𝐂𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐓𝐞𝐧𝐭𝐚𝐧𝐠 𝐈𝐬𝐭𝐫𝐢𝐤𝐮 𝐏𝐀𝐑𝐓 𝟐𝟔 [ 𝐒𝐀𝐊𝐈𝐓 ]

Hampir 2 jam aku berada di ruang IGD Rumah Sakit. Di ruang ini pula sedikit demi sedikit kesadaranku pulih. Aku memang tidak pingsan, tapi sejak kecelakaan hingga dibawa ke RS pikiranku seperti melayang tak tentu arah, seperti hidup di ruang ilusi. Antara sadar dan tak sadar, masih tak percaya peristiwa itu benar terjadi.

Aku hanya mendapatkan jahitan kecil di pelipis kiriku. Ada luka yang tak seberapa di tangan kiri, juga hanya memar di bahu dan paha kiriku. Sementara bagian belakang atas kepala terasa pusing dan jika dipegang agak sakit karena sepertinya terkena benturan, tapi setelah diperiksa bukan hal yang perlu dikhawatirkan.

Jika melihat dari kondisi fisik luar, sebenarnya aku sudah bisa pulang. Tapi karena aku mengalami demam serta tensi darahku pun tinggi, akhirnya aku harus dirawat untuk diobservasi lebih lanjut.

Beruntung aku mengikuti program kesehatan dari Pemerintah, sehingga aku tidak perlu khawatir dengan biaya Rumah Sakit. Petugas Kepolisian pun datang untuk melihat kondisiku dan sedikit bertanya tentang krologis kecelakaan. Aku jawab seperlunya saja karena sedang pusing.

Sekitar pukul 3, aku baru menghubungi Iwan, pegawai toko-ku. Aku meminta dia untuk menemaniku disini. Jika aku perlu apa-apa jadi gampang, ada yang bisa disuruh. Biarlah toko-ku dijaga oleh pegawaiku yang satunya lagi.

Aku ingin sekali menghubungi Lidya, tapi sepertinya ia masih berada di ruang kelas, selain itu aku juga sebenarnya belum siap untuk mengatakan hal yang terjadi kepadaku ini. Aku tak peduli dengan tubuh dan kesehatanku ini, yang aku khawatirkan adalah persoalan aku tertipu uang sebesar Rp. 72 juta dan satu-satunya mobil kesayangan kami ‘hilang’ di waktu yang bersamaan, di hari Rabu yang sangat kelabu ini, dan hal itu pasti akan membuat Lidya terpukul serta menyalahkan kebodohanku.

Tapi bagaimanapun dia istriku, dia harus tahu kondisiku. Aku yang telah melakukan kesalahan besar, harus berani mempertanggung jawabkan perbuatanku kepadanya. Akhirnya aku chat dia dan mengatakan bahwa aku mengalami kecelakaan. Tentu saja tak dibalasnya, karena memang selama di ruang kelas ia tak pernah mengaktifkan ponselnya.

Tak lama kemudian Iwan datang, beramai-ramai dengan kawanku sesama pemilik Toko dan para pegawainya. Datang juga salah satu rekanku yang bekerja sebagai marketing di leasing tempat aku ‘mengambil’ mobil, yang memang selalu stand by di Trade Centre tempat toko-ku berada.

Aku bertanya tentang nasib mobilku yang terbakar dan hampir bisa dipastikan sudah tidak akan bisa diperbaiki lagi. Apakah aku akan mendapat penggantian unit baru dari asuransi? Apakah aku harus tetap membayar sisa cicilanku?

“Udah Bro, tenangin diri dulu aja… yang penting lo sehat, itu yang paling utama”, kata Alex, marketing Leasing mencoba menghiburku. Tapi aku tetap mendesaknya, karena aku akan merasa tak tenang jika belum dapat kepastian.

“Gw bukan bagiannya Bro…. tapi gw janji buat bantuin lo untuk ngurus klaim biar cepet kelar… berdasarkan pengalaman yang udah-udah, mobil dengan cicilan yang masih panjang…………… ga akan dapet unit baru, tapi ada penggantian yang dibayarin ke sisa cicilan. Jadi kasarnya lo langsung lunas ga punya utang lagi, cuma emang ga dapet apa-apa, kalo pun ada sisa… paling dikit, jangan terlalu berharap ya Bro…. gw berat sebenernya ngomong gini, tapi mudah-mudahan gw salah”, ucap Alex dengan raut wajah yang sangat prihatin melihat nasibku ini. Aku hanya menganggukan kepala dan memejamkan mata, mencoba untuk bersikap tegar.

