𝐂𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐓𝐞𝐧𝐭𝐚𝐧𝐠 𝐈𝐬𝐭𝐫𝐢𝐤𝐮 𝐏𝐀𝐑𝐓 𝟐𝟐 [𝐀𝐖𝐀𝐋 𝐘𝐀𝐍𝐆 𝐁𝐀𝐈𝐊]


Usai melakukan seks yang luar biasa, kami pun bangkit dari tempat tidur, Vina membersihkan badannya ke kamar mandi, sedangkan aku merokok sambil menyender di tembok dan selonjoran di karpet. Setiap tarikan rokok yang kuhisap dalam-dalam di malam ini entah mengapa menjadi terasa nikmat sekali.

Vina keluar dari kamar mandi langsung duduk di sampingku, sama-sama menyender di tembok dalam keadaan sama-sama masih tak berpakaian, Vina pun lalu membakar rokoknya. “Tentang Pelatihan itu aman, Kang”, ucap Vina tanpa diminta, ia duduk santai sambil menghisap rokoknya untuk pertama kali.

Ah, kalau jawabannya hanya ‘aman’, tidak ada informasi yang lain lagi.. mengapa aku tadi harus menyetubuhinya ya? Tapi biarlah, perbuatan yang tadi aku lakukan bersamanya memang bukan sekedar untuk ‘membayar’ informasi, aku memang pengen…. dan jelas menikmatinya.

“Yakin Vin, aman?”, tanyaku untuk memastikan kembali.

“Untuk peserta Pelatihan dari kantor kita, ngirimin 8 orang, 5 cewek, 3 cowok… yang cowok semuanya bapak-bapak umur 50 tahunan ke atas lah, aman… lagian juga mereka ga punya track record ngedeketin atau keliatan suka sama Lidya… Cuma peserta Pelatihan yang laen kan ada juga dari Kantor Cabang bahkan perusahaan lain, ya aku ga tau lah.. aman apa ngga nya, kan aku ga bisa ngecek satu-satu, cuma kalo pun ada cowok yang ngedeketin dari perusahaan lain… aku yakin 100% Lidya pasti jutek”, urai Vina panjang lebar soal Peserta Pelatihan.

“Pak Ridwan ikut?”, tanyaku lagi, entah mengapa aku yang sudah lama tidak mencurigai Pak Ridwan kini kembali agak khawatir dan harus menanyakan keberadaannya, ya siapa tau aja.

“Ngga lah, orang Pelatihan itu buat ngisi posisinya Pak Ridwan koq… lagian kenapa sih masih curiga sama Pak Ridwan? Kan aku udah pernah bilang waktu itu, tenang aja.. ga akan mungkiin..”, jawab Vina yang sepertinya kesal padaku karena masih juga mencurigai Pak Ridwan.

“Terus untuk Koh Freddy… beberapa hari yang lalu, Koh Freddy pergi buat Asia Trip sama keluarga… aku liat postingan di sosmednya sih gitu, menurut temen-temen kantor juga gitu, malahan ada yang punya info kalo Koh Freddy bakalan lama baliknya”, ucap Vina melanjutkan dan langsung memberikan informasi keberadaan Boss besarnya yang paling aku curigai itu.

Raut wajahku sepertinya terlihat oleh Vina seperti masih tak yakin dengan jawabannya, Vina kemudian bangkit ke arah tempat tidur kemudian mengambil ponselnya dan tampak menghubungi seseorang.

“Halo Jak…”, sapa Vina pada seseorang di telepon. Vina kemudian mengaktifkan loudspeaker sambil kembali berjalan ke posisi semula, duduk di sampingku, namun kali ini kepalanya disandarkan ke bahuku.

“Iya Vin, ada apa nih? Tumben nelepon…”, tanya seorang lelaki pada Vina.

“Lo udah selesai laporan Triwulan belom”, Vina balik bertanya, entah apa maksud pertanyaan Vina? Apa hubungannya dengan kepenasarananku tentang si Freddy?

“Ya elah tenang aja kali, si Pak Ridwan mah nyantey kalo ga ada Koh Freddy”, ucap lelaki itu… aku mulai mengerti arah dan tujuan Vina kali ini, mengapa sampai dia menelepon lelaki yang sepertinya teman kantornya ini dan menanyakan tentang Laporan Kerja.

“Emang Koh Freddy kemana?”, tanya Vina lagi, aku pikir ini juga pertanyaan yang memancing saja, toh Vina sudah tahu jawabannya. Semua yang kulakukan Vina ini sepertinya hanya ingin aku menjadi yakin karena informasi keluar bukan dari mulutnya sendiri.

