Sudah hampir 3 menit aku terdiam di dalam mobil tanpa ada keputusan, antara pulang dengan masih membawa tanda tanya besar… atau mendatangi Vina yang tentunya sangat-sangat beresiko fatal.
Akupun menghidupkan ponselku yang sejak sore memang sengaja aku matikan. Sudah ada banyak pesan masuk dari Lidya.
16.04…. “Papah masih di toko? Jangan lupa makan ya sayaaang”.
17.08…. “Pah aku udah nyampe rumah, Papah kenapa HP nya ga aktif?”
18.00…. “Iiiih kesel”
18.15…. “Mamah makan duluan aja!”
19.02…. “Pah”
20.18…. “Paaah….”
20.35…. “Papah kan janji kita mau ‘ehm’ malem ini…..”
20.42…. “hiks”
21.15…. “Papah lagi sibuk banget ya? Ya udah met kerja ya Papah sayaaang, ati-ati pulangnya jangan ngebut”
21.28….. “Sayang akuuu….. aku kangeeeen”
21.42…. “Ya udah, aku bobo duluan ya sayaang, ngatuk banget. Ntar kalo Papah pulang aku udah siapin makanan di dalem panci….. I Love You My Lovely Hubby, Miss You, muuuuach”.
Aku membaca satu persatu pesan itu, tentu saja ada perasaan bersalah yang berkecamuk. Aku benar-benar merasa bodoh telah mencurigai dia selama ini yang begitu sayangnya kepadaku seperti yang ditampakan di chat ini. Tapi…… masih ada satu hal yang mengganjal. AAAAHHHHH aku harus menuntaskannya malam ini juga!!!! Aku harus tahu informasi itu. Sehingga ketika semuanya sudah jelas, hubunganku dengan Lidya tentunya sudah tak ada lagi timbul praduga, sehingga aku tinggal fokus untuk membangkitkan lagi usahaku yang sedang sekarat.
***
Aku berjalan dengan langkah kaki gemetar, sampai di depan kamar segera kuketuk pelan pintu kamar itu, suara ketukan yang tak lebih keras daripada suara jantungku. Tak lama kemudian Vina membuka pintu sambil tersenyum. “kirain udah puulang?”, tanya Vina sambil tersenyum seolah meledekku. Kemudian ia mempersilahkanku masuk.
Tanpa disuruh, aku langsung duduk selonjoran di bawah sambil memperhatikan sekeliling kamar Vina yang terlihat cukup mewah untuk ukuran kamar kost. Tidak seperti kamar kost pada umumnya, ukurannya sangat besar dan lantainya full tertutup karpet tebal. Tepat di tengah-tengah kamar terdapat kasur ukuran queen size, dengan dipan rendah bergaya Korea. Di atas kasur itu tergantung lampu gantung yang memancarkan cahaya estetik berwarna kuning, sehingga ruangan ini terasa warm dan menggairahkan. Aku juga mencium harum aroma therapy yang semerbak di kamar ini… membuat siapapun menjadi merasa rileks. Yang paling mencolok mata di ruangan ini adalah kamar mandi yang cukup lebar dengan satu sisinya menghadap kamar… dinding dan pintunya full menggunakan frosted glass atau kalau kata orang Depok mah ‘kaca burem’.
Vina lalu menyajikan kepadaku sebotol air mineral yang ia ambil dari kulkas berukuran kecil di sudut kamar. Ia masih mengenakan pakaian yang tadi ia pakai.
“Ya udah gimana ceritanya Vin?”, kataku langsung pada hal yang membuatku penasaran tadi. Semoga Vina berubah pikiran mengenai ‘enak-enak’nya itu.
Vina yang juga duduk di karpet kemudian tersenyum lalu dengan merangkak mendekatiku tiba-tiba ia mengecup bibirku. Aku kaget dan menghindari kecupan itu.
“Kenapa jadi gini sih Vin?!?”, tanyaku antara marah campur kaget setelah mendapat perlakuan tiba-tiba tersebut. Sebenarnya aku sudah tahu dan mempertimbangkan akan resiko seperti ini jika mendatangi Vina, tapi tetap saja kaget.
