๐‚๐ž๐ซ๐ข๐ญ๐š ๐“๐ž๐ง๐ญ๐š๐ง๐  ๐ˆ๐ฌ๐ญ๐ซ๐ข๐ค๐ฎ ๐๐€๐‘๐“ ๐Ÿ๐Ÿ– [ ๐Š๐„๐๐€๐๐€ ๐†๐ˆ๐๐ˆ ๐‹๐€๐†๐ˆ❓ (๐›) ]​


POV LIDYA TENTANG NANDO AGAIN
Akhirnya sekitar pukul 7 malam, aku sampai di Rumah Sakit. Bang Fer ikut turun, itu membuatku kaget.

“Abang, ikut jenguk?”, tanyaku dengan sangat khawatir kalau dia ikut masuk.

“Ngga, Abang jagain di depan biar kamu ga kabur.. jangan bilang suamimu kalo ada aku disini, jangan lapor juga… jangan macem-macem!!”, jawab Bang Fer sambil memakaikan Hoodie dan menudungkan kepalanya dengan tudung jaketnya itu. Sepertinya ia tidak ingin dikenali, kalau-kalau ada teman suamiku disini yang mengenalnya. Tapi itu dugaanku saja.

Setelah aku berada di ruangan rawat suamiku, aku terus menerus menangis. Kondisi cedera fisiknya memang tak mengkhawatirkanku, hanya demam dan tensi darahnya memang cukup tinggi. Yang lebih aku tangisi adalah hidupku sendiri, yang kini sedang dalam ancaman, ditambah lagi aku harus berbohong kepada suamiku tentang rencanaku menungguinya hanya sampai Subuh, karena tak diizinkan oleh Panitia Pelatihan sebab besok bakal ada test. Suamiku pasti kecewa padaku, karena aku lebih mengutamakan pekerjaan dibandingkan dengan dirinya.

Seolah-olah di saat itu aku menumpang nangis dengan memanfaatkan kondisi suamiku, aku terus memeluknya, rindu pelukannya…. ingin sekali dia menolongku di saat kondisiku seperti ini, tapi bagaimana caranya? Apakah aku harus bicara malam ini tentang apa yang kualami? Di saat suamiku sakit, saat suamiku baru mengalami kecelakaan, saat suamiku mentalnya ambruk pasca tertipu usahanya? Aku tak sampai hati, lagipula aku tak punya keberanian untuk mengutarakannya, apalagi tadi sempat diancam juga untuk tak melaporkan apapun.

Setelah sekitar 2 jam aku menemaninya, akhirnya dengan perasaan was-was aku utarakan kebohongan mengenai harus test besok pagi. Di luar dugaan, suamiku yang sangat aku cintai karena kebaikannya ini ternyata tidak mempermasalahkan jika aku harus masuk Pelatihan besok, bahkan dia menyuruhku untuk pulang sekarang juga ke Wisma, dia khawatir terlalu malam. Lalu dia juga memberi alasan bahwa aku harus fit untuk persiapan besok test, karena tidur di Rumah Sakit tak ada tempat yang nyaman untukku ditambah lagi dia mengatakan kalau dia sudah ada yang menjaga, yaitu Iwan… pegawainya.

Alasan suamiku itu sangat bagus andai saja besok aku benar-benar melaksanakan test… padahal kan sebenarnya tidak!!!! Aku tidak mau pulang, lebih baik aku menunggu disini sampai Subuh daripada harus melayani lagi nafsu bejat Bang Fer di malam ini.

Jantungku rasanya mau copot ketika suamiku bertanya aku kesini pakai apa? Aku langsung berpikir cepat dengan memberinya alasan bahwa aku diantar sopir kantor yang kini menungguku di parkiran, dan aku berpura-pura akan meneleponnya untuk menyuruhnya pulang dan Subuh kembali lagi.

Lagi-lagi suamiku melarangku dan dia tetap bersikukuh agar aku pulang saja. Akhirnya aku menyerah, aku tak memiliki alasan yang cukup untuk membantahnya, otakku sedang mandeg.

Aku kembali menangis sambil memeluk suamiku sambil menciumi pipinya berulang kali. Aku sangat berat meninggalkan suamiku ini, rasa berat ini tentu saja berkaitan dengan nasibku di malam ini.

Akhirnya aku keluar dari ruangan rawat suamiku dengan langkah yang enggan.. Tapi, aku sudah punya ide yang cukup cemerlang walaupun aku takut dan tak yakin rencanaku ini akan berhasil atau tidak.

Saat tadi aku datang berjalan menuju ruang rawat inap… aku melihat tulisan petunjuk arah EXIT yang berbeda dengan jalan masukku. Aku akan keluar lewat jalan itu dan aku akan menginap di rumah saja karena kebetulan aku selalu membawa kunci cadangan. Aku tak bermaksud untuk kabur, hanya ingin menyelamatkan diriku saja semalam ini, dan Subuh aku akan datang lagi ke Rumah Sakit.

Setelah menyusuri lorong rumah sakit menuju pintu keluar alternatif, tiba-tiba dari arah belakang kudengar suara lelaki memanggil.

“Mau kemana?”, tanyanya.

DEGGGGGGG

Oh tidak. Rencanaku gagal…. aku ketahuan oleh Bang Fer!!! Ini bisa jadi petaka besar, dia pasti akan marah besar dengan sikap pembangkanganku ini. Aku membalikkan badan dan ternyata…. oh Satpam Rumah Sakit yang ternyata menyapaku tadi.

“Mau kemana, Mbak? Keluar lewat pintu utama…. Jalan sini jam segini udah ditutup”, ujar Satpam itu ramah, menebak dengan benar kalau aku memang akan keluar lewat jalur ini.

Aku hanya mengangguk dan kembali berbalik arah, aku tak tahu dengan apa yang harus aku rasakan. Apakah harus senang karena rencanaku tadi tidak jadi diketahui oleh Bang Fer atau harus sedih karena aku harus bersama Bang Fer malam ini?

Ketika sampai ke lobby Rumah Sakit, aku langsung disambut oleh Bang Fer yang menatapku dengan wajah terheran-heran.

“Mau kemana?”, tanya Bang Fer kebingungan. Aku terus melangkahkan kaki ke luar pintu Rumah Sakit.

“Pulang ke Wisma…”, jawabku singkat. Aku sudah pasrah dengan apa yang terjadi padaku malam ini.

“Koq bisa?”, tanya dia lagi masih tak mengerti.

“Suamiku nyuruh pulang, daripada pulang Subuh.. kasihan katanya… di ruangan juga lagian ga ada tempat”, jawabku. Dan Bang Fer pun tersenyum jahat.

***​

Aku sudah berada di dalam mobil bersama Bang Fer, tapi aku cukup heran karena kini mobil melaju tidak menuju ke arah Puncak.

“Kemana ini Bang?”, kali ini giliranku yang bingung. Tapi Bang Fer tidak menjawab apapun.

Sampai akhirnya aku sadar bahwa mobil ini menuju ke arah daerah rumahku. Tapi aku tak mau menduga-duga. Aku terus memperhatikan jalan dengan serius dan bingung mau dibawa kemana aku ini? Benar dugaanku, aku dibawa ke rumahku sendiri. Mobilnya diparkirkan di garasi, tempat mobilku yang biasanya terparkir.

“Bang… jangan ke rumah, pulang aja ke Wisma”, ucapku masih di dalam mobil, aku tak ingin rumah yang penuh kenangan, sebagai tempatku dan suami menjalani kehidupan bersama menjadi saksi perbuatan biadabnya itu.

“Jauh… capek”, jawab Bang Fer, simple. Aku masih diam, tak mau turun dari mobilnya, mataku mulai berkaca-kaca.

“Jadi mau di Hotel aja?”, tanya Bang Fer. Mendengar kata Hotel koq rasanya membuat tubuhku merinding, kesannya pasangan mesum yang hendak berselingkuh. Aaaaah serba salah!!! Akhirnya aku turun dari mobil.

Ketika baru saja aku tutup pintu, baru juga selangkah ketika kami memasuki rumah, kulihat Bang Fer berubah menjadi sosok yang dipenuhi amarah. Aku langsung dicekik dengan matanya yang melotot.

"Bang…. ja..ngan…….", ucapku berkata gemetar dan mencoba mengatur nafasku yang hampir tertahan karena tangannya begitu kuat mencengkram leherku. Aku ketakutan, sangat-sangat ketakutan, tangisku kembali meraung. Tapi seperti biasanya, ia tak pernah peduli dengan tangisanku.

Dia lepaskan tangannya dari leherku, kemudian menyuruhku untuk bersimpuh dan menciumi kakinya, aku pun menurutinya. Tak berapa lama, dia seret tubuhku di lantai dengan kasar, mulai dari ruang tamu hingga ke tengah rumah.

“Dasar perempuan munafik!… Malam ini kamu harus nurutin apa kata Abang… kamu jadi lonte aku malam ini… NGERTI?!?!?!?!”, teriaknya yang sudah menganggap aku ini sebagai seorang pelacur, bahkan lebih dari itu… seolah aku adalah seonggok tubuh yang tak dia hargai sama sekali.

