𝐂𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐓𝐞𝐧𝐭𝐚𝐧𝐠 𝐈𝐬𝐭𝐫𝐢𝐤𝐮 𝐏𝐀𝐑𝐓 𝟐𝟗 [ 𝐓𝐑𝐀𝐔𝐌𝐀 ]

 

BACK TO POV ARIEF

Cerita istriku berakhir begitu kami berhenti di garasi rumahku. Tak ada yang kuambil sedikitpun dari ceritanya untuk memuaskan fantasiku, meskipun cerita di akhir sempat membuatku ‘naik’ dan sudah jelas di bagian akhir itu sudah mengarah pada pengkhianatan rumah tangga, tapi aku maafkan karena aku pun bukan orang suci. Aku urungkan semua niatan fantasi bodohku termasuk niat marahku pada Lidya dengan memanfaatkan situasi ini. Kini yang ada hanyalah rasa sangat kasihan pada istriku.. dan geram sekali pada Nando. Tunggu pembalasanku, Do!!!

Istriku sepertinya takut untuk turun dari rumah, entah dia takut aku akan marah atau dia menyimpan trauma di rumah ini? Rumah kami yang seharusnya jadi tempat berlindung paling aman bagi kami sepertinya berubah menjadi neraka baginya. Aku arahkan lenganku untuk membelai istriku yang tatapan matanya kosong, dia terperanjat kaget.

“Sssshhtt Maah, ini Papaah… Mamah ga usah takut… Papah bakal jagain Mamah selamanya”, ucapku begitu melihat dia yang terlihat sangat ketakutan. Lidya langsung memelukku.

Aku menyadari kalau aku memiliki andil juga untuk menambah rasa takutnya itu. Setelah mendapatkan ancaman dan kebiadaban Nando berhari-hari, aku yang datang dengan marah dan membuat kekacauan di kamarnya, menyeret dia tanpa pakaian yang layak di depan orang-orang…. Tentu menambah panjang traumanya.

Ah andai saja aku biarkan dulu mereka menuntaskan hasratnya itu, andai aku mampu berpikir tenang, mungkin aku bisa melakukan dengan cara ‘halus’ seperti berpura-pura menelepon dulu memberitahukan aku akan datang, sehingga si Nando itu pulang dengan sendirinya. Tapi aku terlalu mengedepankan emosi, sehingga semua ini terjadi. Aku juga tak tahu dengan kelanjutan karier istriku ini.. sepertinya akan gelap juga seperti nasib usahaku, penyesalan memang selalu datang terlambat.

“Pah, Papah ga marah sama Mamah?”, tanya Lidya dalam pelukanku.

Aku menggelengkan kepala berkali-kali untuk menyatakan bahwa aku sama sekali tidak akan marah kepadanya, malah dengan penderitaannya, kini aku semakin sayang pada istriku.

“Papah ga akan pernah marah-marah lagi sama Mamah, Papah janji…”, jawabku dengan lisan untuk lebih meyakinkannya.

“Papah ga marah atau kecewa sama masa lalu Mamah?”, tanya Istriku lagi.

“Apapun masa lalu Mamah, Papah terima…. Kalo aja Mamah bilang dari kemaren-kemaren, Papah bakal jagain Mamah… Papah ga peduli sama masa lalu…”, jawabku. Tapi rupanya aku salah.. ucapanku itu mungkin malah membuat Lidya merasa telah salah jalan. Kini dia menangis lagi di pelukanku.

“Turun yuk Sayang…. Mamah mandi, Papah beli nasi goreng dulu.. Papah lupa belum makan… obat juga belum dimakan..”, ucapku padanya dengan lembut, untuk mengalihkan kesedihannya. Kemudian Istriku memegang keningku dengan telapak tangannya.

“Papah panas lagi… iya Pah ayo turun, cepet minum obatnya..”, ucap Lidya panik setelah menyentuh keningku. Aku memang merasa demam, tapi melihat pengorbanan istriku melawan trauma-nya untuk masuk ke rumah demi aku, membuatku melupakan rasa demamku.

