Sebenarnya aku sudah ingin meninggalkan antrian Ice Cream ini untuk kembali pada Lidya yang kini hanya berdua dengan Koh Freddy. Tapi aku penasaran apa yang akan mereka lakukan jika tanpa pasangannya masing-masing. Maka aku urungkan niat tersebut untuk memastikan bahwa….. apakah diantara mereka memang ada hubungan yang special?
Pandanganku tak lepas dari keberadaan mereka yang masih asyik berbincang, masih tidak ada perbedaan dengan tadi ketika masih ada Ci Lani. Sampai akhirnya mereka berdua bergerak, sekitar 5 meter menjauh dari posisinya semula. Kini jarakku dengan mereka sekitar 15 meter. Untung mataku masih sehat dan normal, dengan jarak segitu aku masih bisa melihat mereka dengan jelas, walau kadang terhalang oleh lalu lalang tamu undangan.
Koh Freddy tampak mengambil segelas kecil minuman dari stand di dekat mereka berdiri lalu menawarkan kepada Lidya. Aku lihat Lidya menggeleng sepertinya tak mau minuman tersebut, yang entah apa itu namanya.
Kini mereka kembali mengobrol, tak tahu perasaanku saja atau benar begitu….. kini terlihat mereka semakin santai dan akrab. Aku lihat beberapa kali Lidya memukul pelan lengan Koh Freddy sambil tertawa. Jika kalian membaca cerita ini dari awal, pasti sudah hafal karakter Lidya yang selalu memberikan pukulan kecil kepada lawan bicaranya saat mendengar hal-hal yang dianggapnya lucu. Aku pun sebagai suaminya sudah barang tentu tahu dan hapal karakter istriku ini. Tapi jika mendengar dari keterangan Vina yang menyebutkan Lidya itu kaku kepada lelaki lain selain Pak Ridwan, kini aku berpikir kalau Vina salah… buktinya Lidya tampak akrab juga dengan Koh Freddy.
Ada yang berbeda kali ini dan sepertinya tak pernah aku lihat dari Lidya sebelumnya. Gerakan tangan Lidya yang memukul manja pada lawan bicaranya itu… kali ini tak kembali lagi ke posisi semula, tangan Lidya kini tetap memegangi lengan atas Koh Freddy yang berotot itu sambil terus berbincang.
Tak lama dari situ, aku lihat ada tamu undangan yang sedang berjalan melambaikan tangan ke arah Koh Freddy, sepertinya Koh Freddy akan menghampiri tamunya itu. Kemudian Koh Freddy berjalan melewati bagian punggung Lidya, namun langkahnya terhenti karena terhalang oleh tamu undangan yang banyak di sekitar area tempat mereka berdiri. Tamu undangan yang tadi melambaikan tangan itu kemudian memberikan gestur menelungkupkan tangan, sepertinya tanda pamit pulang dari jarak jauh. Koh Freddy pun membalasnya dengan gerakan yang sama.
Anehnya, meskipun tak jadi menghampiri tamunya itu, tapi kini Koh Freddy tetap berdiri di posisinya. Lalu aku lihat Koh Freddy membalikkan posisi badannya 45 derajat, kini dia tepat berada di belakang Lidya yang membelakanginya. Aku bisa melihat itu dengan jelas…. bahwa tubuh mereka kini bersentuhan, bagian kemaluan Koh Freddy tepat berada di gundukan bokong Lidya yang tercetak sexy melalui dress-nya itu.
Mereka masih juga tampak berbincang seolah tak perduli dengan posisi mengobrolnya yang tak wajar itu. Wajah Lidya tampak sesekali menoleh ke belakang sambil tersenyum atau tertawa kecil kepada Koh Freddy.
Karena posisi mereka berdiri itu berada diantara 2 stand, dengan jarak antar stand itu hanya kurang lebih 1 meter, maka ketika ada orang yang melewat ke ‘lorong’ itu membuat tubuh mereka semakin berdempetan untuk memberikan ruang jalan pada yang melintas.
Meskipun sudah tidak ada yang melintas dan kini jarak sudah leluasa, tapi mereka masih mempertahankan posisi berdempetannya itu!!!!
Bahkan………. kini aku lihat dengan mata kepalaku sendiri!!! terlihat gerakan dari Lidya seperti yang memundurkan pantat semoknya itu seolah menekan ke batang kemaluan Koh Freddy…. memang Lidya tidak sampai menungging, tapi tetap saja itu sudah diluar batas!!!!