Sekarang dia duduk di sofa sambil membuka seluruh celananya. Penisnya sudah tegak berdiri seperti yang bahagia dengan keadaan ini. Aku masih tak percaya dengan perubahan sikapnya yang sekarang tampak mengerikan, aku hanya menunduk sambil menangis. Sampai dia dongakkan kepalaku dengan kasar sambil menjambak rambutku lagi…. Jambakannya sekarang lebih keras dibandingkan dengan yang dia lakukan saat tadi di dalam mobil. Rambutku bisa rontok kalau begini terus caranya.

“Kamu harus nurutin apa kata Abang malam ini… NGERTI GA…. JAWAB!!!”, Bang Fer membentak karena aku tidak menjawab, bukan aku tidak mau menjawab, tapi aku lupa dan tak ingat dengan apa yang tadi dia katakan.. pikiranku blank.

Wajahku terdongak ke atas, kudengar nafasnya semakin memburu. Dia sempat lepaskan jambakannya, sedangkan aku sambil menangis antara sakit dan ketakutan akhirnya aku anggukan kepalaku pelan.

Langsung dia seret kepalaku sambil menjambak lagi rambutku, tubuhku bergerak dengan cara merangkak menuju arah batang kemaluannya lagi.

“Isep kontolku Anjng, cepet!!! Kasih yang enak, jangan kaya tadi di mobil!!!!”, perintahnya dengan bahasa kasar dan vulgar yang sudah semakin tak terkontrol.

Karena melihatku tak juga menghisap penisnya, ia menampar pipiku dengan keras.

PLAAAAAK!!!

"Iy,...ya..", ucapku sambil terus menangis. Langsung kuhisap lagi penisnya, kali ini aku melakukannya dengan benar agar dia tidak lagi marah, aku sudah tak tahan dengan segala perlakuannya.

“Oouuugh Dya…. Anjng kecil Abang!!!! Sssshhh bener gitu, enak Sayang”, ucapnya sepertinya menikmati hisapanku. Aku merasa lega, harapanku dia tidak akan marah lagi. Namun belum sampai satu menit, dia mengeluarkan penisnya dari mulutnya.

“Telanjang!!! Buka bajumu….”, ucapnya.

Aku terdiam, sampai kemudian dia membentakku lagi… akhirnya dengan tangan gemetar aku membuka satu persatu pakaianku hingga aku benar-benar telanjang.

Dia langsung meremas payudaraku dengan kasar. Semakin aku menjerit kesakitan tampaknya dia semakin senang dan bertambah keras remasannya.

“Saakit Bang… ampuuun….”, ucapku begitu menerima remasannya yang sangat tak manusiawi ini.

Kemudian ia hisap payudaraku bahkan menggigitinya, masih juga dengan cara yang kasar… ah mungkin ini akan meninggalkan bekas merah di tubuhku.

Setelah puas ‘menyiksa’ payudaraku, dia membopong tubuhku masuk ke dalam kamar dan dia hempaskan tubuhku di atas ranjang, seperti melemparkan barang saja. Ranjang yang suci karena pernikahan kini menjadi saksi kebiadaban Bang Fer.

“Jangan Bang… jangan disini…!!!”, isakku semakin keras, aku mencoba mempertahankan kesucian tempat ini, tempat yang seharusnya kugunakan hanya dengan suamiku.

Bang Fer keluar kamar tanpa berbicara apapun, aku bingung dengan apa yang akan dilakukannya, apakah aku harus mengikutinya, apakah dia menuruti permintaanku untuk tak melakukannya di kamar ini, atau bagaimana? Takut, serba salah dengan apa yang harus kulakukan.

Belum juga terjawab rasa kepenasarananku, Bang Fer datang lagi membawa pisau dapur, astaga… aku langsung mengiba.. “Ampun Bang… Ampuuun.. jangan Bang”, ucapku sambil menangis.

“Kan Abang udah bilang kamu jangan ngebantah, harus nurut maunya Abang malam ini, KAMU GA DENGER!!!!”, ucapnya, kini dia duduk di tepi kasur.. pisau itu diarahkan ke telinga kiriku dan mengetuk-ketukan sisi pisau, kurasakan dinginnya logam itu di telingaku. Aku memejamkan mata… sudah benar-benar pasrah.

“JAWAB!!! DENGER GA?!?!?!?!”, bentaknya sekali lagi.

“I..iya Bang.. maaf… a..aku nurut… ap..pa kata Abang”, jawabku sambil terbata-bata campur isakan tangisku.

CUUUUIIH!!!

Tiba-tiba dia meludahi wajahku…. Kemudian dia mulai memasukkan penisnya ke vaginaku. Dia menggenjot vaginaku tanpa ampun dan sangat kasar sekali gerakannya. Untungnya itu tak berlangsung lama karena dia langsung ambruk setelah penisnya mengeluarkan spermanya di dalam vaginaku. Entah karena nafsu atau apa, yang pasti itu tak seperti Bang Fer yang dulu aku tahu. Memang dibandingkan dengan suamiku, Bang Fer ini lebih cepat keluarnya.. mungkin hanya sekitar 7-10 menit. Tapi yang barusan itu mungkin kurang dari 5 menit.

Aku menghela nafas panjang, permainan ini telah berakhir, tapi malam ini masih panjang….. oh tidak!! Aku sudah tak kuat lagi. Kulihat Bang Fer matanya terpejam dengan tangan yang memeluk tubuhku erat seolah tidak memberikan kesempatan bagiku untuk kabur, bahkan bergerak sedikitpun aku tak bisa. Tapi syukurlah, sepertinya dia sangat kelelahan, mungkin karena telah menyetubuhiku, atau perjalanan panjang, atau bisa juga karena emosinya yang meledak-ledak… semoga saja dia tertidur.

Ya, malam itu dia tertidur pada akhirnya. Aku sendiri entah tidur atau tidak, kalaupun tidur mungkin hanya sekejap saja karena selalu terbayang perlakuan buruk yang baru saja aku alami, yang terus menghantui pikiranku sepanjang malam dan mungkin meresap ke alam mimpiku. Belum lagi setiap gerakan dari dia, sekecil apapun membuat aku tegang dan berpikiran buruk.. aku selalu waspada sepanjang malam walau sebenarnya aku pun sudah sangat lelah sekali.


PELATIHAN HARI KE-4 TAPI BOHONG​

Hari Kamis pagi sekitar pukul setengah delapan, begitu bangun dia sudah langsung meminta makan dengan cara membentak.. dia pun tetap tak memperbolehkan aku memakai pakaian… ternyata dia masih juga marah-marah tak jelas.

Bang Fer memakan mie instan seduh dengan lahap, itu sebenarnya aku siapkan untuk suamiku kalau-kalau dia lapar dan tak ada makanan selama aku Pelatihan. Huh! Kini justru malah dia yang memakannya… untungnya dia masih memberiku kesempatan untuk makan juga. Aku baru sadar kalau terakhir aku makan adalah kemarin siang di Wisma saat istirahat!

Selama makan, kulihat wajah Bang Fer seperti normal, apakah dia sudah tidak akan marah lagi? Aku mengambil kesempatan ini dengan meminta izin untuk menelepon pada suamiku. Aku ingin menanyakan kondisinya, sekalian untuk berbohong dengan memberitahukan kalau aku sudah di Wisma.. karena semalam aku tak sempat memberi kabar, takut dia cemas.

“Bang, boleh saya telepon suamiku sebentar… cuma nanya kondisinya aja”, pintaku hati-hati, khawatir ini menjadi sumber kemarahannya kembali.

“1 menit..”, jawabnya tenang dan singkat.

Aku menarik nafas lega mendengar jawabannya. Aku langsung menelepon suamiku, aku meminta maaf karena baru menelepon dengan alasan terlambat bangun. Suamiku sempat mengajakku untuk video call, tapi aku tolak… bagaimana mungkin aku video call sedangkan aku berada di rumah? Aku bilang buru-buru karena harus segera masuk kelas. Setelah kutanyakan kondisi kesehatannya, belum ada yang berubah… dia masih demam. Aku mulai cemas, sudah kubilang… seharusnya aku ada disana!!! Aku juga bilang bahwa aku tidak akan mematikan ponselku meskipun sedang berada di Kelas, aku bilang khawatir kalau dia ada apa-apa.

Tiba-tiba aku melihat Bang Fer bangkit dari kursinya dan menimbulkan suara yang membuatku panik, aku pun mengakhiri telepon dengan terburu-buru.

Yang kuharapkan hari ini aku sudah terbebas dari kemarahannya, ternyata harapanku meleset. Selepas makan aku kembali menjadi budak seks-nya. Tetap dengan perlakuan kasar bahkan beberapa kali ia mengancamku dengan pisau, kurang lebih sama dengan kemarin malam... hanya di hari ini pisau itu terkadang diancamkan ke leherku!