“Kan tadi aku udah bilang…. aku ga maksa, kalo mau syukur, kalo ga mau juga aku ga rugi”, jawab Vina ketus, mungkin dia kecewa setelah aku menolak ciumannya.
Aku masih diam, tak tahu harus memutuskan bagaimana. Apakah kembali pulang atau mengikuti aturan main Vina?
Melihat aku yang tak bergairah dan tak memutuskan apa-apa, Vina pun bangkit. “Ya udah aku mau mandi, kalo mau pulang… pulang aja, pintunya tutup lagi”, walau diucapkan pelan tapi nadanya terdengar tak ramah. Vina berdiri dan langsung membuka baju saat aku masih menghadap tubuhnya, aku pun langsung membalikan posisi dudukku, agar tak bisa kulihat lagi pemandangan tubuh Vina yang tinggal mengenakan bra itu, aku tahu karena sempat kulihat walau sesaat.
Setelah telingaku mendengar langkah kaki Vina masuk ke kamar mandi, aku kembali merubah posisi dudukku ke posisi semula. Seluruh pakaian Vina kulihat ditanggalkan di kamar karena keranjang baju kotornya memang tersimpan di depan kamar mandi.
Aku bisa melihat bayangan tubuh Vina di dalam kamar mandi melalui kaca buram itu. Walaupun tidak detail tapi bayangannya terlihat jelas dari tempat dudukku ini. Tampaknya Vina sedang diam di satu titik, entah sedang apa yang dilakukannya, yang pasti pemandangan yang kulihat ini membuat penisku menegang, nafsuku kembali naik.
Dengan nafas tersengal aku bangkit dan mendekati kamar mandi tersebut, di depan pintu kamar mandi…. aku berdiri mematung. Masih menatap erat bayangan tubuhnya, yang walaupun sedekat ini tapi tetap hanya bayangan tak detail saja yang tampak.
Kini tampak tubuh Vina berjalan ke arah kiri, hampir ke ujung kamar mandi. Akupun berkata, “Please Vin, ceritain apa yang belum kamu ceritain tadi”, dengan suara agak keras agar terdengar oleh Vina di dalam, aku memintanya dengan sedikit memelas.
Tak ada jawaban dari Vina. Sesaat kemudian aku dengar suara air yang sepertinya bersumber dari shower yang sedang mengguyur tubuhnya.
“Kang…. wrssssshr wresssssh wrsrrrrrrrrrr”, sepertinya Vina berbicara kepadaku, tapi tak jelas karena suaranya tertimpa oleh gemuruh suara air.
“Gimana Vin? ga kedengeran”, tanyaku meminta Vina mengulang kembali ucapannya karena tak terdengar.
Lalu sepertinya Vina mematikan aliran air shower-nya, kemudian berkata, “ya udah Akangnya masuk sini daripada ceritanya sambil teriak-teriak”.
Aku semakin berdebar, nafsuku sudah sampai ke ubun-ubun karena sedari tadi mataku tak pernah lepas dari bayangan tubuh Vina meski tak jelas. Sepertinya aku sudah tak bisa menahan lagi, walaupun aku akan tetap mencoba agar jangan berbuat terlampau jauh.
Aku geser pintu kamar mandi itu, lalu melangkahkan kakiku memasuki kamar mandi dengan perasaan campur aduk. Aku pun sadar, mungkin ini telah salah langkah. Tapi sepertinya memang tak ada pilihan lain.
Aku lihat tubuh Vina yang telanjang bulat sudah basah terjilat air. Aku tetap berusaha tak melihat pemandangan yang terlalu indah itu, kupalingkan wajahku menatap sudut lain yang ada di kamar mandi yang cukup mewah ini.
“Tutup pintunya Kang”, pinta Vina kali ini sudah dengan nada yang kembali ramah. Akupun menuruti perintahnya, tapi posisiku masih berdiri tak beranjak dari posisi semula.
“Sini Akangnya…. biar ceritanya kedengeran”, ujar Vina lagi, menyuruhku untuk mendekatinya yang tepat berada di bawah shower yang belum diaktifkan kembali.
Akupun mendekatinya, sambil berjalan aku berkata, “tapi kamu ga bohong kan Vin? kamu tau tentang mobil sedan itu? Atau kamu cuma ngerjain Akang aja?”.