Jika dengan kondisi ramai begini mereka berani melakukan hal seperti ini, apalagi saat mereka benar-benar berduaan saja? Apa yang mereka lakukan saat di perjalanan setiap mengantarkan pulang? Atau saat hari Minggu yang menurut Vina hanya sekedar Squash?!?!
Kali ini aku benar-benar tak percaya pada ucapan Vina. Mungkin Vina sama denganku, sama-sama menjadi korban kebohongan Lidya. Lidya yang dikatakan Vina begitu polos, kaku, ternyata berbuat seperti ini, dan itu aku saksikan sendiri!!!!
Aku melihat ke sekeliling, tidak ada yang memperhatikanku. Aku langsung meremas kemaluanku dan menggesek-gesekan tanganku dari luar celana, akupun sudah kehilangan akal sehatku melakukan hal bodoh ini di tempat seramai ini. Aku sudah tak tahan melawan nafsu dengan apa yang masih kusaksikan ini.
Sampai saat ini posisi mereka masih sama, bahkan kini tampak pinggul Koh Freddy dan juga Lidya bergerak perlahan seperti gerakan slow motion, namun seolah tidak ingin terlihat oleh orang lain, kadang maju mundur, kadang ke kanan ke kiri, yang pasti mereka sekarang sedang bergesekan dan seperti yang ingin menekan kemaluan dan bokong itu semakin erat dan semakin mantap. Sayangnya aku tidak bisa menyaksikan ekspresi wajah Lidya yang memang menghadap ke arah yang tidak bisa aku lihat.
Antara cemburu dan marah, namun kemarahan itu kuredam karena mengingat apa yang dinasehatkan Vina tempo hari. Jangan memakai emosi, begitu katanya. Bahkan ketika aku teringat Vina di kala ini, aku tersadar apa yang sudah kulakukan dengan Vina jauh lebih ‘bejat’ dari apa yang Lidya dan Koh Freddy lakukan sekarang ini. Kini aku merasa…. untuk cemburu pun aku tak berhak.
Namun bagaimanapun aku adalah suami yang harus mempertahankan harga diri dan keluargaku. Aku tidak bisa berlaku bodoh seperti ini, membiarkan istriku berselingkuh di depan mataku sementara aku asyik memainkan ‘barang’ku sendiri. TIDAK!!! Aku harus bertindak.
Aku langsung keluar antrian, membatalkan niat untuk mengambil ice cream dan berjalan menghampiri Lidya. Di saat yang bersamaan Lidya menoleh ke arahku, menyadari bahwa aku sedang memandangi dan berjalan ke arahnya. Dia pun langsung bergeser melepaskan gesekannya dan langsung berjalan mendatangiku. Tanpa komunikasi sedikitpun, Koh Freddy pun berjalan ke arah yang berlainan. Mereka berpisah tanpa kata.
Disaat aku dan Lidya sudah berada di jarak yang cukup dekat, aku langsung tarik lengannya sambil berkata “PULANG!”. Sepertinya Lidya kaget dengan reaksiku yang seperti ini. Tampak Lidya seperti menahan langkah kakinya untuk mengikutiku, tapi aku terus menarik lengannya dan kembali berkata, “AYO PULANG!”.
Lidya menoleh ke belakang seperti mencari seseorang, lalu ia pun berkata.. “Tunggu Pah, izin pamit dulu”, ucapnya seolah tak merasa bersalah.
“GA USAH!”, jawabku tegas.
Di sepanjang perjalanan antara ruangan Ballroom hotel dan tempat parkir, Lidya sempat bertanya, “Kenapa sih Pah?”. Tapi aku tak menjawabnya, dengan muka yang merah padam aku terus menarik lengan istriku ini hingga ke tempat mobil kami terparkir.
“PAPAH GA SUKA MAMAH DEKET-DEKET SAMA SI FREDDY!!”, aku membentak Lidya ketika kami sudah berada di dalam mobil. Kemarahan yang dari tadi kusimpan akhirnya meledak juga di mobil ini yang mulai kujalankan dengan kecepatan tinggi.