Aku turun duluan untuk membuka pintu, setelah pintu terbuka Lidya baru turun dan segera berlari karena badannya hanya tertutup kain pantai.

Begitu sudah berada di dalam rumah aku pamit sebentar untuk beli Nasi goreng, istriku memelukku erat.. dia tidak mau aku tinggalkan, bahkan untuk mandi pun ia minta ditemani.

“Ya udah ayo mandi ditemenin… tunggu tukang Nasi Goreng yang lewat aja nanti”, ucapku mengurungkan maksudku dan bersedia menunggui istriku mandi.

Saat istriku mandi, aku memikirkan sebuah rencana besar. Aku akan menghadapi Nando. Setelah apa yang dia telah lakukan pada istriku, aku akan membalasnya dengan cara yang lebih kejam lagi… aku sudah bertekad untuk tak membayar utangku. Aku akan menghadapi dan menghabisinya satu lawan satu, tapi jika dia bawa orang-orang suruhan, dengan terpaksa aku pun akan mengerahkan ‘pasukanku’.

Ada satu hal yang kusimpan rapat, bahkan Lidya pun tak mengetahuinya. Ini berkaitan dengan Abah mertuaku yang sudah kuanggap sebagai ayahku sendiri karena aku tak sempat bertemu sosok ayah kandungku, seumur hidupku.

Dari dulu, Abah sebenarnya bukanlah pedagang pasar seperti yang Lidya tahu, tapi dia adalah orang yang ‘memegang’ pasar, mengerti kan maksudnya?

Di Bogor dia serahkan ‘kekuasaan’nya pada anak buahnya karena ia berhasil merebut pasar Jakarta. Tapi di Jakarta tidak lama, Jakarta cukup keras… kekuasaannya diambil alih saingannya, sehingga Abah pindah ke Bandung. Pasar di Bandung dia kuasai bukan dengan cara kekerasan seperti yang ia lakukan saat mengambil alih Jakarta, tapi berbagi dengan penguasa sebelumnya yang masih sahabatnya.

Pendapatannya dari pedagang pasar cukup lumayan, kalau dihitung dari seluruh jumlah pedagang, penghasilan Abah bisa setara dengan pemilik beberapa kios di pasar yang dikontrakkan. Karena itulah Lidya bahkan juga Ambu, menganggap Abah memiliki kios. Waktu Lidya mendatangi pasar di Jakarta untuk menuntut haknya setelah kami telah menikah, tentu saja dia tidak mendapatkan apa-apa, karena memang Abah tidak memiliki kios sama sekali, lagipula di Jakarta sudah bukan kekuasaan Abah. Tapi aku pura-pura tak tahu.

Semua cerita tentang sepak terjang Abah itu aku dengar dari anak buahnya, karena Abah tidak menceritakan itu semua padaku,

Di Bandung, tempat usahaku yang berada di kompleks pasar semi tradisional yang merupakan salah satu wilayah kekuasaan Abah. Disitulah aku mulai mengenal Abah bahkan diangkat sebagai mantunya, lebih tepatnya calon mantu. Abah tahu kalau aku mengetahui ‘profesinya’, dan dia berpesan untuk tidak menceritakan pada Lidya dan Ambu. Aku mengangguk saat itu. Sayangnya Abah belum sempat melihatku sebagai mantu karena keburu wafat sebelum aku dan Lidya melangsungkan pernikahan.

Semua anak buahnya tentu saja jadi menghormatiku karena aku sebagai mantu Abah. Bahkan penghormatan itu masih juga aku dapatkan sampai sekarang, meski telah 3 tahun Abah meninggalkan kita semua.