Dengan posisi yang berhadap-hadapan, kini kepala kami berdua sudah sangat dekat sekali, mungkin hanya berjarak 10 cm.
“Ngga Akang…. Vina mau cerita jujur sama Akang… Akang mah ga percayaan gitu sama Vina”, Vina berucap sambil mengusap pipiku…. dengan nada yang kudengar begitu romantis. Nafas yang terhembus dari mulutnya beraroma pasta gigi plus harum cairan penyegar mulut, terasa segar dan semakin membangkitkan gairahku yang mulai tak terkendali.
Dengan sorot mata sendu namun penuh dengan letupan api gairah, kami saling menatap dari jarak yang sangat dekat. Akupun tersenyum pada Vina yang kecantikannya meningkat 2 kali lipat dengan kondisi telanjang begini. Namun tak kusadari tangan kanan Vina memutar kran shower sehingga air langsung mengguyur tubuh kami. Namun dengan cepat ia kemudian menutupnya kembali aliran air itu.
Akupun mundur menghindar, baju dan celanaku sedikit basah. Vina hanya tertawa melihat aku yang jadi kebasahan begini.
“Makanya buka bajunya, sini Akangnya mandi bareng aku”, Vina berkata dengan setengah memaksa.
“Ah Vin, basah nih…..“, tukasku, masih ragu apakah aku harus melucuti seluruh pakaianku ini atau tidak.
“Udah cepet ah….”, jawab Vina sedikit sewot karena aku masih tampak ragu-ragu.
“AAHHHH Viiiin, kenapa jadi begini sih?!?!”, ucapku sambil langsung membuka kaos dan celana jeansku dengan cepat, lalu kemudian aku gantungkan di sebuah hanger. Sekarang dengan langkah pasti aku mendekati tubuh VIna, aku sudah tak perduli lagi… apa yang akan terjadi, terjadilah!!!!
Vina melirik ke arah celana dalamku yang masih terpakai, tanpa diminta kemudian Vina jongkok dan melorotkan celana dalamku, lalu melemparkannya ke arah meja washtafel yang dilapisi granit. Kini penisku yang sudah berdiri tegang itu ter-ekspos bebas, tepat di depan wajah Vina dalam jarak yang sangat dekat.
Ukuran milikku menurutku sih biasa saja, panjangnya 14-15 cm, jika melihat data ukuran standar laki-laki Indonesia di Goxxle memang sedikit lebih panjang milikku, tapi kalau melihat dari cerita-cerita di forum ini ada yang sampai 20 cm lebih, terus terang aku jadi minder saat membacanya.
Akupun menatap ke bawah, penisku sangat dekat sekali dengan bibir Vina yang tebal dan sexy. Vina kemudian mencium bagian tengah bawah batang penisku itu yang sudah berdiri menantang. Wajahku pun mendongak ke atas sambil terpejam, segeralah lakukan Vin!!! Aku siap menerima hisapan itu, seumur hidup aku belum pernah merasakannya!!!
Mungkin pembaca disini tidak percaya kalau aku yang sudah berusia 32 tahun dan menikah ini belum merasakan hal itu sebelumnya, tapi begitulah keadaannya. Walaupun aku sangat ingin, tapi ketika bermain bersama Lidya, ia tak pernah sekalipun mengulum batangku ini, begitupun aku yang belum pernah menjilati bibir vaginanya. Lidya selalu menolak untuk bermain-main di area itu. Gaya percintaan kami pun dari awal menikah hingga kini hanya 3 dan tak pernah bertambah, missionaris, woman on top, dan doggy style.
Beberapa kali Vina mengecup penisku ini dari tengah hingga ke bagian kepala, aku masih terpejam sudah bersiap-siap menerima serangan yang sangat kuharapkan itu. Tapi kurasakan tubuh Vina malah bangkit berdiri, dia kemudian membelakangiku dan membuka keran air. Sssrrrrrrr, air hangat keluar dari shower… kemudian membasahi tubuh kami yang berdempetan, airnya hangat, sementara gelora di dalam dadaku jauh lebih hangat.