Belum lagi caci makinya yang terdengar memekakan telinga, kotor, jorok!!! Aku tidak tahan lagi, bahkan air mataku sudah mengering pada akhirnya karena terus menerus menangis. Sampai pukul 1 siang, dia telah menyemprotkan spermanya ke dalam vaginaku sebanyak 2 kali lagi, dan 1 kali lagi dia keluarkan di pantatku… setelah ia menyetubuhiku melalui dubur. Ya, liang dubur…. Itu rasanya menyakitkan!!!! Kini rasanya aku telah menjadi wanita yang benar-benar kotor….

Sekitar pukul 1 siang, ada telepon masuk ke Bang Fer, sepertinya ada urusan penting yang harus segera dia datangi.. kalau tidak salah dengar sih dari Kakaknya yang berada di Bogor, terus bicara masalah warisan Opung gitu, entahlah aku tidak mengerti, apapun urusannya aku tak peduli, yang penting penderitaanku hari ini berakhir. Aku pun jadi menduga, mungkin selama Pelatihanku, dia menginap di rumah Kakaknya yang di Bogor ini agar dia dekat denganku.

Di perjalanan pulang pun dia hanya diam, sepertinya memang tak sempat untuk berbuat kasar lagi karena terburu-buru, terlihat dari cara dia mengemudikan mobil yang ugal-ugalan. Lebih baik dibawa ugal-ugalan dalam kendaraan daripada harus menerima siksaannya lagi, yang aku inginkan sekarang adalah memang ingin segera sampai di Wisma.

“Kamu istirahat, besok Abang datang lagi..”, ucapnya ketika mobil berhenti di depan teras lobby Wisma.

Aku tak menjawab dan langsung keluar mobilnya. Aku berlari menuju kamar. Saat masuk gedung Wisma tampak sepi, sepertinya peserta Pelatihan masih berada di ruang kelasnya, tapi aku langsung masuk kamar, aku ingin mandi.. ingin istirahat.. ingin menenangkan pikiran.

Di sudut kamar aku menangis lagi, mengingat hal yang telah terjadi. Aku benci Bang Fer…. Benci-sebenci-bencinya. Dia telah memperkosaku, melecehkanku, menghinaku, mencaciku, mengancamku… tapi…… aku mulai paham dan yakin jika yang dilakukannya padaku hanyalah sebuah pembalasan dendam pribadi. Apa yang menimpa dirinya oleh Abah di waktu lalu, akan dilampaskan kepadaku, tapi sampai sejauh mana? sampai kapan? Apakah dia tega?

Aku melihat di diri Bang Fer, dibalik perbuatan jahatnya kepadaku, sepertinya masih ada sisa-sisa rasa sayangnya kepadaku, buktinya dia masih membiarkanku mengikuti Pelatihan, dia juga masih mau mengantarku ke RS, jika dia benar-benar jahat.. bisa saja dia menculikku, menyekapku, disiksa di tempat tertentu sampai benar-benar membuat nasibku seperti dia… tapi tidak. Dia terkadang masih berbicara normal kepadaku, dia juga tidak mau mengaitkan utang suamiku kepadaku.

Sepertinya dia dendam hanya kepadaku saja, hanya untuk kaitan masa lalu kita saja. Tidak membenci suamiku.. buktinya saat dia sudah tahu kalau aku istri Kang Arief, dia tetap berteman dengan suamiku, memberi pinjaman modal usaha untuknya, bahkan kini setelah suamiku tertimpa musibah penipuan pun dia sepertinya masih belum menagih kepada suamiku, setidaknya aku tak mendapatkan cerita penagihan Bang Fer dari mulut suamiku, tapi entahlah.

Lalu apakah sekarang aku harus membenci dia? Membiarkan dendam terus berlanjut… Sekarang jika aku yang dendam, lalu mewariskannya pada suamiku atau kelak pada anakku, lalu anakku membalaskan dendam ibunya pada anak Bang Fer… haruskah terus seperti itu? Mau sampai kapan?

Di malam hari, meskipun tadi sore aku telah merenung dari kejadian yang menimpaku.. sebenarnya telah membuatku menjadi lebih tenang dan lebih bisa menerima, tapi rasa takut pada Bang Fer masih saja menghantui, bagaimana jika tiba-tiba malam ini dia datang kembali? sekalipun tadi bilangnya tak akan datang malam ini. Apakah aku harus menginap di tetangga kamarku? Sayangnya aku tak terlalu dekat, beginilah orang yang sulit dekat dengan orang lain, giliran sedang ada masalah.. hanya menghadapinya seorang diri.

Akhirnya aku mengajak suamiku untuk video call, lama sekali… aku terus meminta suamiku untuk tak menutup teleponnya, walaupun sepertinya tidak akan pengaruh kalau tiba-tiba Bang Fer datang.. tapi tak mengapa, pokoknya aku ingin ada yang menemani daripada aku berpikiran atau membayangkan hal yang mengerikan. Bahkan sampai aku tertidur hubungan telepon tak kumatikan.
PELATIHAN HARI KE-5 ​

Meskipun aku sedang mengalami musibah yang beruntun, juga menjadi korban perkosaan, tapi aku usahakan untuk tetap fokus saat berada di ruang kelas. Ya, sekarang aku harus benar-benar mengejar karierku, keadaan ekonomi suamiku sepertinya semakin sulit kedepannya. Jadi aku harus menjadi tulang punggung keluarga untuk sementara waktu, aku tidak mempermasalahkan itu, aku ikhlas demi suamiku.

Pada saat istirahat aku kembali video call suamiku, saat kemarin malam dan tadi pagi ada yang lupa kuceritakan padanya. Tentang kepulanganku besok, yang seperti kemarin hanya bisa menemani sampai Subuh, karena hari Minggu harus mengikuti ujian tahap akhir. Aku juga menceritakan kalau aku lolos terpilih menjadi salah satu peserta test, yang berarti selangkah lagi aku benar-benar menjadi Manager. Ditambah dengan informasi yang baru saja aku terima di ruang kelas kalau waktu akhir Pelatihan dimajukan menjadi Selasa… aku bisa pulang lebih cepat!

Tapi sayangnya justru suamiku memintaku untuk tidak pulang, daripada bolak balik, begitu katanya. Dia juga khawatir kesehatanku terganggu sedangkan aku harus mengikuti test. Rupanya suamiku kali ini mendukung sekali dengan pekerjaanku, dia menyadari kalau pekerjaanku sangat penting bagi kelangsungan keluarga kita yang sedang dalam masalah berat. Tapi kalau aku tidak pulang, bagaimana nasibku lagi????

Sekitar pukul 2 siang, saat aku berada di ruang kelas, ponselku menerima chat dari Bang Fer, dia memintaku untuk keluar kelas. Memang selama suamiku di Rumah Sakit, ponselku kubiarkan dalam keadaan aktif. Katanya ada yang ingin dibicarakan. Jelas saja aku kembali ketakutan dan enggan untuk keluar, tapi kali ini dia menelepon, akhirnya daripada mengganggu peserta yang lain.. aku pun meminta izin pada Mentor untuk keluar kelas sebentar.

Begitu keluar kelas, kulihat Bang Fer ada di ujung lorong dan dengan gerakan tangannya memintaku untuk mendatanginya. Selama Pelatihan aku belum pernah mendatangi tempat itu. Tempatnya di ujung, aku tak tahu ada ruang apa di sana. Sambil melangkah, hatiku tak karuan tentu saja rasa ketakutan kembali muncul disertai cemas, aku sudah membayangkan perlakuan keras dan kasar yang akan dia berikan kepadaku.

Setelah aku mendekatinya, dia langsung menarik lenganku, berbelok ke sebelah kanan lorong, sepi sekali… tak ada orang sama sekali. Sampai akhirnya dia membawaku masuk ke sebuah toilet yang masih mempertahankan model lama, masih closet jongkok dan bak mandi, untung saja tempatnya bersih, padahal aku sudah khawatir kalau tiba-tiba di kamar mandi yang sepertinya jarang dipakai ini ada tikus atau kecoak.

Di ruangan 2m x 2m ini, begitu pintu ditutup.. langsung ia mengecup bibirku pelan, perlakuannya kali ini sangat berbeda dengan hari kemarin. Aku tidak membalas kecupannya itu.

Dia sentuh kedua pipiku, lalu berkata.. “Sayang, malam ini Abang ga bisa nemenin kamu… maaf ya”. Aku langsung bergumam dalam hati ‘bodo amat’. Apa disangkanya aku menikmati saat bersamanya? Aneh!!! Justru aku merasa bersyukur sekali saat tahu bahwa dia tidak akan datang malam ini.

“Kita lakuinnya sekarang aja ya… disini, kamu ga apa-apa kan?”, ucapnya kembali lembut, ini membuatku semakin aneh bercampur lega. Bukan lega karena akan melakukan hubungan seks lagi dengannya, tapi lega bahwa sepertinya dengan sikap lembutnya ini, sepertinya dia tidak akan berbuat kasar lagi kepadaku. Melihat dia tampak ramah seperti ini, aku berani menolak.. “Jangan Bang, aku harus masuk kelas”, kataku memberikan alasan.