Karena melihat kondisi fisikku yang tidak terlalu mengkhawatirkan, akhirnya kawan-kawanku mulai buka suara soal Ilham, rupanya mereka tahu kabar permasalahan Ilham dari Iwan.

Mereka berjanji akan membantu untuk mencari Ilham, dan dari informasi yang sempat mereka dapatkan sebelum ke Rumah Sakit, ternyata Ilham di waktu bersamaan menipu juga beberapa orang, di waktu yang hampir bersamaan denganku. Ternyata korbannya tak hanya aku, tapi beberapa. Sudah fixed, aku memang tertipu dan uang 72 juta melayang.

Bagaimana urusanku dengan Nando? aku belum berani melaporkannya sekarang, mungkin aku akan menunggu hingga 1-2 minggu ke depan, mudah-mudahan aku sudah pulih dan mulai bisa mencari lagi keberadaan Ilham.

Mungkin inilah yang disebut karma, aku telah mengkhianati istriku yang sedang berusaha menjadi setia. Aku juga telah mengikuti egoku sendiri dan tak mendengarkan sarannya. Aku benar-benar Bodoh! Tolol! Bego! Dan segala ungkapan negatif rasanya cocok disematkan untukku.

Pukul setengah empat sore, Lidya menghubungi…. melalui video call ia ingin melihat langsung keadaanku. Dia menangis histeris, entah apa yang diucapkannya, suaranya tertutup oleh suara tangisnya. Yang pasti terdengar bahwa ia akan pulang saat ini juga.

Aku tahu, Lidya ini memiliki trauma dengan yang namanya kecelakaan lalu lintas, karena dia memiliki pengalaman buruk ketika kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan.

Bahkan hingga menikah pun, rasa trauma pada diri Lidya itu masih ada, karena itu didalam hatinya selalu tak ingin kalau aku pergi keluar di malam hari, soalnya kecelakaan orang tuanya terjadi di malam hari. Namun jika pergi dengannya di malam hari, justru tidak masalah.

Sepertinya ada kenangan buruk yang masih tersimpan, kenangan buruk ketika dia menunggu dengan gelisah orang yang dicintainya pulang saat malam hari, tapi ternyata yang datang hanyalah kabar duka. Ia tak ingin lagi menunggu dan kehilangan orang yang dicintainya di malam hari.

Sekitar pukul lima sore, Vina datang sambil menangis begitu masuk ke ruanganku, tapi langsung aku hardik perempuan itu dan menyuruhnya untuk segera keluar dari ruangan rawatku. Aku sudah tak akan memberi lagi ruang pada Vina, sedikitpun tidak. Aku sudah berjanji sungguh-sungguh untuk itu. Selain pikiran karena tertipu oleh Ilham, penyesalan pada Lidya, dan rasa kantukku akibat perbuatanku bersama Vina semalaman.. itulah yang menjadi penyebab aku tak berkonsentasi saat mengendarai mobil hingga terjadinya kecelakaan dan kehilangan mobilku.

“PERGI KAMU!!! NGAPAIN KESINI!?!”, teriakku penuh emosi yang kemudian aku ditenangkan oleh Iwan dan seorang temanku yang masih menungguiku di ruangan ini.

Aku sudah sangat membenci Vina, melihat wajahnya pun aku sangat muak. Aku sadar apa yang telah terjadi bersamanya… pada akhirnya adalah menjadi kesalahan berdua, tapi hatiku tetap menyalahkan dia sebagai biang dari segala kehancuranku saat ini.

“Kang, aku disuruh Lidya untuk nemenin dulu… Lidya sekarang lagi di jalan….”, jawab Vina yang terlihat shock melihat aku begitu marah kepadanya.