“Et dah Viiin, kemane aje lo? …. Semua orang di kantor jg dah pada tau kalo die lg liburan ke luar… tanya aje sm Lidya… kali aja die taau hahaha”, jawab lelaki yang sepertinya bernama Jak itu.

DEGGG DEGGG DEGGG DEGGG Jantungku berdebar kencang ketika nama istriku disebut, bahkan seolah dia tahu kalau Lidya ada hubungannya dengan si Freddy itu.

“Ga bakalan tau dia…”, jawab Vina dengan santai. Aku tak tahu apakah Vina itu sedang berbohong kalau menyebut Lidya itu tak tahu, atau jangan-jangaan….. hmmmm.

“Eh Vin, tapi beneran ga sih dugaan anak-anak kantor, kalo si Boss udah ga pernah ke kantor lagi trus sekarang pergi lama ke luar negeri… itu gara-gara ditolak sama temen lo?”, tanya Jak seperti ingin mengkonfirmasi kabar burung yang ada di kantornya.

DEGGG DEGGG DEGGG DEGGG Jantungku kembali bertalu-talu, ketika kabar kedekatan Lidya dengan si Freddy menjadi bahan gosipan oleh orang-orang di kantornya.

“Yee.. aneh, cowok-cowok koq demen banget ngerumpi.. heran! Udah ah.. jadi Koh Freddy itu baliknya kapan?”, Vina tak mau menanggapi pertanyaan itu dan kembali ke tujuan awalnya.

“Sebulanan gitu kalo ga salah denger, tapi ga tau deh… coba lo tanya ke Pak Maman”, Jawab Jak tak yakin.

“Koq bisa Pak Maman tau?”, tanya Vina lagi.

“Iya kan dia selain siang jaga kantor, kalo malem suka bantu jagain rumah Koh Freddy juga”, jelas Jak kali ini dengan yakin.

“Ok deh kalo gitu, gua tanya Pak Maman dulu, thanks ya Jak”, ucap Vina mengakhiri pembicaraan.

Usai telepon ditutup, Vina melihatku sambil berkata.. “Gimana, masih ga yakin? Kita tanya Pak Maman sekarang”, ucap Vina kepadaku sambil mencari nomor kontak Pak Maman.

“Emang Pak Maman siapa, Vin?”, tanyaku penasaran karena perasaan baru dengar nama itu.

“Satpam kantor”, tanya Vina santai sambil mulai mencoba menghubungi Pak Maman.

Buset, Vina ini orangnya supel banget, sampai ke Satpam-Satpam dia ada nomor teleponnya. Kalau Lidya, laki-laki yang ada di kontaknya cuma aku dan almarhum ayahnya, yang sepertinya tidak akan pernah dia hapus walaupun beliau sudah tiada. Eh tapi kemarin-kemarin sih mungkin si Freddy juga ya…. Brengsek! Udah ah ga usah mikir kesitu lagi, bikin kesel aja!!!

Dengan posisi dalam keadaan di Loudspeaker, kini terdengar sahutan dari yang dituju.

“Haalo Neng Demploon…”, Pak Maman mengawali teleponnya dengan sapaan dan intonasi yang genit. Aku kaget dengan kalimat itu. ‘Demplon’ kalau di bahasa Indonesia-kan kurang lebih artinya ‘montok’. Aku menatap wajah Vina dengan raut muka heran, dia juga balas menoleh ke arahku begitu mendengar ucapan Pak Maman, tapi dia tampak seperti yang menahan tawa mendengar sebutan Pak Maman kepadanya itu.

“heh genit ah! Tau Koh Freddy kemana ga? Trus pulangnya kapan?”, jawab Lidya dengan nada judes, lalu dilanjutkan dengan pertanyaan yang langsung pada maksud dan tujuan.

“Kenapa sih nanyain si Kokooh….? Udah ga mau laagi emangnya sama Pa Mamaaan?”, jawab Pak Maman yang ucapan serta nada suaranya semakin genit. Aku menatap wajah Vina semakin erat, muka dia pun tampak memerah seperti malu. Apa Vina pernah ‘ehm’ sama Pak Maman….?? Satpam Kantor???? Aku mulai menebak-nebak, jantungku kembali berdebar kencang, eh…. Kenapa ya seperti ada rasa cemburu sekaligus tegang pada penisku membayangkan hal itu? Padahal kan Vina bukan siapa-siapa aku!