“Bentar aja koq Sayang”, balasnya lagi masih dengan nada yang rendah. Sambil mengangkat rokku dan menurunkan celana dalamku sebatas lutut, kedua tangannya meremas bokongku dari dalam rokku yang sudah tersingkap.

Dia kembali mengecup bibirku, kali ini tidak sekedar mengecup tapi melumat dan berusaha untuk memasukkan lidahnya ke dalam mulutku. Mulutku kututupkan rapat. Dia terus menjilati bibirku dan terus berusaha memasukkan lidahnya, mataku terpejam….

“Sayang, buka bibirnya.. jangan sampai Abang marah”, katanya karena aku tak juga membuka bibirku. Akhirnya aku pun membuka mulutku sedikit, kurasakan lidah basahnya kini masuk ke dalam mulutku, mencoba mengais-ais dimana gerangan lidahku berada. Dia selipkan juga telapak tangannya ke balik blazer kerjaku, lalu meremas payudaraku dengan lembut….

Salahkah aku jika kini aku merasakan kenikmatan? Jujur aku mulai merasakan getaran itu, getaran yang tak pernah aku rasakan sejak hari dimana Bang Fer mulai memperkosaku. Sepertinya benar apa yang aku duga kemarin sore, Bang Fer masih menyimpan perasaan sayang dibalik kejahatannya. Diperlakukan begini, aku langsung jatuh pada ketidak berdayaanku, yang mudah terbawa suasana……. Bisakah aku terbawa suasana dengan orang yang telah kasar memperkosaku, memperlakukanku sebagai budaknya? Celakanya lagi bisa!! Seolah aku lupakan itu semua, yang ada di depanku sekarang adalah mantan kekasihku yang dulu sangat-sangat aku cintai.

Pikiranku lantas melayang ke masa dimana Bang Fer masih jadi kekasihku, ya… seperti inilah ketika dia menggumuliku dengan penuh perasaan. Tanpa kusadari akhirnya lidahku dan lidahnya sudah saling berputar, seolah merayakan cinta lama yang baru datang.

Mmmmph cppppkk ssshhmmmm cpppk shhrrrppp mmmpph

Jika saja aku mengikuti nafsuku, mungkin tanganku akan dibelitkan ke belakang lehernya. Tapi aku masih bertahan, tanganku hanya diam menyentuh pundaknya.

Ciuman mesra itu berlangsung lumayan lama, mungkin satu menit lebih. Sampai dia melepaskan pagutannya, mencium lembut pipiku dan mengusapnya sambil tersenyum. Aku tak membalas senyuman itu, aku tertunduk dan meneteskan air mata yang kemudian ia usap dengan ibu jarinya…. dia kecup keningku.

Aku menangis karena bingung dan gelisah, apakah aku harus merasakan kenikmatan ini dengan konsekuensi dianggap sebagai perempuan bodoh dan gampangan? Atau tetap mempertahankan kehormatanku sebagai seorang istri dengan konsekuensi diperlakukan kasar lagi?

Bang Fer kemudian menuntun langkahku dengan cara yang santun, lalu dia menyimpan kedua tanganku untuk disimpankan di tepian bak mandi, setelah itu dia angkat pinggulku ke atas yang membuat tubuh bagian atasku otomatis turun, kini aku dalam posisi menungging bertumpu pada tepi bak mandi. Semua gerakannya dilakukan dengan cara yang lemah lembut.

Bang Fer dari arah belakang sempat mencium kembali pipiku.

“Bang, jangan lagi masuk ke belakang..”, ucapku yang sudah pasrah akan digaulinya kembali, hanya aku berharap untuk tak memakai duburku lagi seperti yang pernah ia lakukan saat di rumah. Sakit sekali rasanya.

Bang Fer kembali mencium pipiku sambil membelai rambutku.. “Iya, Sayang….”. Bang Fer kemudian menegakkan tubuhnya dan mulai mengarahkan penisnya ke arah vaginaku yang sepertinya sudah sedikit basah akibat rangsangan tadi saat berciuman. Dia masukkan batangnya itu dengan perlahan… BLESSSSH.

Kini penisnya sudah tertanam di dalam vaginaku sepenuhnya.. aku merasakan kenikmatan saat merasakan miliknya masuk dengan perlahan, mataku terpejam.. mulutku sedikit terbuka. Bang Fer tidak melakukan gerakan apapun, seolah memberiku kesempatan untuk bersiap.

“Mulai ya Sayang….”, ucap Bang Fer di telingaku, kemudian ia jilat bagian belakang telingaku.

“Ssssshhhmm…….. iyaa….”, ucapku mengatakan yang tak sepatutnya kuucapkan.

Pinggul Bang Fer mulai bergerak perlahan, tangannya kadang berada di pinggulku, terkadang menyentuh dan mengusap-usap lembut bagian dadaku yang tertutup kemeja dan blazer. Aku terpejam dan menikmatinya.

“mmmmph…ssshh….. ooooh….”, desisku pelan, tak seperti desahan yang keluar saat diperkosa kemarin-kemarin, kini desahan itu benar-benar keluar karena kenikmatan dan menggunakan perasaan. Telapak tangan Bang Fer beberapa kali membelai rambut belakang kepalaku.

Ketika tempo bergerak menjadi lebih cepat, desahan yang keluar dari mulutku semakin keras karena aku rasakan semakin nikmat. Aku tutup mulutku dengan sebelah tanganku, aku takut terdengar ke luar kamar mandi.

Makin cepat, makin cepat, makin cepat saja gerakan pinggulnya, penisnya kini bergerak cepat menghunjam vaginaku maju mundur. Aku tetap menutup mulutku, sepertinya aku akan mencapai klimaks…. Jika siang ini aku klimaks, maka ini pun baru kualami sejak bertemu dengan Bang Fer. Sebelumnya tidak pernah sama sekali, mungkin orang tak mempercayainya, tapi begitulah yang sesungguhnya.

Ketika gerakannya semakin cepat, terdengar lenguhan pelan dari mulut Bang Fer, ia pun sepertinya akan segera keluar. Ia condongkan tubuhnya dan menarik telapak tanganku yang menutup mulutku dengan sedikit memaksa, tapi kali ini tidak bisa dibilang kasar… sepertinya karena reaksi saat dia akan mencapai ejakulasi. Ia pagutkan bibirnya sebagai pengganti penyumpal suaraku, gerakannya semakin cepat, ia bangkitkan lagi tubuhnya, kini kedua tangannya memegangi lengan atasku, sehingga mulutku tak ada yang menutup.

“Ssssshhh…. ooooh….. Baaaaanghhh…… mmmphh….. aaaaahh”, desahku yang hampir mencapai puncaknya. Aku sudah memikirkan bagaimana jika suara ini terdengar orang lain, aku sudah tak terkontrol.

Sampai akhirnya kami keluar bersamaan….

“Oooughh BAAANG…. Ssshhmm.. Sam…peeeee Baaaang…. aaaahhhhhh”, ucapku sambil berteriak pelan, kali ini volumenya sempat kutahan agar tak terlalu keras. Aku merasakan kenikmatan permainan ini, penis Bang Fer aku rasakan sudah dikeluarkan dari vaginaku, aku langsung berbalik badan dan langsung memburu bibirnya.

Kali ini justru aku yang mendahului, aku yang memagutkan bibirku ke bibirnya, satu tanganku mengusap-usap punggungnya, satu tanganku lagi memegangi bagian belakang kepalanya, Mulutku beradu, dengan kepala yang bergerak ke kanan dan ke kiri menikmati ciumannya, lidah kami saling membelit bertukar ludah, seperti masih ada nafsu yang tersisa…

SShhrrrppp mmmmph sshrrroppp cppppkk ssshhmmmm cpppk shhrrrppp mmmpph ahhhhhhh

“Baaang…..”, Aku sebut namanya seperti berbisik, ketika melepaskan pagutanku. Akupun tersadar ketika mata kami saling beradu. Kudorong tubuhnya untuk menjauh, segera kulangkahkan kakiku untuk membuka pintu kamar mandi.

Tapi dia pegang lengan atasku, aku menatapnya lagi dengan rasa malu, hina, dan takut. Kupikir dia akan memintaku untuk melanjutkan permainan lagi, ternyata dia hanya bermaksud membenahi rambutku yang sedikit berantakan dan merapikan blazer dan kemejaku yang terlihat tak beraturan, dia lakukan dengan tersenyum, tapi aku tertunduk.

Kami keluar kamar mandi dengan berjalan beriringan tanpa mengucap sepatah kata pun, sampai di cabang jalan.. disana akhirnya kami berpisah.

“Besok Abang anter kamu pulang ya… setengah hari kan?”, tanyanya masih dengan nada sopan.

Aku tak menjawab, langsung melangkah menuju ruang kelas.

Aneh, tak seperti setelah aku diperkosa kemarin, saat itu aku masih bisa berkonsentrasi mendapatkan materi Pelatihan… hanya bayangan-bayangan kejadian buruk saja yang sesekali melintas di pikiran. Tapi kini…. justru aku tidak bisa berkonsentrasi sama sekali, pandanganku kosong.. tak ada materi yang bisa masuk ke otakku.