Yang ‘memegang’ Bandung saat ini adalah mantan anak buah Abah, bernama Kang Ajat. Dia masih menghormatiku, terbukti ketika aku mencari bahan kain di Bandung beberapa hari yang lalu. Aku bertemu dengan Kang Ajat, dan beliau mengerahkan anak buahnya untuk membantu mencarikan bahan kain yang aku butuhkan, dia bilang harus sampai ketemu. Kang Ajat juga berpesan untuk tidak sungkan meminta pertolongan padanya jika ada apa-apa, dan sekarang putri kesayangan Abah Agus telah disakiti, maka aku sudah menabuh genderang terhadap Nando, kita PERANG!!!

Mengapa tak kulakukan hal ini kepada Koh Freddy? Bukankah dia sudah terang-terangan hendak mencuri hati istriku? Levelnya jauh berbeda. Anak buah Abah levelnya pasar dan jalanan, sedangkan backing Koh Freddy aku yakin jauh lebih kuat, bahkan bisa saja aparat. Lebih baik sabar kalau sudah begini.

Tentu saja rencana perang ini tidak akan kuberitahukan pada Lidya, takut rahasia Abah yang tersimpan rapat menjadi terbongkar, lagipula dia pasti tak akan setuju jika aku menggunakan cara-cara kekerasan. Aku akan mencari waktu diam-diam untuk pergi ke Bandung, yang pasti tidak besok karena mobil pinjaman ini harus sudah kukembalikan pada pemiliknya, lagipula aku merasakan tubuhku kembali demam.

Kini Lidya sudah selesai mandi, aku lihat di tubuhnya ada beberapa bekas tanda merah, ada 2 yang sudah samar, 1 lagi masih pekat… sepertinya yang terbaru, tapi tak mengapa… aku sama sekali tak marah padanya, juga tak membuatku menjadi berpikiran mesum membayangkannya dengan si Nando bajingan itu. Yang pasti… aku semakin emosi pada Nando, ingin segera menuntaskan dendamku.

Semalaman ini Lidya kemana-mana minta ditemani, tatapannya kosong sering melamun, setiap sudut di rumah ini seperti membuatnya trauma, Anjng Nando!!!

Pikirannya yang lain aku duga adalah tentang karier pekerjaannya, yang sepertinya sudah terhapus segala mimpinya yang sudah tinggal di depan mata. Yang sabar Istriku…. kita jalani ini semua, kita akan lewati semuanya berdua. Aku berjanji untuk bangkit lagi dengan usahaku, tapi kini aku akan lebih berhati-hati, aku akan menuruti perkataan istriku.

Semalaman Lidya tidak bisa tidur bahkan mungkin baru bisa tertidur jam 6 pagi, itu pun setelah pindah kamar ke kamar tamu. Aku menemaninya sampai dia benar-benar bisa terpejam. Baru tidur beberapa jam Lidya terbangun karena mendengar suara ketukan pintu di depan rumah. Dia tampak seperti ketakutan dan memeluk tubuhku erat, aku tenangkan dan terpaksa aku tinggalkan dia di kamar karena harus membuka pintu, ternyata Iwan pegawaiku yang hendak mengambil mobil.

Kurang lebih pukul 10, ketika Lidya membuatkan telur untuk kita sarapan, kembali terdengar suara ketukan pintu.. Lidya langsung lari ke dalam kamar tamu tanpa mematikan kompornya. Aku benar-benar merasa iba melihat sikapnya ini, mungkin aku harus membawanya ke Psikolog atau Pskiater, ditanggung asuransi kesehatan pemerintah ga sih? Aku tak tahu, nanti aku cari dulu infonya.

Aku buka pintu rumah setelah mematikan kompor yang ditinggalkan Lidya, tampak seorang lelaki berusia 50 tahunan yang sepertinya pernah aku lihat, tapi lupa entah dimana. Tamu lelaki itu menatapku tajam, mukanya tak ramah dan menanyakan ‘Bu Lidya’. Siapa lelaki ini? Rasanya ingin kutonjok muka berkumis tebalnya itu.

