RANJANG YANG TERNODA BAGIAN 07b (DALAM PELUKAN PRIA TUA lanjutan)

 


Pagi itu tidak seperti biasanya, terik panas mentari lebih panas dari biasanya. Keringat lebih cepat menetes walaupun baru berjemur beberapa menit di bawah sinar matahari. Beberapa orang pemuda berkulit gelap menurunkan karung-karung berisi beras dari mobil bak tanpa mengeluh, sementara di bawah, seorang pria berusia paruh baya menghitung karung dan meletakkannya di timbangan besar di mana seorang lelaki lain mengukurnya. Pria paruh baya itu berulang kali mengelap keringat yang menetes dari dahi dengan menggunakan handuk kecil yang ia selampirkan di leher, berkali pula ia menarik topi kerucut yang ia kenakan dan ia kipas-kipaskan ke wajah untuk memberikan angin.

“Panas banget si… hari ini.” keluh sang pria paruh baya.

“Iya bang, kali panas ini gara-gara pemanasan glo… apa tuh… yang disebut-sebut di tipi itu ya?” timpal sang pengukur timbangan.

“Pemanasan global kali maksudnya?” jawab sang pria paruh baya sambil mengerutkan kening.

“Iya yah? Saya sih gak maksud, bang. Ya itu yang dibilang sama abang itu.” Sang pengukur timbangan tersenyum dan tersipu malu.

Sang pria paruh baya menepuk-nepuk pundak sang pengukur timbangan. Tiba-tiba saja satu sosok wanita berkelebat melalui mereka, sosok yang membuat kedua orang itu dan para pemuda yang sedang menurunkan karung beras berhenti bekerja karena takjub.

“Buset! Apaan tuh yang barusan, bang?” tanya sang pengukur timbangan sambil mengucek mata. “Beneran kagak yang lewat? Beneran yah?”

Sang pria paruh baya menatap ke arah sosok yang lewat sambil geleng-geleng tak percaya. “Beneran, Jo. Gila. Yang baru lewat itu beneran.”

Apa yang membuat kedua orang itu dan para pemuda yang sedang menurunkan beras terpukau?

Sosok wanita yang baru saja melewati mereka adalah sosok Lidya. Kali ini menantu Pak Hasan itu mengikuti kemauan gila sang mertua dengan mengantarkannya berjalan-jalan di sebuah pasar kecil yang berada sedikit jauh dari rumahnya. Lidya tidak mau mengambil resiko berjalan-jalan di pasar besar yang berada di dekat rumah karena takut akan ketahuan beberapa orang kenalan atau tetangga.

Sambil menggandeng mertuanya yang tersenyum bangga, Lidya berlenggak-lenggok di lorong-lorong pasar sambil memutar pinggulnya, dia sebenarnya malu sekali melakukan ini di depan orang-orang pasar, tapi mertuanya yang bejat memaksanya tanpa kenal ampun. Seperti waktu berjalan-jalan di mall, Lidya mengenakan baju yang sama sekali tidak sepantasnya dikenakan sewaktu masuk ke dalam pasar.

Lidya hanya mengenakan sebuah kemeja kecil putih yang sangat pas dengan lekuk tubuh atasnya dengan memakai BH berukuran mini dan tipis. Ukuran kemeja yang terlalu kecil mencetak keindahan lekuk tubuh Lidya untuk santapan mata para lelaki yang saat itu berada di dalam pasar. Mata mereka mengikuti gerak tubuh Lidya bagaikan seorang penonton pertandingan tenis yang mengikuti gerak arah bola. Buah dada Lidya bergerak naik turun tanpa bisa dikendalikan seiring gerakan lenggok pantatnya yang bergerak dengan sempurna. Karena sempitnya pakaian dan tipisnya bh yang ia kenakan, orang bisa melihat ujung puting buah dada Lidya menjorok ke luar seakan minta diselamatkan dari sempitnya pakaian yang ia kenakan. Ukuran buah dada Lidya yang besar membuat pakaian itu sulit dikancingkan, ia hanya bisa pasrah seandainya ada orang yang dengan sengaja mengintip-intip buah dadanya melalui sela-sela kancing yang terbuka.

Selain mengenakan pakaian sempit dengan BH tipis, Pak Hasan memaksa Lidya mengenakan rok pendek yang terlalu mini untuk wanita setinggi Lidya, kakinya yang jenjang melangkah melalui lorong pasar tanpa dilindungi apapun. Pahanya yang putih mulus seperti pualam menimbulkan decak kagum sekaligus birahi yang makin memuncak dari para penjual, khususnya yang berjenis kelamin lelaki. Rok mini Lidya hanya bisa melindungi kira-kira beberapa cm saja dari selangkangannya, jika menantu Pak Hasan itu memaksa jongkok atau membungkuk, orang yang berada di depan atau belakangnya bisa melihat celana dalam jaring-jaring yang ia kenakan. Jaring-jaring itu tidak melindungi apapun, karena seandainya cermat melihat dan mengamati, bibir vagina Lidya akan terlihat jelas dan membayang.

Lidya bersyukur dia diijinkan mengenakan kacamata hitam, karena dengan begitu dia bisa menyembunyikan air mata dan bersembunyi dari pandangan mesum seluruh lelaki buas yang berada di pasar. Berbeda dengan keadaan saat mereka berjalan-jalan di mall tempo hari, kala itu banyak lelaki yang melirik namun malu-malu memandang. Tapi kini, hampir semua lelaki memandang ke arahnya tanpa rasa malu, bahkan beberapa orang menyiulinya dan berkomentar menjijikkan.

“Pak, sudah ya pak… kita pulang saja… aku takut… malu…” bisik Lidya pada sang mertua yang menggandengnya.

“Ayolah, sayangku. Kita sudah pernah melakukan ini kan? Kenapa harus malu?”

“Tapi itu kan di mall, ini pasar… lagipula…”

“Hh… apa bedanya mall dengan pasar?” senyum lebar menghiasi wajah menjijikkan Pak Hasan. Lidya langsung tahu usahanya sia-sia saja.

“Jangan berhenti melenggokkan pantatmu, pastikan orang yang berada di belakang bisa melihat lenggokanmu yang panas itu, Nduk.” Kata Pak Hasan sambil terkekeh pelan.

Saat berjalan-jalan di mall dulu, Lidya bahkan tidak mengenakan bra, tapi saat ini, saat ia masih mengenakan pakaian dalam, Lidya merasa lebih parah. Orang-orang yang berada di pasar kecil ini sebagian besar adalah masyarakat menengah ke bawah yang tidak pernah melihat pertunjukan heboh semacam ini, keberadaan Lidya mengundang banyak orang untuk melihat. Ia bagaikan seorang bintang sinetron yang sedang dikejar-kejar oleh banyak wartawan.

Bisa dibilang, mungkin di seantero pasar, tubuh seksi Lidya tidak ada yang bisa menyaingi. Rambutnya yang panjang dan indah seperti cewek cantik di iklan shampo, kulitnya yang putih bersih seperti pualam bagaikan bintang iklan sabun, kecantikannya yang di atas rata-rata seakan bagaikan bidadari yang turun dari langit, dan yang lebih hebat lagi, keseksian tubuhnya yang tak bisa disangkal siapapun juga sangat menggugah nafsu birahi.

Seorang penjual ayam potong hampir kehilangan jari-jarinya gara-gara tak berkonsentrasi saat memotong daging ayam yang dibeli oleh seorang ibu-ibu. Seorang kuli yang sedang mengusung plastik besar berisi makanan anak-anak bertabrakan dengan kuli lain yang sedang membawa plastik berisi sayuran. Seorang penjaja makanan kecil berkali-kali merobek plastik hingga bertaburan karena tak bisa berkonsentrasi. Singkat kata, kehadiran Lidya benar-benar membuat heboh pasar kecil itu.