“Jawab dulu!!!!”, bentak Vina merespon ucapan Pak Maman yang ngelantur tidak memberi jawaban sesuai pertanyaannya.

“Idih galak aaaamat kaya lagi di ranjang…. Hahahaha…. Ke Pitnam kayanya mah Neng, atawa ka Jepang nya? Bapa juga ga tau… Pitnam sama Jepang jauhan mana sih Neng?”, jawab Pak Maman sambil balik bertanya.

“Jauhan ka Tasik!”, jawab Vina galak.

“Euh si Neng mah becanda ajah…”, balas Pak Maman polos.

“Ya udah, baliknya kapan… sama berapa hari Koh Freddy perginya?”, tanya Vina dengan nada yang sepertinya sudah kesal.

“Kalo berapa harinya mah Bapak ga tau, Neng… males ngitung nyah… tapi kalo pulangnya mah tanggal 2 Juli”, jawab Pak Maman kali ini agak serius.

“Ya udah makasih yah..”, ucap Vina dan langsung mematikan teleponnya.

Setelah telepon ditutup, masih dengan muka yang merah, Vina berkata.. “Jadi, untuk destinasi nya aku yang lebih tau daripada mereka, soalnya aku ngecek di Sosmed-nya Koh Freddy nulis Singapore, Korea, Jepang, KL, Bangkok, Vietnam. Dia jalan-jalan sama anak-anaknya, ga tau istrinya ikut apa ngga, soalnya foto yang diposting ga pernah ada perempuan. Nah untuk waktunya… dia pulang ke Indonesia kata Pak Maman barusan tanggal 2 Juli, sementara Pelatihan udahan tanggal 28 Juni kan? Jadi aman… selama Pelatihan ga ada Koh Freddy..”, beber Vina kepadaku.

Aku manggut-manggut merasa lebih tenang setelah mendengar langsung dari berbagai sumber.

“Vin, kamu pernah ‘gitu’ sama Pak Maman?”, tanyaku penasaran, kali ini sudah tak membahas lagi tentang Pelatihan yang kuanggap sudah clear.

Mukanya makin memerah, lama dia tak menjawab… seperti yang ragu-ragu.

“mmmm pernah sih…”, akhirnya Vina mengakuinya dengan jujur. Kali ini harus kuakui kejujurannya itu membuat penisku semakin tegang.

“Kenapa gitu Kang…..? Akang cembuuru yaaaa?”, kini malah Vina yang menggodaku, mungkin dia melihat ekspresi wajahku yang memang sedikit berbeda.

Aku menggeleng-geleng sambil garuk-garuk kepala mendengar kelakuan Vina ini.. “Sama Satpam Vin?”, tanyaku yang masih tak percaya dan tak habis pikir dengan pengakuannya itu.

“Yeee, emang kenapa kalo sama Satpam?!”, Vina balik bertanya.

“Eh ga apa-apa…”, jawabku kikuk, aku memang tak bermaksud merendahkan profesi, cuma kaget aja koq bisa-bisanya Vina melakukan itu dengan Satpam kantor.

“Udah ah jangan kepo!”, lanjut Vina yang masih melihatku keheranan. Aku langsung melumat bibirnya karena nafsuku sudah tak terkendali setelah membayangkan hal itu, badan Vina kutarik hingga badannya duduk di atas pangkuanku, kulanjutkan pagutanku semakin panas, dengan sesekali menggigit kecil bibir bawahnya.

“Saayang jangan maaarah, aku cuma 2 kali koq saama Pak Maman…” ucap Vina sambil kedua telapak tangannya mengapit kepalaku seolah memaksaku untuk menatapnya. Pernyataan Vina yang seolah memanasiku itu membuat penisku yang sedang diduduki oleh Vina ini semakin berontak.

“Masukin Vin…. kamu ngelakuinnya dimana aja koq bisa sampe gitu?”, perintahku pada Vina untuk segera memasukkan penisku ke vaginanya lagi.

Aku yang tadinya berniat untuk pulang setelah bertanya tentang Pelatihan, kini berubah pikiran…. aku akan melakukannya sekali lagi. Pertanyaanku kali ini juga jelas untuk membuat gairahku semakin tinggi. Vina tak segera memasukkan penisku ini, dia hanya menggoyang-goyangkan pinggulnya.

“Sekali sih sebenernya Kang, yang pertama aku cuma isepin barangnya aja waktu lembur, waktu dia bantuin foto copy… abis nakal sih matanya ngeliatin terus pantat aku… Nah yang kedua baru ML di kamar ini, waktu aku suruh nganterin laptop aku yang ketinggalan… tadinya mau aku kasih uang buat bensin… tapi dia maunya ini”, jawab Vina lugas, yang diakhiri dengan menunjuk vaginanya ketika menyebut kata ‘ini’.