“GA PERLU!!! DAN JANGAN PERNAH LAGI-LAGI DATANG KE HIDUP GW!!!”, aku kembali menghardiknya. Akhirnya Iwan seperti memberi kode pada Vina dan menemaninya untuk keluar ruangan, sepertinya Iwan kaget juga dengan sikapku yang mendadak emosional.

Akhirnya sekitar pukul 7 malam, yang ditunggu datang juga. Aku memang menunggu dan merindukan sosok ini, sekaligus aku tak siap melihat dia kecewa setelah aku menceritakan segala kesialanku hari ini.

Begitu masuk dia langsung merangkul tubuhku sambil menangis…

“Apa yang kerasa Pah?”, tanyanya dengan raut wajah yang terlihat sangat khawatir padaku. Aku hanya menggeleng, ketegaranku yang kutampakan di hari ini akhirnya ambruk juga di hadapannya. Aku menangis.

“Papah sehat Mah… Papah ga apa-apa… cuma perasaan Papah yang sakit karena udah ngecewain Mamah….. Maafin Papah, Mah….. Maaf…. Maaf….. Maaf…..”, ucapku sambil terisak saat memeluknya.

Setelah tangisanku agak mereda, Lidya masih terus menangis. Akhirnya aku memberanikan diri untuk mengatakan yang sebenarnya. Tentang penipuan Ilham, tentang kondisi mobil yang hancur, tentang asuransi yang mungkin tidak akan memberikan penggantian unit baru. Rasanya lebih baik aku katakan sekarang, daripada ditunda-tunda yang membuat hatiku semakin tak tenang, aku tak bisa menyembunyikan hal itu terlalu lama pada Lidya.

Usai aku membeberkan semuanya, Lidya hanya menggeleng-gelengkan kepalanya di dadaku sambil terus menangis, dia pasti sangat kecewa padaku, sangat menyesal telah memilih aku sebagai suaminya, aku sudah siap untuk dibenci, bahkan sekalipun jika dia sekarang akan pergi meninggalkanku…. Walau sangat berat…………….. sepertinya akan aku terima…. karena aku memang sudah tidak pantas untuk dia, aku suami yang tak berguna!

“Papah ga perlu… mikirin itu semua… Mamah… udah bersyukur liat Papah… ga kenapa-napa… udah jangan terlalu.. dipikirin… memang bukan… rezeki kita… Papah yang.. sehat yaaa… sampai kapanpun…. Mamah bakal terus… dampingin Papah… apapun kondisinya”, kata Lidya yang mengucapkan perkataannya sambil menangis terisak.

Aku yang sudah siap menerima kemarahannya, aku yang sudah siap menerima raut wajahnya yang sinis ketika memandangku, aku yang siap untuk dihina dan menerima caci maki, justru mendapatkan perkataan Lidya yang seperti itu… tutur kata halus itu seolah menamparku. Mengapa aku sia-siakan perempuan seperti ini? Aku semakin merasa bersalah, kini yang kurasakan adalah penyesalan atas perselingkuhanku….. walaupun tentu saja untuk hal ini aku tak akan pernah berani untuk mengungkapkan kepadanya.

“Pah, maafin Mamah yang belom bisa jadi istri yang baik buat Papah, dalam kondisi gini harusnya Mamah ada di samping Papah… ngerawat Papah.. tapi Mamah besok ada test… aku ga dikasih izin….. ga ngerti banget orang lagi kena musibah… jadi Mamah paling nemenin Papah sampai subuh, trus ke tempat Pelatihan lagi.. Maafin Mamah yah”, ucap Lidya dengan raut muka sedih bercampur kesal karena tak diberi izin untuk meninggalkan Pelatihan walau hanya sehari.

Aku mengangguk dan mengerti kondisi Lidya, Pelatihan itu sangat penting baginya. Tapi aku tak setuju jika Lidya harus pulang Subuh, kasihan. Disini pun tak ada tempat, aku tak tega melihat Lidya harus tidur beralaskan karpet kecil yang dibawa Iwan untuk alas tidurnya.

“Udah ga apa-apa, Mamah kesini tadi pake apa?”, tanyaku.

“Dianter mobil kantor Pah… oh iya lupa.. aku belom ngasih tau sopir supaya pulang aja dulu, balik lagi kesininya Subuh… dia nunggu di parkiran”, jawab Lidya.