Sebelum datang kemari bersama Lidya, Pak Hasan sudah melakukan survey terlebih dahulu. Dia tahu pasti kalau di pasar kecil ini banyak pemuda dan para penjaja yang sering berkumpul di sebuah tempat bilyard kecil yang ada di ujung pasar. Disanalah tempat sebagian besar laki-laki penghuni pasar berkumpul, dan kesanalah ia akan mengajak Lidya.

Hati Lidya berdegup tak menentu, dia diam saja digiring oleh sang mertua ke tempat paling ujung di pasar. Dia makin ketakutan dan panik namun tak berdaya setelah melihat di tempat yang dituju mertuanya ternyata banyak laki-laki yang berkumpul, jangan-jangan mertuanya membawanya ke sarang preman pasar?

Lokasi tempat permainan bilyard itu sedikit masuk ke gang dan tidak bisa dilihat dari luar ataupun dari pasar. Hampir semua penjual di pasar, khususnya yang laki-laki, nongkrong di tempat ini. Beberapa meja bilyardnya sendiri sudah rusak dan tidak bisa dipakai sempurna, tapi tetap saja banyak orang yang berkumpul di ruangan ini untuk bermain judi kartu. Alangkah kaget orang yang sedang berkumpul di ruangan itu tatkala Pak Hasan dan menantunya yang aduhai masuk ke ruangan dengan nekat. Lidya berusaha menutup bagian dadanya dengan lengan dan berulangkali membenahi roknya yang naik ke atas, tentunya usaha itu sia-sia.

“Selamat sore, nama saya Hasan dan saya ingin ‘mengamen’ di sini.” Kata Pak Hasan di tengah-tengah keramaian orang yang memandangnya heran dan galak. “Saya tidak akan menyanyi atau bermain gitar, tapi menantu saya ini hendak menghibur anda-anda semua dengan menari. Ada yang mau lihat?”

Sontak kumpulan orang itupun ramai, mereka berteriak-teriak dengan girang mengiyakan, Lidya makin kecut nyalinya melihat buas dan beringasnya orang-orang yang berada di tempat itu.

“Bapak sudah gila? Aku disuruh menari di depan orang-orang ini? Bagaimana kalau mereka nanti hilang akal dan memperkosaku? Apa masih belum cukup bapak memperlakukan aku seperti pelacur? Aku bersedia masuk ke pasar dengan pakaian seminim ini dengan syarat tidak akan ada orang yang menyentuhku lagi.” bisik Lidya pada mertuanya dengan geram, “Aku tidak mau melakukannya! Pokoknya tidak!”

“Kau harus menari di depan mereka! Ingat perjanjian kita? Hari ini peran yang sedang kau jalani adalah sebagai budakku dan bukan istri anakku! Semua permintaanku harus kau turuti!” Bisik Pak Hasan di telinga Lidya sambil menggenggam lengan menantunya itu dengan sekuat tenaga, Lidya mengernyit kesakitan karenanya, “Menarilah dengan erotis, jangan lupa beri servis lebih pada mereka, tidak perlu striptease, cukup buka baju dan rokmu itu, lalu goyangkan dada dan pantat pasti sudah cukup untuk membuat mereka puas.”

“Ini gila… aku tidak mungkin…”

“Tidak mungkin apa, Nduk?”

Geram hati Lidya, tapi apa yang bisa ia lakukan di hadapan serigala-serigala lapar ini? Dia hanya bisa berlindung pada Pak Hasan, jadi apapun yang dia minta harus diturutinya.

“Baiklah, tapi janji tidak akan membiarkan mereka melakukan apa-apa padaku.” Bisik Lidya lagi. Wajahnya yang tadinya keras berubah pasrah, ini sangat menggembirakan bagi Pak Hasan. Sebaliknya bagi Lidya, mimpi buruk menjadi kenyataan. Di siang bolong begini, di dekat pasar, di sebuah kios kosong yang kotor tempat para lelaki kasar biasa bermain bilyard, Lidya harus menari bagi mereka. Memang dia tidak akan benar-benar telanjang, tapi menari hanya dengan BH tipis dan celana dalam menerawang di depan banyak lelaki buas seperti ini sama saja seperti menari telanjang, sama saja parahnya.

“Tidak akan ada satu penispun yang masuk ke dalam memekmu hari ini kecuali milikku.” Bisik Pak Hasan, kata-kata itu menusuk perasaan sekaligus menenangkan Lidya, membuat wajahnya memerah. Lidya ingin menangis rasanya, tapi sangat takut Pak Hasan akan main kasar kalau sampai dia mengembik meminta ampun, karena itu dipendamnya semua perasaannya. Tubuh wanita cantik itu gemetar karena ketakutan. Lidya menundukkan kepala karena malu yang luar biasa, wajahnya memerah dan keringat dinginnya mengalir tanpa henti, tangannya meremas-remas pinggiran rok mininya dengan cemas.

“Siapa yang ingin menonton si cantik ini bergoyang? Silahkan menikmati pertunjukan gratis ini!” kata Pak Hasan, dia meletakkan satu speaker kecil ber-USB yang memang sudah sedari tadi ia siapkan di atas meja bilyard kosong. Tombol play ditekan, lagu dangdutpun mengalun.

“Goyang! Goyang! Goyang!” hampir bersamaan, para penonton berteriak-teriak.

“Ingat, selalu sunggingkan senyum. Buka bajumu sambil melenggak-lenggok seperti penari striptease, cukup sampai bh dan celdam saja, tidak perlu telanjang. Kalau kamu tidak mau melakukannya, aku akan meninggalkanmu seorang diri di tempat ini dan menyerahkanmu pada orang-orang itu… bagaimana?” bisik Pak Hasan pada Lidya. Istri Andi itu mengangguk, bukankah ia hanya bisa pasrah?

Setelah Lidya menganggukkan kepala tanda tunduk, dengan terpaksa ia menyunggingkan senyum pada orang-orang yang berkeliling menonton keindahan tubuhnya. Ketika Pak Hasan memperbesar volume musik yang sedang berdendang, Lidya mulai menggoyangkan badannya. Goyangan pinggul dan pantat bulat si cantik itu langsung menghipnotis dan mempesona tiap orang yang menonton. Wajah mereka langsung memerah menahan nafsu melihat wanita secantik Lidya melenggak-lenggok memancing birahi. Teriakan mesum dan siulan nakal bergema silih berganti, kata-kata kotor terlontar mengomentari kemolekan Lidya. Kebetulan dulu saat masih kuliah, Lidya pernah mengikuti ekskul modern dance.

“Buka! Buka! Buka!” teriak orang-orang yang berada di situ. Tidak ada pilihan lain bagi Lidya. Lebih baik membuka pakaiannya sendiri sebelum para preman itu malah memaksanya telanjang nanti. Dengan gerakan perlahan dan sedikit meliuk-liukkan badan sesuai irama lagu, Lidya melucuti baju tipis menerawang yang ia kenakan. Payudaranya yang sentosa menggelinjang erotis dalam balutan bh tipis berwarna putih. Guncangan buah dada Lidya memompa birahi para penjual sayur dan buah-buahan, ingin rasanya mereka melihat balon buah dada Lidya meloncat keluar dari ketatnya bh yang menutupnya.

Dengan wajah merah karena malu dan keringat deras mengalir, Lidya mulai melucuti rok mini yang ia pakai dan melemparkannya pelan ke pojok ruangan. Istri Andi yang cantik jelita itu kini berdiri hanya mengenakan kutang dan celana dalam di sebuah bilik kecil tempat para preman pasar asyik bermain bilyar. Beberapa orang penonton yang berada di ruangan itu pun bersorak sorai dan bertepuk tangan melihat kemolekan Lidya. Dengan goyangan erotis yang mengundang syahwat, Lidya berlenggak-lenggok mengikuti irama lagu. Lidya sengaja beberapa kali memejamkan mata karena tak kuat menahan diri yang ingin menangis menari setengah telanjang di hadapan mata para lelaki buas yang menatapnya penuh nafsu. Pantat Lidya yang bulat sempurna dan montok bergerak-gerak erotis mengikuti lenggokan pinggulnya sementara buah dadanya berulang kali meloncat-loncat seakan mau copot dari ikatan ketat kaitan BHnya, penonton berseru meminta Lidya mendekat supaya mereka bisa meremasnya sekali atau dua kali, tentu saja seruan itu selalu ditolaknya.