Uap air mulai menjalar ke seluruh ruangan kamar mandi ini, walaupun sudah dibantu exhausted fan, tetap saja uap ini seolah menyelubungi kami dan seolah tak mau pergi, justru kondisi begini membawa suasana jadi lebih menggairahkan.
Penisku yang kecewa karena barusan gagal menerima hisapan Vina, kini terhibur oleh bokong kenyal Vina yang menempel pada kemaluanku ini. Air shower dimatikan, Vina memberikan sabun cair kepadaku dan meminta untuk menyabuni bagian belakang tubuhnya.
Kumulai dari leher, turun ke pundak… punggung, lalu aku berjongkok menyabuni pinggangnya. Wajahku kini tepat berada di depan bokongnya yang naik menantang, sebelum kusabuni sengaja kuremas-remas, kujilati bergantian kedua bagian yang gempal itu, kadang kugigit kecil saking gemasnya. Terdengar suara Vina mendesis, menjerit kecil kemudian tertawa mendapatkan perlakuan seperti itu. Aku memang sudah tak berpikir panjang saat itu, bahkan cerita yang seharusnya aku tagih pada Vina seolah aku lupakan. Aku kembali menyabuni paha sampai kakinya. Kemudian bangkit lagi untuk berdiri.
Masih dengan posisi membelakangiku, kepala Vina kemudian menoleh ke arahku. Dari wajahnya tampak seperti kode untuk mengajak berciuman, akupun mendekatkan bibirku ke bibirnya… kami pun berciuman, seperti dua sejoli yang dimabuk asmara, ciuman yang sengaja dilakukan secara lembut. Tangan kiri Vina kemudian mengusap ke bagian belakang kepalaku, ia belai-belai rambutku yang basah, sementara tangan kananku melingkar di perutnya yang bersabun. Sambil terus berciuman aku lingkarkan tanganku untuk mengusap-usap area sekitar perutnya. Aku belum berniat untuk menurunkan atau menaikkan posisi tanganku, biarlah semua berjalan secara perlahan.
Entah karena bibirnya yang tebal atau hal lainnya, rasa berciuman dengan Vina ini tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Nikmat sekali rasanya, tak pernah aku mendapatkan kenikmatan ciuman seperti ini.
Usai berciuman, masih dengan posisi membelakangi….. tangan Vina menggenggam batang kemaluanku yang berdiri menantang, lalu Vina sedikit menekuknya kemudian ia jepitkan penisku ini ke sela-sela selangkangannya. Dengan keadaan penisku dan pahanya yang sudah berlumur sabun, sangat licin sekali terasa disana, ada gesekan dari kedua paha, ditambah gesekan vaginanya ke bagian atas penisku, lalu pangkal kemaluanku ini yang menggesek dan menekan erat bokongnya, itu semua membuat sensasi yang luar biasa.
Vina terus menggerak-gerakan kedua kakinya untuk membuat sensasi jepitan di selangkangannya, ia mulai mendesah-desah, begitu juga aku yang mendesah pelan di lehernya. Desahan Vina bertambah keras semakin membangkitkan gairahku, apalagi ketika kedua tanganku dituntunnya untuk memainkan payudaranya. Setiap remasan lembut dan pilinan tanganku di putingnya membuat Vina menggelinjang menahan nikmat.
Wajah Vina sudah tak terkontrol lagi ekspresinya, ia menoleh dan seakan ingin mengajakku berciuman liar, ternyata tidak…. dia hanya mengecup-kecup bibirku saja, dengan gerakan seperti itu dia mulai bercerita, “yang punya mobil itu namanya Koh Freddy”, ucap bibirnya yang sangat dekat dengan bibirku dan kadang bersentuhan, sehingga nafas yang keluar dari mulutnya ketika berbicara menghembus pelan ke area sekitar bibirku. Mungkin ini sebuah kisah sedih yang akan disampaikan dengan cara yang menggairahkan.
Mendengar nama seorang laki-laki yang memiliki hubungan dengan Lidya, nafsuku semakin hebat…. remasan tanganku di payudara Vina kulakukan semakin liar.