“Udah Sayang, Mamah balik lagi aja sekarang ke Wisma… ntar keburu malem benget, disini juga ga ada tempat buat Mamah tidur, Mamah harus fit buat persiapan besok test…. Papah udah dijagain sama Iwan koq”, pintaku pada Lidya.

Lidya kembali menangis, dia kembali memelukku sambil menciumi pipiku berulang kali. Aku tahu bahwa Lidya sebenarnya tak ingin meninggalkanku. Dia sempat bersikukuh untuk tetap menemaniku, tapi aku kembali yakinkan dia.. bahwa aku tak apa-apa, hanya demam saja, mungkin cuma akibat kehujanan.

Akhirnya Lidya pulang…. Langkahnya ke luar ruangan kulihat terasa berat, aku pun sebenarnya sangat berat, masih rindu pada sosok istriku yang luar biasa ini.

***​


Hari Kamis, demamku masih tinggi. Teman-temanku yang menjenguk datang tak henti-henti, semuanya menyemangatiku. Hampir semuanya merasa lega melihat kondisiku yang tidak terlalu mengkhawatirkan, karena mereka tahu bagaimana kondisi mobilku dari berita di media online serta foto mobilku yang terbakar banyak berseliweran di berbagai sosial media. Hampir mustahil jika kecelakaan itu tidak merenggut nyawa.

Yang membuat mereka lebih bersimpati adalah kasus tertipunya aku oleh Ilham. Karena itu semua yang membesuk rata-rata menyelipkan amplop untuk meringankan musibah yang dialamiku secara beruntun, sudah jatuh tertimpa tangga.

Teman-teman kantor Lidya juga pada datang menjenguk, Pak Ridwan dengan beberapa orang lainnya yang sebagian besar tidak aku kenal. Untung saja Vina tidak ikut rombongan ini, kalau ada.. sepertinya aku akan serba salah untuk mengusirnya di depan rekan-rekan kerja Lidya.

Untuk Pak Ridwan kali ini sudah tak ada lagi rasa curiga kepadanya, bahkan aku sudah menyadari kalau Pak Ridwan ini ternyata orang baik.. sampai menyempatkan datang untuk menjengukku.

Dari kejadian ini, aku memang seharusnya sudah harus mengatur ulang hati dan perasaanku. Yang aku curigai ternyata baik, justru yang aku percaya seperti Ilham malah menipuku. Aku telah banyak melakukan kesalahan dengan rasa kepercayaan dan curigaku selama ini.

Yang membuat aku semangat lagi di hari ini tentu saja Lidya. Segala kesedihanku, penyesalanku mendadak hilang setiap kali aku berkomunikasi dengannya.

Pagi hari dia memang tidak video call karena dia terlambat bangun, ia hanya menelepon sebentar sebelum masuk kelas. Siang dan sore hari dia hanya chat, itu cukup membuatku bahagia, seperti seorang pria yang menunggu chat dari kekasihnya. Bahkan di hari ini dia tidak mematikan ponselnya meskipun sedang berada di Kelas, dia khawatir aku ada apa-apa.

Malam hari dia video call, lama sekali… bahkan sampai dia tertidur hubungan teleponnya tak dimatikan. Aku yang sempat lupa dengan yang namanya seks setelah musibah menimpaku.. kini gairahku kembali muncul setelah melihat wajah cantik istriku dan mendengar suara manjanya melalui ponselku, aku rindu untuk memeluknya… kalau diizinkan aku ingin segera menggaulinya dengan penuh kasih sayang. Karena sekarang, aku sudah kembali seperti dulu, yang hanya ada dia di hidupku

***​


Hari Jumat, demamku sudah reda, tekanan darahku pun sudah normal kembali. Tapi belum diizinkan pulang, besok pagi dokter ingin memeriksa lagi untuk memastikan aku benar-benar sehat sebelum pulang. Ya… aku bisa pulang hari Sabtu besok!!!