Setelah hampir tiga lagu Lidya melenggak-lenggok di ruangan sempit yang gelap dikelilingi oleh sekelompok lelaki kasar, akhirnya Pak Hasan menyuruhnya berhenti. Tubuh si cantik itu basah kuyup dihujani keringat yang deras mengalir sampai-sampai tubuhnya yang seputih pualam bagai digosok sampai mengkilat. Tepuk tangan meriah sedikit mengagetkan Lidya, pria-pria buas dan kotor yang baru saja menyaksikannya menari terlihat bagaikan serigala kelaparan yang sudah siap menubruknya.

“Huibat sekali neng geulis ini menari, hayo dilanjutkeun! Kenapa berhenti? Merangsang pisan euy…” kata Pak Somad yang sehari-hari berjualan buah-buahan segar.

“Maaf, saudara-saudara semua, tapi pertunjukannya cukup sampai di sini dulu. Kalau ingin lanjut dan ingin lebih kenal dekat dengan menantu saya ini, silahkan menghubungi saya, tapi tentunya ada ongkos yang harus dibayar dan belum tentu semua orang akan saya ijinkan mendekatinya.” Kata Pak Hasan sambil tersenyum puas melihat orang-orang yang menonton aksi Lidya menjadi gelisah karena kecewa. Ia melemparkan baju dan rok yang tadi dipakai Lidya untuk dikenakan kembali.

“Yaaaah… masa cuma segitu doang? Nanggung nih ngacengnya!” keluh Pak Ramin si penjual gorengan disusul makian teman-temannya yang juga kecewa, tangan kirinya masih terselip masuk di dalam celana, tangan itu tadinya ia gunakan untuk mengocok si kecil dengan paksa, akhirnya tangan itu ditarik keluar dengan kecewa. Pemandangan indah adegan tari striptease Lidya memang membuat pria itu tadinya tak tahan, dia tak peduli kalaupun harus coli di depan teman-temannya.

“Terima kasih atas perhatian saudara-saudara sekalian. Demikianlah akhir dari pertunjukan ini.” Pak Hasan tersenyum lebar mendengar nada kecewa yang menggema di ruangan kecil itu, “dia ini menantu saya, boleh dilihat, tidak boleh dipakai.”

“Ka-kalau ada yang pengen ngentot? Bayarnya berapa ya, Pak?” tanya Pak Ngadi si penjual mainan anak-anak, dari tadi dia blingsatan melihat Lidya menari-nari, kecantikan dan kemolekan Lidya membuat Ngadi lupa pada anak istri, dengan bergetar Ngadi membuka kantong plastik berisi uang ribuan yang sudah beberapa hari ini dia kumpulkan untuk istri di rumah dan modal berjualan mainan esok hari.

Teman-teman Pak Ngadi tertawa mendengar pertanyaan itu, termasuk Pak Ramin. “Wah -wah, Ngadi… Ngadi! Jangan belagu kamu, punya duit dari mana? Emang ngewe cewek secakep ini murah? Mau kamu bayar pake apa? Utangmu gopek sama si Slamet aja belum dibayar dari bulan kemarin!”

Ngadi pun menunduk malu sambil melangkah ke belakang. Menggantikan posisinya kini adalah Abah Aseng, juragan beras di pasar itu. Pria keturunan bertubuh gemuk itu mendekati Pak Hasan. “You minta berapa duit? Aku mau pakai dia satu jam. Berapapun harganya aku bayar.”

“Ha ha ha… aduh, Abah Aseng! Masa cuma sejam?” Pak Ramin ribut lagi. “Bayarnya sih kuat, otongnya yang gak kuat… ha ha ha…”

Kumpulan lelaki mesum itu langsung ramai penuh tawa, tapi Abah Aseng yang sudah biasa menghadapi mereka segera menjentikkan jari. Dua orang laki-laki bertubuh besar dan berwajah sangar mendekati Pak Ramin. Penjual gorengan itu langsung mundur teratur tanpa berani berkomentar macam-macam lagi. Abah Aseng ternyata membawa dua premannya yang terkenal ganas.

Pak Hasan menggelengkan kepala. “Sepertinya semua orang di sini belum mendengar apa yang tadi saya sampaikan ya? Dilihat boleh, dipakai jangan.”

Abah Aseng tidak terima begitu saja, dia menjentikkan jari sekali lagi. Dua premannya mendekati Pak Hasan dengan pandangan mengancam. “Ayolah, Pak.” Kata Abah Aseng. “Dipikir dulu, aku kan pakenya ndak lama. You malah mestinya terima kasih, aku mau pake barang you itu. Jadi gimana? Aku bayar berapapun ndak masalah. Tapi kalau you ndak tau terima kasih, ya aku ndak tanggung jawab kalau nanti anak-anak turun tangan. You pikir you siapa bisa seenaknya masang cewek di pasar ini? You kan sudah tua, lebih baik tidur saja di rumah, biar aku yang rawat anak manis ini.”

Dengan kurang ajar Abah Aseng mencolek dagu Lidya. Si cantik yang sedari tadi ketakutan dan terdiam itu menjerit ketakutan, ia segera berlindung di balik tubuh Pak Hasan.

Pak Hasan tersenyum sinis. “Saya memang sudah tua, tapi kalau cuma dua preman kelas teri begini, saya sendirian masih sanggup menghadapi. Saya tidak datang ke pasar ini tanpa persiapan terlebih dahulu.” Dengan sigap Pak Hasan maju ke depan dan mendekati Abah Aseng, tangannya bergerak dengan cepat, masuk ke selangkangan sang juragan beras dan mencengkeram kantung kemaluannya tanpa bisa dicegah. Abah Aseng langsung berteriak kesakitan, suasana pasar yang tadinya ramai berubah menjadi senyap saat Abah Aseng menjerit-jerit.

Dua preman yang tadinya sigap jadi kebingungan, saat mereka maju, Pak Hasan mencengkeram lebih erat lagi. “Kalau dua preman itu nggak mundur, saya remuk bola Abah, bagaimana?”

Abah Aseng mengangguk-angguk dengan cepat, dia sangat kesakitan. Dengan gerakan tangan melambai, Abah Aseng menyuruh dua premannya meninggalkan tempat itu. Kelompok kecil itu bersorak-sorai, baru kali ini ada orang yang berani melawan Abah Aseng. Mereka puas karena selama ini selalu menjadi bulan-bulanan dua preman sang juragan beras. Abah Aseng segera lari terbirit-birit karena malu di bawah sorak sorai para penjual.

“Baiklah, karena hari ini saya sedang gembira, saya akan memberi kesempatan pada satu orang untuk ikut bersama kami dan menikmati keindahan tubuh menantu saya ini. Orang tersebut akan dipilih sendiri oleh menantu saya dan dia akan mendapatkan servis gratis tanpa ditarik biaya apapun. Siapa yang mau?”

Semua orang yang sedang berkumpul di tempat itu menunjukkan jari ke atas. Semua mau dipilih, semua ingin mendapatkan servis gratis, semua ingin mencicipi kemolekan wanita cantik kelas atas seperti Lidya. Siapa yang menolak?

“Siapa yang kau pilih, Nduk?” tanya Pak Hasan pada menantunya yang sedang sibuk mengenakan kembali pakaiannya, “harus dipilih salah satu.”

Lidya gelagapan karena bingung, mana kiranya yang harus dipilih? Wajah mereka kasar, rata-rata berkulit coklat gelap dan penampilannya jelas tidak ada menarik, mereka juga sangat bau dan tidak kenal sopan santun. Mana yang harus dia pilih?