Aku merasa bersalah, lagi-lagi aku merasa bersalah atas apa yang telah aku buat barusan. Tapi aku coba mendebat suara yang menyalahkan dalam diriku, aku berbuat seperti itu karena tak ingin diperlakukan kasar lagi… bukan aku tak ingat pada kejahannya yang telah dia lakukan padaku, bukan aku tak ingat pada statusku sebagai seorang istri, walau memang pada akhirnya aku terlalu menikmatinya.

Jika orang mendengar ceritaku mulai hari ini saja, wajar jika menganggap aku perempuan murahan, tapi mereka tidak mengerti apa yang aku rasakan sebelum-sebelumnya, aku kesakitan…. Aku ketakutan….. ‘Ah tetap saja salah, bisa-bisanya kamu nikmatin orang yang pernah perkosa kamu… apalagi kamu seorang istri’, bantah sisi hatiku yang lain. Dan perdebatan itu terus berlangsung hingga kelas materi berakhir.

Pada malam hari, saat video call kembali dengan suamiku, aku kembali menangis… bahkan tangisanku lebih hebat dari sebelum-sebelumnya… aku menangis karena merasa bimbang dengan perasaanku, apakah cara dan langkahku telah benar? Atau salah.. dan lagi-lagi dianggap telah mengkhianati suamiku?

Aku bersikukuh untuk pulang dulu besok, aku tak mau jatuh terperdaya lagi…. tapi suamiku tetap melarang bahkan dia sedikit marah ketika aku tetap memaksa untuk pulang.

“Papah tega ga ngebolehin aku pulang duluuu… aku kan kangen Papaah.. aku belom jadi istri yang baik buat Papah, aku kan pengen nemenin Papah di rumah sakit… ”, ucapku sambil menangis, dibalik ucapan yang benar dari dalam hati itu, aku pun memiliki maksud lain karena aku ingin menghindari bersama Bang Fer, yang entah seperti apa besok bentuknya, apakah penuh kemarahan atau bersikap manis seperti siang tadi…? keduanya bukan pilihan yang baik.

“Ga apa-apa Sayang, persiapin dulu aja buat testnya, nanti kalo Pelatihan udah selesai kan kita bisa sama-sama lagi….”, jawab suamiku memberi semangat. Ah Suamiku, mengapa engkau tega memberi semangat di saat yang tidak tepat???

“Sepi disini Pah… dua kamar di sebelahku kosong ga diisi, 2 kamar lagi diujung ada yang isi sih, tapi yang satu pasti pulang soalnya orang Bogor, yang satu lagi ibu-ibu ga pernah keluar kamar…”, balasku memberi alasan lain bahwa kepulanganku karena aku merasa sepi.

“Iya tahan Sayang, kan ini demi karier kamu…. Lagian kalo bolak-balik nanti Mamah sakit, apalagi Mamah pulangnya ke rumah sakit, hawa disini ga enak Mah… kalo Mamah sakit ntar ga bisa ikutan test.. gimana?”, suamiku memberikan alasan yang kali ini tak bisa kubantah lagi. Aku menyerah!!!

“Ya udah deh kalo Papah maksa… Aku janji Pah, selesai Pelatihan, aku mau ambil cuti…. Eh, gimana kalo kita liburan? yang deket aja.. ke Bandung… udah lama kita ga ke Bandung..”, ucapku setelah mendapat ide untuk berlibur ke Bandung. Sepertinya memang aku perlu berlibur, sejenak aku ingin menyepi, melupakan segala masalahku.
PELATIHAN HARI KE-6​

Ketika di pagi hari kutanyakan kabar perkembangan kesehatan suamiku, dia menjawab masih harus dirawat sekitar seminggu lagi. Ucapannya itu membuatku menangis terisak, begitu bodohnya aku kemarin merasakan kenikmatan disaat suamiku terbaring sakit. Aku tak seharusnya membiarkan suamiku sendirian di Rumah Sakit, melawan sakitnya, melawan perasaan dukanya karena telah mengalami kegagalan bisnis, melawan traumanya akibat kecelakaan parah.

Kami berdua sebenarnya sedang berjuang menghadapi persoalan yang sama, trauma dan ancaman hidup. Seharusnya kami bisa melewatinya bersama dengan cara berpelukan, bermesraan pasti terasa nyaman dan menghilangkan sedikit masalah itu. Tapi apa daya, suamiku tetap tak mengizinkanku untuk pulang hari ini. Alasannya memang benar dan tak bisa kutolak lagi, suamiku benar-benar perhatian, dia tak ingin aku sakit dan kelelahan. Padahal selama di Pelatihan ini aku sudah sakit dan kelelahan, Paaah…..

Usai kelas Pelatihan yang hanya sampai jam dua, aku berjalan ke arah kamarku dengan langkah gontai. Aku tak tahu harus bagaimana. Pulang tak boleh, sementara tetap disini konsekuensinya antara siap untuk dikasari atau terlibat main perasaan. Huh!!

Setelah menaiki tangga, di depan kamarku sudah ada seseorang yang berdiri disana. Bang Fer!!! Dia menyambutku dengan senyuman. Aku langkahkan kakiku melambat, dengan pandangan tertunduk aku berpikir…. apakah aku harus mengajaknya turun ke lobby atau masuk ke kamarku?

“Pulang jam berapa?”, tanya Bang Fer begitu aku sudah sampai di depan kamarku. Terlihat sapaannya ini ramah, mungkinkah Bang Fer akan bersikap baik di hari ini?

“Turun ke lobby yuk ngobrolnya…”, jawabku sambil langsung menarik lengannya.

“Eh bentar, ikut ke toilet dulu…”, ucap Bang Fer yang sepertinya hanya modus agar bisa masuk kamar.

“Di bawah juga ada…yuk”, balasku lagi dengan tanganku yang masih memegangi tangannya.

“Di tempat yang kemarin?”, tanya Bang Fer sambil tersenyum. Aku lepaskan peganganku dan memukul lengannya. Mukaku merah merona karena mengingat kejadian kemarin.

“Iya atau ngga?”, tanya Bang Fer lagi setelah aku tak menjawab pertanyaannya, secara perlahan kedua tangannya menyentuh kedua pipiku dan sepertinya dia akan menciumku. Aku mendorong tubuhnya walau bukan dorongan yang kuat.

“Apaan sih… keliatan orang ntar..”, ucapku menolak aksi nekat Bang Fer yang akan menciumku di lorong depan kamar.

“Ya udah cepet masuk dulu, udah pengen pipis ini dari tadi”, ujar Bang Fer lagi-lagi membuat alasan, kali ini gerakan tangannya menggosok-gosokan penisnya seakan-akan sudah tak kuat lagi menahan kencing.

“Tapi nanti ke bawah…”, ucapku lagi memaksa agar dia turun ke lobby.

“Iya Sayaaaang…”, jawab Bang Fer cepat sambil mengelus-elus rambutku. Aku menduga hari ini Bang Fer tidak akan berbuat kasar lagi kepadaku.

Akhirnya aku membuka gembok kamarku, memang pintu kamarku harus digembok karena kunci standarnya sudah tidak berfungsi.

Setelah membuka sepatunya di dalam kamarku ia buru-buru masuk kamar mandi.. “Ayang, beresin aja dulu perlengkapan buat dibawa pulang… ganti dulu pakaiannya, kan sampe Subuh, gerah kalo pake baju kerja”, teriak Bang Fer dari dalam kamar mandi.

Aku membuka lemariku, kuambil t-shirt, celana, kain pantai untuk selimut di Rumah Sakit…. tapi mau kemana aku iniiiiiii???? Aku bingung tak ada tujuan, kalau mengatakan tidak jadi pulang tentu dia akan merasa senang dan langsung ‘menggarapku’ lagi saat ini juga, aku yakin itu.

Aku lepaskan blazer kerjaku, dan kugantungkan di lemari pakaian, sementara kemeja putih lengan pendek dan rokku akan kuganti nanti di kamar mandi saat Bang Fer sudah keluar. Aku terus berpikir tentang apa yang harus kulakukan, sampai-sampai tak sadar kalau Bang Fer sudah ada tepat di belakang dan kedua tangannya merangkul pinggangku.

“Koq kaya yang bingung, Yang…”, tanya Bang Fer, sepertinya meskipun terlihat dari belakang tapi tetap jelas gelagat kebingunganku. Kini kepala Bang Fer sudah ada di atas pundakku. Kemudian dia mencium pipiku lembut. Aku hanya diam, aku sedang melawan perasaanku sendiri.. agar aku tak larut dalam perasaan anehku yang mulai muncul kembali.

Kemudian dia menciumi leherku, tanpa kusadari aku menyondongkan kepalaku ke arah kanan, sehingga leher kiriku terbuka lebar untuk diciumi oleh Bang Fer. Aku merasakan geli tapi…. ah kenapa aku bisa begini lagi?

“Ssssshhh…. geli… Baaang….”, desahku pelan.

“Kamu masih pake parfum yang sama kaya dulu ya? Semua dari kamu masih sama, Dya….. semuanya….. cuma kamu sekarang lebih cantik…..”, ucap Bang Fer sepertinya memujiku.