“Lidya tau?... trus enak ga?”, tanyaku bertanya dengan antusias.

“Ngga lah…. untuk yang satu ini ga ada yang tau kecuali Akang sekarang….. Kalo enak mah ngga sih Kang, barangnya kecil banget trus perutnya gede, jadi susah masuk dan ga berasa hahaha”, jawab Vina cuek menceritakan pengalamannya.

Cerita yang tak detail itu membuat aku melupakan bayangan Vina bersama Pak Maman.. gairahku kurang ‘naik’, tapi aku sudah terlanjur bertekad untuk melakukan permainan sekali lagi.

Permainan yang kedua ini tak selama permainan yang pertama, untungnya Vina mencapai klimaks satu kali, bahkan waktunya bersamaan dengan ejakulasi-ku. Jadi, lumayan lah… setidaknya Vina bisa terpuaskan.

Setelah permainan itu, aku pun pulang, walaupun sempat tertahan di pintu kamar kost-an nya berkali-kali. Karena bibir kami terus menerus saling memagut, seolah masih rindu tak ingin berpisah.

Di perjalanan pulang, aku kembali bertanya pada diriku sendiri.. apa yang terjadi dengan perasaanku pada Vina. Akhirnya secara jujur harus kukatakan, bahwa rasa itu hanya sekedar nafsu.. aku bisa menjamin hal itu. Kalaupun ada, mungkin itu baru tumbuh.. dan masih sangat sangat sangat kecil sekali untuk menyebut itu sebagai cinta. Buktinya selama perjalanan, aku sudah tidak memikirkan apapun tentang Vina, bahkan membayangkan sosoknya pun tidak. Hati ini kembali terisi oleh sosok perempuan cantik bernama Lidya, istriku. Cintaku padanya begitu besar sampai kapanpun, tak ada yang lebih besar dari perasaanku padanya.

Sesampai di rumah, begitu turun dari mobil aku menciumi bajuku… SIAL!!! Baju dan badanku terasa begitu harum minyak zaitun bercampur parfum Vina yang begitu melekat kuat. Gawat, kalau sampai ketahuan Lidya.

Akhirnya aku membuka pintu depan dan masuk dengan perlahan-lahan, tak ingin Lidya terbangun dan mendapati suaminya memiliki harum perempuan lain. Aku berjalan mengendap, melewati kamarku yang untungnya sudah tertutup rapat… aku menghela nafas lega, sepertinya Lidya sudah tertidur.

Aku langsung masuk ke ruang cuci untuk membuka seluruh pakaianku, sebenarnya ini bukan ruang cuci sih… karena kami tak pernah mencuci sendiri. Ini hanya ruangan untuk menyimpan pakaian kotor, dan besok memang sudah jadwalnya aku mengantarkan pakaian kotor yang menumpuk di dalam plastik besar ini ke laundry, setelah mengantar Lidya masuk kantor.

Aku simpan seluruh pakaian yang bekas aku pakai ini dalam-dalam hampir ke dasar plastik, agar Lidya tidak mencium harum itu saat ia menyimpan pakaian kotornya besok pagi. Setiap gerakan tangan yang kumasukan dalam-dalam selalu bergesekan dengan suara plastik yang tergesek tanganku. KRRSSSSK KRSSSK. Jantungku semakin berdebar-debar, takut bunyi itu terdengar oleh Lidya. Begini ternyata rasa panik dari orang yang berselingkuh, mungkin seperti ini juga yang Lidya alami di tempo hari.

Kini kuputuskan untuk mandi di kamar mandi luar, untuk menghilangkan harum yang menempel di tubuhku ini, jika mandi di kamar mandi kamar, terlalu beresiko… takut-takut ketika aku membuka pintu kamar, lalu Lidya terbangun…. pasti dia aneh melihatku yang sudah telanjang sejak di luar kamar. Ah, jangan sampai itu terjadi.

Aku tinggalkan ruang cuci ini, berbalik badan dan baru saja beberapa langkah meninggalkan ruang cuci ini…. JREEEENG Lidya keluar dari kamar langsung menghampiriku. Lidya menatapku dengan sorot mata kaget campur heran melihatku bertelanjang di tengah rumah.

“Eh, Mamah… kaget…. belom tidur?”, tanyaku sangat gugup sekali.