“A-aku tidak…” Lidya menggelengkan kepala, dia menolak kalau harus melayani satu di antara para penjual dan preman ini.

Wajah Pak Hasan mengeras dan pandangannya berubah galak, Lidya tahu apa artinya perubahan wajah mertuanya itu, dia harus memilih.

“Siapa yang kau pilih, Nduk?” tanya Pak Hasan sekali lagi dengan suara tegas.

“Di… dia.” Lidya menunjuk Pak Ngadi, sang penjual mainan anak-anak.

.::..::..::..::.

Hari ini Alya terlalu lelah, ia memutuskan untuk istirahat dan membiarkan Dodit dan Anissa yang menjaga Hendra di rumah sakit. Ia ingin di rumah saja bersama Opi, beruntung sekali Pak Bejo dan istrinya harus pergi sehingga dia aman dari gangguan lelaki tua tengik itu. Wanita cantik itu duduk di teras depan rumahnya sembari melamun menatap awan yang beriringan di langit.

Alya menghapus airmatanya yang meleleh tanpa henti sedari tadi. Apa yang harus mereka lakukan sekarang? Hidupnya hancur berantakan, suaminya cacat dan tak akan bisa bekerja dan beraktifitas seperti sebelumnya, dirinya telah ternoda oleh perbuatan kotor Pak Bejo dan menjadi hamba seks tetangganya yang cabul itu. Bagaimana mereka akan melalui semua ini? Alya menundukkan wajahnya dan menangis tersedu-sedu, hampir satu jam ia tak bergerak, hanya menangis dan melamun.

Kecelakaan parah yang menimpa Hendra membuat Alya dan Opi sedikit kerepotan kalau hendak bepergian, sepertinya, mereka akan membutuhkan tenaga pekerja baru sebagai seorang sopir. Alya jelas tidak mau memperkerjakan Pak Bejo yang berhati busuk itu. Dimanakah ia bisa menemukan seorang driver yang dapat dipercaya?

Setelah satu jam berlalu, terdengar suara denting keras dan Alyapun mulai sadar kembali dari lamunannya, ternyata langit sudah gelap dan hari telah sore. Dentingan suara apakah yang telah menyadarkan Alya?

Suara apa itu? Alya menengok ke arah asal dentingan. Rupa-rupanya dentingan suara mangkok seorang penjual bakso keliling.

“Bakso, bakso. Baksonya, Mbak?”

Seorang penjual bakso bertubuh kurus dan berkulit hitam tersenyum pada Alya, penjual bakso itu bernama Paidi.

.::..::..::..::.

Ngadi menganga melihat rumah Lidya. Dia kagum sekali, ternyata Lidya adalah seorang wanita yang mapan dan berkecukupan, tinggal di kawasan perumahan kaum menengah ke atas yang tenang dan asri. Apa yang dia lakukan bersama seorang bandot tengik seperti Pak Hasan? Kalau tidak salah, kata pria tua itu wanita cantik ini adalah menantunya? Orang gila seperti apa yang melacurkan menantunya pada orang-orang pasar? Sudah kacau dunia ini.

Tapi segila-gilanya dunia, Ngadi masih waras, dia masih mau ditawarin tubuh ranum seperti milik Lidya, dia belum gila.

Duduk di ruang tamu selama setengah jam seorang diri membuat Ngadi melamun. Penjual mainan anak-anak itu tak puas-puasnya mengagumi isi rumah Lidya dan Andi. Berkali-kali ia menggelengkan kepala saat melihat foto mesra pasangan Lidya dan Andi, sungguh sayang wanita secantik Lidya jatuh ke tangan bandot tua seperti Pak Hasan.

“Bagaimana, Pak Ngadi? Sudah siap?” tanya Pak Hasan seraya turun dari tangga, “jamunya sudah diminum?”

Ngadi menganggukkan kepala, dia memang belum berganti pakaian dan membersihkan diri, tapi dia sudah tidak sabar lagi ingin menyantap hidangan utama yang sedari tadi sudah ditawarkan oleh Pak Hasan yaitu tubuh Lidya, sang nyonya rumah.

Pak Hasan tersenyum melihat ketidaksabaran Ngadi yang buru-buru berdiri. “Sabar… kalau ingin diservis menantu saya, tentunya Pak Ngadi harus mandi dulu yang bersih.”

“Ma… mandi?”

“Iya, Lidya sudah menunggu di kamar mandi atas, diharapkan Pak Ngadi mau mandi bersamanya. Silahkan.”

Mulut Ngadi menganga lebar tak percaya. “Mak… maksudnya mandi bareng Mbak Lidya?”

Pak Hasan mengangguk.

Mimpi apa Ngadi semalam? Mimpi kejatuhan durian mungkin? Setelah seharian hanya bisa melamunkan kecantikan Lidya, dia tidak menyangka akan diberi kesempatan mandi bersama wanita yang secantik bidadari itu. Benar-benar beruntung dia hari ini!

“Be-bener ini, Pak? Saya nggak mimpi kan?” Ngadi masih belum mempercayai keberuntungannya, “ng-nggak perlu bayar?”

“Nggak perlu bayar. Tapi ingat, hanya sekali ini saja.” Kata Pak Hasan sambil menepuk-nepuk pundak Pak Ngadi. “Oh iya, Pak Ngadi, meski gratis pegang apa saja, tapi tetap tidak boleh penetrasi. Memeknya tidak boleh diganggu-gugat oleh kemaluan Pak Ngadi, mengerti?”

“Wa-wah… sudah boleh mandi bareng saja saya sudah senang, Pak. Saya nggak akan minta macam-macam.” Kata Pak Ngadi jujur, penjual mainan anak-anak itu benar-benar sudah tidak ingat lagi pada anak istri. Siapa sih yang tidak mau ditawari mandi bersama seorang bidadari?

Dengan diantarkan oleh Pak Hasan, Ngadi berjingkat menuju kamar mandi yang terletak di kamar atas, kamar tempat pasangan suami istri Lidya dan Andi menghabiskan waktu bersama. Kamar itu sangat bersih dan harum, wangi semerbak juga tercium dari pintu kamar mandi yang terbuka lebar. Pak Ngadi menahan nafas saat dia perlahan memasuki kamar mandi yang sudah terbuka.

Tubuh indah Lidya terpampang jelas di depan matanya. Si cantik itu telanjang! Pak Ngadi terbelalak tak percaya, ini semua benar-benar terjadi?

Lidya berdiri bersandar ke tembok dengan wajah menunduk malu dan lengan yang menutup buah dada dan kemaluannya. Walaupun begitu, di bawah guyuran air shower yang membasahi sekujur tubuh indahnya, Pak Ngadi bagaikan menatap keindahan seorang dewi.

Kejadian ini tentu saja disaksikan oleh Pak Hasan yang terus memantau di dekat pintu, dia selalu berada di belakang Pak Ngadi tanpa mau bergerak melindungi menantunya. Pria tua itu bahkan memberi kode pada Lidya untuk menarik tubuh Pak Hasan mendekat.

“P-pak Hasan ma-mau mandi?” Lidya terbata-bata. Dia tahu seharusnya dia mengucapkan kata-kata itu dengan suara semanja dan seseksi mungkin, tapi Pak Ngadi bukanlah suaminya, dia tidak mungkin bersikap manja pada orang tak dikenal berwajah buruk dan sekotor Pak Ngadi. Tapi bagi Ngadi, suara yang keluar dari mulut Lidya itu bagaikan nyanyian merdu seorang bidadari.

“I-iya… saya mau mandi.” Kata pria tua itu tergagap.

“Ma-Mau mandi b-bersama?” ajak Lidya. Berulangkali dia menatap Pak Hasan yang berdiri di pintu agar mau menyelamatkannya dari situasi canggung ini, tapi Pak Hasan bergeleng tanpa ampun. Hanya satu jalan keluar bagi Lidya, yaitu mempercepat semuanya agar segera selesai. Dengan gerakan pelan yang sangat erotis, Lidya mendekati Pak Ngadi.