Aku meminta Iwan untuk meminjam mobil sewaan, bukan.. bukan untuk pulang ke rumah, tapi aku akan menjemput Lidya. Iwan seperti biasanya langsung bergerak cepat, dia mendapatkan mobil dari salah satu pemilik toko tetanggaku di Trade Centre, bahkan tidak perlu sewa.. gratis! Awalnya Iwan meminta dia yang menyopirinya karena khawatir aku belum siap untuk mengemudi jarak jauh. Tapi aku menolaknya, karena aku tidak mau ada yang ganggu, Iwan pun tak bisa berbuat apa-apa selain mengangguk.

Pada saat pagi tadi Lidya video call, saat itu aku memang belum mengetahui informasi mengenai kepulanganku besok. Tapi pada saat siang hari saat aku akan memberitahukan berita gembiraku, justru Lidya mendahului bercerita bahwa dia memiliki berita baik sekaligus buruk.

Berita buruknya setelah besok pulang di hari Sabtu, dia harus kembali lagi ke Wisma di Minggu pagi, karena hari Minggu ada ujian lagi.

Berita baiknya adalah itu test tahap terakhir, Lidya sudah lolos terpilih menjadi salah satu peserta ujian akhir, yang berarti selangkah lagi dia benar-benar menjadi Manager. Sementara waktu akhir Pelatihan dimajukan menjadi Selasa. Hari Senin dan Selasa jika dinyatakan lulus hanya diberikan pengarahan materi lanjutan saja.

Aku langsung berpikir ide nakal, aku akan merahasiakan kepulanganku besok. Tentu saja aku tidak akan bilang kalau besok aku akan menjemputnya. Ah, sudah saja sekalian aku bilang dia tidak perlu pulang daripada bolak balik, dan aku sudah merencanakan untuk tidak menjemputnya… tapi aku akan tidur di sana, dan besoknya setelah Lidya selesai ujian, aku akan mengajak Lidya jalan-jalan di tempat wisata sekitar Wisma, karena Lidya bercerita bahwa selama Pelatihan dia tidak memiliki waktu untuk jalan-jalan keluar.

Malamnya saat video call kembali, Lidya kembali menangis… bahkan tangisannya lebih hebat dari sebelum-sebelumnya. Dia bersikukuh untuk pulang dulu besok, tapi aku larang bahkan berpura-pura sedikit marah kalau sampai dia memaksakan pulang. Walaupun kasihan melihat istriku menangis terisak karena rindu ingin segera bertemu, dalam hatiku tertawa dan ingin rasanya segera bertemu besok.. memberikan kejutan untuknya.

“Papah tega ga ngebolehin aku pulang duluuu… aku kan kangen Papaah.. aku belom jadi istri yang baik buat Papah, aku kan pengen nemenin Papah di rumah sakit… ”, ucap Lidya sambil terus menangis.

“Ga apa-apa Sayang, persiapin dulu aja buat testnya, nanti kalo Pelatihan udah selesai kan kita bisa sama-sama lagi….”, jawabku memberi semangat dibalik kebohonganku.

“Sepi disini Pah… dua kamar di sebelahku kosong ga diisi, 2 kamar lagi diujung ada yang isi sih, tapi yang satu pasti pulang soalnya orang Bogor, yang satu lagi ibu-ibu ga pernah keluar kamar…”, balas Lidya curhat tentang kesepiannya, sepertinya dia memang sudah sangat ingin pulang.

“Iya tahan Sayang, kan ini demi karier kamu…. Lagian kalo bolak-balik nanti Mamah sakit, apalagi Mamah pulangnya ke rumah sakit, hawa disini ga enak Mah… kalo Mamah sakit ntar ga bisa ikutan test.. gimana?”, aku tetap mempertahankan kebohonganku dengan memberikan alasan yang mudah-mudahan dia bisa terima.

“Ya udah deh kalo Papah maksa… Aku janji Pah, selesai Pelatihan, aku mau ambil cuti…. Eh, gimana kalo kita liburan? yang deket aja.. ke Bandung… udah lama kita ga ke Bandung..”, kesedihan Lidya berubah menjadi ceria setelah dia mendapat ide untuk berlibur ke Bandung. Kota yang menyimpan banyak kenangan bagi kita berdua. Aku bahagia mendengar kabar tentang rencananya itu, dan aku juga bahagia dengan keberhasilanku menahan tawa setelah membohonginya tentang rencanaku besok.​


 


Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.
You will be redirected to the script in

seconds

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com