ada rasa khawatir saat meninggalkan Lidya, tapi aku memantapkan diri karena beranggapan sepertinya aman-aman saja, diantara mereka masih ada Ci Lani. Akhirnya aku beranjak untuk mengambilkan ice cream untuk Lidya.

Sialnya stand yang ditunjukan Lidya ini penuh dengan tamu undangan yang juga mengantri ingin mendapatkan ice cream. Sebenarnya ada beberapa stand ice cream lain yang disediakan, tapi letaknya jauh, dan aku tak ingin meninggalkan Lidya terlalu jauh. Aku rela untuk mengantri disini, daripada ikut berbincang bersama mereka, disana aku seolah salah tingkah tak tahu apa yang harus dilakukan. Jarak aku berdiri dengan mereka sekitar 10 meter, masih cukup jelas melihat setiap gerak-gerik mereka.

Antrian tak juga maju, ditambah kekacauan oleh anak-anak yang menyela antrian sehingga makin memperlambat aku untuk mencapai meja stand. Pada saat itulah aku melihat Ci Lani melambaikan tangan ke arah sekumpulan tamu undangan perempuan, lalu kemudian menghampirinya, Ci Lani pun meninggalkan Koh Freddy dan Lidya…. berduaan.​

BERSAMBUNG 



Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.
You will be redirected to the script in

seconds

BTemplates.com

POP ADS

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com