Pria tua yang biasa menjual mainan anak-anak itu melotot dan menatap tak percaya gerakan tubuh Lidya, payudaranya yang besar dan kencang bergerak menggelombang ketika si cantik itu berjalan. Lidya kini tak peduli lagi apakah tubuhnya yang telanjang terlihat jelas atau tidak. Pandangan Pak Ngadi juga tak lepas dari gundukan mungil yang berada di selangkangan Lidya, karena rambut yang berada di atas kemaluan dicukur bersih, gundukan bibir kemaluan Lidya bisa terlihat jelas oleh Pak Ngadi yang langsung meneguk ludah karena menahan nafsu.

“Saya lepas ya baju Pak Ngadi.” Bisik Lidya perlahan. Ngadi hanya pasrah, mau diapakan juga dia mau, asal oleh Lidya.

Dengan gerakan gemulai, Lidya melucuti satu demi satu pakaian yang disandang Pak Ngadi dan meletakkannya. Berdiri sangat dekat dengan wanita telanjang secantik Lidya membuat Pak Ngadi merinding, nafsu, malu tapi mau. Buah dada Lidya yang masih kencang memompa semangat Pak Ngadi, ingin rasanya dia menjamah, tapi rasa takut dan segan membayangi. Akhirnya, seluruh pakaian Pak Ngadi telah dilepas. Pria sederhana itu kini berdiri telanjang di depan Lidya. Kemaluan Ngadi yang ukurannya sedang-sedang saja berdiri menantang di hadapan Lidya, tegangnya penis Ngadi tentu adalah hasil pertunjukan erotis Lidya. Walaupun situasinya sangat tidak menyenangkan, entah kenapa Lidya merasa geli dengan keluguan Ngadi.

“Jangan takut pak, saya tidak menggigit kok… kecuali diminta…” bisik Lidya sambil menggigit bibir bawahnya. “Ayo mandi sama saya.”

Si cantik itu kaget sendiri setelah mengatakan pernyataan erotis itu. Bagaimana mungkin kata-kata itu bisa terucap dari mulutnya? Apa yang terjadi pada dirinya? Apakah dia sudah mulai menyukai affair semacam ini setelah berhari-hari ‘dididik’ oleh Pak Hasan? Tidak… ia tidak mau… Mas Andi… tolong… Mas Andi…

Perubahan wajah Lidya terlihat jelas, ia mundur beberapa langkah dan menjauhi Pak Ngadi, kali ini sekali lagi Lidya menutupi buah dada dan kemaluannya. Sikap Lidya yang berubah-ubah membuat Ngadi bingung, pria tua itu berbalik menghadap Pak Hasan tapi mertua Lidya menggeleng.

“Maju saja, Pak Ngadi. Silahkan.” Kata Pak Hasan. Pak Ngadipun kembali berbalik dan mendekati Lidya yang menyudut di pojokan.

Setelah menyuruh Ngadi untuk maju, Pak Hasan mengambil kursi tepat di depan pintu kamar mandi dan duduk menghadap ke dalam, apapun yang terjadi di dalam, ia bisa menyaksikannya. Mertua Lidya itu melucuti celananya sendiri dan siap mengocok kemaluannya. Ada perasaan aneh yang bisa merangsang Pak Hasan saat ia melihat menantunya yang seksi berada dalam pelukan lelaki lain yang bukan suaminya. Ia pasti akan sangat menikmati pertunjukan ini.

“Sa… saya mandikan ya, Mbak Lidya…” kata Ngadi perlahan.

Lidya yang ternyata tengah meneteskan air mata mencoba menyembunyikan tangisnya lewat guyuran air yang turun dari shower, ia tidak mau Pak Hasan marah dan menghajarnya nanti. Mendengar suara lugu Pak Ngadi yang mendekatinya, Lidya hanya bisa mengangguk dengan pasrah. Yang akan terjadi terjadilah. Sebelum peristiwa ini terjadi, selama hidupnya Lidya hanya pernah mandi bersama dengan satu orang lelaki, yaitu Andi suaminya. Merinding juga rasanya mandi dengan lelaki tak dikenal seperti Pak Ngadi.

Air yang turun dari shower menghujani dua tubuh telanjang yang saling berhadapan, perlahan-lahan Lidya membalikkan badan karena malu, namun melepas kedua lengan yang menyembunyikan buah dada dan kemaluannya. Si cantik itu memejamkan mata menanti gerakan Ngadi. Penjual mainan anak-anak itu bergerak perlahan, dia tak puas-puasnya mengagumi keindahan tubuh Lidya yang molek. Bagian belakang tubuhnya pun sangat putih dan mulus tanpa bercak sedikitpun, berbeda dengan tubuhnya yang kotor dan bopeng-bopeng.

Tangan Pak Ngadi menyentuh punggung Lidya perlahan. Inilah untuk pertama kalinya mereka bersentuhan. Lidya mengeluarkan desahan pelan, ia berharap Pak Ngadi tidak mendengarnya. Walaupun tidak mendengar desahan erotis Lidya, Ngadi bisa merasakan getaran pelan dari tubuh wanita seksi yang sedang memunggunginya. Dengan perlahan, Pak Ngadi menggosok punggung Lidya dengan tangannya, ia mengambil sabun dan mengoleskan pelan di punggung seputih pualam milik istri Andi itu.

Melihat kepasrahan Lidya, Ngadi makin berani, tangannya bergerak ke depan dan perlahan-lahan meraih payudara Lidya yang sedari tadi membuatnya terpesona. Dengan dua tangan dari kiri dan kanan, pria tua itu menangkup buah dada Lidya yang besar dan kencang. Lidya meringkik lirih ketika Ngadi meremas balon buah dadanya. Pria tua itu makin mendekat dan memeluk tubuh Lidya dari belakang. Kini Ngadi menggosok punggung Lidya dengan dadanya, hal ini makin membuat Lidya terangsang hebat. Terlebih ketika dirasakannya kemaluan Ngadi terselip tepat di tengah-tengah lembah pantatnya. Pria tua itupun dengan nakal menggerakkan pinggul agar kontolnya menggesek-gesek pantat Lidya.

Lidya merengek lebih keras, gesekan kontol di pantat dan remasan tangan di payudara makin ditingkatkan, membuatnya tak mampu bertahan. Si cantik itu masih memejamkan mata ketika ia berbalik. Dengan sengaja ia mengeraskan aliran shower agar memancar lebih keras. Berhadap-hadapan dengan Lidya membuat kontol Ngadi makin menegang, ia memeluk wanita seksi itu erat-erat. Dengan bantuan sabun, Ngadi mengoles-oles buah dada Lidya, ia menggerakkan payudara Lidya naik turun di dadanya sendiri.

Lidya melenguh menahan nafsu, ia akhirnya bergerak naik turun tanpa diminta, menjadikan buah dadanya yang bersabun sebagai penggosok dada Ngadi. Pria tua itu sendiri tak berhenti, ia meremas pantat bulat si jelita dan mulai berani menciumi tubuhnya. Bibir Ngadi bergerak dari wajah namun menghindari bibir seksi Lidya, Ngadi menciumi setiap jengkal kulit mulus Lidya yang basah oleh siraman air dari shower, mulai dari lehernya yang jenjang, lalu turun ke dada yang masih belepotan sabun. Sambil membersihkan buah dada Lidya dengan tangan, ia juga menciumi kedua balon payudara si cantik itu dengan penuh nafsu, kali ini ia menghindar dari puting payudara Lidya. Ciuman Ngadi berlanjut ke daerah perut, terus turun sampai akhirnya ke bibir kemaluan Lidya. Kali ini Ngadi tak menghindar.