“MAKSUD PAPAH APA SIH?!?”, Lidya pun langsung membalas dengan nada sama tingginya. Aku tak pernah mendengar Lidya berkata dengan nada bicara tinggi seperti ini kepadaku sebelumnya. Mungkin ini pertengkaran atau gesekan hebat yang pertama dalam rumah tanggaku setelah 3 tahun mengarunginya.
“ADA HUBUNGAN APA KAMU SAMA SI FREDDY?!?!”, aku langsung menohok pada pertanyaan yang paling menggangguku selama ini.
“PAPAH KENAPA SIH?! HUBUNGAN KERJA AJA, GA LEBIH DARI ITU!!!”, jawab Lidya masih dengan nada tinggi. Sepertinya kemarahannya kali ini sekedar untuk menutupi kebohongannya.
“Hubungan kerja? Apa emang hubungan kerja itu harus sampe ngegesek-gesekin pantat ke kontolnya?.......... GITU?!?!?!”, kemarahanku sudah tak terkendali sampai mengeluarkan bahasa kotor yang tak pernah kuucapkan pada Lidya sejak awal pernikahan.
“PAPAH!!!!! Ya udah kalo Papah ga suka dan curiga sama aku, MULAI BESOK AKU BERHENTI KERJA!!!!”, tukas Lidya begitu mendengar aku mengucapkan tuduhan kepadanya dengan bahasa kotor.
Aku langsung terdiam, setelah Lidya mengucapkan kalimatnya yang menyebutkan berhenti bekerja. Seandainya aku sebuah mesin, pasti tubuhku langsung akan mengeluarkan bunyi…..
TUUUUUUUUUUUUUUUT………..
Beginilah nasib suami yang bergantung kehidupannya pada istri. Diancam seperti ini langsung tak berkutik. Tentunya kehidupan keluarga kami akan lebih sulit jika Lidya berhenti bekerja, sedangkan usahaku sedang diambang kehancuran.
Setelah ‘ancaman’ itu, tak ada lagi pembicaraan atau lebih tepatnya sebuah pertengkaran di sepanjang perjalanan. Kami sama-sama diam, masing-masing menahan kemarahannya, sampai kami kembali ke rumah.
Begitu mobil ini kuparkirkan di garasi, aku langsung turun tanpa menunggu Lidya terlebih dahulu. Aku segera masuk rumah dengan langkah dan perasaan emosi yang meluap-luap. Perasaanku begitu tak menentu, di satu sisi aku masih memerlukan bantuan finansial dari istriku, di sisi lain aku tak bisa melihat istriku berselingkuh.
Jika istri sudah tidak menghargaiku, maka setidaknya aku sebagai suami yang harus menghargai diriku sendiri, aku harus berani bersikap untuk mempertahankan harga diri…. Namun sialnya aku tak tahu harus bersikap seperti apa. Di kondisi yang seperti ini, terkadang aku jadi benci pada diriku sendiri.
Langsung kubaringkan tubuh dan pikiran yang lelah ini ke sofa di depan TV. Tak lama kemudian aku dengar suara langkah kaki Lidya masuk rumah, kemudian membanting pintu kamar. Sebuah sikap dan kekurang ajaran istri yang baru aku rasakan seumur perkawinanku.
Hampir 30 menit aku terbaring di sofa ini, tak ada solusi atau keputusan apapun dariku, aku harus bagaimana? Otakku sudah tak bisa berpikir. Kemarahan dan kekalutan terus menyerangku, seolah tak memberiku waktu sedetik saja untuk bisa berpikir jernih, begini salah begitu salah.
Sampai akhirnya kudengar pintu kamar tidurku terbuka, kudengar langkah kaki Lidya menghampiriku. Aku tak mau melihatnya, kupandangkan mata ini menatap langit-langit rumahku. Namun aku tebak kini Lidya sedang bersimpuh di lantai menghadapku yang masih dalam posisi terbaring di sofa.
Apakah saat ini dia akan mengatakan untuk mengakhiri pernikahan kami yang sudah berjalan 3 tahun ini? Apakah saat ini dia sudah berkemas untuk pergi dari rumah ini? Lalu mengarungi hidup bersama selingkuhannya itu? Membayangkan hal itu aku sama sekali tak siap, aku pejamkan mata untuk bersiap menghadapi kenyataan pahit. Rasanya aku ingin menangis saat ini juga, tapi sekuat tenaga aku tahan agar tak ada air mata yang keluar, Sungguh…. aku tak pernah mau kehilangan istriku!!!