Mulut Bang Fer kini naik ke atas, tepat di telingaku dia melahap seluruh daun telingaku itu.

“Ooouuhhh…. Bang…. pfffff ssshhhh”, desahku semakin menguat. Melahap telinga sambil memainkan lidahnya di belakang telingaku adalah kebiasaan Bang Fer kepadaku saat dulu. Aku sangat.. sangat.. sangat.. suka itu, Bang Fer tahu titik-titik sensitifku. Aku sering mendapatkan rangsangan melalui permainan lidah di area telingaku dari suami atau kalau tidak salah pernah juga dilakukan Koh Freddy… tapi tidak ada yang melebihi nikmatnya sapuan lidah Bang Fer ini.

“Kamu ingat lagi, Sayang?”, bisik Bang Fer melepaskan lumatannya di telingaku. Kemudian ia mencium pipiku lagi. Aku mengangguk sambil terpejam, kini jemariku mengusap-usap lengan Bang Fer yang melingkar di pinggangku.

“Mau pulang jam berapa?”, tanya Bang Fer lagi, aku tak menjawab… antara bingung dan sedang merasakan kenikmatan karena Bang Fer kembali melumat dan menjilati area telingaku yang paling aku suka. Mataku tetap terpejam.

“Ayang capek ya? Istirahat dulu aja ya..”, lanjut Bang Fer sambil menuntun tubuhku menuju ke tempat tidur, aku menuruti tanpa berontak sedikitpun.​

THE LAST POV LIDYA ABOUT NANDO​
PELATIHAN HARI KE-6 ​

Dia baringkan tubuhku dengan lembut, Bang Fer kini sudah ada di atas tubuhku dengan menopangkan kedua tangannya di tempat tidur agar badannya tak menindihku. Wajah kami dekat dan sejajar. Dia tersenyum lagi.

“Bang…”, ucapku pelan.

“Apa, Sayang?”, jawab Bang Fer sama pelannya.

“Abang ga akan marah lagi?”, tanyaku karena khawatir akan terjadi lagi kejadian seperti kemarin-kemarin.

“Tergantung…”, jawab Bang Fer sambil tersenyum.

“Aku takut, Baaang…”, ujarku sambil menitikkan air mata kembali setelah mendengar jawaban itu, aku takut walaupun Bang Fer barusan sudah mengungkapkannya sambil tersenyum.

“Abang jangan kaya waktu itu lagi yaa…”, pintaku dengan penuh harap, aku mencoba untuk merayunya agar tak marah seperti yang lalu.

“Iya, Sayang…”, jawab Bang Fer cukup membuatku lega.

“Janji?”, tanyaku lagi yang masih ingin memastikan bahwa itu benar. Tiba-tiba bibir Bang Fer memagut bibirku, awalnya sempat ragu untuk membalasnya, hanya saja gairahku ternyata mendorongku untuk menyambut ciumannya…. aku pun membalasnya.

Mmmmph ssshhmmmm mmmpph

Aku mendorong wajahnya perlahan, aku ingin pembicaraan ini menjadi jelas dulu.

“Iiyaaa Sayang, janji… Maafin Abang ya.. kemaren Abang udah kasar”, jawab Bang Fer. Semoga saja perkataan Bang Fer ini benar.

“Aku tau, Abang dendam sama aku…”, ucapku menduga tentang sikapnya yang kasar itu, dia dendam padaku dan Abah, tapi aku tak mau membawa nama Abah saat ini, takut kemarahannya terpancing lagi. Ditanya begitu Bang Fer terdiam dan menarik nafas panjang… sepertinya memikirkan sesuatu.

“Iya kan?”, tanyaku lagi karena ia tak juga menjawabnya.

“Udah, Dya…. Abang udah lupain… kalo nurutin dendam kayanya ga bakal ada abisnya… tetep ga bakal puas.. lagian Abang juga ga tega buat ngelakuin apa yang Abang terima ke orang yang Abang sayang”, jawab Bang Fer sambil kembali menghela nafas panjang.

“Jadi beneran, Abang ga akan marah lagi?”, lagi-lagi aku memastikan kebenaran ucapannya, agar aku merasa tenang.

“Iya cereweet…… Ga akan, janji… tapi selama Pelatihan kamu tetep milik Abang…”, jawab Bang Fer sambil tersenyum sambil mengelus-elus pipiku dengan punggung jari telunjuknya, ia seolah tak akan melepaskanku selama Pelatihan.

“Setelah Pelatihan?”, tanyaku penasaran.

“Tergantung kamunya… kalo Ayang mau sih Abang juga mau…”, kali ini muka Bang Fer berubah dari serius menjadi seperti menggoda.

“Ga mau Bang, aku udah punya suami…”, jawabku jujur. Sebenarnya aku khawatir dengan jawabanku ini Bang Fer akan kembali marah, tapi sepertinya dari raut mukanya saat ini terlihat tetap tenang.

“Hmmm.. yang penting hari ini aja dulu, kamu mau nurut sama maunya Abang?......”, ucapnya, perkataan yang menurutku seperti menggantung nasibku setelah Pelatihan.

“Aku harus nurut kaya gimana lagi?”, tanyaku lagi.

“Pejamin mata kamu..”, perintah Bang Fer, aku pun mengikuti keinginannya itu, entah apa yang akan dilakukannya. Aku menduga ia akan menciumku.

“Sekarang bayangin kita waktu dulu pacaran.. gimana perasaan kamu ke Abang… Abang pengen ngerasain yang kaya dulu lagi”, jelas Bang Fer. Ternyata aku salah menduga, dia tidak menciumku, namun permintaannya ini membawaku ke masa 7 tahun yang lalu. Aku membayangkan begitu indahnya merasakan cinta pertama, aku pun tersenyum.

“Bang Fer…”, ucapku memanggil namanya setengah berbisik.

“Iya, Dya…”, jawab Bang Fer yang matanya kini semakin menampakkan gairah yang mendalam.

“Aku kangen Abang..”, ucapku. AAAAAH, apa-apaan si Lidyaaa!!! Aku merutuki diriku sendiri, tapi aku benar-benar telah hanyut dalam perasaan Cinta yang dulu pernah ada.

“Abang juga…”, jawab Bang Fer sambil langsung memagut bibirku yang dilakukan dengan sedikit nakal.

Mmmhh mmmmhhppp srrrpppp mmmmuahh sllllrrrppp

Ciuman yang begitu erotis itu membuat tubuh kami berguling, sekarang tubuhku berada di atasnya. Kurasakan penis Bang Fer sudah tegang di balik celananya. Kami berciuman lagi dengan posisi baru ini.

Sllllrrruuppp mmmppphh mmmmhhppp srrrooopppp mmmmuahh sllllrrrppp

“Aah Sa..yang… Buka.. bajunya, Sayang…”, pinta Bang Fer, kini ia memintanya dengan sedikit malu-malu dengan nafas yang memburu, berbeda jauh dengan hari-hari sebelumnya.

“Abang yang bukain, aku yang bukain baju Abang”, balasku yang kini sudah terjerat dalam kategori nafsu perselingkuhan. Bang Fer melepaskan kancing kemejaku, setelah terbuka ia lemparkan kemeja putihku itu ke sudut tempat tidur. Kini ia langsung membuka kaitan bra-ku, setelah terbuka dia kembali membalikkan badanku menjadi di bawah lagi.

Dari bawah aku coba angkat kaos hitam Polo Shirt Bang Fer, tapi hanya sampai dada, dari situ Bang Fer yang melepaskan seutuhnya. Sementara jariku mengusap-usap dadanya dan memainkan putingnya.

Masih dengan posisi di atasku, kini Bang Fer melepaskan celana dan celana dalamnya. Aku pun melepaskan kaitan rok dan celana dalamku, kuturunkan sampai paha, lalu dilanjutkan oleh Bang Fer hingga kini kami berdua benar-benar telanjang.

Kepalanya kemudian mengarah ke payudaraku, dia hisap perlahan-lahan dan tangannya memilin puting payudara sebelah kananku dengan jarinya. Lembut sekali, indah sekali rasanya..... benar-benar seperti dulu lagi.

“Ssshhhh ahhhh…. Eenaak… Baangghh….”, aku mendesah merasakan pilinan jarinya dan hisapan mulutnya yang kini liurnya membasahi payudaraku, kedua payudaraku merasakan hal itu bergantian.

“Aku masukin ya?... Ayang mau diatas lagi?”, tanya Bang Fer yang akan memulai aksinya, tapi dia sempat memberiku pilihan posisi. Pertanyaan tentang pilihan sederhana itu justru membuatku semakin nyaman.

“Abang aja dulu….”, ucapku sambil tersenyum dan menatap wajahnya yang sudah lama tak kulihat. Ya, dari kemarin memang sudah kulihat wajahnya…. Tapi sepertinya baru di sore ini aku melihat wajah Bang Fer yang dulu lagi. Mungkin pikiranku saat ini sudah segenap jiwa larut sepenuhnya. Berbeda dengan kemarin saat di kamar mandi, walau sebenarnya raut wajahnya Bang Fer sudah ramah, tapi saat kemarin aku masih setengah hati.