“Kenapa telanjang disini Pah?”, tanya Lidya, dari raut mukanya terlihat hanya heran… untungnya dia tidak marah seperti yang tampak ketika kami bertengkar tadi.

“Kalo di kamar… takutnya Mamah kebangun…. Lagian bau keringet banget…. abis… futsal”, jawabku sedikit tergagap namun aku sekonyong-konyong mendapatkan ide berbohong yang datang begitu saja melintas di pikiranku.

“Pah… maafin Ma….”, ucap Lidya sambil maju dan mengulurkan tangannya seperti mau memeluk tubuhku, ucapannya segera kusela dan kutepis cepat tangannya.

“GA USAH PEGANG! PAPAH BAU.. MAU MANDI DULU!”, suaraku meninggi karena panik, mungkin yang ada di pikiran Lidya nada suaraku tinggi karena aku masih marah soal kejadian tadi.

Aku melangkah menuju kamar, kalau sudah begini sepertinya lebih baik mandi di kamar mandi kamar. Saat melewati Lidya, aku lakukan dengan hati-hati, berusaha untuk tak terlalu dekat, apalagi menyentuhnya agar harum badanku tak tercium olehnya.

Namun aku takut dia mengecek pakaian kotorku, aku menengok ke arah Lidya…. “Mamah tunggu Papah mandi di kamar, Papah mau ngomong”, perintahku. Untungnya Lidya menuruti keinginanku, dia mengikuti langkah kakiku menuju kamar.

Aku mandi dengan terburu-buru, yang penting asal menghilangkan harum itu saja, soal bersih atau tidaknya aku sudah tak peduli. Sesekali aku berteriak mengajak ngobrol Lidya dengan pertanyaan tak bermutu, yang penting agar dia tak keluar kamar.. “Mah, udah makan?”, “Mah kenapa belom tidur?”, “Mah, besok pergi jam berapa?”, dll.

Begitu keluar kamar mandi aku begitu lega bahwa harum tadi sudah benar-benar hilang, dan Lidya menungguku dengan wajah teduh sedang duduk di tepi tempat tidur. Sementara di sebelahnya, terlihat pakaian tidurku yang sudah Lidya siapkan untuk suami tercinta. Ah Lidya, kamu memang baik sekali!

Kukecup keningnya kemudian kukenakan pakaian tidurku.

“Papah ga marah sama aku?”, tanya Lidya berbicara pelan dan tampak hati-hati.

Usai berpakaian lengkap aku langsung menarik lengannya, kuajak istriku berbaring di sampingku.

“Pah, maafin aku yah… tadi aku ngomongnya gitu ke Papah..”, ucap Lidya yang kini memiringkan tubuhnya untuk melihat ke arahku.

“Papah juga minta maaf udah bicara keras-keras sama Mamah… Papah keterlaluan… tadi Papah pergi sebenernya cuma buat nenangin diri Papah… Papah ga mau berantem sama Mamah… Maafin Papah ya Sayang”, jawabku yang sama-sama memiringkan tubuh menghadapnya. Kami pun berpelukan dan diakhiri dengan senyuman.

“Mah… tapi Papah udah mutusin buat tetep ngejalanin rencana Papah… mudah-mudahan Mamah bisa nerima keputusan ini”, ucapku dengan suara yang lembut.

Sesaat aku mengatakan itu, kulihat ada raut kecewa pada wajah istriku, namun akhirnya ia tutupi dengan senyum yang sepertinya dipaksakan. Dia pun mengangguk.

“Meskipun Mamah juga tetap pada pendirian Mamah, tapi disini Papah adalah kepala keluarga, Mamah hargai keputusan Papah… mudah-mudahan sukses ya, Sayang”, balas Lidya. Aku tahu dia sangat berat mengatakan hal itu, tapi percayalah Lidya… dengan do’amu di ujung kalimat, aku akan buktikan bahwa aku suami yang bisa membahagiakanmu. Ini awal yang baik.

Aku mencium bibirnya dengan sangat lembut, seandainya energiku tak habis oleh Vina, sepertinya malam ini akan diakhiri dengan hubungan yang lebih intim. Tapi energiku hanya cukup untuk mencium, mencium perempuan yang banyak lelaki berusaha mendapatkannya, perempuan yang banyak lelaki tergoda keindahan tubuhnya, perempuan yang banyak lelaki ingin menidurinya, tapi mengapa aku yang sudah mendapatkannya justru memilih menikmati perempuan lain?​

 


Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.
You will be redirected to the script in

seconds

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com