Aku mengatakan kalau istriku sakit, akhirnya dia menyerahkan bungkusan berisi laptop, tas pakaian dan ponsel istriku. Oh ya, aku baru ingat kalau semua barang-barang istriku itu memang terlupakan untuk dibawa saat kejadian kemarin di Wisma. Aku menanyakan identitas tamu itu, akhirnya dia menjawab kalau dia adalah Pak Maman, satpam kantor yang tadi pagi dititipi barang-barang Lidya dari Petugas Wisma yang sengaja mengantarkan ke kantor Lidya. Pak Maman si satpam genit yang pernah ‘memakai’ Vina itu ternyata orangnya tak ramah.

Sekitar beberapa jam aku coba sebisanya untuk memulihkan trauma istriku, walaupun aku tak tahu cara yang kupakai ini benar atau tidak secara keilmuan. Aku tak membiarkan istriku untuk berdiam diri terus di kamar tamu. Aku ajak istriku ke setiap ruangan rumah, disana kuajak dia ngobrol hal apapun yang tidak ada kaitannya dengan aktivitasnya selama seminggu ini, tentu saja sambil kupeluk dan kuciumi keningnya sambil mengajaknya bercanda. Tampaknya usahaku berhasil, Lidya sudah tak terlalu murung lagi.

Sampai akhirnya ketika kami berada di ruang tamu, sebuah mobil hitam terlihat dari kaca jendela berhenti tepat di depan rumah, 4 orang laki-laki berbadan besar turun, tapi 2 orang masuk lagi ke dalam mobil. Aku dan Lidya bertatapan, istriku langsung berlari lagi masuk ke kamar tamu.

Tamu itu mengetuk pintu dengan keras dan langsung kubuka, lagi-lagi tamu hari ini wajahnya tak ramah, kecuali Iwan.

“Saya orangnya Pak Nando, anda Arief?!”, ujar salah seorang dari mereka, langsung bertanya dengan suara tinggi dan jelas tak ramah.

Hmmm, 2 orang ini mungkin masih bisa aku lawan.. walau aku pasti babak belur juga, tapi bagaimana kalau 2 orang temannya yang di dalam mobil ikut keluar? Saat aku masih berpikir, kulihat satu lagi mobil menyusul dan berhenti tepat di belakang mobil pertama. Terlihat 5 orang berbadan besar lagi turun dari mobil itu, tapi tidak masuk ke halaman rumahku, mereka hanya mengobrol dengan orang yang ada di mobil pertama. Okey, 9 orang….. terus terang ciut nyaliku.

“Saya Arief”, jawabku tegas sambil menatap matanya tajam, sengaja tak kutampakan ketakutanku.

Orang itu langsung masuk ke dalam tanpa kupersilahkan, dia langsung duduk di kursi panjang, sementara yang satu lagi tetap berdiri dan menyuruhku duduk dengan gerakan tangannya. Aneh, kenapa aku yang tuan rumah disuruh duduk oleh tamu? Ketika aku akan duduk di kursi single, si tamu yang masih berdiri itu memintaku untuk pindah ke kursi panjang, aku pun berpindah.. aku pikir dia mau duduk di kursiku, ternyata dia terus menyeretku sampai aku duduk di bagian tengah kursi panjang kemudian duduk di sebelahku, berdempetan. Kini aku terjepit diantara lelaki bertubuh besar ini.

“Seratus juta, sekarang..”, tanpa basa-basi tamu di sebelah kiriku berkata seperti itu.

“Saya harus bicara dengan Nando..”, jawabku mulai ketar ketir. Rencanaku untuk tak membayar utang sepertinya agak berantakan jika situasinya seperti ini. Aku sama sekali tak menyangka kalau Nando akan langsung menyuruh orang suruhannya untuk menagih, kupikir dia yang akan menagih langsung padaku.

“Tidak ada perintah untuk itu”, balas orang itu tenang tapi seakan mengintimidasi.