Tiba-tiba aku rasakan tubuh Lidya mendekapku disertai suara isakan tangis yang cukup keras. Lidya menangis sejadi-jadinya. Aku jadi teringat pada tangisan Lidya di tempo hari. Rupanya Lidya tahu dengan kelemahanku, aku adalah lelaki lemah yang tidak tahan melihat istri menangis. Lelaki yang akan dengan mudah memaafkan seberat apapun kesalahan istrinya. Mungkin sekarang Lidya tahu… jika air mata adalah senjata yang paling ampuh untuk meredakan kemarahanku.
“Pah, ma’afin aku udah kurang ajar sama Papah….. aku ngerti kondisi Papah sekarang lagi sulit…. sekuat tenaga aku bakalan ikhlas seumur hidupku buat bantu Papah…. kalau ucapan aku tadi… tentang berhenti kerja udah bikin Papah kecewa…. Ma’afin aku, Pah…. Izinin aku buat ngeralat ucapan itu. Aku ga mau kehilangan Papah…. sampai kapanpun, Aku sayang banget sama Papah…”, ucap Lidya dengan tersedu-sedu.
Ada perasaan sedikit lega mendengar ucapan itu, setidaknya rumah tanggaku masih utuh, Lidya tidak meninggalkanku, Lidya pun masih rela menjadi back up untuk masalah keuangan keluarga ini. Tapi bagaimana dengan masalah perselingkuhannya?!?!?!
Kali ini aku dorong perlahan tubuh Lidya yang memelukku. Aku bangkit untuk duduk dan menyuruh Lidya untuk duduk di sampingku. Emosiku kini sudah lebih terkendali.
“Pertanyaan Papah belum terjawab, ada hubungan apa Mamah sama si Freddy?”, aku mengawali pembicaraan dengan tegas, meskipun dengan nafas yang berat…. tapi nada bicaraku sudah jauh lebih rendah daripada yang tadi kuucapkan saat di dalam mobil.
“Ma’af Pah…. aku khilaf……. jangan tinggalin aku, Paaaah”, Lidya langsung kembali menyergap tubuhku erat dan pecahlah raungan tangis yang lebih keras dari sebelumnya, padahal sebelumnya tangisannya sudah agak mereda.
Khilaf? Meskipun Lidya tidak menjawab secara gamblang. Tapi kata ‘khilaf’ tadi sudah cukup menjelaskan dan membenarkan apa yang kuduga selama ini.
Keanehan mulai muncul lagi pada diriku, nafsuku kembali membara yang membuat batang kemaluan ini menjadi mengeras setelah mendengar pengakuan itu. Sepertinya aliran darah tiba-tiba mengalir deras di dalam tubuhku, denyut nadi, detak jantung, dan penisku sama-sama kompak bekerja secara bersamaan.
Aku coba mengatur nafas…. “Kalian udah ngapain aja?”, tanyaku penasaran. Diluar kecemburuanku yang teramat besar, nafsuku membisikan kepadaku agar aku harus mengetahui secara detail setiap kejadian nakal istriku dengan Boss Besar ini.
Lidya hanya menggeleng, dan berkali-kali mengucapkan kata ma’af dan khilaf. Kata-kata itu tak cukup bagi nafsuku!!! Kali ini aku sangat terbakar gairah…. ingin mendengar langsung dari mulut istriku tentang perbuatan terlarangnya itu.
Namun aku tak melihat ada respon apapun dari istriku kecuali menggelengkan kepalanya sambil terus berurai air mata. Sepertinya dia memang berniat untuk menyimpan ceritanya itu.
“Mah…… Papah ga akan marah, Papah bakal ma’afin Mamah….. asal Mamah janji untuk GA NGELAKUIN HAL ITU LAGI, dan Mamah ceritain detailnya dari awal sampe kenapa Mamah bisa ngelakuin hal itu”, akal busukku mulai bekerja dengan memberi iming-iming pada istriku untuk memaafkan dan tak akan memarahinya, demi sebuah cerita yang akan memuaskan hasratku.