Bang Fer kemudian mulai memasukkan penisnya ke dalam vaginaku yang bulunya kucukur rapi, tinggal menyisakan bulu halus saja. BLEEESSH seperti saat kemarin di kamar mandi, Bang Fer memasukkan kelaminnya itu secara perlahan. Setelah tertanam beberapa saat, ia mulai memompa pinggulnya dengan tenang.

“Oooooh Baaangh…ssshhh…. mmmphh….. enaak Baaaaang…. oooh… Baaaang…”, entah mengapa, padahal baru beberapa genjotan, aku sudah merasakan kenikmatan yang luar biasa… hingga membuatku mendesah-desah kecil. Tak biasanya aku merasa seperti ini.

“Koq sekarang desahnya pelan, Dya…. dulu kan ga gini”, protes Bang Fer yang mengingatkan suara desahanku yang dulu, tapi aku pura-pura lupa.

“E..mang dul…lu giman….na?.... oooh Baaanghh… aaaah”, aku paksakan bertanya diantara desahku.

“Bin..nal… jo..rrok”, jawab Bang Fer yang mulai terdengar ngos-ngosan.

“Iiih A..bang yang ajar..rin a..ku jo…rok mmmph…..”, balasku sambil memukul lembut dada Bang Fer. Entah mengapa, tiba-tiba Bang Fer menghentikan gerakannya.

“Abang… teruussiiiin”, pintaku semakin manja sambil memukul-mukul dadanya berulang kali, maklum aku tadi sedang keenakan.

“Bilang dulu kaya dulu”, Bang Fer mulai memaksaku untuk mengatakan ucapan jorok yang diajarkan olehnya dulu.

“Ih ga mau…”, ucapku malu-malu. Bang Fer masih belum mau memulai gerakanku. Terpaksa aku mengatakannya lagi agar Bang Fer melanjutkan penetrasinya… “Iya… iya… kontolin aku lagi Baang…. iiiih cepeet…”. Bang Fer memulai lagi menggerakkan bokongnya sambil tertawa puas.

“Iiiih…. Jangan ketawaaaa”, balasku yang merasa malu.

“Kamu masih sayang Abang”, kali ini Bang Fer bertanya sebuah pertanyaan yang tidak aku duga sebelumnya. Aku menggelengkan kepala, sebenarnya sudah kubuang perasaan itu sejak lama, tapi kalau kini datang lagi… entahlah.

Entah bagaimana perasaan Bang Fer saat melihat gelengan kepalaku itu, yang pasti kini tempo genjotannya semakin cepat. Apakah dia marah? Tapi gerakannya ini membuatku semakin nikmat dan…..

“Oooooghh Baaaang….. iiiyaaa…. mmmph Ee.. naak Baaangh…. Abangnya aakuuuu….. a..kuuuu hmmmph ssshhhhmmm saayaaaang…. Abaaang…. Maa…siiiih…. Saaayaaaang…. aaaaah ooooh…… keluaaaar aku Baaaaang…. e..nak bangeet kaya duu..luu aah… oh Bang Fer…..aaaaaaaccchhhhh”, aku mencapai orgasme! Begitu juga dengan Bang Fer yang spermanya tertumpah di vaginaku hampir dalam waktu yang bersamaan.

Kami terdiam beberapa saat merasakan kedutan-kedutan kecil dan gelinjangan-gelinjangan sisa kenikmatan. Kemudian kami berpelukan erat sekali, tubuh Bang Fer yang menindihku tak terasa berat, bahkan aku nyaman dalam pelukannya. Aku mengusap-usap rambutnya, kepalanya kini terbenam di samping kepalaku.

“Dasar si cepet keluar…. untung aku juga keluar”, kataku sambil mencubit gemas pipinya setelah kepala Bang Fer terangkat. Aku memang biasa berkata seperti ini dulu, meskipun ini sebagai ejekan mengenai waktu ejakulasinya yang cepat, tapi tidak pernah membuat dia marah.

“Dasar si nafsuan”, balas Bang Fer mengejekku. Aku tak membalas ejekannya, tapi aku balas dengan ciuman yang penuh nafsu. Kakiku dibelitkan di tubuhnya.

Mmmmph cppppkk ssshhmmmm cpppk shhrrrppp mmmpph

“Enak aja bilang aku nafsuan… Ayang tuh yang nafsuan, sampe cepet keluarnya”, setelah melepaskan ciuman, masih juga membahas tentang candaan di masa lalu itu.

“Abang emang cepet keluar, tapi cepet berdirinya lagi…”, ujar Bang Fer membela diri.

“Mana….?”, ucapku yang penasaran dengan sedikit mengangkat kepala dan tubuhku untuk melihat keadaan penisnya, ternyata masih belum berdiri.

“Iiiih bo’oong Ayang akuu mah dari dulu bo’ongin aku teruuus, itu punya-nya aku masih tiidur”, kataku manja.

“Emang punya kamu?”, Bang Fer bertanya balik tentang status kepemilikan penisnya itu.

“Iiiyaaaa ini punya aakkuuuu”, kataku manja dan langsung bangkit memegangi penisnya. Segera kuhisap penis penuh lendir yang belum berdiri sepenuhnya itu, aku tak merasa jijik sedikitpun bahkan bagiku sangat menggairahkan. Selama berpacaran dulu, aku belum pernah menghisapinya.

SShhrrrppp mmmmph sshrrroppp cppppkk ssshhmmmm cpppk shhrrrppp mmmpph ahhhhhhh

“Ayo cepet bangun cayang aakuuuu….mmmuah…. mmuuah”, kataku pada penis yang kuanggap sudah menjadi milikku, kemudian kukecup dua kali, penis itu kini sudah berdiri sempurna.

“Udah ah, aku di atas…”, kini aku langsung mengambil posisi Woman on Top.

Memang biasanya di waktu dulu, aku yang lebih sering memegang kendali permainan, Bang Fer mengikuti saja apa mauku… dan dia benar-benar mengerti semua keinginan dan bagaimana cara memberi kenikmatan yang ingin kuraih.

“Belom juga.. berdiri…”, ucap Bang Fer menggodaku, padahal aku sudah dalam posisi mengarahkan penisnya ke arah vaginaku.

“Uudaaaah… iiiih gemes Ayang aku…. Bo’ongin Dya teruuus”, balasku yang langsung menekan kepala penis itu masuk sepenuhnya ke dalam vaginaku.

BLEEESSSSHHH

Bang Fer bangkit sejenak dari posisi berbaringnya seperti sudah gemas ingin menciumku.

mmmmph sshrrroppp cppppkk

Dia kembali berbaring, dari awal tampaknya aku sudah tancap gas dengan memompa penis mantan kekasihku ini secara cepat. Tiba-tiba wajah Bang Fer mendongak dan mulutnya terbuka, tangannya menghentikan gerakan pinggulku yang turun naik.

“iiiih, jangan duuluuu….”, aku yang merengek manja karena kesal Bang Fer sudah keluar lagi, padahal aku lagi semangat-semangatnya. Tapi aku tak merasakan apapun yang menyemprot di vaginaku, bahkan aku merasa penisnya masih terasa keras di dalam…. Huh! dia berbohong lagi, tapi aku baru ingat.. memang Bang Fer ini dari dulu memang suka men-delay permainan agar tidak cepat keluar. Aku paham sekarang, setelah mendapatkan kode darinya untuk lanjut, aku kembali memompa dengan penuh nafsu. Setiap tusukan penisnya yang keluar dan terbenam membuat aku merasakan gairah kenikmatan yang merata di sekujur tubuhku.

Wajahku kini bercucuran keringat saking panasnya permainan ini, aku menyibak rambutku yang menghalangi wajahku agar tak terlalu gerah.

Bang Fer melenguh pendek, akupun menghentikan gerakanku. Dengan posisi vagina yang masih tertancap di penisnya, aku condongkan tubuhku ke depan, tangan kananku bertumpu ke kasur, sementara tangan kiriku mengelus-elus mesra dada mantan kekasihku ini.

“Udah siap lagi Bang Fer-nya Dya?”, tanyaku mesra penuh perhatian.

“Abang udah keluar koq, tadi.. udah dulu ya…”, jawab Bang Fer dengan muka serius. Tapi aku yakin dia berbohong, aku tak akan tertipu, kupukul-pukul manja tubuh mantan kekasihku ini sambil memeletkan lidah. Kami pun tertawa.

“Tuuuh kan Abang mah godain Dya teruuus…… ga tau ah, pokoknya terusiiin”, ucapku manja sambil kembali menegakkan tubuhku.

Aku kembali memulai gerakan secara perlahan, pinggulku kini kugerakan maju mundur. Permainan yang sangat nikmat, yang sudah lama tak kurasakan selain dengannya.

“Sssssh aaaah…… mmmmm….. ssssshh, iya Baaaang…. teruuus… eenak iih… enak banget iniiii….”, desahku saking nikmatnya yang tak ingin cepat berhenti.