Dengan kepasrahan penuh birahi, Lidya menahan dirinya dengan menyandarkan tangan ke tembok kamar mandi. Ngadi berjongkok hingga kepalanya tepat berada di depan kemaluan Lidya. Air terus mengalir membasahi tubuh mereka berdua, sementara Pak Hasan menyaksikan adegan demi adegan sambil mengocok kemaluannya sekuat tenaga.

Ngadi mengelus-elus paha mulus Lidya lalu menciuminya bergantian, kiri ke kanan, kanan ke kiri, terus menerus. Ciuman itu tak berhenti dan makin lama makin masuk ke arah selangkangan.

“Ohhhhmmm… esssstttt…” desah Lidya tak berdaya saat bibir vaginanya mulai tersentuh lidah nakal Pak Ngadi.

Dengan menggunakan jemarinya, Ngadi membuka bibir memek Lidya yang berwarna merah muda dan menjejalkan lidahnya masuk ke dalam liangnya. Sodokan lidah Lidya yang hangat ditambah guyuran air shower membuat sensasi erotis yang lain daripada yang lain, Lidya makin tak mampu menguasai dirinya sendiri, si cantik itu merem melek diperlakukan sedemikian rupa oleh Ngadi.

Selang beberapa saat kemudian, giliran bibir Ngadi yang asyik mempermainkan seputaran selangkangan Lidya.

“Mmmmhhhh! Sssttthhh… oooohhh…” desahan Lidya terus menguat.

Melihat Lidya sudah tak kuat lagi, Ngadi malah melanjutkan serangannya dengan mempermainkan tonjolan klitoris Lidya. Dijilatinya tonjolan itu dengan lidahnya. Tubuh Lidya bergetar tak berdaya, ia tak tahan lagi, tubuhnya menggelinjang tanpa mampu ia hentikan.

“Yaaaaaaaaaaaaaahhhh…” Lidya menjerit lirih ketika ia akhirnya mencapai kenikmatan. Tubuhnya bergelinjang hebat dan menegang lalu ambruk ke depan. Untunglah Pak Ngadi sigap dan segera menangkap tubuh Lidya agar tidak sampai jatuh.

“Aduh… aku… lemas… sekali…” kata Lidya dengan suara lirih.

Sambil berhati-hati, Pak Ngadi mengangkat tubuh Lidya ke pinggir, mematikan keran shower dan mengelap seluruh tubuh Lidya dengan handuk. Pak Ngadi mengangkat tubuh telanjang Lidya yang sudah tidak basah dan berniat hendak menggendongnya ke ranjang. Si cantik itu sebenarnya keberatan, tapi tatapan mata galak Pak Hasan menundukkannya. Dengan berani penjual mainan anak-anak yang beruntung itu mulai mengangkat tubuh Lidya.

“Kuat kan, Pak? Tubuh saya berat.” bisik Lidya. Dia khawatir penjual mainan bertubuh kurus ini akan menjatuhkannya. “Kalau tidak kuat saya jalan sendiri saja…”

“Kuat kok, Mbak. Peluk saya erat-erat ya.” Kata Pak Ngadi.

Malu-malu Lidya memeluk Pak Ngadi, si cantik itu menautkan kedua lengannya ke leher sang penjual mainan saat dia digendong ke arah ranjang. Untunglah jarak antara kamar mandi dan ranjang Lidya tidaklah jauh. Wangi tubuh Lidya membuat Ngadi memiliki ekstra semangat, baru kali ini dia menggendong tubuh seorang wanita cantik yang tak mengenakan sehelai pakaianpun. Buah dada Lidya yang berukuran besar menempel di dada tipis Ngadi, menimbulkan percikan tenaga ekstra di hati sang penjual mainan.

Di pojok ruangan, Pak Hasan masih terus menyaksikan aksi sang penjual mainan dan menantunya, tangannya juga masih terus bergerak mengocok kemaluannya. “Nduk, kamu tidur tengkurap saja.” Kata Pak Hasan.

Lidya tidur tengkurap sesuai perintah Pak Hasan saat Ngadi meletakkannya di ranjang, matanya terpejam menanti serangan Ngadi selanjutnya. Pria setengah baya berkulit gelap mengkilap dan bertubuh kurus yang baru saja menggendong Lidya itu akhirnya naik ke atas ranjang, Ngadi bergerak dengan malu-malu mendekati istri Andi yang cantik itu. Perlahan-lahan Ngadi memulai serangannya dari ujung jari kaki Lidya. Ngadi belum pernah melihat jari-jari kaki yang mulus, lembut dan terawat seperti milik Lidya, sangat berbeda dibandingkan dengan jemari istrinya yang kotor dan keras karena jarang mengenakan sandal. Ngadi mencium dan menjilati satu persatu jari-jari kaki Lidya.

“Ehhhhmmm…” erang Lidya. Matanya masih belum terbuka tapi bibirnya tak kuat menahan rangsangan geli jilatan lidah Pak Ngadi.

Satu persatu jari-jari kaki Lidya dijilati oleh sang penjual mainan anak-anak sambil tak lupa mengelus-elus lembut telapak kaki Lidya yang putih. Ciuman Pak Ngadi naik ke betis, pria tua itu menikmati jengkal demi jengkal tubuh mulus Lidya, biarpun ini istri orang, tapi nikmatnya bukan main. Setelah puas menciumi satu kaki, Pak Ngadi beralih ke kaki yang lain, serangannya sama, mencium dan menjilati jemari kaki sang dewi.

“Engghhh…” Lidya menutup kepalanya dengan bantal, ia tidak tahan pada serangan Ngadi ini, membuatnya gelagapan. Pak Hasan yang masih duduk di kursi tak terlalu jauh dari ranjang tersenyum puas melihat menantunya keenakan, ia masih mengocok penisnya sendiri dengan gerakan ringan yang makin lama makin cepat.

Pak Ngadi meneruskan lagi, ia menggerakkan bibirnya menelusuri kaki Lidya hingga sampai ke paha. Pria tua itu sangat kagum, ini baru namanya paha, sangat sempurna, putih mulus tanpa cela. Ngadi menikmati detik demi detik, ia tahu ia hanya sekali ini saja bisa menikmati keindahan tubuh Lidya, itu sebabnya dia tidak ingin terburu-buru. Ini yang namanya sekali seumur hidup. Dia merasa sangat beruntung tadi Pak Hasan menyuguhkan jamu kuat yang diminumnya sebelum naik ke atas dan mandi bersama Lidya.

“Ohhhhh… ehhhmm…” Lidya tidak mau mengakui, tapi ciuman yang dilancarkan Pak Ngadi mulai dari jari kaki naik sampai ke paha membuat wanita jelita itu belingsatan, tak berdaya sekali dia rasanya. “Ohhhhh…” sekali lagi Lidya mengerang kala Pak Ngadi menjilati pahanya. Pria tua itu nekat naik hingga sampai ke perbatasan paha dan gunung pantat mulus Lidya.

Lidya menggelengkan kepalanya karena tak tahan ketika bibir dan lidah Pak Ngadi akhirnya sampai di gundukan pantatnya yang kencang dan bulat.

“Ouggghhsssttt… essssstt…” desah Lidya berulang-ulang, suara erotis yang keluar dari wanita secantik Lidya menambah semangat Ngadi. Pria tua mulai naik lagi, kali ini tangannya ikut bergerak, meremas-remas pantat Lidya yang montok dengan gemas. Lidya belum mau membuka matanya, tapi ia tak tahan dan menahan jeritannya.

Punggung Lidya menjadi sasaran selanjutnya, tubuh istri Andi ini sangat seksi, merangsang di setiap jengkalnya. Benar-benar bagaikan tubuh seorang dewi yang turun dari khayangan, sempurna tanpa cela. Kini tubuh yang indah itu menggelinjang di bawah sapuan lidah Ngadi yang menggerayangi bagian punggungnya. Pria yang sehari-hari bekerja sebagai penjual mainan anak-anak itu sepertinya sudah sering melakukan ini pada sang istri, dia mahir sekali melakukannya. Sebaliknya, Lidya yang belum pernah merasakan lidah maut Pak Ngadi pun takluk dan tak bisa bertahan. Pak Ngadi naik lagi, lidahnya kini menyapu pinggir sela lengan dan dinding buah dada Lidya.