“Tapi ada yang harus dibicarakan dulu”, jawabku memberi alasan, aku tak tahu harus berkata apa sebenarnya, kurasakan posisi duduk tamu yang di sebelah kanan semakin menekan tubuhku.

“Bicara pada kami, tak perlu basa-basi panjang lebar, setelah itu serahkan uang, kami pergi”, tukas orang itu lagi.

“Saya telepon Nando dulu”, kataku lagi tetap bersikukuh, kuambil ponselku dari saku celana. Tapi saat aku hendak mengambilnya tangan orang yang di sebelah kanan menahanku.

“BIAR KAMI SAJA YANG TELPON!!”, bentak orang yang di kanan. Daritadi dia diam, sekalinya bicara.. membentak! Orang yang di kiriku lantas menyambungkan teleponnya pada Nando.

“Halo… Habisi sekarang Bos? Sepertinya tak ada uang”, orang itu langsung menyapa Nando dengan perkataan seperti itu.

“SAYA MAU BICARA!”, aku berteriak agar Nando mendengar ucapanku. Teriakanku ini membuat 2 orang penagih utang ini terkejut. Bukannya takut dia malah membentak balik.

“TUTUP MULUT KAU!!!!”, bentak orang yang tidak menelepon sambil melotot kepadaku.

“Siap, Bos”, ucap orang yang menelepon pada Nando, kemudian ia menyerahkan ponselnya kepadaku.

“Saya mau bicara empat mata, aku hubungi kamu sekarang juga lewat teleponku, suruh orang-orangmu menunggu di luar”, ucapku pada Nando. Tak ada suara apapun di ujung sana. Aku serahkan kembali ponsel itu pada orang di sebelah kiriku.

“Iya Bos… Siap, Bos… iya…. iya”, sepertinya orang ini sedang mendengar perintah Nando, entah apa yang dibicarakannya.

“Saya tunggu di luar!! Anda jangan macam-macam..”, ujar orang di sebelah kananku sambil berdiri dan meninggalkanku diikuti oleh temannya.

Aku langsung menghubungi Nando begitu kedua orang itu keluar pintu, kututup pintunya.

“Sekarang jam 12 pun belum.. beri gw waktu sampe tengah malem”, ucapku pada Nando begitu telepon diangkat.

“Hahahaha…. Bacot!!”, jawab Nando seolah meragukan perkataanku.

“Gw beresin semua, ya udah tunggu kabar dari gw 6 jam lagi!”, balasku sengit tapi ngelantur saking emosinya, aku tak tahu bagaimana aku bisa mendapatkan uang 100 juta dalam waktu 6 jam.

“Halah… langsung aja ke opsi 2, uang darimana lo?”, jawab Nando kembali meragukan. Jangankan Nando, aku sendiri ragu!

“6 jam lagi, gw hubungi, suruh orang-orang lo pulang!”, balasku.

“Palingan lo mau kabur bangsat”, ucap Nando menuduhku. Enak saja, tidak ada istilah kabur dari hidupku, Setan! Ingin kucaci maki dia, tapi kondisinya tidak memungkinkan.

“Gw ga akan kabur…….ok, mereka ga perlu pulang, tapi jangan di depan rumah… jaga di depan komplek aja, cuma ada 1 jalan masuk ke rumahku”, kataku yang tetap tak ingin ada orang suruhannya di depan rumahku. Bukan apa-apa, aku tak ingin mereka membuat istriku takut.

“Hmmm 6 jam ya, 100 juta.. ga ada negosiasi lagi.. kalo ngga opsi 2 berjalan. Sama, ga ada negosiasi!!!!”, jawab Nando dan langsung menutup teleponnya.

Meskipun tak dijelaskan apa itu opsi 2, tapi aku menduga opsi itu seperti apa yang dia ucapkan di kamar Wisma…… membayar utang dengan tubuh istriku, TIDAAAAK!!!!



Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.
You will be redirected to the script in

seconds

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com