Sensasi liarku muncul kembali, aku akan membuat mantan kekasihku ini mengingat masa lalunya saat dulu berhubungan denganku, dan cara ini yang paling dia suka.

Kubuat ekspresi wajahku sebinal mungkin, jika ada orang lain yang melihat pasti menganggapku ‘sok sexy banget’, tapi aku tak peduli, yang penting kekasihku ini, eh…. mantan kekasihku… menyukainya.

Kuangkat kedua tangan untuk mengacak-acak rambutku sendiri. Kumainkan jemari tangan di sekitar mulutku yang sedikit terbuka, kupicingkan mataku sambil melirik wajah kesayanganku ini.. iya kesayanganku dulu. Lalu kuhisap-hisap keluar masuk jari telunjukku seperti gerakan menghisap penis. Sementara tangan kananku masih mempermainkan rambutku yang kini berantakan dan menutupi sebagian wajahku.

Sepertinya pancinganku berhasil, dari raut wajahnya kini dia terlihat jauh lebih bergairah. Pinggulku kugerakan semakin cepat, kedua tanganku kini menyibak kembali rambutku yang menutupi wajah. Panas!! Rasanya ingin mengikat rambut ke belakang jika saja ada pengikat rambut, ketiak putih mulusku yang tanpa bulu terangkat lebih tinggi, mata Bang Fer melihat dengan penuh nafsu, Bang Fer-ku ini memang suka sekali pada ketiakku.

Kini kedua tangan Bang Fer mulai memainkan lagi puting dan meremas payudara bulat dan kenyalku… “sssssh… ooohhhhh”, desisku pelan mungkin hanya aku yang mendengarnya.

Gerakanku semakin cepat, aku mendongakkan kepala saking nikmatnya apa yang kurasakan ini, leher putihku terpampang. Entah apa yang membuat Bang Fer sangat menggairahkanku, kukira dulu karena cinta pertama, ternyata sekarang pun rasanya masih sama, membuatku melayang. Aku semakin bernafsu, sepertinya Bang Fer juga sama-sama mendapatkan gairah yang berlebihan ini.

“ABAAAAANG… AHHHHHHHH… OUUUGHH…. ENAK BAA…NGEET BAAAANG…. DYA… SUKKKA BAAANG… OOOOH”, aku menjerit cukup keras ketika mencapai klimaks, aku sudah tak tahu dimana aku berada, tak peduli jika ada orang yang mendengarnya… yang penting aku bisa melepaskan semua kenikmatan karena disetubuhi oleh Bang Fer, cinta pertamaku ini. Aku sudah tak ingat sedikitpun dengan suamiku yang sedang terbaring lemah di Rumah Sakit.

Tubuhku ambruk ke tubuh Bang Fer, disela sisa-sisa kenikmatan orgasme, pinggulku masih kugoyang-goyangkan namun pelan saja. Payudaraku kini berhimpitan dengan dada Bang Fer. Tanganku merangkul ke bawah tubuh sosok yang mungkin di detik ini sudah kuanggap sebagai kekasihku lagi.

Kali ini entah siapa yang memulai, yang pasti kini bbir kami sudah saling menghisap, air liur diproduksi begitu banyaknya hingga memenuhi seluruh rongga mulut kami.

Mmpphhh aamphh ssshrrooooouuupp ccrrrk auumpph cccrrrk ssshhrroouuuup ccrrrok sssmmmphhh….. aahhhhhh

Ciuman sekitar 15 detik sudah membuat tenagaku kembali terisi, tubuhku bangkit kembali. Entah mengapa gerakanku semakin liar, kupompa kembali tubuhku turun naik. Membuat payudara bulatku bergerak dengan bebas mengikuti gerakan tubuhku.

Saat ini juga pinggul Bang Fer mulai ikut bergerak dari bawah, mungkin dia melihat aku yang sudah ngos-ngosan kelelahan. Kedua tangannya memegang kedua pinggulku membantu gerakan turun naik dariku menjadi sesuai ritme yang diinginkan Bang Fer.

Walau baru sebentar tadi orgasme, sepertinya aku hampir mendapatkannya lagi sekarang, sepertinya Bang Fer pun merasakan hal yang sama. Desahku dan desahnya semakin bersahutan.

“aaaah…… eeenak enak eeenak bangett Bangggg mmmmm….. ssssshh, iya…. teruuus… Shaa…yaaang aku….. aaaahh terus enak banget iniiiii Ayaaaang…”, ucapku semakin tak terkontrol.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintuku!!! Kami langsung terperanjat dan saling melepaskan diri. Aku bangkit duduk di tepian tempat tidur, sementara Bang Fer menyender di kepala tempat tidur. Kami diam didalam kepanikan tanpa mengeluarkan suara apapun. Siapa dia? Jangan-jangan tetangga kamarku yang mendengar suara desahan kami yang terlalu keras. Aku tak berani keluar kamar.

Ketukan di pintu terdengar lagi bahkan sepertinya lebih keras, aku mematung, bingung. Aku tetap tak akan membuka pintunya, biar saja.. sampai dia anggap aku sudah pulang ke Jakarta. Namun tiba-tiba……….

BRAAAAAAGGGG!!!!!

Suamiku???? Aku sangat shock tak percaya kalau dia yang datang. Aku langsung bangkit dan memburu kaki suamiku sambil menangis histeris, aku takut dia marah padaku, dan memang sudah sepantasnya dia marah melihatku dengan kondisi telanjang bulat seperti ini. Aku yakin dia juga sudah tahu tentang persetubuhan terlarangku, pasti dia sudah mendengar suaraku itu dari luar, makanya dia mendobrak pintu kamarku.

“Mana si Anjng itu!”, teriak suamiku penuh kemarahan sambil melangkah mencari keberadaan Bang Fer yang sedang sembunyi di balik lemari, aku mencoba menghalangi langkah suamiku dengan cara merangkul lututnya agar tak mendekati Bang Fer. Bukan maksud aku membela mantan kekasihku itu, hanya saja aku tak ingin ada keributan terjadi disini.

“SIAPA DIA?!?!!!!”, bentak suamiku sambil mendorong tubuhku agar tak menghalangi langkah kakinya. Aku menangis sangat ketakutan, di minggu ini aku sudah mendapatkan moment mencekam berkali-kali. Kini, aku melihat suamiku sangat marah, kemarahannya melebihi kemarahan dia kepadaku saat bertengkar di waktu lalu.

Tiba-tiba dari balik lemari, Bang Fer keluar dengan tenang dan berkata, “Saya Kang….!!”.

Suamiku mendorong lagi tubuhku kemudian menghajar Bang Fer habis-habisan. Aku tak mau melihatnya, sampai akhirnya kudengar petugas Wisma memasuki kamarku memegangi tangan suamiku yang begitu kalap. Aku langsung meraih kain pantai, untuk menutupi tubuhku yang masih telanjang.

“Rief, beresin utang lo…. paling lambat besok….”. ucap Bang Fer pada suamiku

“Enak banget Anjng!... lo Anjng masih ngomongin masalah duit abis nidurin bini Gw!!!!!”, teriak suamiku.

“Oh jadi maksudnya lo pengen lunas? Emang lo hargain berapa sih… bini lo sendiri…. gw baru pake lima kali lho, utang lo seratus juta… emang sekali pake 20 juta ya?.... Mahal amat…..“, ucap Bang Fer lagi.

Aku tak mau mendengar percakapan mereka. Kali ini, Bang Fer begitu menghinakanku dan aku sangat sakit hati sekali, seolah-olah tubuhku bisa digunakan untuk membayar utang suamiku.

“Hah? 5 kali?!? Kenapa bisa?!?!”, ucapku dalam hati sambil cepat berhitung. Itu tidak benar!!! Mungkin dia hanya menghitung 5 hari pertemuan, yaitu Selasa sampai Sabtu, yang terjadi sebenarnya dia ‘memakai’ dan mengeluarkan spermanya padaku sebanyak 9 atau 10 kali….

“Ga usah banyak bacot Bangsat!!! Gw beresin utang-utang lo semuanya….. pake duit!!”, balas suamiku dengan suara lantang.

“Pah, darimana kita bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam jangka waktu satu hari?”, lagi-lagi aku hanya berani bicara di dalam hati. Aku tak habis pikir dengan perkataan para lelaki yang sedang emosi ini.

“Kalo lo ga bisa bayar….. seperti kebiasaan lo selama ini……. lo boleh bayar pake bini lo lagi…. berapa semalamnya?....... jangan 20 juta dong, Rief…. kurangin lah…. kan kita temenan lama”, tanya Bang Fer. Lagi-lagi dia menghina harkat dan martabatku sebagai seorang perempuan.

“Fer…. Aku benar-benar sungguh menyesal kalau tadi telah jatuh dan larut pake perasaan sama kamu. Sekarang dari mulutmu.. aku denger lagi semua penghinaanmu… aku bener-bener dihinakan… aku bener-bener direndahkan... aku bener-bener hilang respek sama kamu!”, ucapku dalam hati. Aku benci Fernando!!! Juga aku benci diriku sendiri yang lagi-lagi berbuat bodoh.​



Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.
You will be redirected to the script in

seconds

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com