Kali ini Lidya melepaskan pelukannya dan menatapku dengan suara masih terisak, “Papah beneran ga marah? Papah ga akan ninggalin aku kaan? Aku janji Paah…. Janji!!! Aku ga akan ngulangin itu lagi…. Tapi….. buat apa Papah harus denger semuanya? tau tentang hal yang justru bakal nyakitin Papah….. yang pasti aku ga bakal ngelakuin kesalahan yang sama itu lagi….. aku janji, Pah! Janji……!!! aku ga mau Papah marah, walau sangat pantas Papah marahin aku buat semua yang telah aku lakuin di belakang Papah…”, ucapnya panjang lebar sambil menanyakan maksud keinginanku, mengapa aku ingin mengetahui hal itu secara detail.
Aku bingung harus memberi alasan apa lagi tentang keinginanku yang sudah tak terbendung itu, yang pasti penisku semakin meronta-ronta setelah mendengar kalimat.... ‘yang telah aku lakuin di belakang Papah’.
“Papah janji ga bakalan marah, sejauh apapun yang udah Mamah lakuin selama ini…. Papah janji masih mau maafin Mamah….. asalkan Mamah ceritain secara jujur seluruhnya….. ceritain, Mah… Papah mohon”, kali ini aku memohon dengan sedikit memaksa.
Lidya kembali menatapku dengan pandangan tanpa ekspresi, sepertinya dia bingung dengan keinginanku ini yang terdengar seperti menggebu-gebu. Lidya tampak masih ragu untuk menceritakan semua hal yang tabu tentang perselingkuhannya kepada suaminya ini.
“Ceritain di kamar yuk”, aku langsung menarik lengan Lidya untuk masuk ke dalam kamar.
Begitu sampai di kamar, kusiapkan bantal untuk Lidya bersandar di kepala tempat tidur. Aku langsung membuka pakaian Lidya yang memang sudah berganti menjadi daster. Lidya sepertinya masih keheranan dengan apa yang kulakukan, tapi dia tidak melakukan penolakan sedikitpun. Aku menekuk kaki Lidya agar lututnya sedikit terangkat…. Dan kuambil bantal yang lain lagi untuk disimpan di atas pahanya.
Sambil bersandar di bantal, kini posisi kepalaku tepat berada di depan payudara Lidya yang sudah tanpa penutup apapun. Payudara putih bersih, montok nan kenyal ini kubayangkan sedang dihisap liar oleh Koh Freddy, akupun langsung menghisapnya dalam-dalam payudara sebelah kanan Lidya, sementara tanganku bergerilya di payudara kirinya. Aku remas dan memilin putingnya yang berwarna merah muda itu. Tangan Lidya kutuntun untuk mengusap-usap batang kemaluanku yang masih berada di dalam celana.
“Ayo ceritain Mah….”, nafasku tersenggal saat mengatakan itu, akupun kembali menghisap-hisap payudaranya.
“Tapi janji Papah ga akan marah….?”, kali ini Lidya bertanya sambil membungkukkan sedikit kepalanya untuk berbisik di telingaku. Pertanyaan yang terdengar seperti untuk memastikan bahwa benarkah hal ini harus diceritakan dan tidak akan menimbulkan efek kemarahan dariku.
Aku hanya menjawab dengan anggukan karena mulutku ini masih sibuk menghisap payudara Lidya.
Lidya pun mengusap-usap penisku sebentar, lalu kemudian memiringkan sedikit tubuhnya untuk membuka celana panjang dan celana dalamku.
Penisku yang tegang kini sudah terbebas lepas, lendir pelumas alami sudah membasahi batangku ini. Tangan kiri Lidya lalu mengocok penisku dengan lembut dan perlahan.
Sementara itu tangan kanannya dengan sabar membelai-belai rambut kepalaku yang masih menghisap rakus payudaranya. Seperti gestur seorang ibu yang sedang menyususi anaknya. Ia pun memulai ceritanya……
PS. Aku tahu untuk peminat cerita bergenre Cuckold kebanyakan selalu mengharapkan cerita terus dipertahankan dari sudut pandang suami. Namun karena detailnya kisah yang akan disampaikan Lidya tentang Koh Freddy, maka jika tetap menggunakan POV Suami.. itu akan menjadi dialog yang terlalu panjang, yang pastinya akan membosankan. Maka izinkan khusus di Part selanjutnya, kisah ini menggunakan sejenak POV Lidya, bukankah istri juga perlu diberi hak yang sama untuk memberikan pandangan?