“Ouuuugghhhhh… asssstttt… eessssssssttt…” mulut Lidya mendesah-desah, tubuhnya menggelinjang, tapi ia masih tetap tak mau membuka matanya.

Pak Ngadi yang tadinya takut-takut mulai percaya diri, gelinjang tubuh dan desah nafas Lidya membuatnya yakin, walaupun wanita ini secantik dewi dan seindah bidadari, tetap saja dia seorang perempuan biasa, pasti bisa ditaklukkan. Ngadi mengangkangi tubuh Lidya dengan penis yang diarahkan ke belahan pantatnya.

Sampai di sela bokong mulus Lidya, penis pria setengah baya itu sengaja diselipkan di tengah lalu digosok-gosokkan naik turun. Saat tangan Ngadi mengelus-elus kelembutan pinggang Lidya, bibir dan lidahnya menjelajah punggung, naik ke pundak, lalu bagian belakang leher dan akhirnya sampai di daun telinga. Daun telinga adalah salah satu titik kelemahan Lidya, lidah Ngadi bergerak lincah menggoyang daun telinganya. Semua rangsangan ini membuat si cantik itu takluk, ia pasrah sepasrah-pasrahnya.

Ngadi masih belum selesai, dibaliknya tubuh Lidya agar menghadap ke atas. Lidah pria tua itu beraksi lagi, berawal dari serangan di leher depan, menuruni pundak sampai ke sela ketiak, turun lagi ke lengan sampai ke telapak tangan dan akhirnya berhenti di jari-jari Lidya. Ciuman bibir dan jilatan lidah Ngadi tak pernah berhenti, terus bergerak tanpa kenal lelah menguasai tubuh Lidya. Inilah yang dinamakan mencicipi tubuh seorang wanita dengan arti yang sebenarnya.

“Auuuuuhhmmm… esssssttt… eehhhgg…” walau tak mau mengakui dan merasa terpaksa melayani orang yang bukan suaminya, tapi kalau Lidya mau jujur, dia puas sekali dengan foreplay yang dilakukan Pak Ngadi. Siapa sangka orang seperti itu bisa melakukan foreplay seenak ini?

Lidah mungil Lidya merekah, seakan minta dicium, tapi Ngadi belum mau melakukannya. Pria tua itu terdiam sejenak karena takjub dengan kemolekan bagian depan tubuh Lidya, terutama bagian dadanya. Selama ini Ngadi harus puas dengan dada istrinya yang seperti papan cucian, ia tak mengira, akan datang hari dimana dia akan diberi kesempatan mencicipi payudara sempurna seorang bidadari. Pria tua itupun memanfaatkan waktunya yang longgar selama mungkin, dijilatinya gunung payudara Lidya tanpa menyentuh ujung pentilnya. Buah dada Lidya yang montok dilalap habis oleh Ngadi, istri Andi yang sudah pasrah itu hanya bisa mendesah penuh nikmat saat payudaranya dioles-oles oleh Ngadi. Pentil Lidya sudah mengeras sedari tadi, ujung payudara itu menonjol ke atas, memohon dikulum secepatnya.

Pak Ngadi makin berani, melihat puting susu yang bentuknya sempurna itu mau tak mau ia nafsu juga. Diawali hembusan nafas yang ditebarkan ke puting agar terasa hangat, Pak Ngadi menowel ujung pentil Lidya dengan ujung lidahnya, melontarkan nafsu Lidya bangkit sampai ke puncak.

“Uaaaaaaahhhh!!” Lidya membelalakkan matanya! Tubuh si cantik itu menggelinjang tak karuan. Pak Hasan makin kagum pada orang tua yang kini sedang menikmati tubuh menantunya ini, luar biasa juga kemampuannya, ia ternyata mampu menundukkan menantunya yang jelita dengan lidahnya yang lincah.

Bangkitnya nafsu birahi Lidya membuatnya tak bisa begitu saja membiarkan Ngadi terus berlama-lama, tanpa takut-takut Lidya mengangkat payudaranya dan menyodorkan putingnya pada Pak Ngadi. Melihat istri Andi itu menyerah pada nafsu membuat Pak Hasan ingin bertepuk tangan. Hebat, sungguh hebat penjual mainan anak-anak ini!

“I… ini… tolong… cepat…” desah Lidya, ia memejamkan matanya kembali dan menunggu Pak Ngadi menghisap pentilnya yang sudah menjorok. Ngadi melirik ke arah Pak Hasan, meminta persetujuan. Ketika Pak Hasan mengangguk, pria tua itu memberanikan diri, bibirnya menelan pentil payudara Lidya dan menghisap-hisapnya dengan buas.

“AAAAAAAAAHHHH!!!” Lidya setengah berteriak, matanya terbelalak karena nikmat yang ia rasakan. Setelah seharian memamerkan tubuh di pasar, kini seorang penjual mainan anak-anak berhasil mendapatkan akses ke pentilnya. Pentil yang selama ini hanya diperuntukkan sang suami tercinta dan direnggut paksa oleh mertuanya yang bejat. “Ah! Ah! Auuuhhh!! Esssstt!” Lidya menahan semua nafsu yang sudah siap meledak di selangkangannya, digigitnya bibir bawah untuk membantu menahan semua getaran nafsunya.

Pak Hasan akhirnya tak tahan hanya melihat saja menantunya yang bugil itu dipermainkan oleh seorang pria yang baru mereka kenal tadi pagi. Dengan langkah hati-hati agar tak mengganggu proses foreplay Pak Ngadi, Pak Hasan duduk di pinggir ranjang dengan rasa ingin tahu yang berlipat. Tangan Pak Hasan bergerak maju menyelip di antara paha Lidya, dengan lihai ia meraba-raba bibir memek sang menantu sambil memijit tonjolan di bibir atas vagina Lidya yang ternyata sudah basah.

“Eyaaaaaaagghhhh!! Uaaahhh! Aaahhh!! Jangaaaaan!!” Lidya tersentak kaget sekaligus mengalami kenikmatan yang luar biasa ketika jemari Pak Hasan bermain di sekitar mulut vaginanya. Belum usai serangan yang dilakukan Pak Ngadi, kini Pak Hasan sudah datang.

Pak Ngadi menyelipkan tangan kirinya ke punggung Lidya dan menarik tubuhnya ke atas, sementara tangan kanannya masih tetap beraksi meremas-remas payudara kanan dan kiri silih berganti. Begitu posisi mereka berhadapan, Pak Ngadi melumat bibir mungil Lidya dengan penuh nafsu. Bibir yang tadinya mendesah berulang-ulang itu kini terdiam dalam dekapan sang lelaki tua. Lidya yang sudah tak ingat apa-apa lagi menyerahkan dirinya penuh kepada kedua lelaki tua. Ia pasrah ketika Pak Ngadi melumat bibirnya, bahkan Lidya membalas ciuman sang penjual mainan dengan permainan lidah yang saling memilin.

Sementara Pak Ngadi mencium Lidya dengan hot, Pak Hasan menggerakkan jemarinya di selangkangan sang menantu dengan lincah. Digesek-gesekkannya jari tengahnya di bibir vagina Lidya sementara jari telunjuknya memainkan klitoris yang menonjol. Lidya sudah lupa diri, si cantik itu memaju mundurkan pinggul karena tak tahan, ia ingin memeknya segera ditembus sesuatu yang keras dan panjang.