“Koh Fred…dy ituuuh….. bos besar, diiiaaa…ahhhh Akang enaak…. dia….salah sat…..tu pemilik di perusahaan… cuma bagggii dia….ahhhh sayaaaaang pelan-pelan”, ucap Vina mulai bercerita dengan bibirnya yang masih bersentuhan dengan bibirku, dan pahanya terus mangapit menjepit batang kemaluanku. Informasi yang disuarakan disertai dengan desahan, namun perkataannya terhenti ketika tanganku mulai sedikit kasar meremas payudaranya, karena aku terlampau cemburu bercampur nafsu. Dari ucapan itu aku dengar Vina mulai memanggilku ‘sayang’, walaupun itu mungkin sekedar racauan alam bawah sadarnya, tapi itu akan kujadikan sebagai ‘senjata’.
“Cummma bagi dia apa Viiin….?”, tanyaku yang juga menahan desah kenikmatan. Aku berharap Vina melanjutkan ceritanya setelah aku menurunkan tempo remasan di payudaranya. Tapi Vina belum juga mau membuka suara lagi. Aku langsung membalikkan tubuhnya dan melepaskan jepitan pahanya di penisku.
Kini kami berhadap-hadapan dengan jarak yang cukup dekat tapi tanpa ada kontak fisik apapun. Kutatap wajahnya dengan lembut…
Setelah mengatur nafasnya yang tersengal, Vina kembali bercerita, “Cuma bagi dia…. perusahaan finance tempat aku dan Lidya kerja itu mungkin cuma recehan. Dia punya banyak perusahaan dan jauh lebih besar… bahkan ada yang sudah berskala internasional… ”.
Kubelai rambutnya yang basah, lalu akupun mengecup bibirnya dan pipinya dengan lembut, sebagai apresiasiku untuk informasi yang sudah diberikan Vina.
Kulakukan semua itu dengan cara yang romantis. Sengaja kulakukan cara itu, karena aku tahu saat ini Vina sudah sangat terangsang dan sudah mulai bermain perasaan, aku harap Vina benar-benar terjatuh dalam perasaannya lalu memihakku, sehingga dia memberi semua informasi dengan sejujur-jujurnya tanpa ada yang ditutupi.
Vina kemudian mencium lagi bibirku, tangan kami saling mendekap erat. Kali ini yang terjadi adalah ciuman yang sangat panas. Lidah kami saling beradu dan saling membelit di dalam rongga mulut, menciptakan suara khas. “Srrrppph mphhhh eumphh ccsssrrrk auufffh cccrrrk sccssrrrok mmmphhh….. aahhhhhh”.
Dan beberapa saat kulepaskan lagi sementara ciuman dan dekapan itu untuk kembali bertanya pada Vina, “hubungan dengan Lidya apa?”.
“udah lama Koh Freddy keliatan suka sama Lidya….. itu mah udah jadi rahasia umum, semua orang di kantor juga udah pada tau. Lidya itu anak emas Koh Freddy….. setiap datang ke kantor Koh Freddy selalu ngajak Lidya makan siang atau nganterin pulang”, Jawab Vina dengan mata yang sayu dan nafas menderu, tampak sekali ia masih memiliki hasrat untuk melanjutkan permainan ini.
“Terus Lidya nya mau?!?”, tanyaku kembali dengan rasa cemburu yang menggebu-gebu. Aku sudah tidak tahan, tanpa menunggu jawaban Vina langsung kusergap tubuh perempuan di depanku ini dan menjilati wajah hingga ke lehernya dengan begitu liar. Aku tak kuasa membayangkan istriku jalan bersama laki-laki lain.
“Ahhhhh sssh sayaaang…. Akang masukiiin aja duluuu”, ucap Vina menahan geli dari sapuan lidahku.
Vina pun berbalik badan, kedua tangannya direntangkan ke depan, ditopangkan pada kaca buram yang menjadi tabir antara kamar dan kamar mandi ini, tubuhnya kini dalam posisi menungging. Aku sudah mengerti dan langsung mengambil posisi ke belakangnya. Vina pun kembali menyalakan aliran air pada shower. Akupun memasukkan batang kemaluanku pada lubang vaginanya di bawah guyuran air hangat yang membilas tubuh kami yang penuh sabun dan nafsu ini.
BERSAMBUNG ...