Lidah Pak Ngadi beraksi sepuasnya di mulut Lidya, menjelajah masuk dan menjilati seluruh liang mulut si cantik itu. Bibir Lidya juga tak tinggal diam, ia mengulum dan melumat bibir Pak Ngadi yang besar, lidah si cantik itu juga masuk ke mulut Pak Ngadi, bau rokok murahan yang tersebar dari kerongkongan lelaki tua itu tidak membuat Lidya berhenti, ia terus menerjang, menjilat dan melumat.

Pak Hasan naik ke atas ranjang dan bersiap untuk melesakkan penis ke dalam memek sang menantu, penisnya yang sudah keras seperti kayu ditempelkan dan dimainkan di mulut vagina Lidya, ia belum mau memasukkannya, ia ingin menggoda si cantik itu. Pak Ngadi yang tahu si empunya cewek sudah siap melakukan penetrasi bergeser ke samping memberi tempat pada Pak Hasan untuk beraksi. Lidya mengerang dan mendesah, ia bingung sekaligus menikmati. Ia lupa pada suaminya, ia lupa pada statusnya sebagai seorang istri, ia lupa semuanya, ia hanya ingat ia sedang bermain cinta dengan dua orang lelaki tua yang perkasa yang memberinya kenikmatan tiada tara.

Pak Hasan bersiap, diangkatnya kontolnya yang kini bagaikan tiang bendera dan dengan satu tusukan pelan, masuklah kemaluannya ke dalam liang kewanitaan Lidya. Wanita jelita yang tak berdaya itu menggelinjang dan kebingungan, dia menjerit lirih di bawah serangan Pak Ngadi yang belum juga berhenti menciumi bibir dan meremas-remas payudaranya.

“Iiiiihhh… ehmmm… aaaahhh! Ahhhh!! Ahhh!!” desis Lidya berulang kala Pak Ngadi melepaskan pagutannya.

Pak Hasan menarik Lidya dan mengaitkan kakinya yang jenjang di pinggangnya. Bagian atas tubuh Lidya sudah kembali turun ke ranjang, walau masih dipermainkan oleh Pak Ngadi, sementara kakinya kini mengait pinggang sang mertua. Pak Hasan akhirnya mulai menggerakkan pinggul untuk menyetubuhi sang menantu, ia bergerak maju mundur dengan pelan.

Walaupun Lidya dan Andi adalah pasangan yang belum terlalu lama menikah, intensitas hubungan intim antara Lidya dan suaminya termasuk jarang. Andi lebih suka bekerja daripada tinggal di rumah dan tidur dengan istrinya. Hal ini sangat disyukuri oleh Pak Hasan, karena memek Lidya masih terasa rapat bagaikan seorang perawan. Entah karena jarang bermain cinta dengan suaminya ataukah karena kontol Andi hanya sebesar tusuk gigi sehingga tidak mampu merenggangkan dinding dalam kemaluan si cantik itu.

“Heeeeennghhhgghhh!!” Pak Hasan menggemeretakkan gigi dengan gemas saat ia mulai meningkatkan kecepatan tumbukannya.

Tubuh Lidya yang bergerak naik turun sesuai sodokan Pak Hasan dimanfaatkan oleh Ngadi, pria tua itu menyodorkan kemaluannya ke wajah Lidya. Si cantik itu awalnya jijik dengan kemaluan Pak Ngadi yang bentuknya tidak karuan, hitam, keras dan panjang. Dari segi ukuran, mungkin Pak Hasan lebih unggul. Tapi Lidya sudah tenggelam dalam nafsu birahi, ia tahu apa maksud Pak Ngadi menghunjukkan kontolnya. Segera saja Lidya meraih penis hitam itu dan memasukkannya ke mulut.

“Ughhhhhoooooohhh…” sekarang giliran Pak Ngadi yang merem melek keenakan. Siapa yang tidak mau kontolnya disepong seorang dewi bermulut indah seperti Lidya?

Pak Hasan makin getol memaju mundurkan pinggulnya, enak sekali rasanya memompa vagina menantunya yang masih sangat rapat ini. Tangan kirinya meremas-remas buah dada kiri Lidya sementara payudara yang kanan menjadi santapan tangan Pak Ngadi.

Pak Hasan terus menggenjot vagina Lidya dengan beringas, nafas pria tua yang sangat bernafsu itu tersengal-sengal karena ingin segera mencapai kenikmatan maksimal. Desah nafas tiga orang yang tengah bercinta itu menjadi musik indah pencapaian kenikmatan seksual. Pak Ngadi yang keenakan dioral oleh Lidya merem melek, ia makin tak tahan sepongan si cantik itu, apalagi setelah melihat wajah Lidya yang mempesona menelan bulat-bulat kontolnya yang hitam dan panjang.

“Huuuungghhhh!!!” akhirnya diiringi satu lenguhan panjang, Pak Ngadi mencapai orgasme. Ia tak kuat lagi bertahan.

Semburan pejuh Pak Ngadi tersebar ke seluruh permukaan wajah cantik Lidya, lalu ke dada dan akhirnya perut, cukup banyak cairan putih kental yang dikeluarkan ujung gundul kemaluan pria tua itu. Lidya tersengal-sengal mengatur nafas, baru kali ini dia bermain dengan dua orang pria yang sama-sama mahir bercinta, hebatnya dua laki-laki ini bukanlah suaminya, tubuh si cantik itu mengejang, dan pantatnya terangkat kuat-kuat. Bola mata Lidya berputar ke belakang, sampai hanya bagian putihnya saja yang terlihat, rupanya si cantik itu juga telah mencapai tingkat kepuasan maksimal.

Setelah Ngadi dan Lidya selesai, giliran Pak Hasan, ia merasakan air cinta membanjir di dalam liang kenikmatan Lidya, tapi mertua bejat itu terus saja menyodokkan kemaluannya dalam-dalam, tak mau berhenti. Tak terlalu lama menggoyang memek Lidya, akhirnya Pak Hasan juga mencapai ujung tertinggi tingkat kenikmatannya.

Meledaklah air mani Pak Hasan di dalam memek sang menantu. Pria tua itu mengejang, mengeluarkan semua birahinya dalam tumpahan air mani yang mengalir deras membanjiri memek Lidya. Benar-benar puas dia kali ini, untuk pertama kalinya Lidya bersedia melayaninya tanpa melawan dan menangis. Menantunya itu benar-benar telah berubah dan bersedia dijadikan budak seksnya. Setelah mengeluarkan penisnya dari vagina Lidya diiringi bunyi letupan kecil, Pak Hasan ambruk ke ranjang.

Pak Ngadi tidak mempercayai keberuntungannya. Walaupun ia memang tidak diijinkan memasukkan penisnya ke memek Lidya, tapi disepong wanita secantik bidadari seperti istri Andi itu adalah mimpi yang menjadi kenyataan. Inilah pengalaman sekali dalam seumur hidup yang tak akan dilupakannya. Setelah tak lagi lelah nanti, ia akan memakai pakaiannya dan pergi dari rumah ini, kembali ke kehidupannya yang sederhana dengan membawa memori terindah yang pernah dirasakannya.

Lidya terbaring lemas tak berdaya di ranjang. Tubuhnya yang telanjang kini basah kuyup oleh semprotan air mani yang dikeluarkan oleh Pak Hasan dan Pak Ngadi. Mata si cantik itu terpejam, makin kotor saja dirinya – ia bahkan mulai menikmati permainan gila mertuanya ini, sampai kapan Pak Hasan akan memperlakukannya dengan hina seperti ini? Sampai kapan semua ini akan terjadi? Apa yang akan terjadi esok hari?

Perlahan wanita cantik yang kelelahan itu terlelap dan tenggelam dalam tidurnya.




Social Profiles

Twitter Facebook Google Plus LinkedIn RSS Feed Email Pinterest

Categories

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.
You will be redirected to the script in

seconds

BTemplates.com

Blogroll

About

Copyright © Cerita Panas | Powered by Blogger
Design by Lizard Themes | Blogger Theme by Lasantha - PremiumBloggerTemplates.com